Aku sudah duduk di bangku ku dan mengobrol dengan Nita.
Aku lihat tas Will juga sudah ada di tempatnya. Berarti dia sudah datang.
Will masuk kelas, wajahnya kulihat senang sekali melihatku. Matanya berbinar tau aku sudah masuk sekolah lagi, walau ekspresi nya masih datar. Itu terlihat jelas di matanya, atau aku yang ke-geer-an, ya?
Lalu tiba tiba Vira masuk kelas kami dan bergelayut manja di lengan Will.
Will terlihat bingung, antara melepaskan tangan Vira atau membiarkan nya. Dia hanya menatapku diam. Menunggu reaksiku barang kali.
"Will, kantin yuk, temenin sarapan," pinta Vira manja.
Aku berusaha secuek mungkin, lalu mengobrol dengan Nita lagi. Menganggap kalau dua manusia di depanku ini tidak terlihat.
"Bentar," kata Will lalu berjalan ke bangkunya, mengambil hape dari tasnya dan entah mengetik apa aku tidak tau. Lalu diletakannya lagi di kolong mejanya. Akhirnya Will kembali ditarik Vira keluar kelas dan pasti mereka ke kantin.
"Selama kamu nggak masuk, mereka jadi akrab lagi, Din," jelas Nita yang sepertinya paham apa yang kurasakan.
"Biar aja. Itu hak mereka, kan?" Kataku berusaha tegar.
"Tapi Will kayaknya sukanya sama kamu deh, Din," tukas Nita.
"Masa sih?" Tanyaku pura pura tidak paham.
"Dan kamu juga suka kan sama Will," tambahnya dengan senyum senyum nakal.
"Sok tau kamu ah," elakku.
"Udah ngaku aja deh, Din. Kita ini kan sama sama perempuan, ya aku bisa lihatlah kalo kalian tuh saling suka sebenernya. Iyax kan?"
"Hm ... Gak tau lah, Nit. Aku akui, aku memang sayang Will, cuma ... Aku belum yakin. Lagian juga, aku belum mau pacaran. Almarhum Papah bilang, aku gak boleh pacaran dulu."
"Belum yakinnya kenapa?" tanya Nita lagi.
"Kita beda agama kan, Nit?" ucapku lemas.
"Cuma karena itu?"
"Lebih baik aku kehilangan seseorang karena Allah, daripada aku harus kehilangan Allah karena seseorang. Dan sebelum perasaan ini makin dalam," ucapku yakin.
Nita mengangguk paham lalu memelukku erat, saat melihat mataku berkaca-kaca.
"Kalau ada apa apa kamu kasih tau aku ya," hiburnya.
Tak lama Apri datang, Will juga kulihat sudah berjalan masuk ke kelas.
"Kalian kok pada pelukan sambil nangis?" Tanya Apri lalu ikut memeluk kami.
Aku menyeka air mataku, begitupun dengan Nita. Kami sama sama tersenyum.
"Apa sih, Pri. Siapa juga yang nangis, ye, kau sok tau, sobat," elak Nita dengan sikap dramatis.
"Ada apa sih? Jangan main rahasia- rahasiaan gitu dong. Kasih tau aku, kalian kenapa?" Cecar Apri.
Pertanyaan Apri tenggelam bersama kedatangan teman-teman yang lain. Saat semua teman temanku sudah masuk kelas, tiba tiba tercium bau anyir yang cukup pekat.
Aku melihat ada sosok yang berdiri di sudut kelas dekat meja guru.
Dia sepertinya siswa sekolah ini, tapi seragamnya agak lain.
Wajahnya pucat, dan terus melihat ke bawah. Darah menetes terus dari mulutnya. Mungkin itulah yang membuat bau anyir di kelas.
"Bau apa sih, ya? Nggak enak banget," ucap Yulian yang duduknya tepat di depan meja guru.
Aku dan Will hanya menatapnya sebentar lalu berusaha melihat arah lain.
Semua menutup hidung dan berbisik bisik bahkan sangat berisik jadinya.
Bu Wulan yang baru masuk kelas pun seakan tidak tahan dengan baunya.
Semua mencari sumber bau itu, tapi tidak menemukan apa pun.
Aku segera pergi keluar, karena sudah benar benar tidak tahan lagi.
Hampir saja aku akan muntah.
"Din ... kamu nggak apa apa?"tanya Will yang sudah berada di belakangku melihat khawatir.
Aku hanya menggeleng lalu menutup mulutku.
"Ih sumpah, jijik banget. Bau apaan sih itu, ya?" Tanya Nita yang ikut keluar kelas juga.
Aku masih menatap ke sudut di mana sosok itu berdiri.
"Jangan diliatin, Din. Biarin aja,"kata Will.
"Din? Kamu?" Mata Nita melotot melihatku.
"Apaan sih?" Tanyaku heran.
"Kamu bisa liat setan juga?" tanyanya kali ini lebih jelas.
Beberapa teman temanku ikut menatapku dengan tatapan yang bermacam macam, karena suara Nita yang terlampau kencang.
"Di mana, Din? Bau ini dari makhluk itu, ya?" tanya Nita penasaran.
"Mana aku tau ih, " elakku.
"Will ... Ada apa kok di luar?" Vira tiba tiba sudah ada di sekitar kami, dan melongok ke dalam kelas. Melihat kemunculannya, aku langsung pergi.
"Din! Ikut!" jerit Nita lalu menarik Apri menyusul ku.
Kami akhirnya ke Kantin.
Daripada harus di kelas melihat Vira yang makin lengket dengan Will.
"Sabar, Din," Kata Nita sambil mengelus punggungku.
Aku hanya tersenyum. Dan mencoba bersikap tegar. "Apa sih, Nit. Aku nggak apa-apa kok."
"Kamu kenapa sih, Din? Kalau ada Vira kamu bete banget kayaknya?" tanya Apri.
Nita menjelaskan permasalahan yang sebenarnya ke Apri. Dia memang agak lama koneksi otaknya. Sehingga sering miss komunikasi dengan kami.
"Hm ... Miris," cetus Apri sambil geleng-geleng kepala.
Kami memesan 3 jus alpukat. Dan duduk saja di Kantin. Tapi keadaan kelas masih dapat kulihat dari tempatku duduk. Masih ramai dengan kehebohan bau busuk tadi.
Beberapa guru satu persatu masuk kelas. Entah sedang apa, aku tidak peduli.
Aku juga melihat Will yang sedang ngobrol dengan Vira. Dia sedang menatapku juga.
"Din, nggak usah diliatin deh," Pinta Nita.
"Kenapa nggak jadian aja sih, Din?daripada nyiksa gini?" Apri malah membuatku ingin goyah.
Tapi aku tetap dengan pendirianku.
Tidak mungkin aku bersama Will dengan kondisi seperti sekarang.
***
Nita mengajak kembali ke kelas setelah kulihat teman teman masuk ke kelas lagi.
Dan saat sampai di kelas sosok itu sudah tidak ada, bau anyir pun hilang. Entah apa yang sudah mereka lakukan untuk mengusir makhluk itu.
Aku kembali duduk di bangku ku.
Will diam saja. Yah, memang dia seperti itu, dingin, cuek. Mungkin sejak dalam bentuk embrio.
Tiba tiba kepalaku pusing sekali.
Bahkan aku mimisan. Entah kenapa tiba tiba aku merasakan hal aneh ini. Padahal sebelumnya aku tidak merasakan apa pun. Aku sehat wal afiat.
"Kamu kenapa?" tanya Will yang mulai panik.
Aku hanya menggeleng, seolah olah aku tidak bisa bicara sedikit pun. Bumi terasa berputar, hingga akhirnya aku jatuh ke lantai.
Badanku rasanya panas dan sakit sekali.
Aku masih bisa mendengar teman temanku berteriak dan merasakan Will menggendongku dengan tergesa gesa ke UKS. Tapi aku seperti tidak bisa membuka mataku.
Lama kelamaan semua sunyi. Gelap dan pengap. Dalam keadaan gelap ini, aku mulai mendengar ada orang yang membaca lantunan ayat suci AlQuran. Suaranya lembut sekali. Hal itu membuatku bisa perlahan membuka mata. Dan akhirnya aku sadar kalau sedang terbaring di UKS, di sebelahku ada Aisyah, teman kelas sebelah yang menjadi petugas UKS. Aku pernah melihatnya saat upacara bendera senin lalu. Ia memakai baju putih, khas perawat. Dan itu biasa dipakai oleh anggota PMR. Aku menyapu pandang ke sekitar, sebuah papan dengan deskripsi hari beserta nama-nama murid di bawahnya. Mirip jadwal piket di kelasku. Dan ada nama Aisyah di sana, di hari ini. Ah, mungkin itu jadwalnya berjaga UKS. Aku tau kalau dia bernama Aisyah, dari name tag di dadanya, tapi aku tau kalau dia anak kelas sebelah, karena sering melihatnya. Aku suka memperhatikan sekitar, walau terkadang tidak terlihat berbaur.
Dia tersenyum lalu menutup AlQuran yang dipegangnya. Jadi suaranya yang kudengar tadi.
"Alhamdulillah, Dina. Kamu udah sadar. Masih sakit?" tanyanya lembut.
"Aku kenapa, sih?"
"Eum ... Aku tanya sesuatu boleh?" Aku memgangguk, mengiyakan. "Kamu punya masalah sama orang, Din?" tanya Shinta, yang juga sedang berjaga di UKS dengan Aisyah. Seolah pertanyaan ini memang yang ingin Aisyah tanyakan tadi.
"Maksudnya?" Tanyaku bingung.
"Kamu disantet," ucap Shinta berbisik.
"Hah?"
Siapa yang tega melakukan ini? Seakan-akan ada sebuah batu besar yang menindihku, berat dan sakit. Santet? Hal yang tidak pernah kualami sebelumnya, dan cukup mengejutkan kalau aku sedang mengalaminya sekarang.
Di saat kebimbanganku, Will masuk ke dalam sambil menyeret Vira dan menyuruhnya bersujud di bawah kakiku.
"Minta maaf sekarang juga!!" bentak Will ke Vira. Ia melemparkan sebuah bungkusan putih ke lantai. Shinta memungutnya dan setelah dibuka adalah rambut. Shinta mengernyitkan kening sambil menunjukkan helai rambut itu. Panjang dan teksturnya mirip dengan rambutku.
"Maafin aku, Din. Aku khilaf. Aku nggak suka Will deket deket kamu. Makanya aku lakuin ini. Maafin aku, Din," kata Vira sambil memegang tanganku.
"Astagfiruloh haladzim," ucap Aisyah dan Shinta bersamaan.
Aisyah mengambil buhul sihir itu lalu membakarnya saat itu juga dengan doa yang aku tidak tau apa. Karena dia melafalkannya seperti bergumam lirih dibantu Shinta. Vira terus tergugu, takut saat melihat Will yang menatapnya tajam.
"Dina, aku minta maaf." ia menunduk lemas. Aku menarik nafas panjang. Sangat tidak menduga kalau dia bisa melakukan hal ini padaku.
"Iya, Vir, aku maafin," ucapku enteng.
Entah kenapa aku bisa selapang d**a ini memaafkan Vira yang hampir membuatku celaka. Padahal kalau mengingat beberapa hari lalu, rasanya ingin kujambak dia. Tapi
tubuhku terlalu lelah untuk berdebat kali ini.
"Mending kamu balik ke kelas aja deh," pintaku sambil memalingkan wajah.
Vira menyapu air matanya, mengangguk cepat, dan segera pergi. Ia tidak berani menatap Will. Justru Will sejak tadi terus menatapku.
Aisyah dan Shinta yang ada di ruangan ini, justru menatapku dan Will bergantian. Seolah paham akan situasi ini, mereka pamit dengan dalih akan mengambil obat di ruang guru.
"Nitip Dina ya, Will." Aisyah menepuk bahu Will lalu mereka keluar.
Kenapa aku merasa mereka sengaja meninggalkanku dengan Will berdua saja di sini.
Will kemudian duduk di sampingku.
"Maaf ya. Gara gara aku kamu jadi gini," ucapnya lirih. Penuh rasa bersalah dan penyesalan.
"Bukan gara gara kamu kok, Will. Lagian aku juga gak apa apa kan," kataku tidak melihatnya sama sekali.
"Din, mau aku beliin makan? Atau minum?" Tanya Will mengalihkan pembicaraan.
"Nggak usah."
"..."
"Will."
"Hm?"
"Kok kamu bisa tau Vira yang ngelakuin ini?" tanyaku penasaran.
Entah kenapa pertanyaan ini muncul begitu saja di pikiranku.
"Alex yang bilang, dia ngeliat Vira ngambil beberapa helai rambut di kelas kita, dan itu di bawah kursimu, waktu hari terakhir kamu masuk. Aisyah bilang kamu disantet, langsung aku kepikiran Vira. Aku tanya aja sampai dia ngaku," jelasnya.
"Ya Allah. Sampai segitu nya, ya, dia. Mending kamu terima dia aja deh, Will. Dia kayanya cinta banget sama kamu." Rasanya getir mengatakan itu.
"Tapi aku gak cinta sama dia, Din," tukasnya datar sambil menatap mataku dalam dalam. Dia mengeluarkan ponsel dari sakunya. Dan memutar sesuatu.
Oh tidak!!
Itu percakapanku dengan Nita tadi pagi?
Will menatapku sendu.
Aku benar benar tidak enak dengannya.
"Aku memang sayang sama kamu, Din! Cuma kamu! Dari awal kita ketemu sampai sekarang! Setelah kamu ada di deketku, semua berubah, Din. Aku jadi lebih peka sama keadaan di sekitarku, lebih peduli sama orang lain. Aku bahagia kalau kamu bahagia, Aku sedih kalau melihat kamu menangis.
Gak masalah kalau kamu nggak bisa nerima aku, Din," ucapnya dengan mata berkaca-kaca.
"Will!!"
"Aku pengen denger pengakuan kamu, aku pengen tau apa yang kamu rasain ke aku. Maaf kalau aku lancang," ucapnya lagi.
"Maafin aku, Will."
Mataku mulai berkaca kaca menahan tangis.
"Bisa ngeliat kamu setiap hari aja aku udah seneng, Din. Cinta tidak harus memiliki. Kamu nggak perlu ninggalin Tuhanmu demi aku," katanya membelai kepalaku lalu pergi begitu saja.
Getir rasanya. Hatiku sakit sekali.
Ya Alllah, semoga ini memang keputusan yang terbaik. Dan Will bisa menerima semua ini.
Shinta dan Aisyah masuk ke UKS lagi.
Aisyah langsung memelukku.
"Sabar, Dina, yakinlah, apa yang Allah takdirkan untuk kamu, pasti itu yang terbaik. Jodoh sudah diatur sama Allah." Aisyah mencoba menghiburku.
"Iya, aku juga yakin akan hal itu," Sahutku.
"Kamu ikut ROHIS aja, Din, bareng kita. Kegiatannya seminggu 3 x. Tiap pulang Sekolah," ajak Shinta.
Mungkin aku terima saja ajakan Shinta.