1. A Game

1275 Words
Commonwealth School beberapa tahun yang lalu.... Bunyi decitan dari sepatu beberapa orang anak laki-laki bermain bola basket di lapangan basket terdengar begitu nyaring. Mereka bermain dengan gerakan begitu lincah mencoba menguasai dan ada juga yang berusaha merebut bola lalu saat bola berada di tangan, mereka akan mencoba mencetak angka dengan memasukkan bola ke dalam ring. Di pinggir lapangan juga ada seorang pelatih yang sesekali memberi instruksi. Mereka menggunakan seragam khas pemain basket dengan nomor dan nama yang menjadi identitas mereka yang terdapat di bagian punggung. Semua pemain fokus dan seorang anak laki-laki berkulit putih menggunakan seragam dengan nomor satu dan di atas nomor itu tertulis nama Reinaldy pun mendominasi permainan dengan sering menguasai bola. Beberapa kali anak itu berhasil memasukkan bola ke dalam ring membuat permainan semakin lama terasa semakin intens karena banyak pemain lain yang mendatanginya untuk berusaha mengagalkan usahanya kembali mencetak angka. Setelah bermain beberapa lama, mereka semua menyudahi permainan ketika sang pelatih meniupkan peluit tanda berakhirnya latihan mereka. Mereka semua pun berhenti dan berjalan ke sisi lapangan. Mereka semua duduk bersama di pinggir lapangan. Mereka semua baru saja selesai melakukan sesi latihan mereka dan seperti biasanya mereka akan duduk sambil meredakan suhu tubuh mereka dengan meminum air mineral yang mereka miliki sambil berbincang satu sama lain. “Bagaimana hasilnya? Kamu sudah berhasil deketin Claire?” Salah satu anak laki-laki dengan baju nomor dua puluh tiga dengan nama punggung Edbert bertanya pada anak laki-laki dengan nama punggung Reinaldy yang duduk dihadapannya. Anak laki-laki itu hanya menggelengkan kepalanya pelan sambil menenggak air dari dalam botol air minum yang ia miliki. Anak laki-laki baju nomor dua puluh dengan nama punggung Gerald angkat suara , “Julukannya itu Frozen Queen. Dia pinter tapi sikapnya begitu dingin. Kabar yang beredar itu dia tidak punya teman dan tidak mau berteman.” "Jadi tidak heran dia sulit didekati... Dia itu spesies tidak normal kalo normal pasti dia sudah mengejar-ngejar Reinaldy seperti anak perempuan lainnya... Kalau yang ini... Bahkan dia tidak tau Reinaldy... Heck! Kapten basket yang popularitasnya tinggi dimata si Frozen Queen..," Edbert menimpali. “I told ya! Dia itu anak kutu buku. Pasti sulit didekati. Kalian hanya buang-buang waktu menjadikannya sebagai bahan taruhan,” Anak laki-laki dengan nama punggung Darrel angkat suara. Anak laki-laki dengan nama punggung Reinaldy pun terkekeh, “Bermain-main sedikit tidak ada salahnya dan mendekati dia beberapa waktu belakangan ini tidak sia-sia juga. Sudah ada progress kemajuan. Dia sudah mau diajak bicara walau menjawab dengan singkat dan nada ketus. Sepertinya berteman dengan dia tidak terlalu buruk.” Anak laki-laki dengan nama punggung Gerald pun mengangkat sebelah alisnya, “Tidak terlalu buruk? Really, Rei? Kamu menyukai gadis kutu buku itu?” “Come on, dude! Seleraku bukan gadis kaku seperti dia!” Semua tertawa spontan namun tidak dengan seorang anak laki-laki lain dengan nama punggung Edgar, “Lebih baik sudahi permainan kalian. Kalian bisa menyakiti perasaan anak itu kalau dia tahu dia jadi bahan mainan kalian.” Si anak laki-laki dengan nama punggung Reinaldy itu pun merotasi bola matanya lalu angkat suara, “Kalau dia tahu kan? Maka dari itu kita harus pastikan dia tidak tahu sampai permainan kita ini selesai.” "Tapi kalau sampai anak itu tau pasti dia akan sakit hati, Rei..." Edgar berusaha memberi pengertian namun Reinaldy malah merotasi bola matanya. "Selama dia tidak tau maka semua akan baik-baik saja, Ed..." Semua mengangguk kompak membuat si anak laki-laki dengan nama punggung Edgar pun menghela nafas panjang ketika melihat teman-temannya melanjutkan perbincangan mereka. Mereka tidak sadar bahwa permainan yang mereka mainkan saat ini bisa menyakiti hati orang lain nantinya dan teman-temannya itu seakan tidak peduli. Anak laki-laki dengan nama punggung Reinaldy itu sendiri hanya merasa tertantang untuk melakukan apa yang dianggap mustahil oleh teman-temannya itu. Ia hanya mau membuktikan kalau tidak ada yang sulit baginya. *** “Jadi Reinaldy masih berusaha mendekati Claire?” “Masih! Ini gila! Claire tidak cantik sama sekali dan Reinaldy terus mendekatinya. Aku yakin Claire sudah menggunakan cara kotor untuk menjerat Reinaldy. Come on! Reinaldy yang memiliki mantan terakhirnya ketua cheers kini Reinaldy mengejar-ngejar seorang kutu buku. Apa alasannya?” “Ucapanmu benar. Pasti sudah terjadi sesuatu antara mereka. Reinaldy yang popular mengejar-ngejar wanita kutu buku. Mungkin Reinaldy hanya mau memanfaatkan anak itu.” “Reinaldy itu pintar. Dia perlu Claire untuk apa? Tidak ada yang bisa dimanfaatkan dari anak kutu buku itu selain menjadi pesuruhnya. Tidak ada yang berguna untuk Reinaldy.” Seorang anak perempuan berambut panjang yang dikuncir kuda dan memakai kaca mata bernama Claire yang menjadi topik pembiaraan pun mengepalkan tangannya mendengar percakapan beberapa anak perempuan lain yang ada di toilet. Claire sedang berada di balik bilik toilet ketika sekelompok anak perempuan lain masuk ke dalam toilet dan mulai membicarakan dirinya dan Claire risih akan hal itu. Claire yang biasa berada di area tenang kini di dorong keluar menjadi pusat perhatian karena ulah seniornya yang tiba-tiba selalu berada di sekitarnya dan berusaha mengajaknya berinteraksi. Claire tidak bodoh. Ia tahu seniornya itu memiliki maksud mendekatinya namun anak laki-laki itu pandai berkilah. Claire sangat tidak suka menjadi pusat perhatian dan Reinaldy berhasil membuatnya malah menjadi pusat perhatian dan menghancurkan kehidupan sekolahnya yang tenang. Claire pun bertekat untuk kembali bicara dengan seniornya itu agar menghentikan apapun permainan yang sedang pria itu mainkan. Ia harus mengembalikan kehidupan sekolahnya yang tenang. Ia hanya mau belajar bukan jadi pusat perhatian seperti ini. Claire bertemu dengan Reinaldy atau lebih tepatnya Reinaldy menemukan Claire. Seniornya itu rajin sekali mendatangi Claire di perpustakaan dan Claire menggunakan kesempatan itu untuk berbicara pada seniornya itu namun berbicara dengan Reinaldy sepertinya adalah sebuah usaha yang sia-sia karena pada akhirnya Reinaldy dengan santainya mematahkan apa yang Claire ucapkan. “Jadi pacarku dan semua akan selesai. Tidak akan ada yang membicarakanmu lagi...” Claire menatap Reinaldy dengan tatapan heran, takjub, kesal dan capek. ‘Apanya yang selesai? Yang ada malah jadi tambah heboh dan itu masalah baru!’ Teriak Claire dalam batinnya. Claire menghela nafas kesal dan beranjak dari tempatnya duduk hendak meninggalkan Reinaldy. Namun Reinaldy menahannya dengan memegangi lengannya dan menatap Claire dengan wajah serius, “Aku serius. Pikirkanlah. Jadi pacarku dan semua akan selesai. Aku yang akan mengurus mereka. Kamu tidak akan menjadi bahan pembicaraan anak-anak itu lagi dan aku pastikan kalau aku tidak akan memanfaatkanmu.” Claire memandangi seniornya itu dengan pandangan takjub. Takjub akan kekeraskepalaan seniornya itu selama beberapa lalu menghentakan tangannya sehingga tangannya terlepas dari pegangan pria itu. Claire mendengus sambil meninggalkan pria itu. Jadi pacarnya? Pasti otak seniornya itu sudah enggak waras... *** Jam istirahat Claire duduk di kantin sendirian seperti biasanya dan kasak-kusuk tentang dirinya kembali ia dengar. Beberapa anak di sekitarnya berbicara berbisik sambil menatap dirinya membuat Claire merasa tidak nyaman. Namun tiba-tiba nampan makanannya berpindah tempat dan Reinaldy dengan santai memakan makanannya membuat Claire melongo. “Apa yang kamu lakukan?” Claire bertanya dengan suara pelan namun menahan emosi. Reinaldy pun dengan santai mengunyah makanannya dan mengecup pipi Claire membuat anak perempuan itu membeku berbarengan dengan suara kaget anak-anak lain yang ada disana. Claire membulatkan matanya sementara Reinaldy dengan santai menyeringai. “Reinaldy.. Kamu dan Claire... Kalian beneran pacaran?” Salah satu anak perempuan di dalam kantin bertanya pada Reinaldy. Dengan mata yang tidak lepas dari Claire, Reinaldy menyeringai semakin lebar. “Bener. Kalo bukan pacar mana mau Claire diem aja dicium kayak tadi...” Reinaldy dengan santai menjawab lalu diakhir kalimatnya anak laki-laki itu mengedipkan sebelah matanya pada Claire. Claire meruntuki kebodohannya yang hanya diam karena terlalu kaget. Ia sudah hendak buka suara namun Reinaldy memegang tangannya seakan memberi tanda pada Claire untuk diam. Ruangan kantin itu pun riuh karena pengumuman itu dan Claire hanya bisa menghela nafas panjang. Hidupnya yang tenang pun hancur sudah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD