Chapter 15 : Demi Saski

1975 Words
Siera benar-benar tidak mengerti perasaannya. Seharusnya dia merasa lega karena rupanya Digo sangat paham dengan keinginannya. Tapi entah kenapa justru dia merasa sebaliknya. Melihat bagaimana sikap dingin Digo padanya, membuat hatinya gundah. Dia merasa resah karena tidak melihat senyumnya, meski sebatas senyum jahil yang biasanya ditampakkan oleh pria itu. Ataupun tatapannya yang biasanya membuat hati Siera merasa hangat. Tapi tidak sedikitpun kali ini dia dapatkan dari pria itu. Digo sama sekali tidak mempedulikannya. Sepanjang rapat dengan para manager di kantor, tidak sekalipun Digo menoleh padanya. Dia tidak melihat Siera barang sejenak saja. Pria itu begitu serius mendengarkan penjelasan dari staffnya yang lain. Namun Digo justru memalingkan wajahnya saat giliran Siera yang melakukan presentasi. Sejak insiden di lift beberapa hari lalu, Siera hampir tidak pernah melihat pria itu di kantor. Digo yang biasanya wara-wiri di depan ruangannya mendadak menghilang begitu saja. Bukan hanya Siera, menurut karyawan lain pun begitu. Biasanya, sesibuk-sibuknya Digo, pria itu masih terlihat ada di kantor. Entah itu di lobby saat dia akan keluar kantor, di lift maupun dalam rapat. Siera ingat dua kali Digo tidak hadir pada acara rapat dan digantikan oleh sekretarisnya. Padahal hanya di acara itulah Siera berkesempatan bertemu dengannya. Untungnya, pagi ini pria itu hadir di rapat bulanan. Dan itu membuat Siera sedikit lega karena rupanya Digo baik-baik saja meski pria itu tidak sekalipun melihatnya. Siera memperhatikan dari samping saat Digo sedang mengobrol dengan Pak Adam setelah rapat mereka selesai. Dia tidak tertarik menguping pembicaraan mereka. Siera hanya ingin mengamati pria itu. Wajahnya masih tetap tampan seperti biasanya. Suaranya juga masih semerdu yang diingatnya. Badannya, penampilannya masih mempesona, memikat hati orang dengan mudah. Siera sedang asyik memperhatikannya saat pria itu tiba-tiba menoleh ke arahnya. Sontak saja Siera terkejut. Dia berusaha mengendalikan diri dengan mengalihkan pandangan ke arah lain secepat mungkin. Lalu bergegas meninggalkan ruang rapat sebelum keinginan tinggal lebih lama disana menguasai dirinya. "Siera!" Siera yang sedang berjalan di sepanjang lorong sontak menghentikan langkahnya. Dadanya seketika berdebar-debar mendengar panggilan yang begitu akrab di telinganya tersebut. Tanpa disuruh, Siera langsung berbalik, menoleh ke arah datangnya suara tersebut. Namun kosong. Tidak ada siapapun disana. Dia sendirian di lorong itu. Siera berdiri diam disana. "Hai, Siera! Kamu nggak kerja?" Siera menelan ludahnya kaku ketika melihat bayangan Digo di hadapannya. "Pak Digo-" "Saya minta sama Pak Digo mulai sekarang tolong jauhi Anak saya. Tolong jangan temui Saski lagi, Pak." "Kenapa, Siera? Aku kan nggak ada niat jahat sama Saski." "Pak Digo memang nggak punya niat jahat sama Saski. Tapi Pak Digo ngasih harapan untuk Saski. Saya nggak mau Anak saya berharap sama Pak Digo." "Tolong jangan membuat Saski berharap lebih. Dan jangan manfaatkan Anak saya untuk tujuan Pak Digo apapun itu." "Siera, aku nggak..." "Tolong, Pak. Jauhi Saski." "Saya harap Pak Digo mengerti. Tolong jauhi kami." Siera menjatuhkan air matanya saat bayangan ketika dia terakhir kali berbicara dengan Digo itu muncul di depan mata. Mendadak dadanya terasa sangat sesak. Entah kenapa dadanya bisa tiba-tiba terasa begitu sakit, seperti terhimpit beban besar. Padahal dia yang meminta Digo menjauhinya dan Saski. Namun saat kini pria itu benar-benar menjauh, dia tidak rela. Dia mau pria itu kembali. Dia ingin Digo hadir lagi di hidupnya dan Saski. Mengisi hari-hari Siera dengan godaannya, candanya, seringai jahilnya atau senyum kecilnya itu, yang terlihat begitu memukau. Siera tidak tau perasaan apa yang kini menderanya. Yang pasti, itu sangat sakit. *** "Bunda!" Siera melebarkan tangannya, menyambut sang putri yang baru keluar dari sekolahnya sambil tersenyum. "Saski nggak nakal kan di sekolah?" tanya Siera sambil membelai kepala anak itu. Saski menggeleng. "Bunda, temen Saski ulang tahun besok. Saski diundang," katanya sambil memberikan sebuah kartu kecil pada Siera. Siera memandangnya takjub. "Wah... kalo gitu nanti setelah Bunda pulang kerja kita cari kado ya?" ujar wanita itu yang membuat Saski mengangguk senang. "Ya udah, ayo sekarang Bunda antar Saski ke day care. Setelah itu Bunda langsung balik ke kantor ya. Bunda banyak kerjaan soalnya." "Iya Bunda." Siera tersenyum kecil. Dia berjalan lebih dulu menjauh dari gerbang sekolah Saski dan mencari taksi. Dia harus cepat kembali ke kantor karena ada beberapa pekerjaan yang harus dia selesaikan hari ini juga. Dia ingin menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat agar bisa mengajak Saski keluar membeli kado untuk temannya yang berulang tahun besok. Siera menghentikan langkahnya lalu berbalik karena tidak mendapati putrinya di dekatnya. Rupanya anak itu masih diam di tempat, tidak mengikuti langkahnya. Siera mengerutkan dahinya melihat Saski masih berdiri di depan gerbang sambil menengok ke sekelilingnya, seolah sedang mencari sesuatu. Dengan heran dia kembali menghampiri bocah itu. "Saski nyari apa?" tanyanya pada Saski. Anak itu menggeleng cepat. "Bukan apa-apa kok Bunda," jawabnya. Siera menghela nafas pelan. "Ya udah kalo gitu ayo cepet. Kita harus buru-buru ke day care," katanya kemudian menggandeng lengan Saski dan mengajaknya menaiki taksi yang dia hentikan. Siera diam-diam melirik sang putri yang beberapa kali menghela nafas panjang. Wajahnya murung, bersedih entah kenapa. Sepanjang jalan anak itu hanya diam saat Siera berusaha mengajaknya bicara. "Saski nanti ulang tahunnya mau dirayain di sekolah atau di rumah?" tanya Siera untuk membuat Saski senang. Anak itu biasanya sangat antusias jika berbicara tentang ulang tahunnya. Dia senang sekali akan berulang tahun yang kelima minggu depan. "Saski nggak usah ngerayain ulang tahun ya, Bunda?" "Loh... emangnya kenapa? Kan Saski yang minta ulang tahun kelimanya dirayain minggu depan," balas Siera heran. Saski menggeleng pelan. "Gapapa Saski nggak usah ulang tahun." "Saski..." ujar Siera lirih. Diusapnya pipi bocah itu lembut. "Saski kenapa sih, Nak? Bukannya Saski seneng karena mau ulang tahun?" tanyanya. Saski mengangguk. "Saski seneng kalo ulang tahunnya. Tapi Saski nggak mau dirayain," jawab bocah itu. Siera mendesah panjang. "Terus Saski maunya gimana? Saski minta apa?" "Saski mau ketemu sama Ayah aja," kata Saski yang membuat Siera kaget. Anak itu menggengam tangan Siera yang berada di wajahnya. "Bunda, kita ke rumah Ayah, yuk!" pintanya. Siera terdiam, syok tentu saja. Dia tidak menyangka jika Saski mampu mengatakan hal demikian. Hatinya seolah diremas kencang saat melihat ekspresi mengiba bocah itu. Matanya yang bening memandang Siera penuh harap. Membuat Siera tidak berdaya untuk mengatakan tidak. Namun untuk memenuhinya pun tidak mungkin. "Bunda... Saski pengen ketemu Ayah. Ayah nggak pernah ke sekolah Saski lagi. Saski kangeeeennn banget sama Ayah," ujar bocah itu memelas. "Boleh ya, Bunda?" pintanya. Siera menggigit bibirnya kencang demi menahan sesak dan sakit di hatinya. Juga bertahan sekuat tenaga agar tidak meloloskan butiran air mata yang menggantung di pelupuk matanya, siap untuk terjatuh. Saski tidak tau jika dirinyalah yang menyuruh pria itu berhenti menemuinya. Siera memintanya menjauh dan tidak lagi masuk ke dalam hidup mereka. Dan sekarang karena perbuatannya itu, sang putri tercinta harus merasakan sedih. Sekaligus rindu, sama sepertinya. *** Denting lift terdengar di telinga Siera. Lift yang ditumpanginya berhenti di lantai 27. d**a wanita itu mendadak berdebar-debar. Siera mengepalkan tangannya, mencengkeram erat map kuning yang dia bawa sambil menahan nafasnya. Siera melangkahkan kaki keluar dari lift. Lalu berjalan ke arah kiri, ke tempat dimana ruangan direktur utama berada. Wanita itu berkali-kali menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan guna meredakan gugup yang dia alami saat ini. Bukannya reda, gugupnya semakin menjadi seiring langkahnya yang kian dekat ke ruangan Digo. Siera sempat menghentikan langkahnya karena merasa ragu untuk kesana. Namun apa daya jika rasa inginnya lebih kuat dari keraguannya. Wanita itu terus meyakinkan dirinya sendiri jika yang akan dia lakukan saat ini adalah satu-satunya cara agar bisa bertemu Digo. Siera tidak tahan terus -terusan merindukan pria itu. Dadanya semakin sesak kala memikirkannya. Sesak yang tidak ada obatnya. Selain bertemu langsung dengan Digo, melihatnya, berbicara dengannya. Dan jika beruntung, Siera bisa mendapatkan senyumannya. Astaga, Siera rindu semua itu. "Bu Siera? Ada yang bisa saya bantu, Bu?" Suara Amira, sekretaris Digo segera membuyarkan lamunannya. Siera terperangah saat sadar jika dia kini sudah sampai di depan ruangan Digo. Wanita itu mendesah lemah. Setelah hatinya, kini kakinya pun ikut-ikutan mendukungnya untuk menemui Digo. Siera meringis kecil saat melihat wajah bingung Amira. "Em... Pak Digo ada?" tanyanya hati-hati. Amira mengangguk sopan. "Ada, Bu. Bu Siera ada perlu?" "I-iya," jawab Siera gugup. "Saya mau minta tanda tangan untuk laporan yang kemarin dibahas dalam rapat. Beliau kemarin buru-buru jadi nggak sempat tanda tangan," ujarnya beralasan. Ya, hanya alasan. Padahal kemarin jelas dia yang kabur duluan. "Oh... Kalau begitu saya sampaikan ke Pak Digo dulu kalau Ibu ingin ketemu," kata Amira. Siera mendesah dalam hati. Amira tau saja kalau dia ingin bertemu Digo. Padahal kan biasanya semua berkas yang perlu ditandatangani cukup diserahkan pada Amira untuk dimintakan tandatangan ke Digo. Kecuali ada keperluan lain yang benar-benar penting. Siera memperhatikan Amira saat menghubungi Digo lewat telepon kantornya. Dia was-was bagaimana reaksi Digo saat Siera ingin menemuinya. Siera menggigit bibirnya karena gugup. Dalam hatinya dia bimbang. Satu Siera dia ingin menemui Digo. Tapi di Siera lain, jika pun pria itu menolak menemuinya baginya juga tidak masalah. Toh dia bisa menitipkan berkas itu kepada Amira untuk diberikan pada Digo. Ya... meski Digo menolak bertemu dengannya pun tidak apa-apa, batin Siera. Siera mengambil nafas panjang untuk menenangkan hatinya. Berhasil, barang sejenak. Namun ketika Amira menutup sambungan telepon dengan Digo, Siera sontak menahan nafas. Dengan cemas dia bertanya kepada Amira, "gimana Mbak? Pak Digo mau ketemu?" tanyanya. Amira tersenyum tipis pada Siera. "Iya, Bu. Katanya Ibu diminta tunggu sebentar. Bapak mau menyelesaikan pekerjaannya dulu," ujarnya. Siera langsung menghela nafas lega. Darahnya berdesir-desir. Dadanya pun terasa ringan sekali. Begitu senangnya dia kala mendengar bahwa Digo mau menemuinya. Reaksinya sontak menimbulkan kecurigaan bagi Amira. Gadis itu mengerutkan dahinya heran akan senyuman lebar yang ditunjukkan Siera. Itu bukan hal wajar. "Bu Siera kayaknya seneng banget. Memang masalah ya kalo Pak Digo nggak mau nemuin Ibu?" tanyanya ingin tahu. Siera tersenyum kaku sekaligus malu. "Oh-em... Iya, Mbak Amira. Ini sangat penting," katanya. Amira mengangguk paham. Gadis itu mempersilahkan Siera untuk masuk ke ruang tunggu tidak jauh dari tempat mereka sekarang. Siera mendudukkan pantatnya di sofa empuk berwarna hitam itu dengan berhati-hati. Senyuman manis tidak luntur barang sedikitpun dari bibirnya sejak tadi. Siera menunggu dengan d**a berdebar. Dia tidak sabar menemui Digo. Saat ini dia bersiap, menyusun kata-kata yang akan dia ucapkan pada Digo. Siera harus jujur tentang Saski. Dia akan berusaha meminta Digo untuk menemui anak itu. Begitu senangnya dia kala mendengar bahwa Digo mau menemuinya. Meski hanya sekali saja, setidaknya itu bisa mengobati kerinduan Saski padanya. Meski Siera harus menjilat ludahnya sendiri, menarik kata-katanya meskipun dia sangat malu. Tapi demi putrinya, Siera rasa dia bisa menanggung apapun. Asal tidak kehilangan Saski. Siera langsung berdiri seketika saat Amira memasuki ruangan tempat Siera menunggu selama setengah jam tersebut. Dengan wajah penuh harap Siera bertanya kepada gadis itu, "gimana Mbak Amira? Pak Digo sudah bisa ditemui?" Amira meringis kecil. "Bu... Maaf ya, Pak Digo bilang nggak mau ketemu sama Ibu," ujarnya yang membuat Siera membelalak. "Ap-apa?" katanya kaget. "Ta-tapi bukannya tadi... Pak Digo bilang mau ketemu sama saya, Mbak? Kenapa sekarang jadi berubah?" protesnya. Amira merasa tak enak pada Siera. Tadi Digo memang mengatakan suruh Siera menunggu. Tapi setengah jam kemudian bosnya itu menelepon Amira dan mengatakan tidak mau menemui Siera. "Tapi, Mbak... kenapa Pak Digo-" Siera tidak bisa melanjutkan ucapannya karena mendadak dadanya terasa sesak. Amira membulatkan matanya saat melihat Siera meneteskan air mata. Astaga, sebegitu penting kah urusan mereka sehingga Siera sampai menangis karena tidak bisa menemui Digo, pikirnya. "Bu Siera..." Amira jadi panik karena Siera menangis tersedu di depannya. "Kalo memang dia nggak mau ketemu, terus kenapa dia minta saya nunggu, Mbak?" ujar Siera dengan suara serak. "Bu..." Amira mendesah berat. Dia jadi serba salah. Mau berbuat apa gadis itu tak tahu. Entah kenapa bosnya itu jadi plin-plan. Tadi dia menyanggupi untuk bertemu Siera bahkan meminta Siera menunggu. Lalu setengah jam kemudian pria itu menyuruh Amira untuk mengusir Siera pergi. "Maafkan saya, Bu. Saya benar-benar minta maaf. Pak Digo-" "Pak Digo ada di ruangannya kan?" tanya Siera menyela Amira. Gadis itu mengangguk pelan. Dan tanpa berpikir panjang lagi, Siera bergegas keluar dari ruang tunggu dan beranjak menuju ke ruang direktur. "Pak Digo!" panggilnya sambil mengetuk pintu dengan keras.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD