Bos yang Aneh

2108 Words
"Yakinlah, ada sesuatu yang menantimu setelah sekian banyak kesabaran (yang kau jalani), yang akan membuatmu terpana hingga kau lupa betapa pedihnya rasa sakit." –– Ali bin Abi Thalib. *** Anas beranjak berdiri dari bangkunya sembari memasukan buku dan alat tulis ke dalam ransel. Setelah itu ia bergegas menuju kantin seperti biasa. Bukan untuk makan siang seperti anak-anak lain, melainkan untuk menjajakan gorengan yang ia bawa dari rumah. Adik kandung Adnan itu memang selalu menitip gorengan jualannya di ibu kantin untuk sementara. Kalau sudah istirahat ia sendiri yang akan menjualnya. Remaja berseragam putih abu-abu itu menyapa ramah ibu kantin dan suaminya yang sedang sibuk melayani murid-murid yang sudah mengantri. "Anas, itu tadi ada yang beli. Uangnya ibu taruh di topleks sosis ya?" Jelas ibu kantin menunjuk topleks di belakang keranjang gorengan milik Anas, di sela kesibukannya melayani pembeli. "Terima kasih, bu." "Siap-siap, anak-anak sudah mulai berdatangan. Jangan sampai tidur," Anas terkekeh pelan kemudian menggeleng, "enggaklah, bu. Kalau jualan, matanya harus jeli. Harus bisa lihat yang ngambil tiga gorengan tapi cuma bayar satu atau dua." Kata pemuda itu lagi membuat Ibu Rima tertawa renyah. "Benar juga. Kalau sampai kedapatan sama ibu, tak jambak di tempat." Ujarnya lalu berdiri memnuatkan pesanan beberapa siswi di depannya yang mengantri bersamaan. "Elo jualan gorengan?" "Iya, seribu satu." Jelas Anas tersenyum ramah. "Kalau begitu gue beli 5 ya, sekalian sama nomor hape lo." Kata gadis itu tanpa ragu membuat teman-temannya memekik heboh sembari terkikik sendiri melihat tingkah laku temannya yang tidak tahu malu itu. "Totalnya lima ribu ya. Sausnya mau yang pedas apa biasa?" Tanya Anas tidak menanggapi omongan terakhir cewek berambut sebahu itu. "Buset, omongan lo dicuekin. Elo ditolak, anjir." "Berisik lo! Dia cuma jual mahal! Padahal gorengannya murah, dianya aja yang sok elit." "Udahlah, ngapain juga ngejar penjual gorengan. Gak ada yang mau dibanggain juga. Orangtuanya juga gak kaya, anak-anak bilang bapaknya supir taxi online. Emaknya jualan gorengan di rumah karena keterbatasan fisik. Lengkap banget ya penderitaan hidupnya?" "Ck, elo ngomong enteng banget ya?" Anas menghela napas samar, menulikan saja pendengarannya. Sudah biasa mendengar anak-anak yang membicarakan tentang keluarganya. Ia tidak merasa tersinggung ataupun marah. Karena memang benar adanya. Hanya saja makin lama mereka makin keterlaluan. Tapi, Anas tidak ingin memperkeruh keadaan. Lebih baik diam saja dan tidak mencari masalah dengan anak-anak lain. "Jadi mau beli gorengannya?" Tanya Anas membuat gadis yang sedang berdebat dengan temannya langsung tersadar. "Jadi, jadi ... tambahin pisang gorengnya 5 dong. Jadi, sepuluh ribu semua." Anas mengangguk, memasukan semua gorengan dalam plastik bening. "Terima kasih," ujar Anas sembari menerima selembar uang sepuluh ribu yang cewek itu sodorkan. Setelah itu pun, mereka berbalik pergi meninggalkan Anas yang kembali melayani pembeli lain. "Elo beneran suka sama dia, Chik?" Gadis bernama Chika itu tidak menanggapi. Menarik kursi di sampingnya dan duduk di sana. Sengaja duduk di depannya agar ia bisa melihat Anas yang sedang tersenyum sopan pada murid-murid yang ia layani. "Gak ada gunanya suka sama orang miskin, Chik. Orangtuanya beneran miskin, b**o! Gue pernah lihat rumahnya, soalnya anak-anak kirim di grub. Dan rumahnya emang jelek banget, gak selevel sama lo." Racau gadis itu sembari memakan gorengan yang baru saja Chika beli. "Tampan aja gak ngejamin lo hidup enak nanti, Chik. Cari yang pasti-pasti ajalah, jangan uji nyali." Saran teman-temannya lagi membuat Chika mendecak saja. "Emang apa salahnya kalau dia cuma modal tampan? Senggaknya dia tampan, kalau pun dia gak punya uang atau pun miskin kayak yang kalian bilang. Gue bisa nafkahi," kata Chika dengan ekspresi yakin. Kedua temannya saling pandang dengan terkikik geli kemudian, "aelah, Chik. Ibunya dia itu pelakor, bisa jadi Anas juga anak haram." Kata cewek itu enteng buat Chika menaikan alisnya tinggi. "Elo tuh kalau belum tau apa-apa gak usah sembarangan suka sama orang. Keluarganya bukan orang baik, jadi elo gak usah terpengaruh karena cuma modal tampang doang." Lanjut anak cewek itu masih sinis. "Kalau anak pelakor, berarti dia bukan orang baik-baik. Bisa saja nanti dia hamilin sana-sini anak perempu––" sebelum temannya menyelesaikan kalimtanya, Chika sudah lebih dulu membungkamnya dengan tamparan keras. Kemudian Chika beranjak berdiri, mendorong meja di depannya sampai kedua temannya terhuyung jatuh ke lantai membuat semua murid yang sedang berada di kantin jadi memperhatikan mereka. "Elo kalau gak bisa jaga ucapan lo, setidaknya tutup mulut!" Geram Chika yang membuat salah satu temannya berdiri dan langsung menjambaknya. Kedua cewek itu pun saling adu jambak dengan berteriak kesal berulang kali. Beberapa anak cowok maju berusaha melerai, namun yang ada mereka malah mendepat cakaran dan juga tamparan kedua gadis itu. "Panggil guru, astaga." "Biarin aja, lagi seru." "Itu kalau mereka sampai mati gimana?" "Tinggal dikuburin, susah amat." Anas yang baru selesai melayani pembeli jadi menghela napas sesaat. Tatapannya tertuju pada dua cewek yang masih bergelut dengan rambut yang sudah acak-acakan itu. Pemuda itu pun, meninggalkan gorengannya lalu melangkah maju ke depan sana berusaha menerobo banyak murid di depannya. "Elo kenapa harus semarah ini sih, kalau cuma bicara soal Anas? Emang dua beneran anak haram kan?" "Elo dibiarin makin ngelunjak ya?!" Chika tersentak kaget saat kedua lengannya dipegang begitu saja dan dipisahkan dari anak cewek di depannya yang juga dibantu oleh murid lain. Chika yang berusaha meronta jadi menciut melihat Anas di depannya, duduk memungut gorengan yang jatuh berhamburan di lantai. "Kalau kalian gak suka sama gorengannya. Lebih baik gak usah dibeli, daripada kalian buang di lantai begini." Kata Anas kembali berdiri membuat Chika menggigit bibir bawahnya. "Elo gak marah?" Anas mengernyitkan dahi sembari melihat sekeliling, anak-anak sudah berhamburan pergi ke meja masing-masing untuk melanjutkan makan. "Marah kenapa?" Tanya Anas tidak mengerti. "Soal omongan anak-anak tentang elo. Kenapa elo gak pernah jelasin kalau semua itu bohong kan?" Anas menghela napas sesaat lalu kembali menatap sosok di depannya. "Jangan terlalu ikut campur masalah keluarga aku. Kalaupun itu benar, gak ada hubungannya sama kamu kan?" Chika terdiam membeku, "aku akan sangat menghargai, kalau kamu gak terus-terusan begini cuma buat ngebela aku. Itu sama sekali gak perlu," lanjut Anas lagi lalu berbalik pergi membuat Chika menghela napas kasar. "Anas!" Panggilnya lagi membuat remaja itu berhenti sesaat. Anas berbalik dengan menatap Chika lurus, "gue begini karena gue suka sama lo!" Kata Chika tegas membuat Anas membuang muka ke samping. "Aku gak punya waktu buat itu. Jadi, suka saja sama orang lain." Balas Anas lalu berjalan pergi kembali menghampiri sisa dagangannya membuat ibu kantin dan suaminya saling pandang. Berdehem samar berusaha terlihat biasa saja karena ketahuan mendengarkan obrolan dua remaja itu. *** Annita berusaha melihat sosok laki-laki di dalam ruangan yang dikelilingi kaca itu. Tengah mengusap rambutnya ke belakang, dasinya pada kerah kemeja sudah dilepas dan kancing kemeja atasnya sudah dibuka. Lengan kemeja pun digulung sampai lengan. Perempuan yang kini duduk di ruangan di samping ruangan Alfi yang hanya terpisah jarak kaca itu pun menghela napas samar. Sampai saat ini ia kebingungan kenapa ia harus berada di perusahaan Fianhira. Perusahaan besar yang tidak akan pernah menerima orang tidak kompeten seperti dirinya. Dan yang lebih membuat Annita merasa tidak nyaman adalah karena ia hanya duduk saja di sana. Lelaki yang baru beberapa jam menjadi bosanya itu belum mengatakan apapun soal pekerjaan apa yang akan nanti Annita lakukan. Setelah mengatakan kalimat ambigunya, dan menyuruh Annita ke ruangan di samping ruangan miliknya. Laki-laki itu sama sekali tidak berkata apa-apa lagi. Langsung kembali bekerja dan beberapa kali berbicara di telepon dengan ekspresi seperti biasa. "Hhh," desah Annita gusar dengan kepala merunduk memandangi keyboar komputer di depannya. "Ann," suara seseorang di depannya membuat perempuan itu tersentak kaget lalu mendongak, ada Alfi di sana yang menatapnya dingin. "Namamu ada Ann nya kan? Jadi, saya panggil Ann saja." Jelasnya seakan mengetahui apa yang ingin Annita katakan. "Ter-serah, bapak." Balas Annita berusaha tersenyum. "Pekerjaan saya masih banyak. So, can I get some coffee?" Annita langsung menganggukan kepala mengiyakan lalu berjalan melewati Alfi keluar dari ruangannya. Beberapa saat kemudian ia berbalik dengan raut kebingungan. "Pantrnya dimana, pak?" Alfi menatapnya heran, lalu berjalan lebih dulu menunjukan letak tempat penyimpanan bahan makanan dan minuman barang-barang terkait alat penyajian dan alat makan kantor. Keduanya sampai di tempat yang dituju, di sudut ruangan yang dekat dengan salah satu tempat fotocopyan. "Kau tau cara bikin kopi, kan?" "Tau dong, pak." Balas Annita agak tersinggung lalu merapatkan bibir baru tersadar. "Tahu kok, pak." Ulangnya lagi berusaha sesopan mungkin. "Kau tidak perlu berpura-pura ramah di depan saya. Karena kemarin saya sudah pernah dibentak sama kau kan?" Annita makin membungkam mulutnya dengan merunduk samar. "Sekarang tunggu apa lagi. Saya tadi minta kopi, gak bisa langsung jadi kan kalau kau terus berdiri di sini?" Singgung Alfi membuat Annita bergerak masuk ke pantry dan mengambil salah satu kopi kemasan di dalam kotak. "Bapak bisa balik ke ruangan saja. Biar saya selesain ini sendiri," "Terserah saya, ini kantor saya." Annita kembali menyesal karena membuka mulutnya. Seharusnya tidak mengatakan apa-apa di depan bosnya itu. Pasti ada saja yang akan dia katakan untuk menguji kesabaran Annita. Setelah berhasil membuat kopi, Annita tersenyum lega dengan menolehkan kepala dan menatap Alfi di sana yang juga mengamatinya sedari tadi. "Bapak mau coba dulu?" "Gak perlu. Langsung bawa ke ruangan saya," ujarnya berbalik pergi meninggalkan Annita yang kebingungan di sana. "Kan bisa dibawa sendiri." "Eh, enggak. Kan ini pekerjaan kamu, Annita." Katanya bermonolog sendiri sembari melangkah pergi dengan hati-hati mengikuti Alfi yang sudah melesat masuk ke dalam ruangannya dan menutup pintu rapat. Annita tersentak di depan pintu dan hampir menjatuhkan kopi yang dipegangnya. Berulangkali ia merapalkan istigfar dalam hati. Kenapa ada manusia seaneh Alfi Alhusyan. Sudah tahu Annita akan masuk ke ruangannya. Kenapa juga ditutup? Annita memindahkan piring kecil yang ia pegang ke tangan kiri. Lalu menjulurkan tangan kanan untuk mengetuk pintu di depannya. "Masuk!" Annita ingin melangkah masuk namun langkahnya terhenti saat mendengar suara sepatu mendekat. Perempuan itu langsung menarik diri saat melihat perempuan bertubuh bak model itu menatapnya nyalang lalu membuka pintu ruangan Alfi cepat. "Sabar, sabar." Kata Annita kembali menguatkan diri lalu mengetuk pintu lagi dan masuk ke dalam ruangan Alfi sebelum kopi di tangannya dingin. Ia tidak ingin dimarahi untuk kesekian kalinya. "Ini ko––" "Keluar! Saya sedang berbicara dengan Alfi, kenapa malah sembarangan masuk?!" Teriak perempuan yang tidak lain adalah Karina itu membuat Annita mengangguk pelan. "Setelah saya kasih kopi ini ke Pak Alfi ya, bu. Se––" Annita meringis pelan saat Karina maju dan mendorong gelas di tangan Annita membuat kopi panas itu membasahi tangan dan kerudung depannya. Alfi yang melihat itu langsung bangkit berdiri dan menatap Karina tajam. "Gakpapa, pak. Pembicaraannya dilanjut aja." Kata Annita berusaha tersenyum sembari buru-buru melangkah keluar. Ia pun masuk ke ruangannya dan berjalan menuju kamar mandi kantor. Sampai di sana ia buru-buru membasahi tangannya yang sudah kemerahan dan agak perih itu dengan air yang mengalir pada wastafel. Annita menarik napas panjang sembari menghela gusar. Bagaimana pun ia mencoba bersabar pasti ada saja hal-hal yang memancing air matanya. Selalu menguji kesabarannya. Padahal ia sangat bersyukur bisa bekerja di perusahaan sebesar ini. Tapi, ternyata ada banyak orang yang tidak suka dengan kehadirannya. Annita tulus hanya ingin bekerja saja. Tidak ada niat lain. "Sadar, gak boleh cengeng." Katanya pada diri sendiri, menatap pantulan diri di depan cermin. Annita kembali teringat akan omongan tante dan kakaknya tadi pagi di rumah. Yang membuat ia tidak bisa membendung lagi bulir hangat pada pelupuk matanya. "Astagfirullahal adzim," gumamnya langsung mengusap kasar air matanya. Berusaha menarik kedua sudut bibirnya dan tersenyum di sana. Kembali berusaha terlihat baik-baik saja. Ia pun melangkah keluar dari kamar mandi, hendak berbelok dan tersentak kaget saat melihat Alfi berdiri di sana dengan ekspresi keruhnya. "Kopinya gak enak, pak?" Alfi mendecak sembari melirik pergelangan tangan Annita yang terjatuh di samping. "Tanganmu diobati saja." Ujarnya sembari berbalik pergi begitu saja meninggalkan Annita yang mengangguk pelan. Annita pun menyusul, melihat koridor kantor yang sudah mulai sepi. Ia mendudukan diri di mejanya dan berusaha membuka buku catatan di meja. Ia membaca beberapa rangkuman di sana mengenai pekerjaannya. Tentang cara mengatur skedule Alfi dan beberapa hal yang Alfi tidak suka. Termasuk makanan dan minuman yang pantang bosnya itu sentuh. Annita mengernyitkan dahinya saat membaca salah satu tulisan berisi minuman yang dihindari sang bos. Salah satunya adalah kopi yang membuat Annita langsung berdiri dan berlari masuk ke dalam ruangan Alfi yang membuat laki-laki itu tersentak kaget. "Ah, tadi kan udah tumpah." Gumamnya sendiri baru sadar membuat Alfi menaiakan alisnya bingung. "Otak kau yang tumpah? Berani masuk tanpa ketuk pintu dulu." Annita menganggukan kepala kemudian meminta maaf, "saya kira kopinya masih ada." "Terus?" "Katanya kopi adalah salah satu minuman yang bapak hindari. Tapi, kenapa malah tadi minta dibuatkan kopi?" Alfi menghela samar, kembali fokus pada layar laptop yang menyala. "Iseng aja." Balasnya santai tanpa melihat ekspresi heran Annita di depannya. "Kalau gak ada yang mau kau katakan lagi. Bisa keluar dari ruangan saya?" "I-ya, pak ... baik."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD