Sulit Dimengerti

2069 Words
"Setiap orang diberi masalah sesuai dengan kemampuannya." –– Utsman Bin Affan. *** Annita masih terjaga malam itu. Sama sekali tidak bisa tidur setelah beberapa kali mencoba memejamkan matanya erat. Namun, perkataannya pada Alfi saat di depan Restoran Jepang tadi masih melekat dalam ingatannya. Ia merasa terlalu emosi tadi. Sampai hilang kendali dan mengatakan kalimat yang mungkin akan menyakiti orang yang mendengar –– especially Alfi. Annita tipe manusia yang enggak enakan. Kalau habis mengatakan sesuatu yang menyakiti orang lain, ia akan kepikiran sampai susah tidur. Walaupun ia tahu, ia tidak salah. Tapi, selama ini Annita memang tidak tenang kalau sampai ada orang yang terluka karena omongannya. Sebaik-baik seorang muslim adalah yang bisa menjaga lisannya. Bagaimana kalau nanti laki-laki itu makin tidak menyukainya. Bukan menyukai dalam hal seperti itu, tapi pandangan Alfi terhadapnya. First impressionnya pun –– begitu buruk pada lelaki yang menjabat sebagai CEO Fianhira Group itu. Kalau dipikir-pikir tidak kesan baik yang Annita lakukan. Hanya sesuatu yang membuat amarah seorang Alfi muncul ke permukaan. Emang dasarnya Alfi yang pemarah atau ia sendiri yang memang magnetnya konflik. Setiap beberapa menit mengobrol dengan Alfi, pasti ada saja hal yang akan terjadi. Annita beranjak duduk di atas kasur satu badannya. Ia mengusap wajahnya pelan mengusir ngantuk yang tersisa. Daripada terjebak dengan pikiran seputar seorang Alfi Alhusyan. Lebih baik ia hamparkan saja sajadahnya dan menunaikan sholat tahajud lebih awal dari biasanya. Perempuan itu sudah melangkah ke luar dari kamar yang dimana ia tidur bersama kakaknya di sana. Tante dan omnya di kamar sebelah yang terhalang ruang tamu. Annita bergegas mengambil wudhu, tersentak kecil karena suhu air yang begitu dingin sampai ia menggertakan gigi. Setelah selesai mengambil wudhu, Annita mengambil mukenah yang digantung di belakang pintu dan tidak sengaja menjatuhkan hunger ke lantai sampai membuat kakaknya terbangun. "Ck, kau ngapain sih malam-malam begini? Gak bisa lihat orang istirahat apa?" Annita merapalkan kata maaf sembari melenggak ke luar, sholat saja di ruang tamu. Ia agak tersentak kaget saat pintu kamar di belakangnya di banting kuat dan dikunci membuat Annita menghela napas samar. Karena malam ini ia akan tidur di ruang tamu tanpa bantal dan juga kasur. Hanya beralaskan tikar tipis dingin di sana. Annita berusaha menarik kedua sudut bibirnya. Menguatkan diri sendiri dengan berulang kali menarik kembali bulir hangat yang sudah hampir meluap keluar. Kelemahan Annita adalah sulit mengendalikan air matanya. Apalagi kalau sudah berbicara mengenai perlakukan kakak kandungnya terhadapnya. Beberapa menit setelah sholat, Annita duduk memeluk lutut dengan memandangi jam dinding di depannya yang tertera jam 03.00. Tidak ada mushaf di ruang tamu jadi ia tidak bisa mengaji sekarang. Jadinya hanya berdzikir seadanya dengan helaan napasnya yang makin dalam. Perlahan ia merasa matanya memberat. Menguap kecil dengan mengerjap-ngerjapkan mata yang sudah perih ingin istirahat. Ia pun beranjak berdiri mematikan lampu ruang tamu dan tiduran di atas tikar tipis itu. Tidur hanya beralaskan lengan. Entah sudah berapa lama ia tertidur di ruang tamu. Sampai sebuah suara membangunkannya membuat Annita bergerak pelan dan tersentak ada omnya di sana berdiri agak jauh dengan baju kokonya. Bersiap untuk berangkat ke masjid, menunaikan sholat shubuh. "Kamu tidur di sini semalaman?" Tanya Omnya sudah menyalakan lampu ruang tamu, Annita menggeleng pelan. "Ketiduran om, pas selesai sholat." Elaknya dengan tersenyum samar, tidak ingin menceritakan apa yang kakaknya lakukan semalam. "Rahmah pasti ngunci kamar lagi ya, sampai kamu gak bisa masuk?" Annita terdiam dengan menggigit bibir bawahnya. "Nanti om akan coba tegur dia. Biar gak suka seenaknya sama kamu." Annita langsung melebarkan mata kaget. "Jangan om, a-ku beneran gakpapa." Pria di depannya itu menghela napas samar lalu mengangguk saja. "Yasudah, om ke masjid dulu. Kamu juga sholat sana, sekalian bangunin tante dan kakakmu ya." "Iya, om." Annita merasa bersyukur karena masih ada omnya yang selalu mendukung apapun yang ia lakukan. Dan menjadi penengah kalau Annita sedang dimarahi oleh tantenya. Senggaknya, Annita gak merasa sendiri kini. ** Annita masih berdiri di halte menunggu angkot bersama beberapa murid SMA di sampingnya. Beberapa dari mereka malah menggunakan kesempatan untuk makan saat menunggu angkot. Sarapan dengan roti dua ribuan dengan mineral botol yang diisi dalam botol tumblr. Ada juga yang sudah membuka nasi uduk dan duduk bersilah di kursi sana. Berbagi dengan teman di sebelahnya, sampai rebutan kerupuk. Annita tersenyum memandangi itu. Hal sederhana seperti itu nyatanya cukup membuatnya terhibur dengan masalahnya. Entah itu masalah di kantor atau pun masalah di rumah. Tadi pagi sebelum berangkat kerja, tantenya kembali mengamuk dan membentak sang suami. Yang membuat Annita merasa kasihan pada omnya itu. Tantenya marah besar karena uang belanjanya kurang, padahal minggu ini dia harus setor arisan yang sama sekali tidak diketahui oleh siapapun termasuk suaminya. Kemarahan itu jadi melebar ke Annita sampai tadi hampir mengusir ia dari rumah. Katanya kalau Annnita cuma jadi beban di keluarga mereka. Tidak ada sama sekali kontribusinya dalam pembayaran kost bulanan atau pun membeli kebutuhan belanja bulanan. Bukannya Annita tidak mau. Tapi, memang belum bisa. Ia belum punya gaji. Tapi, tantenya selalu begitu. Mengungkit-ngungkit kesalahan Annita dari lama sampai sekarang. Dan membuat beberapa tetangga sampai mengintip ke dalam rumah. Rasanya Annita benar-benar diuji kesabarannya. Yang membuat ia makin merasa terpojokan adalah kakaknya sendiri malah ikut menyudutkan. Dan menyinggung soal ia yang resign dari kerjaan lamanya hanya karena masalah pakaian yang sepele. Ya, sepele di mata manusia tapi tidak di hadapan Allah. "Kak, gak ikut naik?" Annita tersadar dari lamunannya saat bahunya ditepuk pelan oleh siswi SMA di sampingnya yang kini sudah berdiri. "Itu angkotnya udah datang." Annita langsung buru-buru masuk bersama murid cewek tadi dan mengucapkan terima kasih padanya. Keduanya duduk di kursi pojok, beberapa saat kemudian supir angkot langsung melajukan angkot pergi. "Kakak tinggal di kompleks atas ya?" Tanya anak cewek itu menoleh pada Anmita yang sontak menganggukan kepala pelan. "Kalau saya di samping turunan jalan itu, kak. Yang rumah depannya ada toko kecil itu." Jelasnya sembari tersenyum. "Oh yang jualan bensin juga kan?" "Benar, kak." Annita menganggukan kepala mengerti, "kakak yang namanya Kak Annita, bukan?" Tanyanya lagi membuat Annita tersentak kecil. "Iya, kamu tau dari mana nama saya?" Siswi SMA itu terkekeh pelan dengan mata berbinar. "Kakak aku sering cerita soalnya. Kak Annita sering beli di toko." Annita mengernyitkan dahinya berusaha mengingat. Seorang laki-laki muncul dalam ingatannya, yang biasa pake kaos oblong dengan celana levis di atas lutut. Setelah itu mereka mengakhiri obrolannya. Bukan karena tidak ada minat untuk bertanya lebih lanjut mengenai nama anak itu dan juga dari mana kakaknya tahu nama Annita. Tapi, sekarang Annita sedang dalam mood yang sedang buruk. Lebih baik ia simpan tenaganya untuk kerja nanti. Setelah beberapa lama kemudian, angkot sampai di depan sebuah jalan. Dimana sudah ada building Fianhira Group di hadapannya. Annita pun, melangkah turun membayar ongkos angkot sembari berpamitan pada anak SMA tadi yang sekolahnya lebih jauh dari tempat kerja Annita. Perempuan yang memakai gamis abaya burgundy dengan pashmina hitam syar'i itu melangkah masuk ke dalam gerbang. Satpam yang sedang bersiap untuk kerja menyapanya ramah. "Assalamu alaikum, selamat pagi, pak." Sapa Annita sopan. "Selamat pagi, bu." Annita sebenarnya ingin mengoreksi, lebih baik dipanggil nama atau anak saja. Daripada sebutan ibu terkesan formal dan lagipula Annita tidak setua itu untuk dipanggil itu. Annita pun melangkah masuk ke dalam gedung. Di lobbi masih hening, hanya ada beberapa office boy di sana. Perempuan itu pun menunggu di kursi panjang di lobbi. Karena ia tidak bisa masuk karena belum ada Id card karyawan agar bisa masuk melewati kontrol akses di depannya. Ia mengembungkan pipinya merasa gugup duduk di sana sendirian. Apalagi beberapa karyawan yang berdatangan melirik ke arahnya. Terang-terangan menatapnya lekat dari ujung kepala sampai kaki membuat Annita seperti ditelanjangi. Annita mendongak pelan saat melihat seseorang berdiri di depannya kini. "Mau sekalian masuk sama saya?" Tanya perempuan di depannya, ekspresinya datar dengan tatapannya yang terkesan dingin. "Boleh?" Tanya Annita meragu. "Hm," balas perempuan itu seadanya. Annita langsung mengekori dengan memegang ranselnya sembari mengekori seniornya itu. Setelah menempelkan Id card pada akses kontrol karyawan. Keduanya pun berbelok ke koridor dan masuk ke dalam lift. Kemudian menekan angka 20. "Terima kasih ya, bu." Kata Annita tersenyum sopan membuat perempuan yang seumuran dengan kakaknya itu mengangguk saja. Tidak ada lagi obrolan dari keduanya. Annita benar-benar canggung karena pertama kali mengobrol dengan seniornya itu. Kalau tidak salah namanya Megan. Karena Aditya pernah memperkenalkan beberapa karyawan yang satu divisi dengannya. Tidak lama kemudian pintu lift terbuka membuat Annita kembali mengucap terima kasih dan berpamitan untuk ke ruangan Aditya. Membereskan berkas-berkas di sana dan juga merapikan apa saja yang nanti terlihat tidak rapi. Annita melongokan kepala melihat ada meja di samping ruangan Aditya. Sudah disediakan meja dan kursi dengan komputer dan juga beberapa kebutuhan kantor lainnya. Di sekelilingnya terhalang kaca yang entah kapan di renovasi secepat ini. Kekuatan uang memang sehebat ini. Annita melenggak masuk ke dalamn ruangan Aditya, membuang beberapa bungkus permen di atas meja bosnya. Satu hal yang baru ia tahu, kalau Aditya menyukai sesuatu yang manis. Buktinya ada permen s**u cokelat di sana yang bungkusannya hampir segenggam. Dan kini sudah dibuang Annita ke dalam tempat sampah stainless di samping meja. "Udah datang?" Annita terperanjat kecil mendengar suara Aditya yang tahu-tahu di belakangnya kini membuat perempuan itu buru-buru menarik diri agak menjauh. "Kenapa kaget begitu, emangnya saya setan?" Annita menggeleng, "bapak datang-datang gak bawa salam. Siapa yang gak kaget?" Aditya jadi tertawa mendengar itu lalu mendudukan diri pada kursi kebesarannya. "Besok saya harus ke Osaka selama seminggu di sana." Annita terdiam mendengarkan. "Sebenarnya ini pekerjaan Alfi, tapi ternyata ada pekerjaan lain yang harus Alfi handle di sini. Dan saya yang berangkat langsung besok ke Osaka sendiri." Jelasnya dengan menempelkan punggungnya pada kursi. "Terus saya bagaimana, pak?" "Tentu saja kerja." "Kan saya gak tau pekerjaan saya nanti apa aja. Ada bapak aja saya masih bingung apalagi nanti kalau bapak gak ada?" Aditya tertawa kecil mendengar itu membuat Annita menghela napas sesaat. Bisa-bisanya tertawa saat serius begini. "Maaf ya, kau harus dipindah tugaskan bersama Alfi." Annita membelalak dengan berusaha menajamkan pendengarannya. "Apa maksudnya ya pak?" Ulang Annita masih setengah sadar. "Kalau dipikir-pikir, saya tidak terlalu butuh asisten. Saya kasih kau kartu nama saat itu karena saya mau mencarikan asisten untuk Alfi sebenarnya." Annita terdiam lama dengan meneguk ludah kasar. "Kebetulan saya besok udah gak di sini. Jadi, kau dipindah tugaskan menjadi sekretarisnya Alfi." "Bentar, pak. Kok kesannya saya dioper sana-sini ya, pak? Kalau emang saya gak dibutuhin di perusahaan ini. Saya bisa keluar kok, pak." Kata Annita dengan ekspresi serius. "Enggaklah, kan Alfi yang butuh. Dia juga sudah setuju kemarin." Kata Aditya dengan nada ringan tanpa melihat ekspresi kaget Annita di depannya. Padahal seingat Annita kemarin, sosok laki-laki bernama Alfi itu mengomelinya hanya karena masalah sepele. Dan sekarang malah menyetujui kalau Annita menjadi sekretarisnya. Sebenarnya Alfi ini bunglon atau apa? Kenapa berubah-ubah begini kepribadiannya. "Sana ke ruangannya Alfi, harus pendekatan dulu. Besok juga saya udah gak ada." Usir Aditya sembari menahan tawa melihat raut keruh perempuan di depannya yang jelas kaget karena perkataannya. "Gakpapa, kan? Kau setuju saja, kan?" "Saya gak ada hak buat nolak. Apalagi saya butuh pekerjaan ini, pak." Balasnya dengan kepala tertunduk pelan. "Beneran saya harus ke ruangannya Pak Alfi sekarang? Gak boleh besok aja?" Tanyanya memelas, takut juga karena tidak tahu bagaimana harus berekspresi di hadapan bos barunya yang kemarin sempat ia marahi itu. "Sudah, sana!" Annita menarik diri dengan menganggukan kepala sopan pada Aditya yang tersenyum saja. Perempuan yang memakai gamis abaya itu melangkah pelan ke arah ruangan Alfi dengan perasaan gugup dan juga takut. Sebenarnya ia tidak punya muka untuk berhadapan lagi dengan laki-laki itu. Ingin rasanya Annita kabur saja saat ini agar tidak menemui sang bos baru. "Ngapain di depan ruangan saya?" Annita kembali tersentak kaget, semenjak bekerja di Fianhira ia menjadi orang yang kagetan. Karena memang orang-orangnya entah muncul dari mana atau memang ia sendiri yang sedari tadi melamun. "Hm, anu ... saya katanya ja––" "Masuk." Belum selesai Annita mengatakan tujuannya ke ruangan laki-laki jangkung itu. Alfi sudah menyuruhnya masuk ke ruangan dan membuka pintu lebar saja. Agar Annita bisa merasa nyaman –– mungkin. "Katanya saya jadi sekretarisnya bapak ya?" "Mau asisten atau pun sekretaris itu gak penting. Yang terpenting kamu mau bekerja dengan saya?" Annita terdiam lama, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. "Kenapa harus saya, pak? Padahal saya sama sekali gak memadai buat bekerja di perusahaan sebesar ini. Apalagi saya hanya tamatan SMA." Alfi mendengus samar jadi memikirkan pertanyaan itu. "Entahlah, saya juga gak tau." "Bapak beneran niat jadiin saya sekretaris?" "Hm, seperti begitu." Untuk kesekian kalinya, Annita harus punya stok sabar ekstra untuk menghadapi makhluk hidup bernama Alfi itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD