Happy Reading
"Kamu pikir aku hamil?" tanya Delon mulai kesal. Setiap kali bertemu dengan Okta dia selalu dibuat kesal oleh sahabatnya ini.
"Tentu aja nggak, tapi kalau kamu punya rahim seperti wanita bisa saja itu terjadi. Haha!" Dokter Okta tertawa lagi dengan puas.
"Nggak lucu!" Delon turun dari brankar dan hendak pergi.
"Tapi aku serius. Kalau dari gejala yang kamu alami, sepertinya kamu harus konsultasi ke dokter kandungan. Kenapa kamu nggak bawa Hannah ke sini? Dia juga harus diperiksa sama dokter."
Langkah kaki Delon terhenti, sudah pasti bukan Hannah karena mereka melakukannya dengan aman.
Delon tidak menggubris ucapan Okta dan pergi dari sana.
"Hei, aku belum selesai ngomong! Jangan lupa periksakan Hannah juga!" teriak Okta lagi sebelum Delon menutup pintu ruangannya.
Delon mengusap wajahnya dengan kasar, memikirkan ucapan Okta tadi.
"Apa bener dia hamil? Nggak mungkin, kan? Kita cuma sekali—" Delon berhenti berbicara, kemudian tertawa seakan menertawakan dirinya sendiri. "Sial! Ini nggak bisa dibiarkan!" ujarnya, lalu Delon menyalakan mobilnya dan pergi dari pelataran rumah sakit. Delon ingat pada malam bersama Sella, dia tidak memakai pengaman.
"Astaga. Gimana aku bisa ceroboh?" gumamnya pelan, padahal malam itu Delon tidak terlalu mabuk karena toleransi kadar alkoholnya cukup tinggi. Hanya minum empat gelas tidak akan membuat Delon menjadi mabuk, tapi kenapa dia tidak bisa menahan diri untuk memakai pengaman? Padahal di dalam dompetnya masih tersisa dua buah pada malam itu.
"Bodoh!" Delon menghentakkan kepalanya pada sandaran kursi, menunggu bersama mobil yang lain sehingga lampu kembali berubah hijau.
***
Setiap pagi Delon merasakan morning sickness yang sangat parah. Dia masih berpikir apakah benar ini terjadi karena seseorang sedang hamil? Sella?
Delon berpikir sambil menatap dirinya di cermin kamar mandi. Matanya merah, wajahnya tampak kesal teramat sangat. Akibat dari morning sickness ini membuat mood-nya menurun drastis selama beberapa hari.
"Aku haru cari tau. Apa memang dia sedang hamil?" gumam Delon.
Saat makan siang, Delon dengan sengaja pergi ke kantin perusahaan. Biasanya Sella berada di sana saat beristirahat.
"Tumben Bapak ke kantin? Biasanya Bapak pergi ke restoran atau kafe?" tanya Mia, sekretaris Delon yang mengikuti Delon dari belakang.
"Memangnya kenapa? Ini kantin perusahaan. Siapa saja bebas untuk datang termasuk aku!" decak kesal Delon seraya memberikan tatapan tajam kepada Mia.
"Maaf. Bukan apa-apa. Maafkan saya. Bapak bebas mau ke mana saja. Cuma, ini nggak biasanya Bapak ke kantin." Mia langsung menunduk dan merutuki ucapannya meski tidak salah sama sekali.
Delon mengedarkan pandangannya ke segala arah dan melihat Sella di sebuah meja sedang tertawa riang.
"Ck, dia enak-enakan makan di sini dan ketawa. Apa dia benar hamil?" gumam Delon pelan.
"Iya, Pak? Bapak tanya saya?" tanya Mia karena mendengar gumaman Delon tadi. Delon menjadi salah tingkah.
"Saya nggak bilang apa-apa." Delon pergi dari hadapan Mia dan mencari sebuah meja kosong yang ada di sana, dengan cepat Mia mendekat ke meja Delon dan bertanya laki-laki itu ingin memesan apa untuk makan siangnya. Sementara Mia pergi, Delon memperhatikan Sella yang makan dengan begitu nikmatnya. Tidak ada tanda-tanda seperti wanita yang sedang hamil. Sampai makanan datang dan jam istirahat selesai, Delon masih memperhatikan Sella, hanya untuk meyakinkan jika wanita itu benar-benar sedang hamil atau tidak.
Selama beberapa hari Delon menguntit Sella karena penasaran, sampai akhirnya dia tidak tahan dan menyuruh seseorang untuk memanggil Sella ke dalam ruangannya.
"Loh, kok tumben kamu dipanggil bos?" tanya Nadia heran setelah seseorang yang diutus Delon pergi dari mejanya. Sella juga bingung dan hanya menggelengkan kepala, tetapi di dalam hati dia sedikit takut juga jika kejadian di malam itu akan menjadi masalah sekarang. Akan tetapi, dia juga tidak perlu takut, toh dia tidak membuat masalah selain malam itu.
"Nggak tau, aku pergi dulu, ya."
Sella pergi ke lantai di mana ruangan Delon berada. Ketukan pelan pada pintu ruangan Delon sehingga terdengar suara laki-laki itu dari dalam.
"Permisi, Pak. Bapak panggil saya?" tanya Sella setelah membuka pintu.
Delon terlihat sedang duduk dengan kedua tangan bertautan di bawah dagu, tatapan matanya membuat Sella merinding, seketika kulitnya menjadi dingin seperti ada terkena embusan angin dingin di musim salju.
Sella masuk ke ruangan itu dan berdiri di depan Delon.
"Ada apa Bapak panggil saya?" tanya Sella sekali lagi karena Delon tidak berbicara sama sekali.
Bukannya menjawab, Delon malah berdiri dan memutari tubuh Sella.
"Ada apa, sih? Aneh banget deh," batin Sella.
Delon memperhatikan Sella dari atas hingga ke bawah, tapi tidak ada tanda-tanda yang aneh di tubuh wanita itu, hanya pipinya yang sedikit chuby dari terakhir dia bertemu.
"Apa ada yang aneh sama kamu?"
Sella bingung dengan pertanyaan yang Delon berikan.
"Aneh? Apanya yang aneh?"
"Mungkin kamu ada masalah?"
Pertanyaan itu semakin membuat Sella menjadi bingung.
"Masalah apa sih, Pak? Bapak kali yang punya masalah. Saya nggak ada masalah sama sekali," tutur Sella sedikit sewot.
"Kamu enak makan? Nggak mual?" Delon masih memutari tubuh Sella.
"Sepenting itu Bapak panggil saya dan nanyain saya enak makan dan nggak mual?"
Delon menjadi kesal, apa salahnya jika Sella menjawab pertanyaannya. Laki-laki itu memegangi kedua bahu Sella dan menatapnya, Sella terkejut bukan main karena perlakuan Delon, dan tatapannya seperti malam itu.
"Ba-Bapak mau ngapain?" Sella menjadi takut, berpikir jika Delon adalah laki-laki b******k yang akan menjajahnya lagi setelah malam itu. "Pak, jangan mentang-mentang kita sudah pernah 'anu', Bapak jadi seenaknya ya sama saya. Saya bukan wanita begituan yang mau diajak indehoy orang lain. Saya—"
"Apa kamu hamil?" Pertanyaan Delon membuat Sella membulatkan kedua matanya.
Sella langsung menggelengkan kepala. "Hamil? Nggak. Aku nggak lagi hamil!"
Delon menatap Sella, tidak mungkin 'kan jika wanita ini tidak tahu jika dirinya sedang hamil?
Akan tetapi, Sella kemudian berpikir. Dia memang belum mendapatkan tamu bulanan sampai sekarang.
"Pak, yang bener aja. Nggak mungkin kan aku hamil? Masa satu kali tembakan aja bikin aku hamil? Memang bapak nggak tau harus pake pengaman kalau lagi main di luar?" tanya Sella kesal. Baru dia ingat kejadian di malam itu, rahimnya hangat setelah mendapat tembakan dari Delon. "Ah, Bapak ini. Gimana ceritanya Bapak nggak pake pengaman? Bisa gawat kalau aku hamil, kan?"
Delon melepaskan kedua bahu Sella dan mengusap wajahnya kasar.
"Itu karena kamu. Saya nggak sadar karena kamu yang narik saya nggak sabaran."
"Eh, saya yang narik Bapak? Nggak tau. Bapak nggak inget kalau malam itu Bapak yang cium saya dan dorong saya ke kasur?" ujar Sella mengingatkan Delon.
Sella menunggu Delon berbicara, tapi pria itu masih diam dan menatap lantai.
"Gimana kalau aku hamil? Gimana ini?" Sella menjadi bingung. Bagaimana jadinya jika dia memang hamil mengingat tamu bulanan belum dia dapatkan? Apa yang akan ayah ibunya katakan nanti dia hamil di luar nikah?
"Ah, aku pasti akan dipecat dari kartu keluarga! Ini karena Bapak!" tunjuk Sella kepada Delon.
"Kok saya? Kamu yang godain saya."
Sella ingat, malam itu memang dia yang meminta ditemani oleh Delon, tapi tidak sampai tidur juga, kan?
"Ya, ini karena Bapak. Kalau Bapak nggak cium saya, mana mungkin saya ikut sama Bapak ke hotel malam itu."
Delon yang disalahkan oleh Sella menjadi tidak terima.
"Kamu yang narik saya malam itu, kamu lupa kalau malam itu kamu yang mohon sama saya buat lanjutin? Kalau nggak dilanjutin nggak akan seperti ini!"
"Iya, itu ...." Sella menjadi bingung. Siapa yang mau disalahkan sekarang ini?
"Kalau kamu nggak mau anak itu, kamu harus gugurkan dia!"
"Hah? Gugurkan? Tapi—"
"Delon. Apa yang kamu maksud gugurkan!" Seorang wanita menutup pintu dan mendekat dengan mata memancarkan amarah, memotong ucapan Sella yang belum selesai.
Bersambung.