Bab 4. Hamil?

1343 Words
Happy Reading Sella terkejut saat melihat atasannya berada di sana. "Gila. Apa yang dia lakuin di sini?" batin Sella. Dia melirik ke kanan dan ke kiri untungnya tidak ada orang lain di sana. "Apa Anda mencari saya?" Katakan saja jika Sella bodoh, tapi berpura-pura tidak mengenali pria ini adalah jalan terbaik untuk sekarang. Delon tertawa kecil dan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Jangan berpura-pura bodoh. Kamu tahu apa yang aku maksud." Tubuh Sella menegang, tertawa kecil dan tetap saja tidak mengakui. "Maaf, tapi apakah kita pernah bertemu sebelumnya?" Delon rasanya ingin menarik tubuh Shela ke dalam toilet. "Apakah aku harus membuatmu mengingatnya?" Delon benar-benar menarik tangan Sella dan hampir saja membawa wanita itu kembali masuk ke dalam toilet, tapi Sella segera menarik tangannya dengan cepat. "Apa yang Anda lakukan? Tidak baik seorang pria berada di depan toilet wanita." "Oh, jadi kamu ingin kita kembali lagi ke hotel untuk melakukannya biar kamu bisa ingat siapa aku?" Delon tertawa miring, apalagi saat Sella tersentak dan membulatkan matanya. "Tidak. Maksudku ... maaf, tapi aku tidak ingat jika kita pernah bertemu sebelumnya. Apa kita pernah ketemu?" Sella masih berpura-pura bodoh. "Bar Venus, hari Rabu di minggu lalu. Memakai kemeja putih, celana jeans, sepatu pantofel putih murahan, dan apa kau harus menyebutkan merk dan warna pakaian dalammu?" Sella segera membekap mulut Delon dengan telapak tangannya. "Tidak perlu. Itu ... aku sudah ingat. Sedikit. Mungkin aku sangat mabuk sampai aku nggak ingat. Ah, jadi malam itu Bapak yang ... kasih aku cek itu?" Sella mengeluarkan sesuatu dari dompetnya dan menyerahkan cek yang Delon berikan kepadanya malam itu. "Maaf, tapi aku nggak butuh ini? Simpan saja buat Bapak." Delon terheran melihat cek yang ada di tangannya. 'Wanita ini tidak menukarnya dengan uang?' Sejenak Delon masih bingung, padahal biasanya wanita lain akan cepat mencairkan cek tersebut untuk bersenang-senang. "Ini untuk bayaranmu malam itu." "Tapi aku bukan sedang menjual keperawananku. Aku melakukannya dengan sukarela. Dan terima kasih, karena Bapak sudah kasih aku pengalaman pertama yang menyenangkan. Tadinya, aku pikir aku yang harus membayar. Tapi aku ketiduran sampai waktu pagi aku nggak lihat Bapak di kamar. Maaf." Ucapan Sella membuat kening Delon mengerut. "Apakah dia gila?" "Apa kamu pikir aku gigolo?" decak kesal Delon atas pemikiran Sella. Wanita itu hanya tersenyum meringis, sedangkan Delon mengeratkan rahangnya atas pemikiran Sella yang kurang ajar. "Tentu aja sekarang nggak begitu. Bapak bos ku. Sudah ya, aku mau balik lagi kerja. Kayaknya ini udah kelamaan. Tolong, jangan bahas soal itu lagi di kemudian hari. Apa lagi di depan orang lain," ucap Sella, kemudian sebelum Delon membuka mulutnya dia sudah pergi menjauh. Delon berdecak kesal dan meremas cek yang ada di tangannya, menghempaskan ya ke lantai dan menginjaknya dengan sol sepatunya yang mahal. "Dasar wanita kurang ajar! Apa-apaan dia?" Delon ingin mengejar Sella, tapi seseorang memanggilnya dari belakang. "Pak Delon, rupanya Bapak di sini. Pak Ketua menunggu Bapak di ruangannya," ucap pria yang usianya tidak jauh dari Delon. Delon mengurungkan niatnya untuk mencari Sella dan pergi menuju ke ruangan Gazelle. "Hah, gila banget. Kenapa juga orang itu atasanku sendiri?" gumam Sella sambil duduk di kursinya. Sella menarik tumpukkan berkas dari atas meja dan mulai membukanya. "Aku harap jangan sampai ada masalah nanti. Bisa mati kalau sampai orang lain tau soal ini!" Nadia mendengar gumaman tidak jelas dari Sella. "Ada apa sih, Sel? Kok dari tadi kayak resah gitu. Kamu ada masalah sama Dika?" tanya Nadia yang belum mengetahui hubungan Sella dan Dika telah berakhir. "Eh, nggak. Nggak apa-apa. Aku cuma lagi mikir ibu aja di rumah. Udah lama nggak pulang," elak Sella. "Oh, kirain apa. Nanti malam hangout yuk, pengen beli tas nih," ajak Nadia. "Yuk, kebetulan lagi bete di apartemen." Delon keluar dari ruangan ayahnya, kemudian pergi ke ruangannya sendiri. Duduk di kursi kebesarannya dan menyandarkan diri, menatap jendela dengan langit cerah di luaran sana. "Sella, ya?" gumam Delon sambil tersenyum dan memutar pulpen di tangannya. "Dunia memang sempit." *** Beberapa Minggu telah berlalu, Sella dan Delon, meski bekerja di tempat yang sama, tapi mereka tidak saling bertegur sapa sesuai dengan permintaan Sella. Sella bisa menghela napas lega karena Delon tidak mengganggunya, begitu juga dengan Delon yang sempat mengira akan mendapatkan gangguan atau tuntutan dari Sella atas kejadian mereka waktu itu. "Sayang!" seru Hannah masuk ke ruangan Delon tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Delon yang sedang sibuk bekerja menolehkan kepala dan tersenyum senang. "Ayo juga makan siang di luar," ajak Hannah dan segera diangguki oleh Delon. Di restoran, mereka telah memesan sebuah ruangan VVIP khusus untuk mereka berdua. Hannah senang karena Delon selalu perhatian kepadanya. "Kita jadi 'kan, fitting baju pengantin sore ini?" tanya Hannah antusias. Delon hampir lupa andai Hannah tidak mengatakannya. "Jangan bilang kamu lupa kalau hari ini kita akan fitting baju," rajuk Hannah sebal sambil mengerucutkan bibirnya. Delon tertawa malu. "Maaf, aku memang lupa. Banyak banget kerjaan yang harus diselesaikan sebelum hari pernikahan kita, Sayang." Delon membujuk Hannah. Akhirnya Hannah mengangguk dan mengerti posisi Delon yang sangat penting di perusahaan. "Iya, aku taum sekarang kamu sibuk banget sampai aku sendiri nggak bisa bebas hubungi kamu, apalagi temuin kamu." Hannah merajuk lagi. "Cuma sebentar lagi, Sayang. Lagian Minggu depan kita akan menikah, kamu bebas mau ganggu aku kapanpun kamu mau." Senyum Delon menggoda calon istrinya itu. "Aku nggak sabar, Delon. Aku nggak sabar nunggu minggu depan." "Aku juga. Ayo kita makan." Baru saja Delon menyuapkan satu sendok makanan ke dalam mulutnya, tenggorokannya seakan menolak, perutnya bergejolak tidak nyaman. Delon menutup mulutnya yang hampir memuntahkan makanan itu. Susah payah dia menelannya, tapi makanan tersebut kembali lagi ke rongga mulutnya. "Kamu kenapa? Apa kamu sakit?" tanya Hannah mendekat dan melihat mata Delon yang berair. Delon hanya menggelengkan kepala, selanjutnya berlari ke toilet yang ada di ruangan itu. Semua yang ada di perutnya dia keluarkan lagi dengan rasa yang menyakitkan. "Huwekk!" Delon juga terbatuk, mengeluarkan cairan bening yang terasa pahit. Hannah mengikuti Delon dan memijat belakang lehernya. "Sayang, kamu kenapa?" Delon membasuh wajahnya dan mengambil sapu tangan. "Aku nggak apa-apa. Mungkin karena semalam telat tidur," ucap Delon setelah berpikir beberapa saat lamanya. "Ya ampun. Kenapa juga kamu harus kerja sampai larut. Ayo kita ke rumah sakit!" Delon menggelengkan kepala. "Nggak perlu, aku cuma butuh istirahat aja. Cepat selesaikan makan kamu, setelah ini aku akan antar kamu pulang." "Nggak. Aku khawatir sama kamu. Ayo kita pergi ke rumah sakit sekarang." Hannah memaksa, Delon tidak memiliki pilihan lain dan menurut kepada calon istrinya. Sampai di rumah sakit, Hannah menggandeng tangan Delon dan berjalan bersama. Namun, saat mereka sudah dekat di ruangan dokter, bunyi ponsel Hannah terdengar nyaring. "Hannah, apa kamu bisa pulang sekarang?" Suara ibunya terdengar cemas. "Aku sedang ada di rumah sakit, Ma." "Pulang sekarang juga! Ini penting." Hannah menutup panggilan telepon itu dan menatap Delon. "Ada apa?" "Mama suruh aku pulang. Katanya ada yang penting." "Lebih baik kamu pulang aja." "Tapi kamu—" "Aku nggak apa-apa," potong Delon sambil menepuk punggung tangan Hannah yang melingkar di lengannya. Setelah Delon meyakinkan Hannah, baruah wanita itu pulang sendirian. Delon pergi ke ruangan dokter disambut dengan kerutan di kening pria muda berseragam putih di ruangan itu. "Hei, calon pengantin rupanya. Ada apa? Apa kamu sedang demam mendekati hari pernikahan kalian?" Dokter tampan itu tertawa mengejek. "Diam kamu! Periksa aku," perintah Delon. "Oke, baiklah. Sini, naik ke brankar. Aku akan periksa kamu." Dokter muda itu mengambil stetoskop dan mulai memeriksa Delon, tapi tidak ada yang salah dengan pria itu. Suhu tubuhnya normal dan Delon tidak tampak sakit sama sekali. "Apa keluhan kamu?" tanya Dokter Okta. Dokter Okta merupakan sahabat Delon semenjak bangku SMA. "Aku mual dan muntah saat makan tadi. Aku pikir aku masuk angin. Cepat beri aku obat," perintah Delon dengan tidak sabar. Alih-alih menuruti permintaan Delon, Dokter Okta tertawa sangat keras. "Apa ada yang lucu?" Delon menatap tidak suka Dokter Okta. "Ah, nggak juga. Sejak kapan kamu mual muntah. Apa ini pertama kalinya?" "Nggak, dua hari yang lalu aku juga muntah waktu pagi hari." "Kamu salah kalau periksa ke dokter umum. Harusnya kamu periksa ke bagian obgyn." "Obgyn? Kamu pikir aku hamil?" tanya Delon. Dokter Okta tidak menjawab, hanya mengangkat kedua bahunya memperlihatkan sikap tidak tahu. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD