SUMMER-07: SURAT CINTA PERTAMA

1965 Words
Besok paginya, usai mencuci sepatu yang habis dijajal Amet, Irgi menjemur sambil menggerutu. “Lho, itu sepatu siapa Bang?” tanya Anggara seraya membuka pintu mobilnya. “Punya Abanglah.” “Kok mirip yang kemarin? Kamu bobol tabungan?” “Ngga Pa. Dibalikin sama yang malak.” “Anak soleh yang malak.” Ari terkekeh, begitupun Anggita. “Mana ada maling soleh? Ngarang aja nih Papa.” “Kok ngarang? Itu buktinya dia balikin sepatu kamu.” “Semaling-malingnya orang paling maksimal tuh maling tobat, Pa. Ga ada maling soleh. Kalau soleh ga bakal jadi maling.” Anggara ikutan ngekek mendengar omelan Irgi. Baru saja ia ingin menanggapi, suara dehaman permaisurinya menyapa pendengaran. Memang ga boleh dibiarin, karena bisa-bisa bapak dan putra sulungnya itu adu debat sampai siang. “Berangkat sana, nanti pada terlambat,” ujar Anggita. Ari dan keempat penerus Pranata menyalam takzim Anggara dan Anggita, kemudian menempati transportasi masing-masing yang akan membawa mereka ke tempat menuntut ilmu. Dua puluh lima menit menjelang pukul tujuh akhirnya motor Ari melewati gerbang SMA HighScope. Irgi turun lebih dulu di batas halaman muka dan koridor sekolah. Ia tak langsung beranjak masuk, namun menunggu Ari memarkir si Biru. Begitu berbelok di koridor terakhir menuju wilayah kelas dua, nampak sebagian besar siswa-siswi tengah menghabiskan waktu bersenda gurau di teras kelas masing-masing. SMA HighScope memiliki dua-belas ruang untuk para anak didik tahun kedua mereka, masing-masing tiga kelas untuk jurusan A1 atau Fisika, A2 atau Biologi, A3 atau Ekonomi, dan A4 atau Bahasa dan Budaya. Jadi, jika mereka tiba saat hampir semua murid juga sudah tiba, rasanya seolah seperti berjalan di tengah catwalk. Ari mah kalem aja, dia fokus melangkah ke kelasnya. Beda sama Irgi yang nyangkut di sana sini dulu. Itulah sebabnya Irgi selalu tiba di kelasnya tepat saat semua siswa mulai berbaris. Kebayang kan anak kayak gitu juara umum, berasa fitnah bukan? “GI!” pekik Rahmat. Irgi yang lagi ngetem di depan kelas 2 A3-1 hanya mendelik tanpa suara. “PR KIMIA!” Irgi ber-o-ria, lalu mengangguk. “Njul, gemblok gue,” ujarnya pada Panjul, salah satu kawan bicaranya. Panjul nurut aja, menekuk kedua lutut, menunggu Irgi naik ke punggungnya. Itu juga salah satu hal yang unik dan lucu tentang Irgi. Meski petakilan dan usilnya ga ketolongan, teman-temannya nyaris ga ada yang bisa nolak permintaan Irgi. Di ekstrakurikuler pun, jika terjadi perselisihan, saat Irgi mengatur kembali situasi, maka dengan mudahnya teman-temannya mengikuti. Kalau Ridwan bilang, Irgi tuh punya jiwa pemimpin, mudah mengarahkan orang lain dan bikin orang mau nurutin dia. Masalahnya, jiwa leader-nya itu sering ketutup sama jiwa tengilnya. “Lo ajalah Gi yang maju, diminta mulu sama si Adit nama dari Olahraga dan Seni,” ujar Panjul. “Dibilang gue ogah. Ga asik lagi nanti hidup gue. Kenapa ga lo aja sih?” “Gue kepingin jadi Ketua Divisi aja. Kalau Ketua OSIS ngga deh. Nilai gue anjlok, bisa dipecut gue sama bokap.” “Kenapa sih bokap kalian senang banget mecut anak?” “Emang lo ga pernah dipecut sama bokap lo Gi?” “Gue mah maen sama Bokap. Akustikan, main layangan, badminton, karambol, apaan aja. Belajar juga sama Bokap. Cekikikan apalagi! Malam mingguan aja motoran berdua, kadang bertiga sama Dirga. Boys time! Emangnya ada orang mecut sobatnya sendiri?” “Ga ada ya Gi? Kok gue ga kayak gitu ya sama bokap gue?” “Pedekatelah sama bokap lo. Lo juga ogah kali ngobrol sama beliau.” “Katrok bokap gue, Gi.” “Songong lo! Bokap sendiri dikatain!” Panjul terkekeh, disambung Irgi. Tiba di depan kelasnya, Irgi diturunkan. Rahmat langsung nyambar tas Irgi, isinya diobrak-abrik, nyari buku dengan tulisan KIMIA yang lebih mirip ceker ayam. Sementara itu, Panjul malah masuk ke kelas, ikutan pusing nyoba ngerjain pe-er Kimia. Bel masuk sekolah pun berbunyi. Para murid berhamburan ke luar kelas, auto berbaris. Panjul juga langsung sprint, harus buru-buru berhubung kelasnya sebelahan dengan ruang BK. Tidak seperti dua hari kemarin dimana Irgi berdiam diri di kelasnya karena rasa linu masih kerap dirasakan jika salah bermanuver, hari ini ia ikut berbaris kembali. Dan seperti biasanya, Irgi selalu menjadi penutup barisan, berdiri di posisi paling belakang. Kedua mata Irgi terus curi-curi pandang pada April. Meski April nampak tak acuh, sebenarnya ia pun memerhatikan Irgi. Bahkan sejak Irgi asik bersenda gurau dengan Panjul and the gang tadi. “PRIL!” pekik Rahmat. April menoleh, bibir ranumnya berujar “apa?” tanpa suara. “Kata Irgi ai lap yu!” Irgi shock, sementara seantero 2 A2-1 dan 2 A2-2 menyuarakan koor tawa. Sumpah! Irgi takut banget April murka dan ga mau lagi ngomong sama Irgi. “Cie-cie Irgi. Cie!” “Jawab dong Pril. Ai lap yu tuuu!” Emang dasar seangkatan gesrek semua. Tapi … tak disangka, April malah ikut tergelak seraya mencuri pandang ke Irgi. Kala itu masih bulan Juli, pas matahari lagi terik-teriknya. Bagi Irgi, melihat tawanya April, ibarat dikasih es limun warna warni di tengah hari. Adeeem luar biasa. Tanpa Irgi sadari, kedua sudut bibirnya pun turut terangkat. “Cie!” Makin jadi kan sorak sorai anak-anak Biologi. Bahkan yang bukan Biologi juga ikutan, biar tambah ramai. Melihat fenomena itu, Irgi cuma memanjatkan satu doa, ya Allah semoga April selalu baik-baik saja. Biasanya, kalau pas jam istirahat, habis ngabisin bekal, Irgi dan Ari langsung gabung sama anak-anak lain di kantin belakang. Kantin mereka itu bersisian dengan lapangan basket. Berhubung Irgi dan Ari selalu kenyang duluan, mereka bakal langsung main basket sampai kuyup. Tenang, Irgi pakai bedak MBK yang termasyur itu, ga bakal bb alias bau badan. Karena kondisi kaki Irgi belum memungkinkan untuk ditapaki, Ari aja deh tuh yang yang pergi. Irgi jalan ke ruang OSIS, sekalian modus ngecek April ada atau ngga di kelasnya. Meski sudah punya feeling kalau April ga akan ada di sana, entah kenapa Irgi selalu berharap untuk sekali itu, April tetap di kelasnya. Nyatanya, ya ga ada. Irgi lanjut melangkah ke ruang OSIS. Ruangan itu posisinya di paling pojok. Di samping kelas 2 A4-3. Maksud hati mau pinjam gitar untuk mengisi waktu, nyatanya Irgi malah dapat kejutan. Pintu ruangan itu terbuka lebar, tapi … ada dua orang anak manusia yang lagi berdebat di sana. Irgi datang dari sisi kiri, menghentikan langkah sebelum keduanya mendapatinya menguping. “Kalau lo ga suka harusnya lo tegas dong. Tolak dia! Ini malah jalan sama dia, malah diam aja pas dicengin sama yang lain. Apa jangan-jangan lo udah jadian sama dia? Gue dengar-dengar lo cabut pas Irgi jatuh? Ada yang lo sembunyiin dari gue?” Sunyi, tak ada tanggapan dari lawan bicara. “APRIL!” ‘Anjing!’ Irgi memajukan kruk kanannya. Namun tak jadi ia lanjutkan saat suara April menyapa pendengarannya kembali. “Emang apa sih urusannya sama lo, Bang?” “Apa?” “APA URUSANNYA SAMA LO?” Jeda sesaat. Tak ada suara kecuali dengkusan frustasi dari Adit. “Bokap lo nitipin lo ke gue!” Adit tak mau mengalah. “Emang lo siapa sampai ngerasa di atas angin cuma gara-gara Ayah bilang titip gue?” “Ap ….” “Apa hak lo ngelarang-larang gue?” potong April. “April!” “Kenapa sekarang lo peduli? Dulu-dulu ke mana aja lo? Selama gue di Paris apa pernah sekali aja lo ngubungin gue? Mau bilang telpon internasional mahal? Semua orang juga tau lo tajir, Bang! Nelpon gue sebulan sekali ga akan bikin lo jatuh miskin. Terus sekarang, lo tiba-tiba peduli?” “Gue bakal aduin ke bokap lo soal sikap lo ini!” “ADUIN! ADUIN SANA! NAJIS TAU GA COWOK KAYAK LO!” Adit pias. Baru kali ini April tak bisa mengontrol emosinya. Biasanya, April selalu bersikap manis, tak pernah melawannya barang sekalipun. “Pril, gue ….” “Please … jangan campurin urusan pribadi gue. Gue ga nyaman, Bang.” “Nyampurin?” “Iya! Ayah kita memang bersahabat. Tapi kita ngga Bang!” “April ….” “Lo ga pernah peduli sama gue. Sama sekali. Lo ngatain gue jelek, burik, bahkan waktu Bang Arsyad bilang kayaknya gue suka sama lo, lo najis-najisin gue kan?” “April, waktu itu ….” “Waktu itu kita masih SMP? Masih labil? Atau lo mau bilang kita masih terlalu muda untuk ngomong dengan sopan?” Adit kelu. “Kenapa sekarang lo sok baik banget sama gue? Kenapa sejak gue pulang lo bersikap seolah lo mau gue nganggap lo cowok terbaik yang gue kenal?” “Gue suka sama lo!” aku Adit. April tergelak. Lalu tersenyum sinis di akhir. “Lo cuma nganggap gue adik! Itu yang lo bilang ke gue kalau lo lupa,” sindir April kemudian. “April ….” “Gue belum jadian sama Irgi. Bahkan untuk membuka kesempatan pun gue tau itu sulit. Tapi gue juga ga mungkin menghindari Irgi. Dan bisa aja satu saat nanti, justru gue yang berharap dia suka sama gue di saat dia udah ga lagi peduli. So … terserah lo Bang. Kalau lo mau aduin ke Ayah, aduin aja. Ceritain semua asumsi lo. Gue udah malas ngadepin lo! Just go to hell!” April berbalik, tak menunggu Adit bertutur lagi. Begitu ia melewati pintu, ia tertegun sesaat saat mendapati Irgi yang bersandar di dinding. Langkah pun April lanjutkan, melewati Irgi tanpa kata. Irgi yang tak tau bagaimana harus menghibur gadisnya, ikut berbalik. Ia berjalan perlahan beberapa langkah di belakang April. Sedangkan Adit, termenung di dalam ruang OSIS. “Syut!” Irgi menoleh. Mendapati Sampurna yang lebih beken dipanggil Sammy, ketua kelas 2 A3-3, menaik turunkan alis padanya. Sammy duduk di kursi paling pinggir, bersisian dengan pintu. Irgi pun mendekat. “Kenapa?” tanya Sammy lagi seraya mendelik pada April. “Ga tau.” “Bukannya lo jadian sama April?” “Belum. Emang gosipnya gitu?” “Ngapain lo berani kirim-kirim salam kalau belum yakin bakal jadian sama doi?” “Oh, gitu ya?” “Bego lo Gi! Akademis doang lo pintar. Urusan cewek malah bengek lo!” Irgi tertawa. “Tapi si Adit mepet dia mulu ya?” tanya Sammy lagi. “Gitulah.” “Cewek lo tuh kalau istirahat ke kantin belakang terus. Pasti disamperin sama Adit. Biar mukanya udah ga nyaman tetap aja dipepet.” “Kok lo tau?” “Lah kan dia udah dari minggu kemarin di sini Gi? Gue aja bingung si Adit tau April.” “Orang tua mereka saling kenal gitulah.” “Terus, lo abis berantem sampe mendung gitu muka cewek lo?” “Belum jadian gue Sam.” “Terserahlah.” “Ga tau gue. Kayaknya abis ngomong sama Adit makanya mendung gitu. Papasan pas gue mau pinjam gitar ke ruang OSIS.” “Ga jadi pinjam dong?” “Kagaklah, udah mau masuk lagi juga.” Sammy ngangguk-ngangguk. “Bagi kertas, pinjam pulpen!” ujar Irgi kemudian. Sammy menyerahkan yang Irgi minta, lalu bergeser ke kursi di sampingnya, membiarkan Irgi duduk untuk menulis. “Gue balik, Sam. Thanks ya.” “Yoi, man!” Ternyata, April tak langsung masuk ke kelasnya. Ia duduk di bangku beton di samping kelasnya bersama beberapa siswi lainnya. Tanpa permisi, Irgi duduk di samping April. “Gi?” tegur April. “Bentar. Capek.” April terkekeh pelan. “Ga betah ya diam di kelas?” “Iya.” “Emang lo mau ngapain tadi?” “Pinjam gitar.” “Oh.” Irgi diam saja, sementara April kembali bersenda gurau dengan teman-temannya. Tangan Irgi bergerak perlahan, menyisipkan kertas yang sudah ditulisnya tadi di saku rok April. April menoleh, namun Irgi hanya tersenyum simpul. Di saat yang sama, bel tanda usainya waktu istirahat akhirnya berbunyi. Sebelum guru yang mengajar di jam itu datang, April menyelipkan surat Irgi di tengah-tengah buku, membaca diam-diam. Boo, boleh aku peduli sama kamu untuk waktu yang lama? So, saat kamu suka aku, aku pun masih suka kamu. Smile, boo. Kamu punya aku sekarang. Bukannya tersenyum, April justru meneteskan air matanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD