SUMMER-01: JAKARTA 1991

1927 Words
Irgi Haidar Pranata, putra pertama Anggara Wibawa Pranata, seorang Dokter Spesialis Penyakit Dalam yang namanya cukup termahsyur di tiga rumah sakit yang menjadi tempat mengabdinya di Jakarta. Namun, tentu saja siswa-siswi seantero SMA HighScope tidak ada yang tau perihal ini. Kalaupun tau, ya Irgi tetaplah Irgi. Irgi baru saja menjabat sebagai salah satu siswa kelas 2 A2-1 alias kelas 2 Biologi-1. Otaknya yang encer membuat dia menduduki posisi juara umum seangkatan. Faktanya, dia begitu selama dua semester di kelas satu. Membanggakan ya? Harusnya begitu. Masalahnya, kelakuan tengilnya, nyanyi-nyanyi sendiri, dan rajin tidur di kelas, justru selalu membuat para guru bertanya-tanya; ini anak dapat bocoran soal dari mana coba? Dan setelah ga pernah absen mencuci Toyota Corolla milik sang ayah setiap hari selama liburan sekolah, akhirnya Irgi berhasil mendapatkan sepasang sepatu idamannya – LA Gear. Mumpung hari Sabtu, harinya memakai sepatu bebas, waktunya bikin ngiri sohibnya yang lain. Tapi … itu cuma rencana indah. Sayangnya, Irgi lagi ketiban sial. Pas dia naik Metro Mini menuju sekolahnya tadi, tak berselang lama beberapa siswa dari STM tetangga ikutan naik ke angkutan umum yang sama. Jantung Irgi rasanya mencelos, gugup, keringat dingin segede-gede biji jagung. Padahal tadi Anggara sudah nawarin diri untuk mengantarnya. Perkara gengsi dilihatin cewek-cewek mulus di HighScope biar ga terkesan anak papi, malah bikin Irgi menolak mentah-mentah usulan itu. Ya sekarang dia harus nanggung akibatnya; jadi incaran para tukang palak STM sebelah. ‘Sial banget gue!’ Begitu jarak dengan jalan masuk ke sekolahnya tak lagi jauh, Irgi berdiri dari duduknya. Seraya berpegangan pada handle di atap bis kecil itu, ia melangkah ke dekat pintu. Tak disangka, seorang siswa STM tadi merangkulnya. Irgi kelu, mencoba menenangkan diri dan tak menyulut keributan. Teman anak itu mengetuk-ngetuk atap bis, memberi isyarat pada sang pengemudi agar menghentikan laju. “Turun!” perintah Bowo, si perangkul. “Gue turun di depan,” ujar Irgi. Memang belum waktunya ia turun dari bis. “Kalau gue bilang turun ya turun!” ketus Bowo. Irgi menoleh ke samping kanannya, mendapati teman-teman Bowo yang beraut geram. Demi kedamaian, Irgi pun menurut. Bowo membawanya ke sebuah gang, dan di sana juga ada beberapa teman-temannya. Tak pakai tedeng aling-aling, salah satu yang berparas paling sangar langsung mendekat, menghembuskan asap rokok ke wajah Irgi. Irgi spontan memalingkan wajah, merekatkan hidungnya ke bahu. ‘Tujuh orang. Ada yang bawa jangka sorong, penggaris besi. Anjing! Apes banget gue!’ “Perlu gue jelasin kenapa lo di bawa ke sini?” tanya Amet, kepala perkumpulan siswa-siswa sesat itu. Irgi lumayan tau tuh anak. Anak-anak STM Gaung Utama punya basecamp ga resmi di sebuah warung nasi tepat di seberang SMA HighScope. Asalkan kuping awas, mengenali siapa biang kerok dari geng rusuh itu tentulah bukan perkara sulit. “Lo keberatan ngasih tau gue?” Irgi balas bertanya. Agak nyolot sih sebenarnya. Bibirnya Amet naik sebelah. Anak buahnya yang megang jangka sorong datang mendekat. “Lo nantangin gue?” Ini sih ga akan ada yang jadi penjawab, dua-duanya bersaing jadi penanya. “Sekedar tau apa yang lo mau dari gue, apa itu termasuk tantangan?” sulut Irgi lagi. Tak mau kalah. “Pengen jadi bangke lo?” “Mau lo apa sih? Gue telat kalau begini urusannya.” Amet mendelik ke sepatu Irgi. “Lepas!” Irgi diam, tegap berdiri laksana paku bumi, enggan beranjak satu sentipun. Ini sepatu mahal, kekinian! Meski anak-anak HighScope ga tau kalau dia anaknya dr. Anggara yang termahsyur itu, seenggaknya dia bisa bikin cewek-cewek merhatiin dia dengan sepatu ini. Betul begitu? Gitulah nasibnya anak pintar, rada jarang dilirik cewek. Ngeri mungkin pas lagi bokinan malah diajak ngafalin anatomi katak. “Budeg lo? LEPAS GUE BILANG!” Pipi Irgi menggembung saat membuang udara berbau apak di gang sempit dan buntu itu. Ia bukannya tak mau ribut, ia sendiri seorang karateka bersabuk coklat. Masalahnya, Irgi tak bisa menerka kemampuan lawannya. Apakah mereka hanya pintar bersilat lidah atau memang ada yang berilmu. Belum lagi benda-benda keras yang mereka genggam. Memang ngeri berurusan sama anak-anak STM. Amet menyambar jangka sorong yang dipegang temannya, mengikis jarak dengan Irgi, mencengkeram kerah seragam Irgi seraya mengangkat jangka sorong itu seolah mau menancapkannya di kepala Irgi. Kedua mata Irgi tak kenal takut melawan tatapan Amet. Amet terkekeh sinis, “lepas! Atau gue ga jamin bakalan ada yang nemuin lo berdarah-darah di gang ini.” Malas berdebat, Irgi melepas sepatu barunya itu. Sepatu yang bahkan belum ada satu jam ia gunakan. Setelahnya, Amet menyuruh anak buahnya menggeledah tas dan tubuh Irgi, mengambil semua rupiah yang terselip. Begitu semua preman yang berkamuflase menjadi pelajar itu pergi, Irgi berjongkok, memunguti peralatan sekolahnya untuk ia simpan kembali ke dalam ransel hitam bermerk Eiger. Tak menunda waktu, ia pun segera meninggalkan gang gelap itu, tanpa alas kaki. Irgi itu bukan siswa teladan. Kebetulan aja dia berotak encer. Irgi memang tak pernah terlambat, namun ia selalu datang tepat saat semua kawannya sudah berbaris rapih dan antri untuk masuk kelas. Jadi, kalau tadi Irgi sempat bermusyawarah nihil mufakat dengan Amet lebih dulu, bisa dipastikan kini gerbang utama sekolah sudah dikunci dan Mang Ujang – sang satpam – entah di mana rimbanya. Irgi celingak-celinguk sambil mikir. Kalau ia kedapatan terlambat oleh guru piket atau guru BK, pasti dia bakal disuruh lari keliling lapangan sepuluh kali. Bukannya ga sanggup, malas aja gitu kan! ‘Nanti sore gue latihan juga, masa lari mulu? Lama-lama gue jadi pakar lari dari kenyataan hidup!’ Akhirnya, pilihannya adalah mengendap-ngendap ke bagian belakang sekolah. Irgi berdiri di depan dinding yang sudah ditandai teman-temannya dengan sebuah climbing piton. Kata mereka yang langganan telat tapi ga ketauan sih untuk memudahkan naik ke bagian atas dinding. Sementara di baliknya, ada meja kayu yang sepertinya sudah dari zaman Majapahit ada di sana. Meja itulah yang selalu menjadi pijakan andalan bagi mereka yang hobi cabut pas jam pelajaran. Irgi akhirnya nekat memanjat! Awalnya, ia melompat. Lalu, kaki kirinya ia pijakkan di climbing piton, sementara kaki kanannya ia ayunkan hingga menahan di batas dinding. Irgi melakukan reposisi, duduk di blok tipis itu, tak lupa berpegangan erat. Saat ia akan mengambil ancang-ancang melompat ke meja, ia baru sadar kalau mejanya tak ada di sana. ‘Mampus!’ Sumpah serapah sudah ia lantunkan tanpa jeda di benaknya. Ingatlah, ia baru saja dipalak! Tak beralas kaki! Telat pulak! Sekarang nyangsang di dinding belakang sekolah! ‘Abis bikin dosa apaan sih gue?’ “Buset! Tinggi bener lagi!” monolognya. “Tau gini gue balik aja tadi ga usah sekolah!” “Masih pagi udah mau cabut?” Irgi otomatis menoleh. Ada cewek cantik yang perhatian. Itu cewek, cantik luar biasa. Dan seingat Irgi, baru kali ini dia lihat parasnya. ‘Masa anak kelas satu? Ngga mungkin, ini kan wilayah kelas dua. Anak baru apa?’ Si cewek mendengkus, jengkel mungkin karena dicuekin. Ia mendekat ke drum tempat sampah yang berada tak jauh dari Irgi, menepuk-nepuk permukaan penghapus papan tulis yang penuh dengan debu kapur. Kesialan selanjutnya bagi Irgi, angin berhembus ke arahnya, membawa partikel-partikel kecil itu menyapa wajah. Irgi mengerjap-ngerjap, mencoba menahan rasa nyeri di matanya. “Argh!” Cewek itu mendongak. “Eh, kelilipan ya?” Irgi berdecak. “Lo kira-kira dong!” “Ye! Lo aja yang kurang kerjaan bertengger di situ. Ngapain sih lo?” “Nunggu tukang nasi uduk!” ketus Irgi. “Lo ga liat gue ga bisa turun? Apaan yang tertengger? Lo pikir gue burung?” Itu cewek malah ngekek. Irgi masih ngusap-ngusap matanya yang kelilipan, ‘perih man! Belum apa-apa ini cewek udah nyakitin gue aja!’ Cewek itu akhirnya menggunakan metode lain untuk membersihkan kedua penghapus. Setelahnya, ia melengos begitu saja. “Woy! Bantuin gue dulu!” pinta Irgi. “Ga mau! Nanti gue kena masalah juga!” “Dih! Ambilin kursi kek, apaan kek biar gue bisa turun.” “Lompat aja!” “Buset! Yang ada gue patah tulang!” “Cemen!” Harga diri Irgi tersentil. Apalagi melihat cewek itu tak lagi menggubrisnya dan benar-benar melangkah pergi. ‘Dih, belum kenalan udah main tinggal.’ Dengan tekad nan gigih, setelah napas yang dalam, Irgi pun mengambil ancang-ancang. ‘Tiga.’ ‘Dua.’ ‘Satu!’ ‘BUGH!’ “ARGH!” Si cewek sontak menoleh. Meski sudah berjarak beberapa langkah dengan Irgi, ia masih bisa melihat jelas keadaan Irgi. Ia berbalik, berlari mendekati Irgi, bersimpuh di hadapannya. “Argh! Sakit!” Sebuah kaca menancap di tumit kiri Irgi. Mengalirkan darah segar. Irgi meringis seraya menggenggam pergelangan kakinya. “Duh, gimana dong?” “Panggilin guru. Aduh!” “Gue cabut dulu ya kacanya?” “Jangan!” “Kenapa?” “Kalau arteri gue kena, kaca lo cabut, yang ada darah gue muncrat kemana-mana! Lo mau ngambil nyawa gue juga? Ga cukup hati gue yang lo ambil?” omel Irgi. ‘Eh? Gimana?’ “Argh!” “Aduh, gimana dong?” “Lo cakep-cakep gimana dong mulu dari tadi! Buruan cari guru! Sakit banget ini!” “Iya-iya! Ga usah marah-marah!” “Buruan!” ‘Gue cipok juga nih cewek.’ Sang cewek berdiri, berbalik, mengayun langkah pertama. “Tunggu!” sergah Irgi. Ia menoleh lagi. “Nama lo siapa?” tanya Irgi. “Kenapa emang?” “Buat jaminan kalau lo ga bakalan kabur. Gue begini gara-gara lo ya!” “Ih, kok jadi gue?” “Kan tadi gue minta tolong ambilin pijakan. Coba lo nurut, ga bakalan gue begini. Kalau gue mati baru lo nyesal.” “Iiih! Mulut lo ngeselin ya!” “Siapa nama lo?” tanya Irgi lagi. “April.” “April siapa? April banyak di sini!” “Ashana Aprilia.” “Kelas?” “2 A2 – 2.” “Oke.” “Udah?” “Hmm. Buruan ya April, keburu gue kehabisan darah kalau lo lama,” suara Irgi terdengar melembut, meski wajahnya nampak kian pucat. April mengangguk, berbalik kembali, berlari, mencari pertolongan untuk Irgi. *** Malam harinya. “Bang?” “Apaan?” Dirga, si nomor tiga di keluarga Pranata membuka pintu kamar Irgi. Ia baru berumur sepuluh tahun, duduk di kelas empat Sekolah Dasar. Hobinya bukan membaca, apalagi berhitung, tapi main layangan sampai gosong bareng tiga sahabatnya. “Nih telponnya,” ujar Dirga seraya memberikan gagang cordless phone pada Irgi. “Hmm. Thanks.” “Dirga main di sini ya?” “Kagak! Nanti buku gue lo gambar-gambar lagi.” Dirga memberengut. “Main sama Hana sana!” “Hana main orang-orangan,” adu Dirga. “Lo main orang betulan aja!” Dirga malah garuk-garuk kepala, ga ngerti apa yang abangnya maksud. Ngasal banget emang si Irgi. “Keluar Ga, gue mau tidur. Kaki gue sakit banget ini.” “Katanya mau nelpon?” “Iya, nelpon teman dulu, nanya pe-er!” “Oke.” Tepat saat sang adik memegang handle pintu, Irgi memanggilnya lagi. “Nanti kalau jahitan di kaki Abang sudah sembuh, kita main layangan sama-sama.” “Betul?” “Betul!” “Oke!” ujar Dirga riang. Pintu kamar tertutup rapat kembali. Irgi mengaktifkan gagang telponnya, menekan beberapa digit nomor yang tersambung ke sebuah stasiun radio anak muda. Begitu panggilannya di angkat, Irgi meninggalkan data diri serta pesan dan kesan yang akan dibacakan di acara kirim-kirim salam yang tengah berlangsung. Beberapa saat kemudian …. “Lagu berikutnya yang akan gue putar adalah Cinta Kita by Amy dan Inka Christie. Lagu ini dikirim oleh Irgi di Antariksa – antara rindu dan kasih sayang ….” Sang penyiar radio tertawa geli sampai nangis lebih dulu. “Untuk … Ashana Aprilia, si cantik di kelas 2 A2 – 2. Ucapannya, semoga malam ini kamu mau merenungkan ajakanku tadi, mengukir kisah Cinta Kita!” “PAPA! BANG IRGI KIRIM SALAM BUAT CINTA KITA DI RADIO!” ‘Mampus gue!’
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD