SUMMER-02: RINDU YANG DITOLAK

2466 Words
“Itu, Pak!” Irgi masih menangkap suara itu. Suara April yang tengah menunjukkan keberadaannya pada seorang guru. Irgi sendiri sudah berbaring, tak lagi kuat menahan sakit di tumitnya. “Astaghfirullah, Irgi?” Irgi membuka mata, mendapati Ridwan – seorang guru BK – yang bersimpuh di sampingnya. Dan kini ia tak lagi sendiri, siswa-siswi di kelas 2 A2 – 2 yang jam pelajarannya memang sedang kosong ikut berhamburan ke luar. “RI, SOHIB LO BERDARAH-DARAH!” Entah siapa yang memekik, menginformasikan kondisinya pada teman sebangku Irgi yang juga sekaligus sahabatnya. Ari, biasa sang sobat disapa. Pemuda yang memiliki kepribadian bertolak belakang dengan Irgi. Jika Irgi itu tengilnya ga ketolongan, Ari kalemnya yang ga bisa dinego. Tapi kali ini, ya ga mungkin juga dia kalem saat dengar sohibnya terluka. Ari sontak berdiri, kursi kayu yang ia duduki sampai terjerembab di belakang. Teguh – guru matematika yang tengah nunggu murid-muridnya mencatat contoh soal pembuktian deret bilangan – juga tak bisa mencegah saat salah satu muridnya yang berbadan besar itu berlari cepat meninggalkan kelas. Kala Ari tiba di TKP, Ridwan dan siswa lainnya tengah berusaha menggendong Irgi. Ari menerobos kerumunan, mengeluarkan sapu tangannya, mengikat kaki Irgi sedemikian rupa agar kaca yang menacap tak bergeser. Ia lalu membuka kedua kaki Irgi, bersimpuh dengan posisi membelakangi. Ridwan membantu menyandarkan Irgi di punggung Ari, menahan tubuh Irgi agar tak limbung saat Ari berdiri. Darah masih menetes, sementara Irgi terus merintih. “WOY MAT! AMBILIN KUNCI MOTOR GUE! LARI KE PARKIRAN, NYALAIN! PINGSAN NIH SI IRGI BENTAR LAGI,” pekik Ari dari jendela samping, pada Rahmat – teman sekelasnya yang duduk di depan meja mereka. “Mau dibawa kemana?” tanya Ridwan. “Rumah Sakit depan aja, Pak. Pasti dijahit ini.” Begitu Rahmat mendapatkan kunci yang Ari maksud, Ari kembali melajukan langkahnya. Di parkiran, Suzuki Crystal berwarna biru sudah siap untuk ditunggangi. Ari mendudukkan Irgi lebih dulu, baru kemudian ia duduk di balik kemudi. Ari melepas belt hitam oleh-oleh ayahnya dari Los Angeles, meminta bantuan Rahmat untuk mengikatkan dirinya dan Irgi. “Sakit, Ri,” rintih Irgi. “Tahan! Jangan pingsan lo!” ujar Ari. “Saya jalan, Pak,” sambungnya pada Ridwan. “Ya, Bapak nyusul, langsung aja ke UGD.” Ari mengangguk. Motornya pun melaju. Ridwan berbalik, ia harus ke ruangannya dulu untuk mengambil kunci motornya. Saat Ridwan kembali, April berdiri mematung di depan pos keamanan, lengkap dengan dua tas; satu di punggungnya, satu lagi ia dekap. “Kamu kenapa ga masuk kelas?” tanya Ridwan. Bukannya menjawab, April justru menangis. “Ada apa?” “Kelas saya lagi kosong, Pak. Bu Tantri ga masuk.” “Kamu nangis gara-gara Bu Tantri ga masuk? Siapa nama kamu?” “April, Pak.” “April, Bapak ga ada waktu. Bapak harus ke rumah sakit dulu mastiin kondisi Irgi. Apapun urusanmu, tunda dulu oke?” “Irgi begitu gara-gara saya, Pak.” Langkah Ridwan sontak berhenti. Ia kembali berbalik, menatap siswinya yang masih saja menangis. “Ini tas Irgi sama saya, Pak.” Akhirnya Ridwan mendengkus keras. “Ayo! Ikut Bapak!” *** Untunglah tak ada yang nekat menarik kaca itu tadi. Irgi harus mendapatkan beberapa lapis jahitan. Ari, Ridwan dan April menunggunya di ruang tunggu saat dokter melakukan tindakan. Hingga akhirnya Anggara datang, barulah Ridwan dan Ari pamit undur diri. “Nanti pulang sekolah Ari ke rumah ya Om?” “Oke.” “Kamu ga ikut?” tanya Ridwan pada April. “Mmm … saya ….” Ridwan mendengkus. Tak enak hati pada Anggara. “Nanti saya saja yang antar, Pak,” ujar Anggara. Ridwan pun mengangguk. Bersama Ari ia menjauh, meninggalkan rumah sakit. April akhirnya menceritakan apa yang dilihatnya sebelum Irgi nekat melompati dinding. Anggara menggeleng, merasa tak masuk akal dengan penuturan April. Pasti ada yang salah. Tak mungkin putranya hendak cabut di jam sekolah. Jika terlambat, rasanya lebih tak mungkin lagi, Anggara sendiri yang memastikan Irgi naik ke dalam angkutan umur sebelum ia lanjut melaju ke tempatnya bekerja. “Maafin saya ya Om,” lirih April. “Irgi tidak mungkin cabut, Nak,” ujar Anggara. “Dan harusnya dia juga tidak terlambat.” “Iya, Om.” “Memangnya Irgi tidak pakai sepatu sampai kaca bisa menancap begitu?” “Ngga, Om. Cuma pakai kaos kaki aja. Makanya saya bingung, saya pikir sepatunya sudah Irgi lempar ke luar dinding.” “Kalau sudah dilempar, ga mungkin dia bertengger kayak yang kamu bilang.” “Iya sih Om.” “Ya sudah, nanti kita tanya Irgi.” April mengangguk kaku. Begitu Dokter selesai menjahit luka Irgi, Anggara menemuinya di bilik pemeriksaan UGD. Kakinya dililiti perban, sementara Irgi memejamkan mata dengan posisi telungkup. “Tidur, Bang?” Irgi membuka mata, menatap sayu pada Anggara. Sang ayah duduk di sampingnya, mengulurkan tangan, mengusap lembut surai Irgi. “Masih sakit?” Irgi mengangguk lemah. “Sepatumu mana?” “Dipalak, Pa.” Anggara mendengkus. Ingin rasanya ia mengomeli sang putra. Anggara sudah khawatir tadi pagi. Ada dua STM yang berdekatan dengan SMA HighScope, dan salah satunya terkenal dengan hobi memalak dan tawuran. Tapi entah apa alasannya, Irgi justru menolak saat Anggara menawarinya tumpangan. “Papa pasti mau marahin Abang?” “Mereka melukai kamu, Nak?” “Ngga, Pa.” “Yakin? Jangan sampai tubuhmu Papa geledah!” “Yakin, Pa. Mereka cuma ambil sepatu dan duit Abang.” “Terus, kenapa manjat dinding belakang?” “Gara-gara dipalak, jadinya telat Pa. Abang malas aja disuruh lari keliling lapangan. Kan ga pakai sepatu juga.” “Mana ada murid yang baru kena musibah malah dihukum?” Irgi memberengut. Manalah ia kepikiran perkara itu? “Kita pulang ya, Bang?” “Iya, Pa.” “Ya sudah, Papa ambil obat dulu, Abang ngobrol dulu aja sama April.” “April?” “Iya, April ikut antar Abang ke sini. Abang ga tau?” Irgi geleng-geleng. “Tunggu di sini, Papa panggilin anaknya.” Anggara beranjak dari duduknya, menyibak tirai, meninggalkan Irgi yang masih terlalu linu jika harus mengubah posisinya. “Gi?” sapa April seraya mengintip dari celah tirai. Irgi melambaikan tangannya, menyuruh April masuk. Irgi lalu mendelik ke kursi di sampingnya. April pun duduk dalam pengawasan lekat Irgi. “Masih sakit?” cicit April. Irgi mendengkus, malas menjawab. “Ya kan gue ga tau kalau lo bakalan lompat beneran. Lo aja yang aneh, udah tau tinggi gitu masih dilompatin,” sambung April. Irgi memaksakan diri merubah posisinya dari telungkup menjadi terlentang. Ia tak membalas omongan April, namun terus saja menatap sang gadis. “Sorry, Gi.” “Lo tau nama gue?” tanya Irgi akhirnya. “Ya gimana ga tau, pada heboh pas tau lo luka.” “Ternyata gue tenar ya?” “Najong!” Irgi tergelak, menular pada April. “Kok lo bisa ada di sini?” tanya Irgi lagi. “Maksud lo?” “Lo ngapain di sini?” April tak bisa menjawab. “Gara-gara omongan gue? Bagian … gue begini karena lo?” April masih diam. “Faktanya emang gitu sih,” aku Irgi. “Gue pikir lo tuh mau cabut, Gi. Makanya tadi gue ga mau bantuin lo. Gue juga shock lihat lo tau-tau lompat gitu. Gue ga serius waktu ngatain lo cemen, incase lo lompat karena omongan gue.” “Gue kepingin kenalan sama lo.” Kalimat itu nyaris tak terdengar jika bukan karena April yang tengah fokus sepenuhnya pada Irgi. Irgi mengatakannya dengan volume yang terlampau rendah, ditambah suara ngebasnya, omongan Irgi lebih terdengar seperti orang yang sedang kumur-kumur. “Lo tuh ya, gue serius tau! Gue sampai ketakutan lo kenapa-kenapa Gi!” omel April akhirnya. “Jadi lo khawatir sama gue?” “Siapapun yang lihat kondisi lo kayak tadi, ga mungkin ga khawatir. Lo pikir gue ga punya hati?” “Gue ga punya, Pril.” “Hah?” “Gue ga punya hati.” “Lo bercanda?” “Ngga, kan udah lo ambil.” April mendengkus keras. ‘Bugh!’ Satu gebukan ia daratkan di lengan Irgi. “Aduh. Sakit, Pril! Ga cukup kaki gue yang cedera?” “Udah ah gue balik! Sumpah sih lo ngeselin banget!” ketus April seraya berdiri dari duduknya. Irgi mengulurkan tangan, menggenggam satu tangan April. “Sorry. Jangan pergi.” “Ya abisnya lo bikin gue bingung tau ngga.” “Duduk lagi, duduk lagi!” April menurut, meski kini ia duduk menyamping, enggan menatap Irgi. “Lo punya pacar, Pril?” “Sebenernya yang luka kaki lo apa kepala lo sih?” sulut April. “Kenapa emangnya?” “Ada urusan apa lo nanya-nanya gue punya pacar atau ngga?” “Oh itu. Kalau lo ada pacar, maksud gue, lo putusin dah.” “Hah?” “Ya daripada nanti dia gue tikung?” Kening April mengerut. “Masa lo ga paham sih?” lanjut Irgi. “Iya, gue ga paham sama cara pikir lo.” “Bagian mana yang bikin lo ga paham? Bagian gue pengen jadi cowok lo?” “Gi … gue tuh baru masuk minggu ini. Tepatnya hari Rabu. Gue emang udah lihat lo beberapa kali. Tapi, fakta kalau lo baru nanya nama gue tadi, artinya lo bahkan ga notice sama kehadiran gue kan? Terus, sekarang lo bilang lo pengen jadi cowok gue? Lo yakin kepala lo ga kebentur waktu jatuh tadi?” “Mmm … coba lo cekin Pril?” ujar Irgi seraya menyodorkan kepalanya ke hadapan April. “Irgi! Kesel ih!” “Gitu aja kesel!” April mengulurkan tangan lagi, mencubit lengan Irgi tanpa menahan diri. “Itu artinya iya?” tanya Irgi seraya meringis. “Iya apaan?” “Iya lo jadi cewek gue, gue jadi cowok lo. Iya kan?” April geleng-geleng. Sepertinya ia harus bersabar menghadapi pria bernama Irgi ini. Baru saja Irgi hendak menggoda April lagi, Anggara menyibak tirai. “Ayo, Bang?” ajaknya seraya mendorong kursi roda. Tiba di lobi rumah sakit, Anggara meninggalkan Irgi dengan April sementara ia mengambil kendaraan. April menolak sopan ajakan Anggara untuk mengantarnya. Ia jauh lebih khawatir jika kedua orang tuanya tau ia tak sekolah hari itu. “Tunggu, Pa,” ujar Irgi saat sang ayah menonaktifkan rem tangan mobilnya. Irgi menurunkan kaca jendela, bersitatap dengan April. “Kenapa Gi?” “Ngga. Ngingetin lo aja. Jangan lupa pikirin yang tadi ya?” *** Akhir minggu berlalu begitu saja. Di Rabu pagi Irgi kembali bersiap untuk pergi menuntut ilmu. Anggara membawakannya kruk sebagai alat bantu mobilisasi. “Warrior lagi, Warrior lagi! Apes banget gue, sepatu masih baru udah dipalak orang!” sambat Irgi, bermonolog. Ia tengah memakai sendal selopnya seraya memandang rak sepatu di sudut teras. “Ayo, Bang,” ujar Anggara yang sudah duduk di balik kemudi. Menunggu putra sulungnya yang sibuk bersungut-sungut sementara ketiga adiknya sudah duduk rapih di jok belakang. Irgi berdiri, bergerak perlahan, mencoba beradaptasi dengan kedua tongkatnya. Anggara mengantarkan ketiga adik Irgi lebih dahulu. Nisa, si nomor dua, ke sebuah SMP. Sementara Dirga dan Hana ke sebuah Sekolah Dasar. Saat mengantarkan Irgi, sang ayah mengutarakan keingintahuannya. “Cinta kita itu merujuk ke siapa Bang?” “Apaan sih Papa?” “Malah nanya balik.” “Emang ga boleh naksir cewek?” “Yang ga boleh naksir cowok! Papa sunat lagi kamu nanti.” “Astaghfirullah. Aman kalau itu, Pa.” “Yang penting jangan kurangajar sama cewek. Ingat kamu punya Mama, Nisa dan Hana. Paham Bang?” “Iya, Pa.” Ari yang melewati sedan Anggara membunyikan klaksonnya. Ia berhenti melaju di simpang menuju sekolah mereka, menunggu Irgi. Anggara menepi, membiarkan putranya turun lebih cepat, hitung-hitung menghemat waktu. Tiba di sekolah, Irgi turun lebih dulu. Tertatih ia melangkah. Di batas antara halaman muka dan koridor sekolah, Ridwan berdiri seraya bertolak pinggang. Irgi mengulurkan tangan, menyalam takzim sang guru. “Baju benerin dulu, Gi!” Irgi memindai penampilannya. Betul juga sih, kemejanya tak masuk ke celana. Ia menoleh, mencari gerangan sang sahabat. Menata penampilan dengan kruk seperti itu sungguh bukan ide brilian. Namun, saat ia menatap Ari, ia menyadari satu hal kembali, ia dan Ari sungguh bagaikan langit dan bumi. Irgi itu rada gosong, Ari mulus kuning langsat. Irgi kurus, Ari atletis. Surai Irgi kasar, panjang sedikit pasti ngembang, tapi kalau jambang belum ditarik, pantang buat Irgi pangkas rambut. Sementara Ari, surainya selalu bergaya cepak. Dan yang paling kelihatan adalah, Irgi itu asal banget penampilannya, sementara Ari selalu rapih, belum pernah tuh ada cerita tepi bajunya Ari menyapa khalayak. “Apaan?” tanya Ari. “Masukin baju gue.” Ari mendengkus. “Lama-lama gue main sama lo berasa ga normal, Gi,” ujarnya seraya merapihkan baju Irgi. “Tenang aja, lo ga sendiri,” balas Irgi. Ridwan mengatupkan bibirnya, menahan tawa. “Udah, Pak. Rapih,” ujar Ari kemudian pada Ridwan. “Hmm. Masuk!” “Ri?” “Apaan lagi, Gi?” “Ketek gue sakit.” Ari mendengkus, Ridwan tertawa. Namun, sekesal-kesalnya Ari pada tingkah Irgi, ia pasti tak tega pada sahabatnya itu. Sama seperti Irgi yang tak pernah lupa membawa bekal double untuk Ari. Ari setengah berjongkok, menunggu Irgi naik ke punggungnya. “Cie!” “Ehem!” “Cie … cie … cie Irgi.” “Pada kenapa sih orang-orang?” tanya Irgi. “Lo ga ingat lo godain April di radio?” tanya Ari. “Oh iya ya?” “Parah lo, Gi.” “Turunin gue, Ri.” Ari akhirnya menurunkan Irgi, melangkah di sampingnya dengan kecepatan teramat rendah. Mau bagaimana, memakai kruk bukanlah perkara mudah bagi Irgi. “Lo ngapain masuk sih kalau masih sakit?” tanya Ari. “Bosan bego gue! Dimarahin mulu sama Mama.” “Kenapa?” “Gue ngesot saban hari.” “Si bego!” kekeh Ari. “April marah ga?” “Mana gue tau, Gi. Ga gue tanya juga.” “Lo duluan deh. Sakit ketek gue, ga enak banget ini kruknya.” Ari menaikturunkan alis, lalu pergi lebih dulu. Harusnya ia datang lebih cepat berhubung Rabu adalah hari tugas piketnya. Saat Irgi akan berbelok di koridor terakhir menuju kelasnya, ia dan April nyaris saling bertumbukan. “Hey,” sapa Irgi dengan senyum terbaiknya. Bukannya membalas, April justru menghunus Irgi dengan tatapan sinis dan tajam. Ia lalu memalingkan wajah, bersikap tak acuh, mencoba melanjutkan langkah. Namun, Irgi justru menahan April, mencengkram lembut pergelangan tangan sang gadis. “Ngapain lo?” sulut April. “Harusnya gue yang nanya lo kenapa? Kok lo nyolot banget ke gue?” “Keberatan? Mau nuduh gue yang bikin lo cedera lagi?” Nada suara April semakin ketus. “Hey, lo kenapa sih?” “Dengar ya Irgi Haidar Pranata! Jangan lo pikir pesan lo di radio bakalan bikin gue klepek-klepek, takluk sama lo! Gue ga suka! Najis tau ngga!” “April!” “Lo bikin gue malu! Gue ga suka Irgi!” Irgi terdiam, kaget dengan intonasi yang ia dengar. “Oh, sekalian gue jawab. Gue ga mau jadi cewek lo!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD