14- Kericuhan

1362 Words
Argan membuka matanya dan hal yang pertama ia lihat adalah sinar matahari yang sudah menerangi sekelilingnya. Jalan raya di dekat tempat mereka duduk juga sudah ramai. Matanya langsung menutup saat cahaya pagi itu menyergapnya, cahaya matahari itu sangat menyilaukan matanya membuat pemuda itu langsung memejam matanya. Setelah itu ia kembali membuka matanya, lalu berusaha mengumpulkan nyawanya agar tersadar sepenuhnya. Argan melihat ke sekelilingnya. Beberapa orang yang berbaris di depannya mulai mengobrol dan terbangun. Sepertinya mereka bangun bersamaan dengannya bangun. Ia kini menoleh ke samping kirinya, tepatnya menatap sebuah kepala yang menyandar di pundak kirinya itu. Nino ternyata tidur dengan santainya di pundak kiri Argan semalaman. Argan memang berbadan lebih tinggi dari Nino, sehingga memang ia sering menjadi alas sandaran bagi siapapun. Namun tidak menyangka Nino akan menjadikannya sandaran pula. Pantas saja ia merasakan seluruh tubuhnya pegal dan lelah semalaman. Argan kini mencoba menggerak- gerakkan pundak kirinya, mencoba agar teman sekamarnya itu terganggu, namun Nino tetap diam dan sama sekali tak terganggu. Kali ini Argan mencoba menggerakkan lebih keras, dan bahkan menyentak kepala Nino dengan kencang. Nino sontak terbangun karena kepalanya yang sudah tak berada di tempatnya semula itu. Argan tertawa kencang melihat Nino yang kesakitan itu. "Kalau bangunin gue ... bisa gak sih pakai perasaan sedikit?!" Nino mencebik geram sembari masih mengelus keningnya yang terantuk lututnya sendiri itu. Argan masih terkekeh. "Lagian, lo tidurnya kek kebo. Emangnya gue harus bangunin lo pakai kalimat 'Bangun, Nino Sayang' gitu? Ih, jijik!" Pemuda itu gantian mendelik geram pada Nino. Nino ikut mendelik. "Iuh, gak gitu jugak!" Argan kini meregangkan tubuhnya, terutama leher dan pundaknya yang merasakan pegal itu. Bunyi suara krek langsung terdengar. Ia kini bangkit berdiri dan meregangkan lagi tubuhnya. Kali ini mencoba membenarkan pinggang dan punggungnya yang pegal, akibat tidur dalam keadaan duduk semalam penuh. Argan melirik jam tangan di tangan kanannya. Kemudian melirik Nino yang masih mencoba mengumpulkan nyawanya. "Sepuluh menit lagi jam tujuh. Kita harus siap- siap," ucap pemuda itu. Ia masih meregangkan tangannya. Nino yang masih setengah sadar itu kini sepenuhnya sadar. Pemuda itu yang mendengarkan itu kini mulai merogoh saku jaketnya kemudian mengeluarkan ponselnya dari sana. Ia mengecek layar ponselnya dan menemukan waktu yang sama dengan yang disebutkan Argan. "Jam tujuh kurang sepuluh menit. Benar. Kita harus siap- siap," balasnya. Argan tanpa menatap Nino masih meregangkan tangannya, memberi pemanasan untuk tubuhnya. "Iya. Kita harus ngumpulin tenaga." Nino ikut bangkit, dan berdiri. Pemuda itu tersenyum, ikut meregangkan tubuhnya dan memberi pemanasan untuk tubuhnya di samping Argan. "Gue pegel banget." Argan hanya melirik sekilas. "Gue yang harusnya ngeluh, karena lo semalem enak banget tidur nyender di pundak gue," cibirnya. Nino menatap Argan dengan cengiran. "Iya, sorry, sorry. Gue mana sadar, 'kan tidur," jawabnya. Argan hanya berdecak kemudian mulai meregangkan tangannya ke arah depan. "Kita harus siap- siap dan pemanasan, siapa tahu abis ini ricuh kek pembagian sembako," ujar pemuda itu santai. Ia masih meregangkan tangannya, kali ini diarahkan ke depan Nino. Nino terkekeh. "Gak mungkin ricuh, deh. Buktinya mereka tertib antri. Tuh!" Ia menunjuk barisan di depannya. Argan hanya memutar matanya. Kemudian ia menatap Nino sembari berujar, "Lo yakin mereka gak bakal ricuh?" Kini ia mengedik dagu ke barisan di belakang mereka. Nino mengikuti arah yang dimaksud Argan itu. Lalu menganga dan terkejut begitu melihat ada barisan lain di belakang mereka. Mereka tidak tahu entah sejak kapan barisan baru itu muncul, namun semalam hanya ada tiga orang di belakang mereka. Namun kini ada sekitar sepuluh orang lebih. Nino tahu kalau barang itu limited edition, namun ia tidak tahu kalau ternyata Minecraft Minifig itu akan sangat banyak peminatnya, mengingat harganya adalah dua kali lipat dari upah mereka. Barang itu hanya ada dua puluh buah, dan pasti ada yang akan tidak kebagian. "Wah!" Nino masih menganga. "Mereka beneran dateng buat beli barang itu?" Argan mencebik. "Lo pikir mereka di sini mau antri sembako?" sarkasnya. Kemudian ia kembali menatap barisan di depannya. "Udah, gak masalah. Tenang aja, badan lo 'kan kecil, lo bisa nyelinap di antara kerumunan orang- orang nanti kalau ricuh." Nino hanya dapat mengangguk berulang kali. Lalu ia mulai kembali meregangkan tubuhnya. Namun tiba- tiba ia merasakan ada yang salah dengan perutnya. Sepertinya ia merasakan perutnya bergejolak dan artinya ia harus segera ke kamar mandi. "Gue kebelet, Gan." Nino menatap Argan dengan pucat. Argan yang melihat itu mendadak panik. Ia menatap ke sekelilingnya. "Udah, tahan bentar." Nino mengangguk. Benar kata Argan, mereka sudah menunggu semalaman dan hanya tinggal beberapa menit lagi untuk segera mendapatkan barang itu. Ia tidak boleh menghancurkan semua rencana mereka. Nino mengalihkan tatapannya, ia mencoba menatap trotoar di depannya lalu berusaha memikirkan hal lain untuk mengalihkan pikiran. Namun tetap tidak bisa. Perutnya tidak mau diajak kompromi. Gejolak itu makin mendesak untuk segera dikeluarkan, dan Nino tidak tahan lagi. "Gan!" Argan terkejut mendengar seruan Nino yang tiba- tiba. Ia menatap Nino dengan geram. "Apaan?" Nino meremas ujung jaket Argan dengan kencang, lalu menatap teman sekamarnya itu dengan raut memelas. "Gue gak bisa tahan. Gak bisa!" Ia menatap Argan dengan pucat pasi. Argan yang melihat wajah Nino sudah semakin pucat itu akhirnya tidak tega. Ia iba, dan tidak mungkin menyuruh Nino bertahan terus menerus. Jadi, setelah berdecak, pemuda itu akhirnya berucap, "Ya udah sana! Tapi buruan, ya." Nino mengangguk, dan setelah mengucap kata "Oke." pemuda itu segera berlari dan melesat mencari toilet umum di trotoar itu. Beruntung ia melihat ada toilet umum di sebelah toko Minifig itu. Argan akhirnya hanya dapat melihat Nino yang melesat begitu saja. Ia memandang punggung Nino yang kini menghilang dari jangkauan matanya. Pemuda itu kini melirik jam tangannya dan mendapati bahwa sudah akan menuju pukul tujuh. Ia merasa panik. Ternyata yang merasakan hal tersebut, bukan hanya Argan, melainkan beberapa orang yang juga ada di sana, mereka pun jengah menunggu. Ada yang mulai maju, dan menyela barisan. Namun saat ada yang hendak menyela tempat miliknya, Argan segera menghalanginya. "Maaf, Pak, ini tempat saya." "Maaf, Dek, ini tempat saya, bisa mundur lagi?" "Maaf, Bu, saya udah nunggu semalaman." "Anjir, si Nino lama amat sih?!" Argan makin panik ketika ia melihat ada seorang pria yang berjalan santai menuju depan toko. Pria yang terlihat seperti si pemilik toko itu tersenyum ramah di depan tokonya dan menatap seluruh orang yang berbaris di depan tokonya. "Mohon maaf atas keterlambatannya. Saya akan segera membuka pintu dan bersiap- siap membuka toko. Jadi mohon bersabar lima menit lagi." Beberapa orang yang ada di sana langsung memprotes begitu mendengar pengumuman si pemilik toko itu. Mereka sudah menunggu semalaman, dan harus menunggu lima menit lagi? Bahkan mereka tidak bisa tidur nyenyak semalam. Jadi, begitu pintu toko itu dibuka lebar, semua orang yang sudah mengantri itu mulai saling mendorong, dan membuat barisan ricuh tak beraturan. Jika Nino ada di sana, mungkin pemuda itu sudah Argan suruh untuk menyelip di antara kerumunan itu. Argan sedari tadi berdoa dalam hati berharap agar Nino cepat kembali. Ia pada akhirnya pasrah saja ketika terdorong maju ke depan. Hingga akhirnya mereka sudah sepenuhnya ada di dalam toko itu, mulai mencari keberadaan barang yang mereka inginkan itu. Argan pun ikut mencari barang yang bernama Minecraft Minifigure itu. Semalam Nino sudah menunjukkan foto barang itu, sehingga ia sangat hafal dengan bentuk dan warna barang limited edition itu. Matanya segera mengedar, dan akhirnya menemukan barang itu yang berada di tengah- tengah toko. "Mohon tenang! Semuanya mohon tenang!" Suasana tak terkendali. Sekeras apapun seruan si pemilik toko itu, semua orang itu tak mau mendengarkan. Akhirnya si pemilik toko itu tak berkutik, dan tak dapat berbuat apa - apa. Ia hanya sempat berlindung dengan bersembunyi di balik mesin kasir. Argan mulai berlari menuju minifig yang ia incar itu. Namun saat ia melihat ke samping kanan dan kirinya, beberapa orang ikut berlari menuju arah yang sama dengannya. Mereka tentu saja ingin meraih minifig itu juga. Argan yang notabene- nya berbadan tinggi itu memudahkan langkahnya lebih cepat dari mereka, hingga akhirnya ia sudah sampai persis di depan tumpukan kardus minifig itu. Namun saat tangannya hendak menggapai minifig itu, seseorang mendorong tubuhnya begitu saja hingga ia kembali mundur. Argan tak mau menyerah begitu saja, ia harus mendapatkan barang itu. Maka dengan sekuat tenaganya, ia kembali berlari menuju tempat di mana minifig itu berada. Tangannya sekali lagi hampir menyentuh kardus minifig itu, hingga akhirnya- "NINO! MANA SIH LO, NJIR!" ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD