13- Drama Menunggu

1098 Words
"Apa?! Semalaman?!" Argan mendelik menatap Nino yang justru santai menyantap baksonya. Ia tidak percaya bahwa mereka akan benar- benar menunggu semalam penuh hanya demi barang itu. "Serius?!" tanyanya lagi, memastikan pendengarannya tidak salah. Nino menatap Argan dengan mulutnya yang penuh. Lalu berucap dengan tidak jelas, "Kan ... gue ... udah bilang ... kalau kita emang mau nunggu ... barang itu sampai dapat." Nino menelan baksonya dengan susah payah. "Toko itu bukanya besok pagi jam tujuh. Jadi kita harus nungguin sampai besok pagi," sambung Nino lagi. Kemudian ia mengangkat alisnya menyadari sesuatu. "Apa gue belum ngomong?" Argan mendecih lalu meletakkan mangkuk baksonya ke atas tikar yang mereka bawa itu. Lalu pemuda itu menatap jam tangannya. "Tapi sekarang baru jam sepuluh malam. Artinya kita harus nunggu sembilan jam lagi?" tanyanya dengan tidak percaya. "Di sini? Semalaman, Nino? Are you crazy?" Nino tanpa merasa kaget, hanya mengangguk dengan cepat. "Iya, Gan. Serius," ucapnya. Ia melihat Argan hampir memberontak dan hampir menolak ajakannya ini. Lalu tanpa menunggu Argan mengucap apapun lagi, ia segera menepuk pundak Argan. "Tapi lo tenang aja, bayaran kita setimpal, kok." Nino menaik- turunkan alisnya berulang kali sambil menatap teman sekamarnya itu. Argan yang hampir meledak tadi, kini mengerut dahinya, ia menatap curiga pada Nino. "Maksud lo?" tanyanya. Ia masih mencoba mencari maksud dari alis Nino yang dinaik- turunkan itu. "Emangnya kita bakal dibayar berapa?" tanyanya lagi. Nino kini menatap Argan dengan seringaian. Kemudian ia menoleh ke arah barisan di depannya, ingatannya tentang percakapannya dengan Putri tadi siang kembali terputar. "Lo ... mau gue beliin barang apa buat lo? Jangan bilang kalau barang yang melanggar hukum." Nino mengangkat alisnya. Lalu memandang Putri di depannya dengan penuh curiga. Putri yang mendapat pertanyaan itu kini memutar bola matanya. "Lo pikir gue bakal suruh lo beli barang haram gitu kayak narkotika gitu?" Ia berdecak sebal. "Enggak!" sangkalnya dengan sebal. "Lo pikir gue apaan?" Nino menghela napasnya lega. Ia tadi tiba- tiba terpikirkan hal buruk. "Terus?" tanyanya penasaran. Jujur ia juga penasaran barang apa yang akan Putri minta untuk dibelikan olehnya, mengingat gadis itu begitu kaya raya. Putri menatap sekelilingnya, lalu ia menoleh ke kanan dan kirinya, memastikan tidak ada yang akan mendengarkan percakapan mereka. Nino dibuatnya kebingungan. Setelah ia rasa aman, gadis itu kini menyuruh Nino memajukan kepalanya. Dengan perlahan dan takut- takut, Nino pun memajukan wajahnya. "Gue sejak dulu suka ngoleksi Minecraft Minifigures, tapi gue selalu malu sama temen- temen gue. Mereka bukan tipe cewek yang mau berteman sama cewek pengoleksi benda kek gitu. Jadi selama ini gue diam- diam beli Minecraft Minifig itu," jelasnya panjang. Namun ia menjeda sejenak untuk melanjutkan lagi. "Kali ini gue dengar kabar kalau di sebuah toko menjual satu series minifig yang gue incar selama ini. Tapi dia hanya menjual di tokonya, dan sama sekali gak jual online. Dan hanya di toko itu gue bisa beli, gak akan bisa dicari di toko lain. Istilahnya tuh, limited edition." Putri menyambung kalimatnya dengan ekspresi yang meyakinkan. Nino hanya mengangguk- anggukkan kepalanya. Namun sepertinya ia masih belum paham. "Oh, terus?" Ia menatap Putri dengan bingung. Putri kini berdecak dan memundurkan kepalanya. "Ih ... gue nyuruh lo buat beli barang itu dong!" serunya kesal. Ia meninggikan nada suaranya, membuat beberapa mahasiswa yang lewat bahkan menoleh. Putri berdehem menyadari suaranya terlalu keras, kemudian ia mulai mengatur emosinya lagi. Ia mengibas rambutnya sembari membuka suara lagi, "Gue minta lo beliin minifig itu. Lo bisa?" Nino mengangguk- anggukkan kepalanya. Kali ini ia paham apa maksud Putri sebenarnya. "Oh, iya, gue paham. Gue cuma disuruh beli doang, 'kan?" Putri mengibas tangannya. "Gak semudah itu." Ia memajukan wajahnya. "Karena minifig itu limited edition, makanya info ini kesebar cepat, dan banyak orang yang pengen beli juga." "Terus?" "Dari info yang gue dengar, minifig itu cuma ada dua puluh buah, dan cuma dijual besok pagi jam tujuh." Putri memasang wajah seriusnya. "Jadi ... lo harus udah standby di toko itu sebelum jam tujuh pagi." Nino tersenyum paham. "Oh, gampang itu. Gue bisa bangun pagi, kan, jam enam gue bisa sampai sana," katanya dengan santai. Putri lagi- lagi mengibas tangannya. "Lo pikir gue bakal suruh lo beli itu kalau cuma gitu doang?" Ia menyipitkan matanya. "Terus? Lo kalau kasih info jangan setengah- setengah dong." Nino menenggak es tehnya yang sudah mencair dengan kesal. "Karena banyak banget orang yang incar minifig itu, pasti banyak banget orang yang rela antri demi minifig itu. Mereka biasanya rela antri berjam- jam sebelum toko itu dibuka. Bahkan ada yang menginap di sana. Jadi ... lo harus ada di depan toko itu semalaman." Putri menjelaskan dengan pelan agar Nino benar- benar mengerti. Nino tadinya hanya mengangguk paham, namun selanjutnya ia terkejut. "Apa?! Semalaman?!" Putri mengangguk. "Iya, semalaman." Ia segera melanjutkan perkataannya sebelum Nino menyelanya lagi. "Tapi lo tenang aja, gue bakal bayar lo berapapun yang lo minta." Gadis itu tersenyum di akhir kalimatnya. Nino kini mengangkat sebelah alisnya. Mendengar tentang bayaran yang akan ia terima itu, ia mulai tertarik. "Berapapun?" tanyanya dengan senyum lebar. Putri mengangguk berulang kali. "Bukannya lo tahu kalau gue itu salah satu gadis paling kaya di kampus ini?" Nino tersenyum lebar dan mengangguk. Kemudian Putri kembali mengucap kalimat yang membuat senyuman Nino makin lebar. "Gue bakal bayar berapapun yang lo minta, asalkan barang itu sampai ke tangan gue dengan selamat, tanpa goresan atau lecet sedikitpun. Gimana?" tawarnya dengan senyum lebar. Nino menarik sudut bibirnya. "Kalau gue minta sepuluh juta, gimana?" Putri yang mendengar kalimat itu, hanya tersenyum lebar. Ia menarik sudut bibirnya tinggi hingga menampilkan lesung pipinya. "Oke, gak masalah. Gue bakal bayar lo sepuluh juta." Kemudian gadis itu mengulurkan tangannya ke hadapan Nino. "Deal?" tanyanya lagi. Nino tersenyum memandang uluran tangan Putri yang mengambang di depannya. Dengan cepat ia sambut uluran tangan gadis itu sembari mengulas senyum untuk ke sekian kalinya. "Deal!" "Gila! Sepuluh juta!" Argan berseru keras tiba- tiba setelah mendengar cerita dari Nino itu. Nino yang merasakan orang- orang di sekelilingnya menatap ke arah mereka, langsung menggeplak paha Argan. "Berisik! Jangan keras- keras!" bisik Nino dengan geram. Ia memelototi Argan. Argan yang menyadari hal itu kini membekap mulutnya sendiri. Lalu perlahan ia menurunkan telapak tangan yang menutupi bibirnya itu, ia tersenyum lebar. "Berarti gue dapat lima juta dan lo juga lima juta?" tanyanya lagi memastikan. Kali ini ia mengatur nada suaranya agar orang- orang di depan dan belakangnya tidak mendengar percakapan mereka lagi. Nino mengangguk dengan semangat dan hal itu membuat Argan ikut mengangguk dengan senyum gembira. Mereka berdua kini sudah tidak merasakan hawa dingin yang mulai merasuk ke dalam sela jaket dan baju mereka. Bahkan tidak peduli jika mereka masuk angin karena udara dingin malam. Semua itu karena bayaran itu, yang membuat mereka gembira. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD