Tak Takut Dosa?
Aisyah baru selesai Shalat tahajud, waktu menunjukkan pukul satu dini hari. Aisyah merasa tenggorokannya kering, biasanya dia pasti menyimpan botol air mineral di kamarnya. Tapi berhubung ini bukan rumahnya, jadi dia lupa keburu ngantuk pingin tidur. Rasa capek di perjalanan dan juga karena masalah yang dialaminya dalam rumah tangganya membuat fisiknya lelah.
Aisyah memakai kerudungnya karena semalam saat Adimas pulang dia meminta lelaki itu menalaknya. Jadi baik Ririn maupun dirinya bukan muhrim Adimas. Meskipun di mata hukum dirinya masih istri Adimas. Jadi dia harus menjaga auratnya di depan Adimas.
Aisyah berjalan dengan perlahan di keremangan karena beberapa lampu memang dimatikan. Dia menuju dapur, tapi saat langkahnya di depan kamar Adimas dia mendengar suara desahan, walau dirinya belum pernah melakukannya tapi dia cukup mengerti apa yang sedang dilakukan oleh Adimas di dalam sana. Apa dengan Ririn? Apa mereka tidak takut dosa, selalu mengulang perbuatan zina. Sekali Zina saja hukumannya sudah berat apalagi jika mereka melakukannya berulang-ulang. Perlahan Aisyah mengetuk pintu kamar Adimas, tapi sepertinya mereka yang di dalam tidak terganggu.
Astaghfirullah ... berapa banyak lagi mereka berbuat dosa Ya Allah?? Rutuknya dalam hati. Aisyah kembali mengetuk pintu kini lebih keras, ada kemarahan di dadanya karena melihat langsung maksiat di depannya dan dia tidak bisa menghentikannya.
Dia marah bukan karena cemburu, itu tidak ada sedikit pun dalam hatinya. Tapi lebih kepada kemarahan atas perbuatan maksiat mereka yang terjadi di depan matanya. Suara pintu dibuka kuncinya, mereka bahkan mengunci pintunya.
Dari arah pintu yang terbuka sedikit menyembul kepala Ririn, dengan penampilan yang jauh dari kata rapi. Rambut acak-acakan dan bercak merah di sekujur tubuhnya menandakan betapa bergairahnya Adimas, Aisyah bergidik ngeri melihatnya.
"Ada apa sih malam-malam ganggu aja?" tanya Ririn dengan suaranya yang agak meninggi, mungkin wanita itu belum mendapat kepuasan sudah terganggu terlebih dahulu oleh gedorannya.
Aisyah mendorong tubuh Ririn ke belakang sehingga pintu terbuka lebih lebar, Aisyah menerobos masuk. Dia bisa melihat Adimas yang sama berantakannya dengan tubuh bagian bawah tertutup selimut dengan asal. Aisyah menatap wajah kesal keduanya.
"Apa kalian tidak takut dosa? Satu kali berzina saja kalian sudah harus dirajam, apalagi kamu mas yang sudah menikah hukumnya lebih berat. Sesungguhnya azab Allah sungguh keji," bentak Aisyah tak mau terintimidasi tatapan tajam Adimas, "kalian bahkan berzina dan kalian terus mengulanginya seakan kalian ingin menantang Allah, jangan sampai Allah sudah menurunkan azabnya kepada kalian berdua baru kalian bertobat."
"Jangan berceramah di sini Syah," ejek Ririn yang diangguki oleh Adimas. Mereka memang cocok, sama-sama menjijikkan, pasangan m***m.
"Kau cemburu ‘kan karena mas Adimas bahkan tidak menyentuhmu padahal kalian sudah menikah," ejek Ririn lagi.
"Kau pikir bisa mengejekku, aku bahkan bersyukur karena dia tidak menyentuhku," kata Aisyah tenang.
"Aku hanya mengingatkan saja jika kalian masih berzina selama ada aku di sini maka aku tidak akan segan memanggil warga untuk menggerebek kalian yang berbuat asusila dan berselingkuh, setidaknya di mata hukum aku masih istri sah mas Adimas dan kalian tahu apa artinya itu?" tanya Aisyah menantang kedua makhluk menjijikkan itu. Tingkah mereka berdua layaknya binatang.
"Jadi mulai saat ini, bisa kalian tidak berzina lagi sebelum kalian resmi menikah secara agama?" ancam Aisyah yang disambut cibiran oleh Ririn. Tapi Aisyah tidak peduli mereka setuju atau tidak.
"Jadi kapan aku bisa mendapatkan tempat tinggal baru?" tanya Aisyah ke arah Adimas karena jujur semalam dia lupa menanyakan soal itu karena dia lebih membutuhkan kepastian statusnya dari Adimas.
"Nanti kalau sudah ada kabar aku akan kabari kamu," kata Adimas sembari memejamkan matanya. Karena Aisyah sudah mulai membicarakan soal rumah dia takut Aisyah akan membicarakan hal yang tidak mau dibahasnya.
"Mas kok enggak jelas sih," bukan Aisyah yang protes tapi Ririn, "kalau dia masih terus di sini kita tidak akan bebas lagi mas, pasti kena ceramah deh."
"Kamu kan enggak bisa jauh dari aku kan sayang," goda Adimas sambil menarik tubuh Ririn ke atas tubuhnya. Dia lupa akan peringatan Aisyah
"Baiklah kurasa aku akan memanggil warga saja," kata Aisyah agak keras, supaya kedua makhluk paling menjijikkan itu menghentikan aksi dosa mereka.
"Aisyah ... jangan!!!" teriak mereka berdua, dengan menghentak Ririn keluar mengikuti Aisyah yang lebih dulu berjalan ke arah dapur. Aisyah merasa tenggorokannya semakin kering karena habis memberi kuliah tujuh menit kepada pasangan m***m tadi, batin Aisyah dalam hati.
**
"Kapan kalian balik ke Banjarmasin untuk menikah?" tanya Aisyah disela sarapan bersama ala Adimas, Ririn dan juga Aisyah. Bagaimana tidak? Selama sarapan mereka saling menatap tajam. Alih-alih makan dengan tenang, Ririn dan Adimas memang gencar menatap Aisyah dengan pandangan seolah mereka berdua ingin mencabik-cabik Aisyah.
Bukan Aisyah namanya jika terintimidasi, wanita Sholehah itu bahkan tidak peduli dengan sikap bermusuhan mereka berdua, dia masih memakan sarapannya dengan tenang.
"Hei ... aku bertanya," seru Aisyah setengah membentak.
Adimas sadar wanita ini bukan seperti perkiraannya. Dia tidak boleh bertindak gegabah, dua hari setelah wanita itu tiba di Jakarta menyadarkannya bahwa pemikirannya tentang wanita lemah yang patuh pada suami sudah tidak ada lagi. Yang tertinggal adalah wanita yang mempunyai pandangan hidup tegas.
"Aku tidak tahu," kata Adimas cuek.
"Kau bisa lihat sendiri kan Rin, lelaki ini hanya menyukai lubangmu untuk dimasuki punyanya tidak lebih," ejek Aisyah sedikit vulgar, karena berbicara dengan orang seperti mereka dirinya tidak perlu bermanis kata, "dan kau masih saja ingin melayani nafsu bejatnya, lelaki ini bahkan tidak berniat menikahimu."
"Aku beri kalian waktu satu minggu untuk berbicara dengan keluarga kalian dan kurasa waktu satu minggu kalian bisa menyiapkan pernikahan sederhana kan?" perintah Aisyah tegas. Entah kenapa kedua orang di depannya itu langsung mengangguk patuh.
"Kalian tunggu apa lagi? Cepat hubungi keluarga kalian!" sentak Aisyah dengan nada sedikit tinggi karena melihat keduanya hanya termangu.
“Iya nanti, orang tuaku pasti masih tidur sepagi ini,” kata Adimas malas. Siapa juga yang mau menghubungi orang tuanya? Orang kedua orang tuanya sudah meninggal. Waktu melamar dan yang menyaksikan pernikahannya dengan Aisyah adalah orang bayaran. Mitha yang sudah mengatur semuanya, dia tinggal terima bersih. Aisyah bukannya berpihak kepada mereka. Tapi karena dirinya tidak mau banyak dosa lagi yang mereka berdua lakukan. Hanya ini caranya. Pernikahan dan mereka tidak akan berzina lagi.
"Mas, Aku tadi ditawari teman buat mengajar di sebuah yayasan, aku sudah menerima tawarannya," kata Aisyah setelah mereka usai menghubungi keluarga mereka, "aku tidak meminta ijinmu karena kamu bukan lagi suamiku aku hanya memberitahumu."
"Terserah kamu," ujar Adimas dingin, tadi dia tidak menghubungi siapa pun, dia sama sekali tidak peduli dengan Ririn dan bayinya. Kalau perlu bayi itu harus mati, tapi bagaimana? Ririn pasti tidak mau menggugurkan kandungannya. Tidak, wanita kampung itu pasti sengaja menjebaknya dengan janin yang dikandungnya untuk membuatnya harus mempertanggungjawabkan perbuatan-nya. Harusnya dirinya lebih berhati-hati.
Bodoh!! Kenapa tidak pakai pengaman! Rutuknya pada diri sendiri. Menikahi Ririn itu artinya dirinya meski menanggung biaya kehidupan Ririn, padahal belum menikah saja Ririn sudah sering minta ini itu darinya, apalagi kalau sudah menikah. Orang hidupnya saja bergantung dari Mitha istri tuanya. Istri yang disembunyikan demi sebuah rencana. Ah lebih baik bertanya sama Benny, dia kan pernah nganterin pacarnya aborsi, kali aja dia tahu cara gugurin bayi tanpa perlu pergi ke dokter, pikir Adimas membatin.
"Mas aku pingin rujak buah," rengek Ririn membuat tekad Adimas semakin besar untuk membunuh janin itu.
"Wah udah ngidam aja mas," ejek Aisyah melihat tampang masam Adimas. Syukurin siapa suruh tebar benih di mana saja. Batin Aisyah.
"Iya nih Syah," ujar Ririn riang, tidak menyadari muka tak sedap Adimas. Rin andai kau tahu apa yang dipikirkan oleh lelaki yang menjadi ayah dari anak yang kau kandung itu, maka kau akan sangat membencinya. Batin Aisyah miris. Di satu sisi dia sangat membenci tingkah polah Ririn, di satu sisi lainnya dirinya kasihan dengan nasib yang menimpa mantan sahabatnya itu.
Mungkin itu buah dari perbuatannya sendiri, semoga saja ini bisa menyadarkan mereka akan kesalahan yang sudah mereka berdua perbuat. Semoga....
'Ya Allah ... sadarkan mereka Ya Robb', doa Aisyah dalam hati.
>>Bersambung>>