Chapter 1. Pernikahan
Aisyah Nur Jannah, gadis cantik yang ramah dan terpelajar. Gadis Sholehah anak kedua juragan beras di desa Basirih Banjarmasin barat Kalimantan. Anak pasangan H. Mansyur dan Hj. Romlah. Sebenarnya keduanya bukan orang asli Banjarmasin, mereka berdua berasal dari Kediri Jawa timur. Sejak kecil Aisyah dipondokkan di pesantren di Jombang Jawa timur. Bahkan dia sudah lulus Kuliah di Universitas Darul Ulum Jombang tahun ini. Dia mengambil jurusan Ahli Fiqih. Bahkan Aisyah sudah diminta untuk mengajar di pondok pesantren Darul Ulum.
Akan tetapi rencana tinggal rencana manusia memang bisa berencana tapi Allahlah yang akhirnya menentukan jalan kehidupan setiap Makhluk-Nya, ini contohnya Aisyah sudah berencana menjadi guru di tempat dia selama ini belajar tapi Tuhan berkehendak lain, karena ternyata kedua orang tuanya sudah terlanjur menerima lamaran pemuda dari Jakarta. Seseorang yang bahkan tidak dikenal dan juga tidak pernah ditemuinya.
Ada kesedihan dalam hati Aisyah karena cita-citanya harus terputus begitu saja. Ya, dia mempunyai harapan untuk bisa berbagi ilmu dengan sesama pasti rasanya menyenangkan bisa memberikan sedikit ilmu yang dipelajarinya.
Menjadi guru adalah impian masa kecilnya. Tetapi demi baktinya kepada kedua orang tuanya, Aisyah harus mengubur dalam-dalam impiannya. Meski rasanya menyedihkan tapi demi membahagiakan kedua orang tuanya, dia rela.
Malam harinya dia tiba di Banjarmasin, suasana rumahnya sudah penuh dengan hiasan pesta. Jadi kedua orang tuanya memang serius menikahkan dirinya dengan lelaki asing.
Dia berjalan dengan langkah gontai ke dalam rumahnya. Tak ada sedikit saja rona bahagia di wajah lelahnya. Bahkan dia sudah Shalat Istikharoh meminta yang terbaik kepada Allah.
Kedua orang tuanya menyambutnya dengan raut bahagia mereka, membuat Aisyah tidak tega menentang keinginan mereka. Aisyah merasa ini bukan hal yang baik untuknya. Tapi lidahnya kelu hanya untuk bertanya siapa calon suaminya? Atau apa pekerjaan suaminya? Dan masih banyak lagi sebenarnya yang mau ditanyakan Aisyah kepada mereka berdua. Tapi bibirnya terkatup rapat.
Dia hanya bisa membalas tawa bahagia orang tuanya dengan senyuman masam. Dia mengikuti langkah kedua orang tuanya diikuti oleh sanak saudaranya. Mereka terlihat bahagia di mata Aisyah. Sanggupkah dirinya merusak kebahagiaan mereka semua? Khususnya kedua orang tuanya?
“Aisyah,” panggil sebuah suara yang terdengar kencang. Aisyah sudah hafal suara siapa ini. Suara sahabat terbaiknya. Ririn Auliyah anak tetangga rumah Aisyah. Memang sejak masuk pesantren hubungannya dengan Ririn kontan terputus karena di pesantren dilarang menggunakan ponsel. Hanya telepon di kantor kepala saja yang bisa dipakainya untuk menghubungi orang tuanya. Itu pun dibatasi.
“Ririn,” sapa Aisyah dengan senyuman mengembang. Dia menyukai sifat Ririn yang ceria. Mereka memang saling melengkapi. Aisyah dengan segala keanggunannya dan Ririn dengan keceriaannya.
“Ya ampun Syah kangen aku, kamu ini pulang-pulang malah menikah,” gerutu Ririn membuat hati Aisyah menghangat. Ya inilah yang perlu dilakukannya. Melupakan sejenak. Walau dirinya yakin jika dia sudah sendiri nanti dia akan kembali bersedih.
“Enggak tahu aku Rin, orang ibuku yang merencanakan ini, aku bahkan tidak mengenal calon suamiku,” jawab Aisyah dengan wajah ceria, walau dalam hatinya diliputi kesedihan. Setidaknya keluarganya tidak boleh melihatnya. Dia tidak mau kebahagiaan yang tadi terpancar akan rusak akibat wajah sedihnya.
“Wah kamu tuh beruntung tahu, kudengar calonmu itu ganteng lo, udah gitu tajir melintir,” gurau Ririn, “kalau aku yang jadi kamu aku sudah keliling kampung saking gembiranya.”
“Kamu ini bisa saja,” kata Aisyah memukul lengan Ririn, dia takut omongan Ririn di dengar keluarganya, bisa dikira Ririn ada maksud tidak baik nantinya.
“Apa tadi kamu bilang? Kamu enggak usah sok kecakepan ya Rin,” ujar Ibunya Aisyah ternyata mendengar ucapan Ririn langsung marah dia, “kalau dibanding Aisyah kamu itu tidak ada seujung kukunya.”
Hj. Romlah mengeluarkan semua unek-unek yang dipendamnya dari dulu. Dia sangat tahu niatan Ririn berteman dengan putrinya walau putrinya tidak pernah mempermasalahkannya. Tapi mendengar kalimat keji yang terlontar dari mulut gadis tidak tahu diri itu membuat amarahnya tidak terbendung lagi.
“Ibu ... ibu tenang Bu, malu banyak orang,” kata Aisyah lembut menenangkan sang Ibu yang dikuasai amarah. Dipeluknya lembut tubuh renta sang ibu yang baru disadari oleh Aisyah. Apa karena menyadari itu membuat ibunya berpikir sangat penting menikahkan putrinya satu-satunya? Karena kakaknya memang lelaki tulen. Terbukti dari istrinya yang hamil tua saat ini. Kakaknya bernama Ahmad Husein sedang istrinya yang sedang hamil bernama Hindun.
Badan ibunya gemetar menahan amarah. Ibu Romlah sering mendengar ucapan Ririn yang menjelekkan putrinya di belakang Aisyah. Tapi dia juga tidak bisa melarang Aisyah untuk berteman dengan Ririn. Entahlah perasaan seorang ibu mungkin. Dia merasa kalau Ririn tidaklah tulus kepada Aisyah.
“Kau istirahatlah, Isah,” perintah Ibunya setelah Bu Romlah sedikit tenang.
“Baik Bu,” ucap Aisyah patuh, pasalnya badan dan pikirannya memang sudah sangat lelah, “aku istirahat dulu ya Rin.”
Ririn hanya mengangguk, tapi hatinya diliputi dendam. Perkataan ibunya Aisyah begitu menyakiti perasaannya. ‘Awas saja tua bangka, sebelum kau mati kau akan melihat milik anakmu akan menjadi milikku juga’ janji Ririn dalam hati. Matanya memicing tajam ke arah Bu Romlah tanpa satu orang pun yang memperhatikannya. Karena semua sudah larut dalam kegiatan mereka masing-masing. Tanpa disadari olehnya sendiri dendam dan kemarahannya nantinya hanya akan menyakiti dirinya sendiri. Tapi Ririn yang terbutakan oleh amarah sudah tertutup mata hatinya. Dia tidak lagi memandang Aisyah sebagai sahabatnya akan tetapi berubah menjadi Rivalnya.
**
Di dalam kamar Aisyah sudah selesai membersihkan diri, dirinya memilih melakukan Shalat Isya’. Usai Shalat dia bermunajat ke hadirat Allah. Menunduk dengan khusyuk penuh keikhlasan dan kepasrahan berserah diri hanya kepada Allah.
Allahumma inni a’udzu bika min syarri mashona’tu wa min syarrikulidzii syarrin laa hawla wa laa quwwata illaa billahi
Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan perbuatanku dan dari kejahatan semua yang punya kejahatan, tidak ada daya dan upaya hanya atas izin-Mu ya Allah.
Robbi Hablii Milladunka Zaujan Thoyyiban Wayakuuuna Shohuban Lii Fiddiini Waddunyaa Wal Aakhiroh
Ya Robb, berikanlah kepadaku suami yang terbaik dari sisi-Mu, suami yang juga menjadi sahabatmu dalam urusan agama, urusan dunia dan akhirat.
Amiin ya robbal 'alamin
Aisyah pov
Kuusap wajahku dengan kedua tangan, perasaanku menjadi lebih tenang setelah menyerahkan semuanya hanya kepada Allah. Aku percaya Allah sudah menyediakan jodoh lelaki dan perempuan dari golongannya.
Ya lelaki Sholeh pasti berjodoh dengan wanita Sholehah. Sedangkan lelaki pezinah akan berjodoh dengan pezinah juga. Allah tidak akan meridloi seorang wanita Solehah dinikahi oleh seorang lelaki ahli maksiat.
Jika pun nantinya ternyata Allah memberiku suami yang tidak baik urusan agamanya, mungkin saja itu bukanlah jodoh sebenarnya dari Allah untukku.
Itu adalah cara Allah menguji Ummat-Nya, sampai di mana kadar keimanannya. Tapi percayalah akan datang kepadamu jodohmu yang sesungguhnya. Itu yang sering kudengar saat di pesantren.
"Ya Allah hamba pasrahkan semuanya hanya padamu wahai dzat yang sebaik-baik tempat bersandar," doaku dalam hati.
Aku merebahkan tubuh lelahku di atas tempat tidur yang sudah dihias, entah kenapa mataku enggan terpejam. Banyak hal yang memenuhi pikiranku.
Kenapa ibu membenci Ririn? Aku tahu kata-kata Ririn tadi memang tidak pantas walau hanya untuk sebuah becandaan saja. Tapi reaksi ibu juga berlebihan.
Pikiranku berpindah kepada calon suamiku, aku bahkan tidak tahu namanya. Tetapi kenapa Ririn mengetahui kalau calonku itu tampan dan juga kaya? Apa mereka sudah lebih dulu mengenal? Lalu kenapa lelaki itu bahkan menikah dengannya bukan dengan Ririn? Apa itu juga yang membuat ibuku membenci Ririn?
Hati kecilku rasanya ingin menolak pernikahan ini, serasa ini semua salah. Tetapi, apa aku tega membuat malu keluargaku? Aku turun dari ranjang menuju ke arah jendela kamarku. Kamarku berada di lantai dua, dari sini bisa kulihat di bawah sana orang masih berlalu lalang melakukan tugas mereka. Apa aku sanggup mengecewakan semua orang?
Ya Allah aku ikhlas menikah hanya karena mengikuti sunnah Rosul dan melengkapi kesempurnaan ibadahku. Semua hanya untuk mengharap keridloan-Mu.
Maka berilah aku keikhlasan, kekuatan dan kesabaran dalam menjalaninya. Amin ya rabbal 'alamin.
Kuhembuskan nafasku panjang mencoba menghilangkan sesak yang entah kenapa seakan meng-himpit rongga dadaku, membuatku kesulitan bernafas. Seakan ada tangan tak kasat mata yang mencekik leherku. Kulangkahkan kakiku ke arah nakas, kuambil segelas air putih yang memang kusediakan setiap sebelum tidur.
Bismilah....
Kuminum setengah dari isi gelas dengan tiga kali tegukan. Merasa sedikit tenang. Aku sudah wudlu, Shalat, berzikir dan juga berdoa kini aku tinggal pasrah mengikuti garis takdir membawaku. Setidaknya kemanapun aku pergi, Allah tidak akan pernah meninggalkanku. Hanya dengan meyakini hal itu aku bisa melelapkan mataku. Bibirku tak pernah berhenti melafalkan asma Allah. Sampai kegelapan membawaku.
**
"Ananda Adimas Nugra Bin Mahmud Nugra saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan Aisyah Nur Jannah binti H. Mansyur dengan mas kawinnya berupa seperangkat alat Shalat beserta emas lima karat, tunai." Kudengar suara ayahku memulai prosesi Ijab Qobul dengan suara yang mantap. Diam-diam aku menghapus air mataku, entah kenapa kesedihan lebih menguasaiku dibanding kebahagiaan.
“Ya Allah semoga keputusan kedua orang tuaku menikahkanku dengan suamiku ini adalah jalan yang terbaik bagiku dan keluargaku. Serta terbaik untuk agamaku ... Amin ya robbal ‘alamin. Doaku dalam hati.
"Saya terima nikahnya dan kawinnya Aisyah Nur Jannah binti H. Mansyur dengan mas kawinnya yang tersebut dibayar tunai." kudengar suara maskulin yang berat pertanda kalau lelaki itu gemar merokok membuat hatiku bergetar. Entah apa yang kurasakan?
Kenapa rasa takut itu tidak juga menjauh dariku. Akhirnya aku menjadi istri seseorang, suara pintu yang terbuka membuatku menoleh ke asal suara.
"Sayang, ijab Qobulnya sudah selesai kau bisa keluar,” kata Ibuku, "kau cantik sekali sayang, suamimu pasti senang sekali."
"Kau harus bisa menjadi istri yang baik, jangan membuatnya mempunyai alasan untuk mengeluh," nasehat ibuku sebelum aku benar-benar keluar dari kamarku.
"Tentu Bu, Isah mengerti," kataku faham. Ibu menuntun langkahku menuju tempat pelaminan di mana suamiku menungguku. Kepalaku tertunduk bukan karena aku takut terjatuh, aku hanya tidak mau semua mata yang memandangku akan mengetahui gejolak yang kini kurasakan. Semakin mendekati pelaminan membuat langkahku semakin berat seakan ada rantai besi di kakiku membuatku sulit melangkah.
'Bismillahirrahmanirrahim' rapalku dalam hati, kupejamkan mataku sekejap.
"Ya Allah aku berlindung kepadamu dari pikiran jahat manusia, aku menikah atas-Mu Ya Allah maka berilah Rahmad-Mu dalam setiap langkahku, Amiin ya robbal 'alamin," doaku lirih.
Kakiku menginjak karpet yang melapisi lantai pelaminan. Itu artinya aku sudah semakin dekat dengan suamiku. Aku bahkan tidak sanggup meliriknya.
'Bismillah' batinku, dengan perlahan wajahku kuangkat demi menatap wajah seseorang yang sekarang sudah sah menjadi suamiku. Mata kami terkunci satu sama lain, satu kata buatnya. Tampan, benar kata Ririn, suamiku memang tampan. Aku berharap dia tidak hanya tampan luarnya saja tapi yang paling penting adalah akhlaknya.
Ya Robb, Jadikanlah suamiku sebagai suami yang terbaik dari sisi-Mu, suami yang juga menjadi sahabatku dalam urusan agama, urusan dunia dan akhirat. Menjadi imam yang bisa menuntunku mendekat kepada Syurga-Mu.
Amin ya Robbal ‘alamin.
Lelaki itu tersenyum lembut ke arahku, semoga senyuman itu berasal dari hatimu mas. Kubalas senyumannya dengan senyuman lembutku. Senyum itu ibadah kan? Apalagi senyum kepada suami itu bisa mendatangkan pahala. Semoga Allah merahmati pernikahan kami.
Aku duduk di sampingnya sesuai arahan ibuku. Kami menandatangani buku nikah secara bergantian. Dan kami mengikuti serangkaian adat dan upacara yang harus kami jalankan sebagai babak awal kehidupan berumah tangga.
**
"Sebelumnya aku minta maaf karena kita menikah tanpa persetujuanmu," kata mas Adimas sesaat setelah pesta pernikahan kami yang lumayan panjang.
"Kita lakukan pelan-pelan saja ya, kita mulai dengan saling mengenal lebih dahulu, kau mau kan?" tanya suamiku lagi sambil mengambil jemariku yang saling memilin di atas pangkuanku. Aku hanya bisa mengangguk tanpa berani memandang matanya.
"Baiklah aku mandi dahulu baru beristirahat," kata mas Adimas sambil membuka kopernya dan mengambil sesuatu, aku tidak terlalu memperhatikan. Aku berjalan menuju meja rias untuk menghapus riasan wajahku. Rasanya wajahku gatal sekali karena tidak terbiasa dengan make up tebal.
Kulihat dari kaca kalau suamiku itu memasuki kamar mandi. Aku bernafas dengan lega setelah dia memasuki kamar mandi. Entahlah aku merasa ada yang salah dengan suamiku. Walau aku tidak tahu apa. Tapi entah kenapa berada di dekatnya aku tidak merasa nyaman. Seakan aku bisa merasakan jika dia akan menyakitiku.
Ya Allah tolong jaga diriku dari niat jahat orang, Amin Ya Robbal ‘alamin.
Aku berharap pemikiranku salah tentang suamiku. Aku percaya janji Allah jika akan menjodohkan umat-Nya sesuai golongannya. Aku percaya hatiku tulus, maka jodohku juga pastilah pria yang tulus. Bukannya janji Allah jika jodohmu itu cerminan dari dirimu. Itulah yang jadi peganganku. Sesungguhnya Allah tidak pernah ingkar janji. Aku selalu berusaha berbaik sangka dengan Allah. Karena begitulah Allah akan bersikap kepadamu sesuai dengan pemikiranmu pada-Nya. Dan aku meyakininya.