Awal Dari Dosa
Mereka sudah duduk berdampingan, dari tadi tangan mereka saling menggenggam. Adimas mengecup telapak tangan Ririn dengan mesra, lelaki ini memang mahir menjungkir balikkan hati seorang wanita. Tak butuh lama Ririn yang memang dari awal ingin menggoda Adimas langsung menerima keromantisan Adimas dengan tangan terbuka.
Ririn sudah berpikir jika suami dari sahabatnya itu memang sudah tergoda dengannya dan melupakan istrinya sendiri. Dia tidak tahu saja jika dirinyalah yang masuk dalam jebakan maut yang dipasang si casanova.
Lelaki itu hanya ingin menikmati tubuhnya. Ingin memanfaatkan tubuhnya untuk memuaskan nafsu setannya. Hanya itu.
Ririn mendesah lirih saat tangan Adimas mulai nakal bermain di pahanya. Tangan Adimas yang satunya merangkul bahu Ririn untuk semakin menempel pada tubuhnya.
Adimas melirik ke sekelilingnya. Para penumpang kebanyakan sudah memejamkan mata mereka. Untung saja posisinya di pojokan dengan Ririn yang duduk di dekat kaca. Memudahkan tangannya bergentayangan ke tubuh wanita di sebelahnya. Wanita yang bukan muhrimnya.
Adimas memang agamanya Islam tapi hanya Islam di KTP, dia saja tidak ingat kapan terakhir kalinya dia Shalat. Jika Aisyah mengingatkannya untuk Shalat dia pasti mempunyai banyak alasan. Dan jika Aisyah bertanya lagi apa dia sudah Shalat maka dengan wajah meyakinkan dia akan bilang 'sudah' padahal belum.
Tangan Adimas yang tadinya di pundak Ririn kini turun membelai lembut lengan Ririn, gadis itu sampai merem melek menikmati sensasi yang dikirimkan belaian tangan suami sahabatnya itu.
Tangan Adimas semakin bersemangat, tangan itu masuk ke bawah lengan Ririn meremas gunung kembar Ririn dengan lembut. Dia bisa merasai ujung gunung kembar itu sudah mengacung sempurna. Ditariknya pelan p****g p******a Ririn dari luar kaos tipis Ririn. Gadis itu mendesah tertahan tak mau aksi mereka diketahui orang lain. Tangan Adimas semakin nakal, dia menerobos masuk ke dalam kaos Ririn. Tangan itu langsung menerobos masuk merasai langsung benda kenyal yang membusung menantangnya. Badan Ririn semakin menempel ke d**a Adimas, ingin rasanya dia memasuki Ririn saat ini juga. Tapi dirinya masih cukup waras untuk melakukannya di sini. Wanita ini terlalu mudah masuk ke perangkapnya. Murahan, batinnya.
Adimas belum mau berhenti. Ririn mukanya sudah memerah karena menahan gairah. Dia menggigit bibirnya menahan desahan yang rasanya ingin keluar dari mulutnya akibat tangan Adimas yang kini memasuki celana dalamnya, dia merasakan jari tangan Adimas yang mulai masuk ke intinya. Membuat sesuatu dari dalam tubuhnya ingin keluar. Andai di dalam kamar rasanya dia akan mendesah dengan keras serta meneriakkan nama Adimas dengan kencang. Sayangnya kini mereka di tempat umum dan sedang melakukan hal yang tidak pantas. Apalagi status mereka yang bukan siapa-siapa.
"Mas ... Oh ... Mas ... Aku mau keluar ... Mas," desis Ririn tak tahan. Jemarinya meremas rudal Adimas yang sudah mengembung dari luar celananya. Diremasnya dengan kuat naik turun membuat Adimas keenakan. Lelaki itu pun mendesis keenakan sambil matanya merem melek mendapatkan rangsangan dari tangan Ririn. Oh, dirinya tidak menyangka gadis kampung macam Ririn bisa seliar ini. Ternyata Ririn sama jalangnya dengan gadis metropolitan pada umumnya, berbeda sekali dengan Aisyah.
"Ssssh." Mereka akhirnya mendesis dengan mulut dalam gigitan gigi mereka masing-masing untuk menahan erangan kenikmatan yang sudah ada di ujung bibir mereka. Mereka o*****e bersama-sama. Menikmati awal dari dosa mereka.
**
"Siapa Sah?" tanya Husein, ketika Aisyah menutup panggilan teleponnya. Pasalnya tidak biasanya Aisyah habis menerima telepon mukanya langsung sendu begitu.
"Oh itu mas Adimas dia cuma mengabarkan kalau dia tidak bisa menghadiri empat puluh harinya ibu, kerjaannya menumpuk kak karena kemarin sempat ditinggalnya setengah bulan lebih mengurusi pernikahan kami sama nungguin tujuh harinya ibu," jelas Aisyah tak mau membuat kakaknya salah paham kepada Adimas. Karena Aisyah yang peka itu bisa merasakan ketidaksukaan Husein kepada suaminya itu.
"Oh gitu, kupikir siapa," kata Husein kembali acuh saat mengetahui adik iparnya yang menelepon. Mereka masih disibukkan dengan persiapan empat puluh hari meninggalnya ibunya.
**
"Mas enggak jadi balik ke Banjarmasin? Katanya mau jemput Aisyah sekalian," kata Ririn manja, mereka kini berpelukan mesra usai pergulatan panjang mereka. Ya setelah mereka tiba di Jakarta Ririn memang langsung tinggal di rumah Adimas. Dan tidak itu saja kamar yang harusnya ditempati Adimas dengan Aisyah lebih dulu ditempati Adimas dan Ririn.
Tanpa tahu malu mereka berdua sudah melakukan hubungan suami istri. Bercinta di mana saja. Walau Adimas agak kecewa karena dia bukan yang pertama bagi Ririn, tapi dia cukup puas karena Ririn sangat pandai memuaskannya.
"Enggak sayang, mending aku di sini berduaan sama kamu sepuasnya, sebelum Aisyah pulang ke sini dan kita tidak bisa sembarangan memadu kasih seperti ini ‘kan?" kata Adimas sambil menciumi pundak polos Ririn.
"Jadi kalau Aisyah tiba, kita tidak bisa melakukannya lagi ya mas?" kata Ririn merasa sakit hati, kenapa lelaki ini tidak menceraikan Aisyah saja sih? Bukankah dirinya sudah memuaskan Adimas, tapi kenapa lelaki ini masih berharap kepada pernikahannya dengan Aisyah?
"Mas jahat banget deh, kenapa tidak ceraiin Aisyah saja sih, kan mas bilang kalian belum pernah begituan," kata Ririn merajuk.
"Jangan merajuk sayang, aku tidak mungkin menceraikan Aisyah begitu saja," kata Adimas mencoba membujuk Ririn, "kau bersabar ya, aku butuh setahun. Lalu aku akan menikahimu dan menceraikan Aisyah."
Ririn langsung sumringah, tak masalah baginya harus menunggu setahun. Dia akan buat sebelum setahun, Adimas menceraikan Aisyah, ya jika dengan cara halus maka dengan cara paksa. Adimas pasti akan segera menikahinya kalau dirinya hamil anak Adimas.
"Mas janji kan?" tanyanya meyakinkan.
Sebelum Adimas menjawab, sebuah panggilan telepon berbunyi berasal dari ponsel Adimas. Buru-buru lelaki itu mengambil ponselnya dan beranjak bangun. Untung saja, batin Adimas yang malas menjawab pertanyaan Ririn. Dia keluar dari kamar tanpa memberi penjelasan kepada Ririn membuat wanita itu kesal dibuatnya.
**
"Hallo sayang, gimana kamu berhasil tidak merayu duda itu?" tanya Adimas pelan tidak mau Ririn mendengarnya. Bukannya takut Ririn akan marah padanya tapi lebih takut kalau Ririn mengadukan isi pembicaraannya kepada Aisyah.
"Tenang sayang, duda itu sudah bertekuk lutut kepadaku, cuma anak-anaknya membuatku gila rasanya," kata suara di ujung telepon sana.
"Kamu yang sabar sayang, setelah kita dapat menguasai harta duda itu kau bisa menyingkirkan anak-anaknya ke tengah jalan," kata Adimas terkekeh geli membayangkan hidupnya bergelimang harta yang bisa dia nikmati dengan wanitanya.
"Kau tidak menyentuh istri barumu ‘kan?" tanya wanita itu dengan nada menyelidik.
"Tentu tidak sayang, lagian dia masih di Banjarmasin menunggu sampai empat puluh hari meninggalnya ibunya," kata Adimas jujur, ya tentu saja dia sudah janji untuk tidak menyentuh istri barunya, tapi dia sudah meniduri 'sahabat istri barunya', seringainya dalam hati. Dasar Buaya Darat memang si Adimas.
"Awas saja kalau kamu sampai membobol istrimu itu aku tidak akan memaafkanmu, aku tidak akan memberimu uang duda itu sepeser pun," ancam wanita itu lagi.
"Kamu bisa memegang janjiku sayang," janji Adimas. Tenang saja sayang aku sudah punya pelampiasan, jadi aku tidak akan menyentuh istriku. Walau wanita itu sangat cantik, batin Adimas. Pikirannya memikirkan betapa cantik dan polosnya seorang Aisyah. Setidaknya nanti jika mereka bercerai wanita itu tetap suci. Ah tidak, setidaknya setelah wanitanya berhasil mendapatkan harta duda itu dan dirinya mendapatkan bagian sebelum menceraikan Aisyah, terlebih dahulu dirinya harus bisa merasakan ‘punya’ istri polosnya itu. Pasti lebih nikmat dari pada milik wanita yang selama ini dimasukinya.
"Aku kangen sama kamu, besok aku tunggu di apartemen ya," usai berbicara begitu wanita itu langsung menutup sambungan telepon membuat Adimas berdecak kesal.
"Selalu saja seenaknya saja, untung cinta," desisnya kesal.
>>Bersambung>>