"Tenang saja. Aku tidak melukai dirinya." kata laki-laki itu mengangkat salah satu tangannya.
"Aku hanya mengantar dia pulang. Dia terluka tadi." kata ayah Felly mencoba untuk menjelaskan. Dengan badan sedikit tertunduk, tangan kedepan dan pandangan mata was-was.
Brian mengerutkan keningnya. "Apa kamu yakin?" tanya Brian. Berjalan mengendap-endap. Dengan tangan yang masih memegang senjata pandangan matanya tampak sangat was-was. Tangan kanan bersiap menarik senjatanya.
"Kamu terluka?" tanya Brian pada Aron.
"Turunkan senjatanya. Lagian, dia tidak menyakiti. Biarkan dia pergi." kata Aron lirih.
"Kamu yakin?" Brian masih was-was.
"Aku yakin! Sudah lebih baik kita cari aman saja. Dia juga menolongku. Jadi biarkan saja dia pergi. Jangan sampai dia terluka." kata Aron.
"Dia juga punya anak kecil yang masih harus di jaga. Anak perempuan yang menggemaskan. Sedang menunggunya di rumah. Jadi jangan mulai dia." lanjut Aron menjelaskan. Perlahan, Brian mulai memasukan kembali senjatanya. Meski pandangan mata masih menatapnya dengan sangat hati-hati. Dia berjalan pelan, menarik tangan Aron, agar dia berdiri tepat di sampingnya.
"Pergilah! Makasih sudah antarkan dia pulang." kata Brian.
"Iya, sama-sama. Aku pergi dulu." kata ayah Felly. Dia melangkahkan kakinya pergi meninggalkan Brian dan Aron. Meski di setiap jalan dia masih tampak was-was. Mengegrutu tak jelas. Apalagi dia melihat sendiri bagaimana kelebihan Aron tadi. Baginya ini luar biasa. Dia bahkan tidak bisa seperti dia. Rasa penasaran ayah Felly mulai tinggi. Dia ingin melihatnya lebih detail lagi.
"Kamu gak apa-apa?" tanya Brian.
Aron menggelengkan kepalanya. Dia berjalan masuk ke dalam rumahnya.
"Tapi kata Dia tadi terluka?" tanya Brian lagi. Dia tampak snagat khawatir.
"Kenapa kamu bisa terluka. Apa dia menyakiti kamu. Atau, ada orang yang menciba melukai kamu?" tanya Brian. Dia berjalan mengikuti Aron masuk kedalam rumahnya.
"Hanya lima kecil saja." kata Aron. Menjatuhkan tubuhnya duduk di sofa.
"Kenapa kamu yakin jika hanya luka kecil? Kamu tidak bohong?" tanya Brian masih khawatir.
Aron menganggukan kepalanya. Dia membaringkan tubuhnya di atas sofa. Merasa sudah sangat lelah. Ia merasa lega bisa membuat tulangnya tertarik sedikit ke atas.
"Kenapa kamu bisa terluka?" tanya Brian.
Aron menghela napasnya. Dia menatap ke arah Brian. "Aku tadi melihat gadis kecil sedang di hina di taman. Mereka ingin memukul gadis itu. Jadi aku melindungi dia. Mereka memukul punggungku." jelas Aron.
"Memukul punggungmu?" Brian segera membalikkan badan Aron. Dia membuka bajunya. Melihat jelas luka yang masih di balik dengan perban.
"Jadi laki-laki itu yang mengobati kamu seperti ini?" tanya Brian lagi.
"Iya." jawab Aron. "Dia ayah gadis itu." kata Aron.
"Kenapa kamu melindungi dia?" tanya Brian.
"Bukanya kita harus saling tolong menolong. Itu sama seperti yang di katakan ibu aku. Dan, kamu juga mengatakan hal itu. Jadi aku akan terus melindunginya." kata Aron.
Brian menghela naosnsya. Dia menggelengkan kepala. "Apa yang kamu lakukan memang baik. Tapi, kamu juga jangan sampai melukai diri kamu. Lindungi dirimu juga dengan baik." kata Brian. Sembari tersenyum tipis padanya.
"Besok, kamu harus belajar bela diri. Kamu juga bisa melindungi diri kamu sendiri atau bahkan orang lain. Tanpa harus mengeluarkan kekuatan kamu, itu sangat bahaya nanti."
"Tidak hanya melukai kamu, itu juga melukai semua orang yang kamu ruangan nanti. Jika kamu bisa mengontrol kekuatan kamu tidak masalah. Jika belum, jangan gunakan itu. Meski dalam keadaan mendesak sekalipun." jelas Brian. Mengusap rambut Aron.
"Baik, aku paham." kata Aron. Dia mulai memejamkan kedua matanya. Tubuhnya yang terasa sangat lelah. Membuat kedua matanya perlahan mulai tertutup rapat.
"Makasih, karena kamu. Membuat aku jadi seperti ini." kata Aron lirih. Sebelum dia mulai tertidur pulas.
"Iya, aku juga berterima kasih padamu." kata Brian. Dia tersenyum sumringah.
"Jangan terluka lagi." ucap Brian. Tanpa ada jawaban dari Aron. Brian melirik ke arah Aron. Melihat dia tertidur ia melangkah lebih dekat lagi. Brian mengibaskan tangannya tepat di wajah Aron. Mencoba memastikan jika dia benar-benar sudah tertidur. Brian hanya tersenyum dan melangkahkan kakinya pergi. Dia menghentikan langkahnya lagi. Merasa ada yang mengganjal dalam dirinya. Rasa ingin tahunya semakin besar.
Laki-laki dengan Nada tegap itu. Menggerakkan kepalanya pelan, dia melirik ke arah Aron. Dengan kedua matanya saling tertaut, dia mengamati sekilas tubuh mungil remaja di depannya. Merasa ada yang membaut dia penasaran. Brian melangkah mengendap-endap mendekati Aron yang masih berbaring di sofa.
Brian memeriksa luka Aron dengan snagat hati-hati. Tangannya gemetar, takut jika Aron akan bangun nantinya. Dia membuka pelan baju Aron. Melihat luka itu perlahan sudah kering. Kedua mata Brian melebar sempurna. "Gimana bisa?" tanya Brian. Dia membuka perbannya sangat hati-hati.
"Tidak mungkin, kan? Kenapa bisa lukanya cepat sembuh hanya dengan olesan sedikit obat saja. Tanpa ada bekas luka sama sekali." ucap Brian terheran-heran. Dia masih belum percaya dengan apa yang di lihatnha. Brian berdiri tegap. Dengan tangan kanan menyentuh bibirnya. Salah satu tangan di lipat di dadanya. Dia menciba mengamati luka Aron. Sembari terus berpikir, apa yang terjadi pada dirinya.
"Bukanya ayahnya profesor?" ucap Brian teringat sesuatu. Dia mulai tersenyum tipis. Dan, segera berlari menuju ke komputernya di ruang kerja. Brian segera duduk, Dia begitu semangatnya mulai mencari sejarah di internet. Jemari tangannya dengan snagat lainya menyentuh setiap huruf yang ada di keyboard.
"Bentar, sepertinya aku harus cari tahu. Siapa ayahnya. Profoser 12 tahun lalu yang terkenal. Itu pasti ayahnya. Tidak mungkin jika ayahnya tidak terkenal. Atau, bahkan menciptakan keahlian yang luar biasa." kata Brian Menggelengkan kepalanya kagum Dia menoleh sekilas ke arah ruang tamu. Melihat Aron masih berbaring di sofa.
Brian memasang matanya lebih cermat lagi. Dia menyulitkan matanya. Saat melihat beberapa profesor terkenal.
"Profesor Verlos, dia berhasil menciptakan penemuan yang luar biasa. Tanpa di ketahui oleh siapapun. Dia bahkan tidak mempublikasikan semua penemuannya. Entahlah yang di rencanakan profesor itu. Tapi, saat ini dia sudah menghilang. Entah kemana dia pergi. Bahkan sahabatnya profesor Hardware dia tidak pernah lagi bertemu dengan Verlos selama puluhan tahun."
"Kini profesor Harward dia juga tidak pernah muncul lagi. Dia mengurungkan diri di rumahnya. Selama puluhan tahun. Dia berhenti untuk melakukan penelitian. Setelah mengetahui apa yang terjadi pada keluarga temannya." ucap Brian membaca secara detail.
"Memangnya apa yang terjadi pada temannya? temannya Verlos?" tanya Brian semakin penasaran.
"Kekuatan yang dia temukan, benar-benar sangat luar biasa. Dia bahkan membuat penelitian hampir 5 tahun. Hanya menemukan sebuah kekuatan yang tidak ada tandingannya. Di input dari kabar yang beredar dari mulut ke mulut beberapa profesor. Tidak ada media yang bisa membuktikan kebenaran itu. Verlos menutup semua pertemuan dengan media, kepolisian, bahkan dua tidak pernah berkumpul dengan beberapa komunitasnya."
"Aku mau minum?" ucap Aron. Seketika Brian menoleh cepat, dia takut jika laki-laki itu tahu apa yang dia cari sekarang.
Brian bangkit dari duduknya. Dan, segera keluar dari ruang kerjanya. "Kamu mau minum apa? Atau, perlu aku buatkan jus?" tanya Brian.
"Apa itu jus?" tanya Aron bingung.
"Bentar, aku buatkan dulu. Sepertinya kamu belum pernah tahu." kata Brian. Dia berjalan menuju ke dapur. Membuatkan jus jeruk dan alpukat. Hanya ada dua buah di kuliahnya. Beberapa buah sudah habis di makan oleh Aron selama beberapa hari.
Setelah selesia membuat jus. Brian segera memberikan pada Aron. Meletakkan di atas meja. "Lain kali kamu bisa buat sendiri." kata Brian.
"Iya." Aron segera meraih satu gelas jus jeruk di depannya. Meneguknnya perlahan tanpa tersisa.
"Eh, apa aku boleh tanya sesuatu?" tanya Brian.
"Tanya apa?" Aron meletakkan satu gelas kosong di atas meja.
"Siapa nama ayahmu?" tanya Brian gugup.
Aron terdiam sesaat. Dia mencoba mengingat kembali siapa nama ayahnya. Aron mengangkat tangan kanannya. Menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Nama ayahku Verlos." kata Aron.
Kedua mata Brian seketika melebar sempurna. Kedua bila mata itu hampir saja terlepas dari kerangkanya.
Verlos? Jadi artikel yang dia baca tadi, ayahnya? Jadi benar, dia adalah ciptaan ayahnya sendiri? Sepertinya aku harus cari tahu lebih banyak lagi tentang ayahnya.
"Ada apa?" tanya Aron bingung.
"Gak ada apa-apa, kamu lapar tidak? Aku buatkan makanan untukmu." ucap Brian mengalihkan pembicaraan.
"Boleh juga." kata Aron, tangan kanan mengusap perutnya yang dari tadi memang sudah berdemo minta makan.