3. Sebel Sama Papi

1528 Words
Helen terlihat begitu pucat. Dia menggigil seolah kedinginan, padahal badannya sangat panas. "Lo kenapa, Len?" tanyaku sesaat melihat sahabatku itu menggigil. "Iya, lo sakit apa?" imbuh Bora. Kami berdua begitu khawatir dengan keadaannya. Helen tak menjawab. Dia hanya terus menggigil dan mengeluarkan keringat dingin. Kulihat Tante Vina sudah berdiri di depan pintu. Dia memasang wajah tidak suka pada kami. "Kenapa nggak dibawa ke dokter sih, Tante?" Aku geram melihat kondisi Helen yang seperti ini, tapi malah dibiarkan saja nggak diobati. "Helennya nggak mau. Iya 'kan, Sayang?" Ibu tiri Helen itu tersenyum sambil melihat ke arah Helen. Aku nggak yakin senyumnya benar-benar tulus. Beralih, kutatap Helen yang hanya menganggukkan kepala. Kulihat Bora juga tak kalah geramnya denganku. Tapi, sebagai orang luar kami tak memiliki wewenang lebih jauh tentang masalah ini. Akan sulit tahu kebenarannya karena Helen sendiri cenderung tertutup. "Kenapa nggak mau, Len? Lo sakit gini. Badan lo panas banget," bujukku agar Helen tidak keras kepala. "Iya, Len. Kami khawatir tau. Lo nggak ngabarin kita seharian." Bora mengambil tissue yang berada di atas nakas dan mengelap wajah Helen yang berkeringat. "Gue nggak papa. Kalian pulang aja. Palingan cuma butuh istirahat," lirihnya. Ah, Helen memang keras kepala. Sudah tahu dia sakit, masih aja ngeyel. "Tapi, Len--" "Sudah, sudah. Kalian pulang aja. Gue mau istirahat." Helen segera menarik selimutnya ke atas dan kembali membungkus tubuhnya. Bisa dibilang aku dan Bora terusir. Huft! Kalau sakit kenapa mesti keras kepala sih, Len? Bora pun sama, dia nampak enggan meninggalkan kamar Helen ini. "Alia, Bora, mari silahkan keluar. Biarkan Helen istirahat." Lagi-lagi Tante Vina tersenyum, tapi entah kenapa aku merasakan hal yang nggak wajar di sini. Tapi, apa? Entahlah! Aku dan Bora segera keluar mengikuti langkah Tante Vina. Berkali-kali kami menoleh ke arah Helen yang masih meringkuk di dalam selimutnya. "Mungkin Tante Vina nggak sejahat yang ada dalam pikiran kita, Al." Kini kami telah berada di dalam mobil. Aku dan Bora memutuskan langsung pulang saja. "Entahlah, Bo. Mungkin juga gitu." Inginku mengiyakan pernyataan Bora. Tapi, sudahlah anggap semua baik-baik saja. Setelah mengantar Bora, aku langsung kembali ke rumah. Hasrat ingin belanja yang tadi udah memuncak seketika lenyap begitu saja. Ada mobil siapa itu? Mungkin teman mami. Secara mami 'kan banyak temennya. "Alia pulang, Mi." Sudah kebiasaan bagiku mencari mami jika sudah mulai masuk rumah. "Eh!" Ternyata benar ada temen Mami. Kenapa, ya begitu melihat sepasang temen mami itu, rasanya adem. Sepertinya mereka seumuran papi, deh. Atau mungkin lebih tua? Nggak penting juga, sih tahu umur kedua tamu itu. "Alia! Sini!" Sebagai anak yang berbakti, tentu saja aku langsung menghampiri mami. Nggak mau juga 'kan denger omelan mami siang-siang gini. "Iya, Mi." Aku pun tersenyum ke arah kedua temen mami itu. Meski sadar kalau aku sangat manja, tapi kesopanan terhadap orang lain masih menjadi nomer satu dalam didikan mami. "Kenalin, ini Om Burhan dan ini Tante Zainab." Aku mengulurkan tanganku untuk menyalami mereka. "Saya Alia, Om, Tante." Aku pun memperkenalkan diriku pada keduanya. Mereka tersenyum lalu menerima uluran tanganku. Tak lupa kucium punggung tangan keduanya dengan takzim. Berhubung mereka seusia papi sama mami. "Ini anaknya, Jenk? Cantik, ya." Tahu aja Tante Zainab kalau aku memang cantik. Ya, hampir semua bilang gitu, sih. Semoga saja pipiku nggak memerah. "Alia ke kamar dulu ya, Mi," pamitku pada mami. Mikirin Helen ternyata membuat tubuhku ikut capek. Mami mengangguk, "Mari, Om, Tante." Tak lupa aku pun berpamitan pada kedua tamu mami. Segera aku berjalan menuju tangga yang menuju kamarku. "Jadi, kapan baiknya, Jenk?" Sayup-sayup masih kudengar obrolan mereka. Kapan apanya? Mereka ngebahas apa, sih? Udahlah, mungkin urusan orang tua. Nggak usah kepo dong, Al. Ih! Aku hampir lupa. Papi belum jadi ngirim uangnya. Mesti protes ke papi, nih. Segera kuambil benda pipih yang sedari tadi ngumpet di dalam tas. Kepo, dong. Nggak biasanya papi sepelit ini. Nggak nurutin kemauanku. Lupa apa kalau Alia itu anak satu-satunya. Rasanya kesel waktu tau nggak ada transferan masuk ke rekeningku. Tapi, tadi sempat lupa sih, gara-gara panik masalah Helen. "Kok nggak diangkat, sih. Sesibuk apapun papi, pasti usahain ngangkat telpon dari gue." Kenapa perasaanku nggak tenang gini, ya? Seperti akan ada hal besar yang bakal menimpa kehidupanku. Nggak mau parno juga, sih. Tapi, beneran perasaanku nggak enak. Apa yang bakal direncanain papi ama mami? "Ih! Sebel!" Tiga kali aku manggil Papi, tapi sama sekali nggak digubris. Nggak mungkin 'kan papi lupa meletakkan handphone-nya? "Bodo, ah!" Segera kulempar ponsel ke arah kasur. Sebel sama papi yang mengabaikan panggilanku. Apa mungkin papi terkena bujukan Mami biar nggak manjain aku? Tega banget, sih? Sama anak semata wayang juga. Kalau ntar aku jadi kucel gimana? Apa mereka nggak malu punya anak yang nggak fashionable? "Baju kamu 'kan udah banyak Alia." Masih terngiang kata-kata mami tadi pagi. Bukannya mereka kaya, ya. Manjain anak satu aja nggak mau, sih. Bisa kulihat bibirku yang manyun beberapa senti lewat kaca meja rias di hadapanku. Bagaimana ini, manyun aja aku masih cantik. "Stop, Alia! Nggak usah narsis mulu. Ntar cantiknya kamu luntur karena kesombongan yang kamu buat." Nggak kebayang kalau kaca ajaib bilangnya ada yang lebih cantik dariku. Bisa-bisa aku kutuk dia buat tidur seperti putri tidur. "Tok ... tok ... tok ...!" Bisa dipastikan kalau yang mengetuk pintu itu mami. Tanpa menunggu jawaban dari pemilik kamar, pintu itu sudah terbuka setengah saja. Gimana coba kalau aku lagi telanjang? "Kenapa, Mi?" Beneran 'kan, mami. Wanginya udah kecium dari dalam kamar. "Kamu lagi apa, Princess?" Gelagatnya kurang enak, deh. Mami jadi lembut gini. "Nggak lagi ngapa-ngapain Mi." Emang 'kan aku nggak ngapa-ngapain, cuma lagi ngelamun aja gegara papi jadi nggak peka banget. "Ada sesuatu yang mau Mami omongin." Entah kenapa aura kamar ini menjadi sangat misterius. Kira-kira apa yang bakal mami omongin? "Ngomong tentang apa, Mi? Jangan bilang kalau Alia itu sebenarnya anak pungut." Entah kenapa hanya itu yang terpikir di kepalaku. Gara-gara papi belum juga transfer uang jajan, pikiranku parno melulu. Tapi, mana mungkin. Bukankah aku sangat mirip papi? "Besok siang kamu nggak ada kuliah 'kan?" Bukannya menjawab, Mami malah ganti bertanya padaku. Aku mengernyitkan keningku, " Enggak sih, Mi. Kenapa?" Penasaran? Tentu. Apa Mami mau ngajak shopping lagi? "Ya udah. Kamu jangan kemana-mana." Mami nyebelin deh. Bikin otak Alia bekerja buat mikir tentang akan ada apa di besok siang. "Please dong, Mi. Jangan main teka-teki. IQ anak Mami ini di bawah standar, jadi jangan paksa Alia mikir yang berat-berat. Karena itu bisa buat otak Alia hang nantinya." Kesel? Pasti. Jika Mami nggak kasih tahu bisa-bisa aku susah tidur nanti malam. "Ih, dasar kamu anak Mami yang paling cantik. Sukanya maksa aja," kata mami dengan logat ganjen. Sejak kapan mamiku seganjen ini? "Aw?" Aku mengelus hidungku yang pasti sudah memerah karena dicubit mami. "Sakit, Mi. Ini bisa masuk KDRT lho, Mi," ancamku pada mami. Beneran sumpah, perih banget plus panas. "Udah nggak usah nanya dulu. Yang pasti kejutan buat kamu." Mami ngeloyor begitu saja dari hadapanku. Mentang-mentang udah jadi orang tua, seenaknya saja sama anaknya. Udahlah. Nggak usah pusing. Kejutan yang dibilang Mami pasti kejutan paling indah. Mandi dulu aja lalu nyusul papi di kantor. "Mau ke mana kamu, Princess?" Melihat putrinya yang udah cantik dan wangi membuat jiwa kepo mami keluar. Meski aku emang selalu cantik, sih. Ups! "Nyusul papi, Mi." Aku menghampiri mami untuk mencium punggung tangannya. Mami hanya menautkan alis, seolah heran, " Tumben? Mau ngapain, Sayang?" Emang bener, biasanya juga aku nggak pernah nyusul papi kayak gini. Tapi, gimana mau gimana lagi. "Alia mau protes, Mi." Aku manyun cantik. Emang ada ya manyun cantik? Di adain ajalah. Reader jangan protes. "Protes? Tentang?" Lagi-lagi mami hanya mengajukan pertanyaan. "Ada, deh ...!" Aku segera meraih tangan mami dan mencium punggung tangannya. Pasti mami masih kepo maksimal. Nggak mungkin juga 'kan aku bilang protes karena nggak di transfer uang jajan. Bisa-bisa kena ceramah lagi. "Udah ya, Mi. Bye!" Aku berlalu dari hadapan mami yang aku yakin masih penuh tanda tanya. Tak lupa aku berbalik dan kiss bye dulu sama mami. Mami hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah imut anak kesayangannya ini. "Dianter Mang Asep 'kan!" teriak mami saat aku sampai depan pintu. "Iya!" balasku. Seperti biasa, Mang Asep selalu siap sedia dan membukakan pintu untukku. "Ke kantor papi ya, Mang!" titahku padanya. "Baik, Non." Mang Asep, meski usianya sudah tua tapi selalu asyik. Tak jarang dia menceritakan hal konyol agar aku tertawa. Seperti saat ini, "Masak sih, Mang? Berarti kucingnya Mang Asep herbivora, dong?" "Iya, Non. Sukanya makan buncis. Kalau Emak lagi motong buncis, pasti dia yang nomor satu gangguin. Habis gitu dimakan kayak makan ikan." Emak, istri Mang Asep, aku manggilnya gitu. Dulu Emak ikut kerja di rumah, tapi sekarang nggak lagi. Dia berat ngasuh cucunya di rumah. Orangnya baik dan lembut, aku juga terbiasa ama Emak. "Dasar kucing Mang Asep tu aneh." Benar-benar nggak habis pikir sama kucingnya Mang Asep. Baru tahu aku kucing suka buncis. Aku memandangi bangunan tinggi yang berada di hadapanku, kantor papi. Lama sekali aku nggak menginjakkan kaki di sini. "Pagi, Non." Pak Satpam tersenyum saat melihatku memasuki gedung itu. Rupanya dia masih mengingat siapa aku. Jelas, dong. Siapa coba yang bisa melupakan wajah cantik ini? Kini aku sudah berdiri di depan lift. "Tring ...!" Pintu lift terbuka dan aku segera masuk ke dalam. Sebelum pintu tertutup sempurna, ada sebuah tangan yang menahannya. "What!" Wajah itu!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD