2. Dosen Baru

1765 Words
Apaan sih bisik-bisik segala? Aku pun mencoba melihat ke depan persis seperti apa yang Bora bilang. Dan wao .... Siapa pria tampan itu? Nggak terasa aku ngiler ngeliatnya. Cowok putih, tinggi usia sekitar 28 tahun. Hidung mancung, alis tebal udah kayak ulet bulu dan bibirnya itu lho .... Dia beneran manusia apa nggak, sih? Bisa sesempurna itu. "Al ... Al ...." Siapa, sih nyenggol-nyenggol yang nyenggol-nyenggol tanganku? Segera aku menoleh ke arah pembuat senggolan itu. "Apaan sih, Bo?" Tentu saja cuman itu orang yang berani nyenggol-nyenggol. Temen yang lain nggak ada yang berani deketin apalagi pake nyenggol-nyenggol segala. Nggak tahu, deh kenapa padahal aku 'kan baik dan tidak sombong. Persis kayak yang diajarin mami. Alia, kamu nggak boleh sombong sama orang lain. Meski bisa dibilang kita punya segalanya tapi tetap harus mengedepankan adab. Jangan merendahkan orang yang di bawah kita. Ingat roda bisa saja berputar. Dan aku selalu memegang teguh nasihat mami. Meski mami itu super duper cerewet dan galak pastinya, tapi aku selalu patuh sama ucapan mami. Biar nggak jadi anak durhaka. "Lo jangan ngeces gitu, dong. Malu-maluin tahu." Sontak tanganku memegang ujung mulut dan bener aku udah ngeces aja. "Selamat pagi!" Itu cowok sudah berdiri aja di meja pengajar. Siapa dia? Apa dia dosen di sini? "Selamat pagi ...!" jawab semua serentak. Kalo aku ... jangan tanya, cuma bisa terpana memandangnya. "Perkenalkan nama saya Raden Mas Bekti Jonathan Hendarto. Kalian panggil saja Pak Bejo." Aduh udah cakep namanya kenapa minta dipanggil Bejo sih, mana medhok lagi ngomongnya. "Keturunan Keraton mana, Pak?" Ini pasti suara si tengil Vino. Semua anak di kelas lantas tertawa. Sebenarnya aku juga sudah mau ketawa, tapi nggak jadi. Untung Pak Bejo cakep. Nggak ngaruh 'kan sebenernya? Aku melirik teman di sebelahku ini, Bora. Ya, Tuhan ... itu mata udah keganjel apaan, sih, sampai nggak bisa kedip. Mana itu bibir senyum-senyum lagi. Hmmm ... emang, deh, pesona Pak Bejo nggak ada duanya. Para oppa-oppa di drama Korea lewat. "Kebetulan nenek buyut saya memang masih punya darah keraton di daerah Jawa." Buset, dah Pak Bejo ini beneran santun. Diledek kayak gitu aja dia masih bisa bersikap manis. "Saya lanjutkan perkenalan saya tadi." Mataku masih setia menatap ke arah makhluk Tuhan paling seksi yang ada di depan mata. Apa ini alasan Bora tadi buat buru-buru mau masuk kelas? Kalo gini aku nggak nyesel deh, meski nggak jadi sarapan di kantin. "Saya, mulai hari ini akan mengajar di kelas ekonomi menggantikan Pak Januar, yang mengundurkan diri karena mencalonkan diri sebagai Bupati." Pak Januar sebelumnya adalah dosen ekonomi kami, tapi pada pemilihan kepala daerah tahun ini beliau mengundurkan diri untuk maju dalam pilbup. Di belakang, aku mendengar cewek-cewek pada kegirangan. Ya iyalah girang, dosennya cakep gini. Aku aja demen. Eh ... nggak ada yang denger 'kan? "Bo ... Bo ... lo ngapain, sih? Nggak kedip gitu? Kesambet, ya?" Aku heran ama Bora bisa-bisanya liat sampai segitunya. "Ganggu aja lo, Al. Lo aja tadi juga ampe ngiler gitu." Aku cuma bisa nyengir. Emang bener kata Bora. Susah bener ngalihin mata ini ke hal lain. Kalo gini aku mau, deh, duduk di depan selamanya. "Pak .... umur Pak Bejo berapa?" Aku juga hafal suara ini. Ini suara Sasya si centil yang hobinya gonta-ganti cowok. Cantik sih tapi kok ... obralan. Pakai suara dimanis-manisin segala, dasar ganjen. Eh, ngapain malah aku yang sewot, ya. "Umur bapak 35 tahun." Aku cuma bisa melongo, aku yakin semua cewek di kelas ini juga melongo. Pak Bejo belum kelihatan setua itu. Wah! Kalo gini ahjussi rasa oppa. Wajah Pak Bejo tu putih, hidungnya mancung. Mirip seperti aktor Korea Lee Dong Wook. Tapi body-nya kayak Nam Joo Hyuk, dengan d**a bidang dan tubuh kekar. Bukankah sandarable banget dadanya. Pengen dipuk-puk jadinya. "Saya akan mulai mengabsen kalian satu persatu." Pak Bejo mengambil kertas absensi dan pasti aku yang paling pertama dipanggil. "Alia Hadi Wijaya ...." Aku tetiba ngacung denger namaku disebut. Tatapan mata kami bertemu, berharap akan berlangsung lama. Tapi realita memang tak sesuai ekspektasi. Pak Bejo hanya sekilas memandangku dan melanjutkan lagi mengabsen temen-temen yang lain. Kecewa dong hati ini. Ngarepnya Pak Bejo bakal lama mandang kayak di drama-drama gitu dan mengagumi kecantikan alami ini. Kenapa aku selalu umat narsisnya setiap waktu? Aku juga heran. "Sekian dulu perkenalannya. Kita lanjutkan materinya. Kalo dari Pak Januar materinya sampai bab mana?" Akhirnya selesai sudah kuliah pagi ini ama Pak Bejo. Ah ... kalo gini dari 100℅ materi yang ketangkep cuman 30℅, 70℅ lainnya cuman buat mandangin wajah tampan dosen baru itu. "Al ...." "Al ...." "Hmmm, apa?" Aku gelagapan saat ada yang menepuk-nepuk pundakku. Nggak terasa kelas udah sepi aja. Dari kapan Pak Bejo udah nggak ada di depanku? "Lho Pak Bejo-nya kok udah ilang?" Aku celingukan, dong nyari makhluk Tuhan paling seksi itu. "Lo mau pulang apa mau nginep sini?" kata Bora sambil senyum-senyum meledekku. "Ya pulanglah. Gila kali nginep sini. Bisa dikawinin ama gendruwo, ntar." Secara aku 'kan cantik pasti makhluk halus juga pada naksir ama wajahku. "Awww ...!" Sakit kepalaku kena jitakan si Bora. "Rese lo. Sakit tahu." "Makanya tu mulut disekolahin dulu. Tahu gue paling takut ama bangsa gituan. Lo malah pake bilang gendruwo segala. Mana kelas udah sepi lagi. Tinggal kita berdua. Horor gue. Gara-gara lo sih pake acara ngelamun segala." Mulai, deh sewotnya itu anak. Tanpa mau nunggu lagi, Bora keluar kelas dengan terburu-buru. Aku sebenernya juga parno, sih jika mesti sendirian di kelas. Mana dingin lagi. Dengan segera aku nyusul temenku yang satu itu. Eh, tapi kenapa ada yang kurang ya dari formasi kita. "Helen!!!" ucapku dan Bora serentak sambil mengacungkan jari telunjuk ke arah masing-masing dari kita. "Gue kok nggak nyadar, ya kalo Helen nggak sama kita dari pagi," celetuk Bora. "Sama gue juga." Dasar aku! Temen nggak kelihatan, kok bisa-bisanya nggak tahu. Ini pasti gara-gara pesona Pak Bejo, jadinya aku lupa segalanya. "Buruan lo telpon si Helen, Bo. Nggak biasa-biasanya dia nggak ngabarin kita. Gue takut dia kenapa-kenapa." Jelas aku cemas banget sama sobatku yang satu itu. Takut dia kenapa-kenapa. Helen tinggal sama ibu tirinya, sedang bokapnya sering ke luar negeri buat ngurusin bisnisnya. Entah kenapa perasaan was-was menghantui benak ini. Bora mengambil hape yang ada di dalam tasnya, kemudian memencet nomer telepon Helen. Aku ikut nimbrung nempelin kuping di hape yang nempel di kuping Bora. Satu kali panggilan nggak diangkat. Sampai tiga kali panggilan nggak juga diangkat. Kami berdua saling bertatapan, "Kok firasat gue buruk ya, Bo." Kulihat wajah Bora juga nggak kalah cemas. "Gue juga, Al. Gimana kalau kita ke sana aja," usul Bora yang langsung kubalas anggukan. Akhirnya kami berdua menuju rumah Helen dengan diantar Mang Asep. Sepanjang perjalanan aku dan Bora masih sibuk dengan handphone yang ada di tangan. Kami bergantian menghubungi nomor Helen yang aktif tapi tidak pernah diangkat. Pandangan kami tak pernah lepas dari layar handphone. Jaga-jaga andai Helen menghubungi kami. Berkali-kali aku menghela nafas, aku beneran nggak mau sobatku yang kalem itu kenapa-kenapa. Emang sih kita bertiga nggak pernah tahu ibu tirinya itu gimana, tapi aku sama Bora udah parno duluan kalo denger kata ibu tiri. Helen sendiri juga nggak pernah cerita gimana-gimana. Seketika aku inget, tadi pagi udah ngrayu papi buat transfer uang jajan buatku. Aku check m-banking di hape. Aneh! Berkali-kali aku check kok nggak ada uang masuk. Apa m-banking lagi error? Biasanya papi sudah transfer sebelum jam 10. Ini sudah hampir tengah hari belum ada tanda-tanda transferan masuk seperti biasanya. Ingin rasanya aku nanya ke bokap, ada apa gerangan hingga belum ada transferan yang masuk rekening anak kesayangannya ini? Tapi ntar ajalah, sehabis dari Helen. Kali ini fokus ke Helen dulu. Aku sama Bora emang nggak terlalu sering ke rumah Helen. Di antara kami bertiga, hanya Helen yang nggak bar-bar, bahkan bisa dibilang kaku. Meski begitu kita bertiga saling menyayangi. Helen yang terkesan tertutup hidupnya menjadi berwana setelah berteman sama aku dan Bora. Itu menurutku sih, hehehe. Mang Asep yang sudah hafal arah ke rumah Helen pun langsung bisa menyetir menuju ke sana. Tak perlu banyak bertanya. Rumah Helen adalah rumah yang besar dengan gaya klasik. Di samping gerbang depan, ada sepasang patung yang berdiri kokoh di kiri dan kanan dari gerbang itu. Sangat mewah. Kesan pertama waktu dulu main ke sini untuk pertama kalinya. Meski rumahku juga sudah sangat mewah, sih buatku. Karena mami orangnya nggak suka aktivitas outdoor, maka di dalam kediaman kami bisa dibilang segala fasilitas ada di sana. Stop ngomongin rumahku. Bora menekan bel yang ada di pintu gerbang. Bel itu dilengkapi kamera yang terhubung dengan sebuah layar yang ada di dalam sana. Seperti komunikasi dua arah tapi bagi yang diluar hanya bisa mendengar suara dari pemilik rumah. Sedang dari dalam bisa melihat siapa yang mengunjungi rumahnya sebelum memutuskan untuk membuka pintu gerbang atau tidak. "Siapa?" "Kami temen Helen, Tante," jawab Bora sopan. Didengar dari suaranya itu pasti mami tirinya Helen. Pintu gerbang terbuka dan kami pun masuk ke dalam. Sampai di pintu utama rumah itu kami mengetuk pintu kembali. Seorang wanita paruh baya membukakan pintu untuk kami, siapa lagi kalau bukan Tante Vina, ibu tiri Helen. "Ada perlu apa kalian ke sini?" tanya Tante Vina sambil melempar senyum ke arah kami. Aku nggak tahu itu senyuman tulus apa palsu. "Helen-nya ada, Tan? Kenapa tadi tidak ke kampus dan kenapa handphone-nya tidak diangkat. Kami khawatir padanya." Bora terus nyerocos tanpa memberi Tante Vina kesempatan buat menjawab. Tante Vina menghela nafas, entah apa yang akan dikatakannya. Wajahnya kelihatan sangat pucat. Apa dia sakit? "Helen sakit dan tidak ingin diganggu." Nyokap tiri Helen itu tampak lesu, tapi instingku nggak bisa dibohongi. Mungkin dia cuma akting. Aku mesti lihat Helen dulu. Jangan mudah percaya sama yang namanya ibu tiri. "Kami boleh jenguk nggak, Tan?" Bora merajuk. "Maaf ... tapi Helen benar-benar tidak mau diganggu," jawab Tante Vina lembut. "Sebentar aja kok, Tan." Aku langsung aja nyelonong masuk dan bergegas ke kamar Helen. Aku tahu ini nggak sopan tapi beneran aku takut Helen kenapa-kenapa. Tadinya Bora cuma melongo melihatku yang tanpa permisi masuk ke dalam rumah, tapi sedetik kemudian dia udah ada di belakangku. "Hei! Tunggu kalian. Jangan nggak sopan gitu. Helen tadi bilang nggak mau diganggu!" Tante Vina terus berteriak sambil mengikuti kami. Nggak kugubris protes dari Tante Vina. Pokoknya aku mesti lihat sendiri kondisi Helen. "Len ... Helen ...." Aku masuk ke kamarnya ingin memastikan sendiri apa yang sebenarnya terjadi sama sahabatku itu. Di atas kasur, ada seseorang yang meringkuk di dalam selimut dan aku yakin itu Helen. Bora yang juga sudah nggak sabar pengen tahu yang terjadi sama Helen, tiba-tiba sudah ada di depanku dan sudah bersiap buat menyingkap selimut yang membungkus tubuh yang sepertinya sedang menggigil itu. "Ya Tuhan! Helen ...!" Kami berdua sangat kaget melihat kondisi Helen. Ada apa dengannya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD