TPS, 09

3007 Words
Player yang tiba-tiba muncul itu terlihat bukan orang sembarangan. Hal itu diyakini Nasafi begitu dia melihat dari perawakannya. Tubuh tinggi besar dengan otot-otot yang kekar, wajahnya pun terlihat sangar dengan kumis tebal dan tatapan tajam. Terutama suaranya yang berat dan menggelegar itu cukup menyeramkan untuk dilawan. Namun, untuk urusan memperebutkan NPC, Nasafi tak mau mengalah. Apalagi dia yakin sang NPC memang mati karena tembakannya. Sedangkan tembakan player itu meleset karena mendarat di pohon yang tepat berada di sebelah pohon yang dijadikan tempat persembunyiannya bersama Candra tadi.  Namun, tetap saja dia harus mamastikan bahwa alasan NPC itu mati karena terkena tembakannya yang jika tidak meleset dari sasaran seharusnya tertembak di bagian kepala seperti yang dibidik Nasafi tadi.  Nasafi hendak memeriksa jasad sang NPC untuk memastikan hal ini, akan tetapi …  “Sudah kukatakan jangan sentuh dia. NPC itu milikku. Aku yang membunuhnya.”  Lagi-lagi gerakan Nasafi terhenti. Dia tak gentar, balas menatap player itu tajam karena yakin di sini dia yang benar, bukan player asing itu.  “Maaf, ya, Pak. Pertama, NPC ini target buruanku. Sepertinya anda salah NPC karena tidak mungkin dua player memiliki target NPC yang sama saat menjalankan misi perburuan. Kedua, aku yang menembak NPC ini karena itu dia mati. Alasan aku bisa seyakin ini karena peluru anda meleset. Jika anda tidak percaya silakan pastikan sendiri, peluru anda menancap pada batang pohon di sana.” Nasafi menjelaskan seraya menunjuk ke arah pohon yang dia maksud.  Player itu mendengus, “Apa-apaan kamu ini, bocah? NPC ini target buruanku. Selain itu, aku yang sudah menembaknya. Mustahil tembakanku meleset. Ucapanmu itu tidak bisa dipercaya.”  Nasafi mengepalkan tangan, sudah dia duga player asing itu terlihat sulit untuk dihadapi, dari penampilannya yang sangar saja terlihat dia tipe orang yang tak mau kalah.  Sang player yang tidak Nasafi ketahui namanya itu kini berjalan mendekati jasad NPC yang masih terbujur kaku di tanah. Sebenarnya Nasafi menyadari ada beberapa kejanggalan yang terjadi di sini, tapi dia mencoba mengabaikan karena yang terpenting adalah dia harus meyakinkan player itu bahwa sang NPC memang target buruannya.  “Tunggu sebentar, Pak. Aku sudah bilang NPC ini target buruanku, dan aku sangat yakin tidak salah orang. Tapi anda juga begitu yakin NPC ini memang target anda, bagaimana jika kita pastikan dulu kebenarannya agar tahu siapa yang benar dan salah di sini?”  Sang player menghentikan langkah, keningnya mengernyit tak suka mendengar usul dari Nasafi. “Jadi kamu masih ingin mengakui NPC ini target buruanmu?” tanyanya.  “Ya,” jawab Nasafi tegas. “Karena tidak salah lagi dia memang NPC yang menjadi target buruanku. Aku tidak keberatan memperlihatkan profilnya pada anda.”  Sang player berdecak. “OK. Aku juga akan memperlihatkan profil NPC buruanku agar kamu percaya di sini kamulah yang salah, bukan aku.”  Karena kesepakatan telah dibuat, baik Nasafi maupun player itu sama-sama menunjukan layar TPS Watches mereka di mana pada masing-masing layar memperlihatkan profil NPC yang menjadi target mereka.  Namun, saat Nasafi memperhatikan dengan seksama profil yang terpampang di layar TPS Watches milik player itu, dia terbelalak sempurna. Sang player tidak berbohong karena profil NPC yang terpampang di layar sama persis dengan profil NPC di layar TPS Watches miliknya. Dengan kata lain, tidak ada yang salah di sini. NPC yang telah mati itu memang menjadi target perburuan mereka berdua.  “Ini sangat aneh, bagaimana bisa kita mendapatkan target NPC yang sama?” tanya Nasafi. “Anda juga melihatnya, kan, Pak? Target NPC kita memang sama?” Tatapan Nasafi tertuju pada jasad sang NPC yang berada tak jauh darinya. “NPC ini memang menjadi target perburuan kita berdua.”  Player itu mendecih, “Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi di sini. Mungkin terjadi kesalahan sistem. Tapi aku tidak peduli, karena bagiku NPC itu tetap milikku, aku yang sudah menembaknya.”  Nasafi menggeleng dengan tegas, tak terima NPC miliknya diakui orang yang jelas-jelas tembakannya meleset bahkan dia melihat dengan mata kepalanya sendiri peluru yang dilepaskan player itu tertancap pada batang pohon alih-alih tubuh sang NPC.  “Tidak. Dia milikku karena aku yang menembaknya. Sudah kukatakan, tembakan anda meleset. Peluru anda menancap di batang pohon itu.” Untuk kedua kalinya Nasafi menunjuk pohon yang dimaksudnya.  Namun, sang player tetap menolak untuk percaya, dia menggeram marah pada Nasafi yang menurutnya begitu berani, padahal masih muda tapi sudah berani melawannya.  “Bocah sepertimu diam saja. Lagi pula, mana mungkin pelurumu yang membunuh NPC ini. Bocah sepertimu pasti baru bisa menembak. Sedangkan aku …” Player itu memukul dadanya sendiri dengan kepalan tangannya. “… sudah lebih berpengalaman dalam hal menembak dibandingkan kamu, bocah.”  Nasafi menggertakan gigi-giginya, tentu tak terima karena dirinya diremehkan. Lagi pula, sampai kapan pun dia akan mempertahankan sesuatu yang seharusnya menjadi miliknya, termasuk NPC itu.  “Tidak bisa begitu, Pak. Karena di sini anda yang salah, bukan aku.” “Jadi, kamu masih belum mau menyerah?” “Tidak akan!” Balas Nasafi seraya berteriak. “NPC itu milikku, aku bisa membuktikannya.” “Hoo, bagaimana caramu membuktikannya?”  Ditantang seperti itu oleh lawannya, alih-alih merasa panik, Nasafi justru menyeringai karena merasa kemenangan sudah ada di depan matanya.  “Baik, akan aku buktikan. Begini saja, Pak. Kita buktikan sama-sama agar adil. Sebelumnya, aku akan bertanya pada anda. Tadi saat anda membidik NPC ini, bagian mana yang anda bidik? Bagian mana yang ingin anda tembak?” tanya Nasafi penuh percaya diri.  Sang player tertegun beberapa saat, sebelum mulutnya terbuka dan menjawab, “Aku membidik dadanya. Aku menargetkan d’ada kiri, karena seperti manusia di mana letak jantung berada di d’ada kiri, aku yakin NPC ini pun demikian.”  Seringaian di wajah Nasafi semakin lebar, kemenangan memang sudah pasti akan dia dapatkan setelah mendengar jawaban player itu. “Bidikanku tadi mengarah pada kepalanya. Aku sangat yakin tembakanku tepat karena sejauh ini aku tidak pernah gagal dalam menembak.”  Sang player mendengus, mencemooh kepercayaan diri Nasafi yang terlalu tinggi menurutnya. “Baik, mari kita buktikan siapa yang benar.”  Nasafi mengangguk setuju, inilah saat-saat yang dia tunggu.  Bersama-sama mereka membalik tubuh NPC itu, sang player terbelalak, sedangkan Nasafi tertawa puas ketika melihat luka tembakan memang bersarang tepat di kepala sang NPC, yang mana artinya Nasafi-lah pemenang atas perdebatan ini.  “Anda lihat, Pak? Akulah yang benar di sini. Tembakanku yang tepat sasaran. Seperti yang aku katakan tadi tembakan anda meleset. Peluru anda menancap di pohon, silakan periksa jika anda tidak percaya.”  Nasafi merasa tak ada alasan baginya untuk menunda memeriksa jasad NPC itu karenanya dia pun berjongkok untuk melihat lebih dekat keadaan sang NPC. Namun …  Betapa terkejutnya Nasafi ketika ekor matanya melihat sebuah moncong senapan laras panjang kini berada tepat di dekat kepalanya, tidak salah lagi player itu berniat menembaknya hanya karena kalah dalam perdebatan ini.  Nasafi memutar leher ke arah kanan di mana moncong senapan nyaris menempel di pelipisnya. “Anda berniat menembakku hanya karena kalah berdebat?” tanyanya.  Sang player menyeringai, “Begitulah. Karena aku bukan tipe orang yang bisa menerima jika sesuatu yang seharusnya menjadi milikku diambil orang lain.”  “Cih, padahal sudah jelas NPC ini milikku, kenapa anda masih saja …” Nasafi menjeda ucapannya karena player itu mendorong senapannya sehingga moncong senapan itu kini tepat mendarat di pelipisnya.  “Tutup mulutmu atau kamu akan mati sekarang juga. Kamu pasti tidak ingin mati, kan? Karena itu serahkan saja NPC itu padaku maka urusan kita selesai. Aku tidak akan memperpanjang masalah ini dan kamu bisa pergi dengan selamat dari sini. Bagaimana?”  Player itu mungkin yakin setelah mendengar ancamannya ini Nasafi akan ketakutan dan menyerah sehingga memilih menyerahkan NPC itu padanya, karena itu ketika melihat Nasafi masih tetap diam di tempat tanpa terlihat takut sedikit pun membuat dia cukup terkejut. Anak muda itu memiliki nyali yang sangat besar menurutnya.  “Kamu masih tidak mau menyerahkan NPC ini padaku?” “Sama seperti anda, aku juga tidak akan pernah menyerahkan sesuatu yang sudah seharusnya menjadi milikku pada orang lain,” balas Nasafi tanpa keraguan, tak terlihat gentar sedikit pun meskipun nyawa avatar-nya berada di ujung tanduk.  “Jadi kamu memilih mati di tanganku. Hm, menarik. Lagi pula aku penasaran apa yang akan terjadi pada tubuhmu di dunia nyata jika aku membunuh avatar-mu sekarang. Hm, mungkin kamu tidak akan bisa log in lagi ke TPS. Atau mungkin semua uang yang sudah susah payah kamu kumpulkan akan lenyap begitu saja. Yah, apa pun akibatnya nanti yang akan menimpamu, aku sudah tidak sabar ingin melihatnya.”  “Sama seperti anda, aku juga penasaran ingin mengetahui apa yang akan terjadi pada tubuh asli player di dunia nyata jika avatar-nya di sini mati. Mungkin saja kan tubuh asli di dunia nyata juga ikut mati,” balas Nasafi, yang dibalas sang player dengan geraman tertahan, kesal melihat nyali Nasafi yang luar biasa besar.  “Baik, jadi kamu sudah siap mati di tanganku? Tidak takut sama sekali walaupun sebentar lagi kamu akan merasakan sakit begitu peluru ini bersarang di kepalamu?”  Dengan santai Nasafi mengangkat kedua bahu, “Coba saja tembak aku, aku tidak takut. Tapi jangan menyesal jika setelah ini justru anda yang akan mati di tanganku.”  Player itu tertawa lantang, merasa Nasafi baru saja mengatakan sesuatu yang mustahil terjadi. “Baiklah. Aku kabulkan keinginanmu, Bocah.”  Dia nyaris saja menarik pelatuk yang mana artinya peluru dalam senapannya akan langsung menancap di kepala Nasafi, tetapi …  DORR!  Begitu terkejutnya player itu karena sebelum dia menarik pelatuk senapannya, suara tembakan sudah dulu terdengar. Dia baru menyadari ada orang lain di tempat itu selain dirinya dan bocah ingusan yang berani melawannya setelah merasakan sakit karena sebuah peluru mengenai tangannya yang sedang memegang senapan sehingga senapan itu pun terjatuh. Rasa sakit seketika dia rasakan pada pergelangan tangannya yang terkena tembakan entah siapa pun orang yang secara diam-diam memantau mereka dari kejauhan. Dia berniat mengambil kembali senapannya yang tergeletak di tanah, tapi belum sempat dia menyentuh senapan itu, lagi-lagi dia harus merasakan sakit luar biasa seolah tubuh aslinya yang merasakan sakit ini alih-alih avatar-nya, ketika sebuah pisau menancap tepat di d’ada kirinya.  Nasafi yang melakukan itu, memanfaatkan kesempatan ini sebaik mungkin untuk balas menyerang sang lawan.  “Bukankah sudah kukatakan, anda jangan menyesal jika pada akhirnya anda yang mati di tanganku,” ucap Nasafi sambil menyeringai lebar sebelum dia menusuk d’ada player itu dengan bertubi-tubi sampai nyawa player itu habis dan terbujur kaku di tanah seperti halnya sang NPC.  “Nasafi!”  Candra yang berteriak memanggil Nasafi sambil berlari ke arahnya dengan memegang pistol di tangan. Tentu saja karena dengan pistol itu dia menembak sang player demi menyelamatkan Nasafi.  “Wah, ternyata seperti dugaanku, kamu memang lihai menembak juga, ya, Can,” ujar Nasafi sambil tersenyum lebar hingga kedua matanya menyipit.  “Kamu tahu aku lihai menembak dari mana?” tanya Candra, heran mendengar ucapan Nasafi barusam. “Kamu pernah cerita padaku kalau kamu ini maniak game dan sudah pernah mencoba hampir semua game virtual. Aku ingat tahun lalu game tentang shotgun sedang populer, jadi aku yakin kamu juga pasti pernah mencoba memainkannya, kan?”  Candra mendecih, jadi Nasafi hanya asal menerka, dia semakin yakin pria itu memang gila karena jika prediksinya salah dan Candra ternyata tidak lihai menembak mungkin saja dia yang mati di tangan player itu.  “Kamu tadi menyuruhku menunggu di tempat persembunyian kita dan mengatakan kata-kata aneh yang intinya kamu memintaku melindungimu … apa karena kamu sudah menduga ada player lain di sini?”  Melihat Nasafi menganggukan kepala, kini Candra tak meragukan lagi pria yang menjadi temannya itu memang pria yang mengerikan, dia sangat cerdas karena mampu membaca situasi dengan sangat cepat.  “Karena mustahil NPC pemburu ini yang melepaskan tembakan karena target bidikannya adalah harimau di depannya, jadi sudah pasti ada orang lain yang melepaskan tembakan selain aku dan NPC ini,” sahut Nasafi sambil menunjuk jasad NPC di dekatnya.  “Walau begitu tadi itu kamu nekat sekali, Saf. Bagaimana jika player itu benar-benar menembak kepalamu?” “Itu tidak akan terjadi.” Candra memicingkan mata, “Kenapa kamu bisa seyakin itu?” “Karena aku tahu kamu tidak akan membiarkannya. Kamu pasti akan menyelamatkanku.” “Huh, bagaimana jadinya jika aku tidak menyelamatkanmu tepat waktu tadi?” “Itu tidak mungkin karena aku percaya padamu.”  Candra tersentak sambil melebarkan mata mendengar ucapan Nasafi yang cukup menyentuh itu.  “Ngomong-ngomong aku harus memastikan NPC ini sudah mati atau belum, bahaya jika dia belum mati, batas waktu event-nya tersisa dua puluh menit lagi.” Nasafi hendak memeriksa jasad sang NPC, tapi belum sempat tangannya menyentuh NPC itu, tiba-tiba saja tubuhnya berubah menjadi serpihan Kristal sebelum menghilang begitu saja di udara seperti halnya NPC lain jika mati. “Wah, kamu berhasil membunuh dia. Berapa bonus yang kamu dapatkan?” tanya Candra antusias karena dia memang penasaran ingin mengetahui bonus yang didapatkan Nasafi setelah menyelesaikan misi perburuan ini.  Nasafi memperlihatkan layar TPS Watches miliknya yang sangat sukses membuat bola mata Candra berbinar takjub. “Wow, lima puluh juta hanya dengan membunuh NPC pemburu ini. Luar biasa. Keren sekali, Saf.”  “Akan kutransferkan uang ini ke rekeningmu. Nanti kamu kirimkan padaku, ya, nomor rekeningnya.”  Candra awalnya hanya terdiam, tapi setelah dia mencerna ucapan Nasafi, seketika dia memekik terkejut. “Apa maksudnya kamu mau mentransferkan uang itu ke rekeningku?”  “Karena kamu yang lebih pantas mendapatkan uang ini. Kalau kamu tidak menolongku tadi sudah pasti player itu yang mendapatkan bonus ini, kan? Jadi, akan kukirimkan ke rekeningmu semua uangnya.”  “Tidak bisa begitu. Itu bonus milikmu. Jadi …” “Daripada berdebat karena bonus ini, apa kamu tidak penasaran, Can?”  Candra menaikkan satu alis, “Penasaran apa?” “Pertama, kenapa bisa aku dan player itu mendapatkan target NPC yang sama untuk misi perburuan ini padahal sistem yang menentukan NPC-nya? Selain itu, seharusnya setiap player mendapatkan target NPC yang berbeda dengan player lain, peraturan itu sangat jelas dijelaskan oleh Administrator saat aku pertama kali log in ke TPS.”  “Ya, aku juga sepertinya pernah mendengar dia mengatakan itu saat menjelaskannya padaku. Sistem TPS yang akan menentukan NPC yang menjadi target perburuan setiap player. Tentu saja dengan target yang berbeda.”  “Dengan kata lain mustahil dua player mendapatkan target NPC yang sama, bukan?”  Candra mengangguk, karena dia sepemikiran dengan Nasafi.  “Lalu kejadian yang menimpaku ini?” “Hm, mungkin sistem TPS sedang eror. Itu hal biasa yang sering terjadi pada aplikasi seperti game ini, kan?” jawab Candra mencoba berpikir positif.  “Kedua, NPC tadi juga menurutku aneh.” “Apanya yang aneh?” Candra sama sekali tak menemukan keanehan apa pun pada NPC tadi, atau mungkin dia saja yang tidak menyadarinya? Dia membutuhkan penjelasan dari Nasafi.  “Seperti yang biasa terjadi, NPC akan berubah menjadi serpihan Kristal begitu mati di tangan player sebelum menghilang begitu saja, kan?”  Candra ikut melebarkan mata ketika dia pun mulai menyadari sesuatu, “Kamu benar, memang ada keanehan di sini. Padahal seharusnya NPC itu langsung mati mengingat peluru yang kamu lepaskan langsung bersarang di kepalanya. Tapi dia tidak langsung berubah menjadi serpihan Kristal dan menghilang seperti biasanya. Ini memang janggal.”  Baik Candra maupun Nasafi tiba-tiba terdiam, seolah mereka sedang menyibukkan diri dengan pikiran masing-masing.  “Sudahlah, Saf. Mungkin memang benar sistemnya sedang eror karena itu kesalahan-kesalahan seperti ini terjadi secara bersamaan.” Candra kembali mencoba berpikir positif. “Tapi bagaimana jika kejadian ini memang disengaja karena seseorang sudah merencanakan hal ini?”  Kening Candra mengernyit dalam karena menurutnya pemikiran Nasafi terlalu berlebihan. “Mana mungkin begitu? Memang apa yang orang itu rencanakan sampai melakukan ini?” “Mungkin karena dia ingin melihatku dan player itu berdebat dan saling membunuh demi memperebutkan NPC ini. Jika jasad NPC ini tidak cepat menghilang maka aku dan player itu memiliki kesempatan untuk memperkuat argumen masing-masing seperti membuktikan tembakan siapa yang membuatnya mati.”  Candra ikut merenungkan hal ini, menurutnya yang dipikirkan Nasafi ada benarnya. “Jika yang kamu curigai ini benar, lalu siapa orang yang merencanakan hal ini hanya agar kamu dan player itu saling berdebat bahkan saling membunuh?”  Nasafi mengangkat kedua bahu tanda dia pun tak tahu menahu siapa pelakunya. “Aku tidak tahu siapa tepatnya orang yang melakukan ini, tapi mengingat game ini dikendalikan oleh seseorang yang menyebut dirinya sebagai Adamas atau Administrator … mungkin dia yang melakukannya.”  Candra tak mengatakan apa pun lagi, dia tak ingin sembarangan menuduh orang lain. Ketika ekor matanya tanpa sengaja menatap ke arah avatar sang player yang masih tergeletak di tanah, dia tahu masalah mereka belum selesai sampai di sini.  “Daripada pusing memikirkan semua kecurigaanmu yang belum terbukti benar karena mungkin saja sebenarnya sistem TPS memang sedang eror karena itu semua keanehan ini bisa terjadi, lebih baik kita pikirkan apa yang harus kita lakukan pada avatar yang sudah tak bernyawa ini.”  Nasafi mengikuti arah jari telunjuk Candra terarah, tidak lain pada avatar player yang dia bunuh tadi dengan menusuk d’ada kirinya. Dia pun menghela napas panjang, “Biarkan saja dia di sini.” “Hah?” Candra melongo, terkejut karena Nasafi setega itu menelantarkan seseorang yang sudah dia bunuh. “Dia itu, kan, hanya avatar. Tubuh aslinya pasti baik-baik saja di dunia nyata. Jadi, untuk apa pusing memikirkan nasib avatar itu, mungkin nanti dia akan kembali hidup kalau pemiliknya kembali log in ke TPS.” Tanpa merasa bersalah sedikitpun walau sudah membunuh player lain, Nasafi merangkul bahu Candra. Sambil menyengir lebar dia berkata, “Ayo, kita pergi. Kita bersenang-senang sebentar sebelum kembali ke dunia nyata. Kita sudah terlalu lama log in di sini, sudah saatnya log out dan kembali menjalani hidup di dunia nyata.”  “Huh, kamu ini terlalu santai, Saf.” “Begitulah aku. Ini caraku menikmati hidup.” Nasafi tertawa. “Can, jangan lupa berikan nomor rekeningmu, ya. Uang bonus ini kamu gunakan saja untuk membalas orang-orang yang menyakitimu di dunia nyata. Katakan pada mereka bahwa Candra yang sekarang memiliki banyak uang.”  Candra hanya memicingkan mata, sepertinya dia memang tak memiliki pilihan selain mengikuti keinginan Nasafi. Mungkin memang sebaiknya dia menggunakan uang itu untuk membalas mereka … orang-orang yang telah menyakitinya di dunia nyata. Ya, akan dia balas mereka semua dengan menyumpal mulut mereka yang selama ini selalu menghinanya menggunakan uang bonus itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD