TPS, 07

2853 Words
Candra ditemani Nasafi, benar-benar mendatangi rumah Mitha, NPC yang menjadi target perburuan Candra yang telah ditentukan oleh sistem TPS. Katakan Candra beruntung karena tanpa sengaja dia bertemu dengan Mitha bahkan sampai mengantarkan gadis itu ke rumahnya. Bahkan betapa beruntungnya Candra karena dia juga sempat berkunjung ke rumah itu untuk menemui ibu Mitha meski hanya sebentar. Sehingga Candra tak perlu susah payah mencari rumah targetnya karena dia sudah mengetahui letaknya.  Saat ini, Candra dan Nasafi sedang memantau keadaan rumah itu dari luar. Berdasarkan saran dari Nasafi lebih baik mereka memulai aksi perburuan ini malam hari, sehingga itulah yang mereka lakukan. Menunggu sampai malam tiba dan sekarang waktu yang sudah ditunggu-tunggu itu akhirnya tiba.  Waktu yang tertera pada TPS Watches sudah menunjukkan jam sembilan malam. Seperti halnya di dunia nyata di mana kebanyakan manusia akan mulai mengantuk di jam itu, sepertinya di dunia ini pun para NPC merasakan hal yang sama, terlihat dari satu demi satu lampu di rumah itu yang mulai dimatikan.  “Mereka pasti sudah tidur,” bisik Nasafi pelan, dia dan Candra kini sedang berdiri di bawah salah satu pohon tak jauh dari rumah itu.  Candra tak menyahuti, hanya menganggukan kepala sebagai respons. Tatapannya fokus tertuju pada rumah itu, dia sangat ingat beberapa jam yang lalu dia sempat masuk ke dalam, berbincang sejenak dengan ibu paruh baya yang tidak lain merupakan ibu Mitha yang sakit-sakitan. Mengingat hal itu hati Candra semakin tak tega, dia berpikir jika Mitha dia bunuh lalu bagaimana dengan ibunya? Siapa yang akan membelikan obat untuk wanita malang itu jika putrinya tiada?  “Hei, jangan melamun,” ujar Nasafi seraya menepuk pundak Candra cukup kencang sehingga sang pemilik bahu tersentak kaget, Candra pun mendelik tajam pada Nasafi yang hanya terkekeh seolah tak merasa bersalah sedikitpun karena sudah membuat jantung Candra nyaris melompat keluar dari tempatnya menggantung.  “Bisa tidak kalau bicara pelan-pelan saja? Jangan suka mengagetkan orang lain,” protes Candra, tangannya sibuk mengusap dadanya sendiri di mana jantungnya di dalam tengah berdetak sangat cepat.  Candra tiba-tiba tertegun, baru menyadari sesuatu. “Tunggu, padahal kita sedang berada di dunia game, bagaimana mungkin aku bisa merasakan detak jantungku?” Kedua mata Candra terbelalak, tampak panik. Berulang kali dia memegang d’ada kiri hanya sekadar memastikan benarkah dia mampu merasakan detak jantungnya sendiri. Sensasi ini tak jauh berbeda dengan di dunia nyata padahal dia sedang berada di dunia buatan bernama game virtual reality.  “Kamu ini masih tidak mengerti juga, ya? Sudah kukatakan TPS dibuat sama persis seperti di dunia nyata. Kalau semua indera di dalam tubuh saja bisa direalisasikan ke dalam avatar kita, apalagi detak jantung. Benda menyerupai Oculus yang kita kenakan di dunia nyata saat akan log in ke TPS merupakan penyebab semua ini bisa avatar kita rasakan. Alat itu yang menstimulasi kinerja otak sehingga kita bisa merasakan apa yang dirasakan di dunia nyata. Dengan kata lain semua yang dirasakan tubuh asli kita di dunia nyata, juga bisa dirasakan oleh avatar kita di dunia ini.”  Candra meneguk ludah, walau merasa takjub, tak dia pungkiri mulai merasa game ini sangat mengerikan. Sulit rasanya membedakan dirinya sedang berada di dunia nyata atau dunia buatan. Saat sebuah pertanyaan muncul di benaknya, Candra hanya menatap telapak tangannya sendiri. Nasafi yang melihat itu, mengembuskan napas pelan, mulai lelah dengan sikap Candra yang menurutnya sangat lamban padahal pria itu sedang dikejar waktu jika ingin menyelesaikan event yang dia ikuti.  “Sudah kukatakan jangan melamun. Kamu harus fokus, Can. Konsentrasi. Ingat misimu dan alasanmu datang ke sini.” “Seandainya kita mati di dunia ini … apa tubuh kita di dunia nyata juga akan ikut mati?”  Alih-alih menuruti perkataan Nasafi, Candra justru melontarkan pertanyaan yang membuat Nasafi sempat melebarkan mata. Padahal dia saja tak pernah memiliki pemikiran seperti itu semenjak bermain TPS ini.  “Bagaimana menurutmu, Saf? Apa mungkin jika avatar kita mati di dunia ini maka di dunia nyata juga tubuh asli kita akan ikut mati?”  Nasafi dan Candra saling berpandangan, terlihat berulang kali mereka meneguk ludah karena pertanyaan Candra ini entah kenapa membuat suasana menjadi tegang di antara mereka berdua. Berbagai pikiran negatif mulai berseliweran di kepala masing-masing.  Orang yang pertama kali memutus kontak mata di antara mereka adalah Nasafi, pria itu lalu tertawa lantang. “Pemikiranmu berlebihan, Can. Mana ada hal seperti itu.” “Tapi semua yang dirasakan tubuh asli kita di dunia nyata bisa avatar kita rasakan di dunia ini. Mungkin apa yang dialamai avatar kita di dunia ini juga mampu dirasakan tubuh asli kita mengingat avatar dan tubuh asli kita saling berkaitan dan terhubung. Kurasa ini mungkin saja terjadi, Saf.”  Nasafi kembali tertawa sambil mengibas-ngibaskan tangan. “Menurutku, pemikiranmu ini terlalu berlebihan. Aku belum pernah mendengar ada orang yang mati karena avatarnya mati di dunia game virtual. Mungkin avatar kita bisa merasakan apa yang biasa tubuh asli kita rasakan di dunia nyata karena Administrator ingin membuat game ini senyata mungkin. Tapi tetap saja urusan hidup dan mati seseorang itu ada di tangan Tuhan, mana mungkin ditentukan oleh game buatan manusia.” Nasafi berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Pemikiranmu berlebihan. Daripada terus mengulur-ulur waktu karena kamu masih tidak tega membunuh NPC itu, lebih baik cepat hentikan omong kosong ini. Cepat kamu masuk ke kamar dia dan culik NPC itu. Jika perlu kamu bunuh dia selagi tidur dengan menusuknya menggunakan pisau atau senjata apa pun terserah kamu mau memilih yang mana.”  Kembali pada realita di mana dia sedang terjebak dalam event dan misi bodoh ini, Candra hanya bisa meneguk ludah. Benar, dia harus bergegas menjalankan misi perburuan ini karena sisa waktu yang dia miliki sampai event ini selesai terus berkurang. Jika tak ingin gagal dia harus melancarkan aksinya sekarang juga.  Hanya saja ada satu hal paling kuat yang membuat Candra enggan melakukan misi ini.  Suara decakan Nasafi kembali mengalun, “Tunggu apalagi, Can? Cepat kamu masuk ke kamarnya, dia pasti sudah tidur nyenyak sekarang,” katanya mengingatkan sekali lagi karena begitu gemas dengan kelambanan Candra.  “Sudahkah aku memberitahumu gadis itu tinggal bersama ibunya di rumah itu?”  Kedua alis Nasafi saling bertautan, menurutnya sangat tak penting informasi yang sedang diutarakan Candra ini karena dia tak peduli gadis NPC itu tinggal dengan siapa di rumahnya, yang dia tahu si gadis NPC adalah target yang harus dibunuh oleh Candra jika ingin menyelesaikan misi yang dia ikuti.  “Ayahnya sudah meninggal karena dibunuh. Aku curiga dia menjadi target perburuan player lain. Ibunya sakit-sakitan, hidupnya bergantung pada obat-obatan. Telat meminum obat maka nyawanya dalam bahaya. Jika aku membunuh NPC itu, lalu bagaimana dengan ibunya?” tanya Candra sambil menatap serius wajah Nasafi.  Awalnya, berharap Nasafi pun ikut merasa iba, nyatanya repons pria itu justru sedang terkekeh santai sekarang, seolah cerita Candra barusan sama sekali tak membuatnya tersentuh atau merasa kasihan.  “Kamu tidak kasihan pada mereka, Saf?” Nasafi yang menggelengkan kepala menjadi penegas pria itu memang tak peduli dengan keadaan NPC yang menjadi target perburuan Candra, dan ibunya. “Candra, Candra, aku tahu karena terlalu mirip kehidupan di dunia ini dengan di dunia nyata, kamu jadi berpikir begitu. Jangan lupa, Can. Kita sedang berada di dunia virtual, ini hanya dunia buatan manusia jenius yang mampu menciptakan dunia secanggih ini sampai para player kesulitan membedakan antara dunia virtual dan dunia nyata. Meskipun begitu tetap saja kenyataannya kita sedang di dunia virtual. Para NPC itu diciptakan memang untuk diburu, untuk dibunuh oleh para player. Padahal sejak awal sudah dijelaskan cara main di TPS memang seperti itu, masa kamu tidak mengerti juga, Can?”  “Aku tahu. Hanya saja …” “Dengar. Ibu si gadis NPC yang akan kamu bunuh ini juga nasibnya tidak akan jauh berbeda dengan suami dan anaknya. Kamu pikir dia benar-benar bisa mati hanya karena penyakitnya? Kamu pikir dia itu manusia asli yang hidup di dunia nyata?” Nasafi kembali mengembuskan napas dengan perlahan untuk menenangkan dirinya yang mulai kehilangan kesabaran menghadapi Candra.  “Dia itu hanya makhluk buatan, Can. Hanya kumpulan data-data karena itu mereka terlihat hidup seperti manusia di dunia virtual ini. Sejak awal dia memang diciptakan untuk mati di tangan para player. Cepat atau lambat, mungkin dia akan dibunuh player yang memburunya karena dia target perburuan player itu.”  Nasafi menepuk-nepuk bahu Candra untuk memberikan semangat. “Sadar, Can, sadar. Kita sedang bermain game, ingat?”  Semua yang dikatakan Nasafi tidak ada yang salah. Benar, dia harus membuang rasa belas kasihannya padahal dia hanya sedang bermain game, tidak lebih. Jika ingin mendapatkan uang dari bonus keberhasilan menyelesaikan misi, juga jika ingin terus bisa log in ke TPS yang mengagumkan ini, maka dia harus membunuh Mitha. Ya, Candra harus melakukan itu.  “Baiklah, aku akan masuk ke kamarnya.”  Detik itu juga Nasafi menyengir lebar sambil mengangkat kedua ibu jari. “Nah, ini baru benar. Sudah jalan sana, aku akan mengawasi dari sini. Jika kamu mengalami kesulitan dan butuh bantuan, beri tanda saja, aku akan segera meluncur untuk membantumu.”  Candra mendengus, “Kamu pikir ini pertama kalinya aku bermain game virtual dan melakukan perburuan?” “Biasanya yang kamu buru di game lain itu monster, kan? Bukan NPC menyerupai manusia? Kamu akan merasakannya sendiri, sensasi berbeda saat berburu monster dan NPC manusia. Karena apa … kamu akan merasa benar-benar akan membunuh manusia. Sensasinya sangat luar biasa. Kamu buktikan saja supaya bisa merasakannya sendiri dan percaya ucapanku ini.”  Nasafi mendorong punggung Candra agar pria itu bergegas pergi dari hadapannya. “Semoga sukses, kawan,” katanya memberikan semangat dan dukungan.  Sedangkan Candra hanya bisa menuruti karena tak memiliki pilihan lain. Dia lantas berjalan menuju kamar Mitha. Siap memulai aksi perburuannya.  Setibanya di depan jendela kamar Mitha, dengan sangat hati-hati, Candra berusaha membuka jendela itu. Beruntung jendela itu tidak dalam keadaan terkunci sehingga Candra bisa membukanya dengan mudah. Dia lalu melompat untuk masuk ke dalam kamar.  Begitu kedua kakinya mendarat sempurna di lantai kamar Mitha, Candra menatap sekeliling. Ruangan itu gelap karena lampu dimatikan, tapi beruntung cahaya dari lampu di luar kamar memberikan penerangan sehingga Candra bisa melihat suasana di kamar itu.  Kamar itu tak jauh berbeda dengan kamar ibunya di dunia nyata, semua benda tertata dengan rapi, sangat jauh berbeda dengan kamarnya yang berantakan karena benda diletakan tak beraturan. Mungkin memang seperti itu kamar semua wanita, terlihat lebih rapi dibanding kamar seorang pria.  Candra menemukan targetnya tengah berbaring di tempat tidur. Meski tubuhnya ditutupi selimut dan hanya menyisakan kepalanya saja yang tidak tertutupi, Candra sangat yakin orang yang sedang tidur itu memang Mitha, targetnya.  Candra pun berjalan dengan perlahan mendekati ranjang itu. Berjalan mengendap-endap layaknya pencuri karena tak ingin menimbulkan suara sekecil apa pun yang akan menyebabkan Mitha terbangun dari tidurnya.  Setibanya di dekat ranjang Mitha, Candra sekali lagi merasa iba begitu menatap wajah tidur gadis itu yang terlihat semakin cantik dan manis ketika memejamkan mata.  Candra menggelengkan kepala berulang kali begitu akal sehatnya menyadarkan bahwa bukan saatnya untuk merasa iba, padahal dia sudah memutuskan untuk membuang rasa belas kasihannya karena misi ini bagaimanapun caranya dia harus berhasil menyelesaikannya.  Untuk menghabisi nyawa Mitha, Candra tahu dia membutuhkan benda tajam. Dia pun menekan tombol hijau pada TPS Watches, sehingga dalam sekejap pilihan berbagai senjata pun muncul di layar.  “Sial, belatiku sudah tidak ada karena aku tukarkan dengan obat di apotek tadi siang,” gumam Candra dalam hati padahal saat ini dia membutuhkan belati untuk menusuk Mitha. “Ya sudah, aku pilih yang ini saja.”  Karena tak memiliki pilihan lain, dia pun memilih senjata lain.  BIP  Suara itu terdengar begitu senjata yang dipilih Candra yaitu sebuah pedang kini muncul secara otomatis, Candra menggenggamnya erat, siap dia tusukkan ujung pedang yang tajam itu ke tubuh Mitha.  “Siapa itu?”  Namun, suara Mitha yang tertangkap indera pendengarannya membuat Candra seketika menurunkan kembali tangannya yang terangkat, lalu meletakkan tangan itu ke belakang punggung untuk menyembunyikan pedang yang sedang dia pegang. Sepertinya suara tadi didengar oleh Mitha sehingga dia pun terbangun dari tidurnya.  Mitha yang tak bisa melihat dengan jelas itu pun menyalakan lampu yang berada di nakas dekat tempat tidurnya, seketika membuat ruangan yang gelap gulita menjadi mulai terang. Mitha melebarkan mata ketika menyadari sosok yang berdiri di hadapannya adalah dia … seorang pria yang siang tadi begitu baik hati sehingga membantunya mendapatkan obat untuk sang ibu.  “Kak Candra.” Mitha memanggil dengan wajah sumringah. “Kenapa Kakak ada di sini? Di kamarku?” tanyanya, heran.  Candra hanya terdiam, dan hal itu tentu saja membuat Mitha semakin heran. “Apa terjadi sesuatu, Kak? Kakak membutuhkan bantuanku karena itu datang ke sini?”  Mitha berharap kali ini Candra akan memberikan jawaban, tapi yang dia dapatkan tetap kebisuan pria itu. Mitha pun menoleh ke arah jendela kamarnya yang terbuka, sekarang dia tahu darimana jalan masuk untuk Candra.  “Kak Candra kenapa diam? Kenapa kakak menerobos masuk ke kamarku malam-malam begini?” Untuk kesekian kalinya Mitha bertanya dan untuk kesekian kalinya pula Candra hanya diam mematung tanpa mengatakan apa pun. Mulutnya terkatup rapat tapi matanya tertuju sepenuhnya pada Mitha yang sedang duduk di ranjang.  Menyadari ada yang aneh dengan Candra, Mitha pun menelisik penampilan Candra, tak ada yang aneh dengan pria itu. Dia masih terlihat sama persis seperti ketika mereka bertemu siang tadi. Begitu tatapan Mitha tertuju pada salah satu tangan Candra yang berada di belakang punggung, dia mulai mencurigai sesuatu.  Mitha pun melihat ke arah cermin di lemari yang terletak tepat di belakang Candra, dan detik itu juga Mitha membekap mulut, dari pantulan cermin itu bisa dia lihat Candra sedang menyembunyikan pedang di belakang punggungnya.  Mitha yang menyadari dirinya berada dalam bahaya, berniat berlari menuju pintu untuk meminta tolong. Namun, pergerakannya kalah cepat dengan Candra. Candra dengan mudah berhasil menangkapnya, mengunci tubuh Mitha dengan memeluknya dari belakang.  “Lepaskan aku! Lepaskan!” teriak Mitha histeris. Sungguh dia ketakutan sekarang. “Ibu! Ibu tolong akuuuu!!” Bahkan dia mulai berteriak meminta tolong pada ibunya.  Suara teriakan itu sepertinya didengar jelas sang ibu karena suara ibunya yang mengetuk-ngetuk pintu kamar dari luar mulai terdengar, membuat Candra panik bukan main.  Bukan hanya didengar oleh ibu Mitha, teriakan gadis itu pun rupanya didengar juga oleh Nasafi.  “Hei, Candra, apa yang kamu lakukan? Cepat habisi gadis itu!”  Karena pria itu kini sedang berdiri di depan jendela dan baru saja memperingatkan Candra agar bergegas menyudahi perlawanan gadis NPC yang sedang memberontak dengan terus berteriak keras.  “Tunggu apa lagi? Cepat bunuh dia, jangan sampai tetangganya mendengar teriakannya juga dan berdatangan ke sini.”  Candra lagi-lagi harus mengakui yang dikatakan Nasafi merupakan sebuah kebenaran sehingga kali ini meskipun sungguh dia tak tega, tapi dengan terpaksa dia mengangkat tangannya yan memegang pedang. Sesaat lagi ujung pedangnya menancap di leher Mitha, Candra yang tak sanggup melihatnya pun memejamkan mata.  Ketika merasakan ujung pedang yang dia pegang benar-benar menusuk sesuatu yang keras hingga perlahan tapi pasti tubuh Mitha dalam pelukannya pun mulai melemah dan terkulai lemas, bahkan suara teriakannya tak terdengar lagi, Candra tahu misinya telah selesai.  Dengan gerakan perlahan dia membuka mata, yang Candra temukan adalah tubuh Mitha yang sudah berlumuran darah karena luka tusukan pedang di lehernya membentuk lubang yang menganga dan tiada henti mengeluarkan darah. Napas Candra naik turun dengan cepat, dia sudah menjadi seorang pembunuh sekarang.  Tubuh Mitha yang terkulai lemas dalam dekapannya dia lepaskan, hingga tubuh itu jatuh ke lantai sebelum akhirnya berubah menjadi pecahan Kristal kemudian menghilang begitu saja tanpa menyisakan apa pun. Darah yang sempat melumuri bilah pedang Candra pun perlahan menghilang dengan sendirinya, melihat semua itu kini Candra sadar dia memang hanya membunuh NPC, makhluk buatan … sama sekali bukan manusia asli.  “Aku bukan pembunuh, kan? Dia hanya NPC. Ya, dia hanya makhluk buatan, sama sekali tidak nyata,” gumam Candra meyakinkan dirinya sendiri bahwa tak masalah dia membunuh Mitha karena gadis itu bukan manusia nyata.  “Candra, woi, cepat kemari. Kenapa diam di sana? Cepat lari, ibu gadis NPC itu sepertinya berniat meminta tolong pada tetangganya. Barusan aku lihat dia keluar dari rumahnya.”  Ucapan Nasafi menyadarkan Candra dari lamunannya, dia pun bergegas berlari dan melompati jendela kamar Mitha yang masih dibiarkan terbuka lebar oleh Nasafi untuk akses Candra melarikan diri.  “Cepat lari sebelum kita dikeroyok NPC-NPC yang menetap di sekitar sini,” ajak Nasafi yang langsung dituruti Candra. Mereka pun berlari sekencang mungkin untuk melarikan diri dari tempat itu.  Setibanya mereka di tempat sepi dan cukup jauh dari rumah Mitha, mereka berhenti berlari.  “Bagaimana? Kamu sudah cek berapa bonus yang kamu dapatkan karena membunuh NPC targetmu tadi?”  Mendengar pertanyan Nasafi, Candra ingat dia belum memeriksa hal penting itu. Dia pun bergegas memeriksa layar pada TPS Watches, kedua matanya terbelalak tatkala menemukan kata ‘congratulation’ beserta nominal angka yang tidak lain merupakan sejumlah uang yang dia dapatkan karena menyelesaikan misi ini.  “Bagaimana? Kamu dapat berapa?” tanya Nasafi antusias karena dia penasaran. Begitu melihat Candra menyengir lebar sambil memperlihatkan layar TPS Watches miliknya yang menampilkan nominal uang sebesar lima juta sebagai bonus, Nasafi ikut tersenyum lebar.  “Jadi, bagaimana? Apa yang kamu rasakan setelah berhasil menyelesaikan misi ini?”  Candra tak langsung menjawab, pria itu terdiam sambil fokus menatap layar TPS Watches. Hingga beberapa detik kemudian dia mengulas seringaian. “Ini sangat menyenangkan. Sepertinya aku tidak akan ragu lagi untuk berburu NPC,” katanya. Yang dibalas seringaian pula oleh Nasafi.  Sepertinya kedua orang itu akan semakin dekat setelah insiden ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD