TPS, 03

2125 Words
Dengan langkah gontai, Candra meninggalkan ruangan, tujuannya sekarang adalah pergi dari rumah mewah itu dan kembali pulang ke rumahnya karena apa yang dia butuhkan sudah dia dapatkan yaitu sejumlah uang yang seharusnya cukup untuk membayar SPP kuliahnya yang sudah menunggak semenjak semester baru dimulai.  “Heh, Mama, itu dia keluar. Si pengemis.”  Langkah Candra seketika terhenti begitu mendengar suara yang mengalun dari arah samping kanan, begitu menoleh, detik itu juga dia menegang. Kini dia sedang melihat dua wanita berjalan menghampirinya. Seorang wanita dewasa yang tidak lain merupakan wanita yang menyebabkan sang ayah berpaling sehingga menelantarkan istri dan anaknya. Ya, dia adalah istri muda ayah Candra, Sinta. Bersama di sampingnya seorang gadis remaja yang masih duduk di bangku SMA, Rara yang tidak lain merupakan adik Candra dan Satria.  Candra sudah bisa menebak kesakitan apa yang akan dia hadapi setelah ini karena tak berbeda dengan Satria, kedua wanita itu juga selalu melontarkan kata-kata pedas padanya.  “Candra, saya dengar kamu membuat keributan sampai membuat suami saya marah, apa kamu tidak pernah diajari etika dan sopan santun sampai menerobos masuk ke dalam ruangan tanpa mengetuknya dulu? Selain itu, padahal kamu tahu sedang diadakan pertemuan penting di ruangan itu, kenapa kamu tetap saja menerobos masuk?”  “Ah, Mama, masa tidak mengerti? Namanya juga dia mau mengemis pada Papa, mau meminta uang makanya itu dia lancang menerobos masuk. Lagi pula, orang rendahan seperti dia mana mengerti tentang etika. Wajar dia tidak sopan, biasanya juga dia bergaul dengan orang-orang dari kalangan rendah. Ya, jadinya seperti itu kelakuannya,” cibir Rara seraya bersedekap d’ada dengan angkuh.  Candra tak mengatakan apa pun, hanya melayangkan tatapan datar karena sungguh dia sudah mulai kebal mendengar berbagai penghinaan seperti itu.  “Huh, kamu ini memang anak tidak tahu malu. Saya harap ini terakhir kali kamu datang ke rumah ini karena mulai sekarang saya melarang kamu datang. Jika kamu memaksa datang ke sini maka saya tidak akan segan-segan menyuruh orang untuk menyeret kamu keluar.”  Candra tersenyum sinis mendengar ucapan wanita yang telah menggoda ayahnya di masa lalu sehingga membuat rumah tangga orang tuanya berantakan dan hancur seperti sekarang. Memang Candra akui wanita itu begitu cantik, dia dulu seorang pramugari cantik bertubuh seksi yang pria mana pun akan tergoda saat melihatnya. Ayahnya sampai tergoda dan memilih wanita itu merupakan sesuatu yang wajar, tapi tetap saja Candra begitu membenci wanita yang menjadi penyebab penderitaan yang kini dia rasakan bersama ibunya yang ditelantarkan oleh sang ayah.  “Apa hakmu melarangku datang ke rumah ini?” balas Candra, dengan nada suara ketus disertai senyuman sinis mencemooh.  Tentu saja hal itu menyulut emosi Sinta sehingga kini naik ke permukaan. “Heh, beraninya kamu melawan ucapan saya? Tentu saja saya punya hak melarang kamu datang ke rumah ini. Saya pemilik rumah ini. Saya nyonya besar di rumah ini jadi saya bisa melarang siapa pun masuk. Termasuk kamu,” balasnya seraya menunjuk wajah Candra dengan jari telunjuk tangan kirinya.  Candra mendengus keras, “Walau bagaimanapun aku masih tetap putra suamimu. Sudah menjadi kewajibannya untuk membiayaiku.” “Kamu ini benar-benar tidak tahu malu, ya? Sampai kapan mau mengemis terus pada Papa? Padahal Papa saja sudah muak padamu. Memangnya kamu tidak bisa mencari uang sendiri? Kamu ini sudah dewasa.” “Sudahlah, Ra. Namanya juga anak tidak berguna, pantas saja Papa benci sekali padanya. Menyesal karena dia ini anaknya.” “Aku curiga dia ini bukan anak Papa, Ma,” ucap Rara yang spontan membuat Candra mendelik tajam. “Kan, kita semua tahu ibunya w************n yang melayani banyak pria, mungkin saja dia ini anak salah satu pria itu.”  Candra menggertakkan gigi-giginya dengna tangan terkepal karena marah bukan main. “Jangan bicara sembarangan. Justru kamu yang mungkin saja bukan anak Ayah. Ibumu …” Candra menunjuk wajah Sinta. “… dia tidak lebih baik dari ibuku. Justru dia ini w*************a dan perebut suami orang yang sesungguhnya karena dia yang dulu merebut ayahku. Mungkin kamu sebenarnya anak pria lain, bukan anak ayahku.”  Sinta dan Rara memelotot, terkejut karena Candra berkata demikian. Terlebih Sinta yang tak menyangka Candra yang biasanya diam saat dihina itu mulai berani melawan dirinya.  “Dasar anak kurangajar, berani ya kamu melawan saya sekarang.”  Satu tangan Sinta melayang dan mendarat keras di salah satu pipi Candra. Terlalu keras tamparan itu sampai kepala Candra menoleh ke samping ke arah yang berlawanan dengan tamparan Sinta.  “Saya semakin yakin kamu memang sudah tidak pantas lagi menginjakkan kaki di rumah ini. Awas saja kalau kamu masih berani datang kemari, bukan hanya diseret oleh security, saya akan memanggil polisi supaya kamu di penjara karena sudah masuk ke rumah orang tanpa izin.”  “Aku tetap akan ke sini jika membutuhkan uang. Seperti yang kukatakan sudah jadi kewajiban ayah membiayaiku karena aku juga anaknya!” Candra membentak, habis sudah kesabarannya karena dia tak mau lagi menjadi anak yang terus-terusan tertindas.  Bukan hanya Candra yang telah habis kesabaran, rupanya Sinta pun demikian terlihat dari wajahnya yang memerah dengan deru napas yang terengah-engah. Dadanya naik turun dengan begitu cepat. “Rara, cepat panggil security. Suruh mereka menyeret orang ini pergi dari rumah kita. Kita tidak akan menerima pengemis di rumah ini.” “Iya, Ma.” “Tidak perlu, Ra. Nih, sudah ada orang-orang yang siap mengusirnya dari sini.”  Rara yang berniat pergi untuk memenuhi perintah ibunya pun urung melangkah begitu mendengar suara Satria yang tiba-tiba datang dan berujar demikian. Rupanya kakaknya itu tak datang sendirian, ada beberapa pria di sampingnya. Tiga orang pria berbadan kekar yang tidak lain merupakan para bodyguard yang biasa mengawal keluarga mereka jika sedang bepergian.  “Kalian, seret si pengemis itu keluar dari rumah ini. Beri pelajaran seperti yang kuperintahkan tadi,” titah Satria disertai seringaian kejam.  Candra tidak bodoh, dia tahu dirinya berada dalam bahaya karena itu tanpa ragu dia mengambil langkah seribu untuk melarikan diri. Namun, rupanya dia gagal menyelamatkan diri dari kejaran ketiga pria itu karena mereka berhasil menangkapnya. Candra diseret ke tempat yang sepi sehingga rekan-rekan kerja ayahnya tak akan tahu menahu mengenai penganiayaan yang tengah terjadi di rumah itu.  Di sebuah gudang yang terletak di belakang rumah utama, Candra dipukuli oleh ketiga pria itu dengan bertubi-tubi sehingga tubuhnya babak belur. Wajahnya penuh luka lebam yang mengeluarkan darah. Bahkan sudut bibirnya yang sobek karena insiden dirinya dianiaya saat di kampus, kini kembali membesar karena ditambah pukulan ketiga bodyguard keluarga baru ayahnya. Candra terkulai lemas di lantai dengan napas yang naik turun dengan pelan, dia sudah tak sanggup lagi menahan segala penyiksaan itu. Padahal apa salahnya dia datang ke rumah itu? Itu rumah ayahnya, sudah menjadi haknya meminta biaya kuliah pada sang ayah yang telah menelantarkannya selama ini karena lebih memilih hidup bahagia bersama keluarga barunya.  “Sudah cukup.” Sinta yang menyuruh salah satu bodyguard untuk berhenti menendang tubuh Candra yang meringkuk di lantai karena menyadari kondisi Candra sudah tak berdaya. Sedangkan Satria dan Rara yang menyaksikan kondisi Candra sekarang yang penuh dengan luka itu hanya mengulas senyum lebar, tampak begitu puas.  Sinta berjongkok di samping tubuh Candra yang menelungkup di lantai yang dingin dan kotor. Tangannya menelusup masuk ke dalam saku celana Candra, dia mengambil dompet pemuda itu dan mengambil beberapa lembar uang yang diberikan suaminya untuk Candra.  “Jangan ambil uang itu. Kembalikan padaku,” ucap Candra dengan suara lirih dan pelan. “Aku tidak sudi uang suamiku sebanyak ini diberikan padamu. Segini juga cukup untukmu. Lagi pula, kamu ini kan punya ibu yang bekerja melayani pria-p****************g di luar sana. Mereka pasti berdompet tebal, kamu minta saja uang pada ibumu yang jalang itu. Nih, aku sisakan beberapa lembar untuk ongkos pulang kamu.” Sinta tak main-main dengan ucapannya, dia memang hanya menyisakan dua lembar seratus ribuan untuk ongkos Candra pulang, sedangkan selebihnya dia ambil uang itu dan dia bagikan kepada dua anaknya, Satria dan Rara.  “Yes, terima kasih, Ma,” kata Rara riang karena dia diberi cukup banyak uang oleh sang ibu. “Wow, Papa memberikan uang lumayan banyak juga pada si pengemis ini.” Satria ikut menimpali seraya mengipas-ngipas beberapa lembar uang di tangannya seolah sebuah kipas.  “Kembalikan uang itu. Itu untuk membayar SPP kuliahku,” pinta Candra sambil merentangkan satu tangan berharap mereka akan mengembalikan uang yang sudah susah payah dia dapatkan dari sang ayah setelah berbagai rasa sakit dia rasakan hanya demi uang itu.  “Saya sudah bilang kamu minta saja pada ibumu. Uangnya pasti banyak, sekali melayani p****************g, entah berapa juta yang dia dapatkan. Sekarang lebih baik kamu pulang dan ingat, jangan pernah menginjakkan kaki lagi ke rumah ini atau saya akan memenjarakan kamu.”  Tatapan Sinta kini tertuju pada salah satu bodyguard-nya yang masih setia berdiri di sana menunggu perintah selanjutnya. “Kamu antarkan dia ke terminal bus. Pastikan dia pergi sebelum kamu kembali ke sini.” “Baik, Nyonya.”  Setelah itu, yang Candra alami adalah dirinya yang dipaksa berdiri dan ditarik oleh sang bodyguard untuk masuk ke dalam mobil. Candra tak bisa melakukan apa pun selain menurut karena setiap dia melakukan gerakan perlawanan maka bodyguard itu akan kembali memukulnya.  Tatapan Candra begitu penuh kebencian tertuju pada Sinta dan kedua anaknya yang kini sedang menatapnya sambil memasang seringaian puas.  “Aku pasti akan membalas kalian. Suatu hari nanti, aku akan membalas kalian,” gumam Candra dalam hati.    ***   Candra tengah berbaring terlentang di ranjang seraya menatap langit-langit kamarnya. Tatapan pemuda itu kosong seolah pikirannya tak ada dan sedang melanglang buana entah ke mana. Sebenarnya Candra sedang mengingat semua rasa sakit yang beberapa jam yang lalu dia terima di rumah ayahnya. Perlakuan kasar dan kejam keluarga baru ayahnya itu benar-benar membuat kebencian berkobar di dalam diri Candra.  Candra sedang berpikir sampai kapan dia harus menerima berbagai penyiksaan ini. Tidak hanya dari teman-teman di kampus yang selalu membully-nya, bahkan keluarga baru ayahnya pun tak jauh berbeda dengan mereka. Sang ayah sama kejamnya karena begitu tega menelantarkannya. Bahkan ibunya … Candra merasa wanita yang telah melahirkannya itu pun sudah tak memperdulikannya lagi. Wanita itu begitu fokus dengan dunia kotor yang sedang dia jalani.  Orang-orang di sekeliling Candra, tak ada yang memperlakukannya dengan baik. Bahkan kini satu-satunya orang yang dulu begitu peduli padanya, Eliza … sosok gadis yang telah menjadi mantan kekasihnya itu juga kini ikut menghina dan menyakiti hatinya.  Candra mengepalkan tangan dengan wajah mengerut sebagai bentuk ungkapan dari rasa sakit yang kini sedang ditanggungnya.  “Sial! Apa yang harus aku lakukan untuk bisa membalas mereka semua?”  Candra memejamkan mata, memutar otak memikirkan cara agar dia tak lagi selemah ini sehingga semua orang begitu mudah menganiaya dirinya. Candra ingin menjadi kuat atau setidaknya memiliki keberanian untuk melawan setiap orang yang menyakitinya. Selama ini Candra menyadari dirinya terlalu lemah dan penakut. Dia seorang pengecut dan Candra mulai muak dengan dirinya sendiri.  Kini dia sedang memikirkan cara untuk bisa berubah agar menjadi pribadi yang lebih kuat dan berani. Candra kembali membuka mata saat tiba-tiba mengingat sesuatu. Tatapannya tertuju pada layar komputer yang dalam keadaan mati, lalu baralih pada sebuah alat yang merupakan console game. Melihat peralatan itu, ingatannya pun tertuju pada sebuah game misterius yang belakangan ini mengusik pikirannya.  Candra bergegas bangkit dari posisi berbaring, suara ringisan kesakitan meluncur dari mulutnya, luka akibat pukulan para bodyguard tadi kembali terasa karena Candra yang terlalu banyak bergerak. Namun, Candra mengabaikan rasa sakit itu karena fokusnya sekarang adalah dia mengeluarkan paket yang disembunyikan di bawah tempat tidur. Candra mengeluarkan satu demi satu peralatan untuk log in ke dalam game The Psychopath System yang baru dikirm ke rumahnya hari ini.  “Game untuk menjadi psikopat, ya,” gumam Candra sambil menatap intens kaset berisi aplikasi game tersebut. Tak lama kemudian seringaian tercetak di bibirnya. “Menarik. Mungkin aku akan menemukan sesuatu yang menyenangkan di dunia game TPS ini.”  Keraguan yang sempat menggelayuti hati dan pikiran Candra tadi kini lenyap sepenuhnya. Yang tersisa adalah keinginan untuk mencoba log in ke dalam game itu. Candra pun mempersiapkan semua alat yang akan membuatnya log in ke dunia game baru yang sebelumnya belum pernah dia mainkan. Keputusannya sudah mantap, dia ingin mencoba memainkan game itu, tak peduli lagi meski game terasa begitu misterius dan mencurigakan.  Setelah semua alat selesai dia siapkan, kini Candra duduk santai di kursi yang diletakan di depan meja belajar. Dia memasang alat menyerupai kacamata Oculus di kepalanya. Tinggal menekan tombol berwarna hijau maka seharusnya dia log in otomatis ke dalam game karena biasanya begitulah cara main game virtual lain yang biasa dia mainkan.  Candra memejamkan mata sebelum tangannya bergerak menekan tombol untuk memulai permainan. “Ya, aku sudah siap log in ke dunia TPS,” gumamnya sangat yakin, lantas dia pun menekan tombol itu sehingga dalam sekejap akal sehatnya seolah tertarik ke dunia lain bernama game virtual.  Entah apa yang akan menimpa Candra di dunia game tersebut, yang pasti kini dia sudah siap berpetualang di game virtual bernama The Psychopath System. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD