BIMBANG

1250 Words
Aku kembali ke pesantren setelah dua hari di rumah. Tidak ada yang berubah selain perasaanku yang carut marut. Malam sebelum aku kembali ke pondok, aku menemui ayah yang sepertinya mulai bersikap sama seperti Mirza saat mendengar keputusanku untuk lanjut ikut pelatihan pengajar terpilih. Dialog yang alot sepertinya tengah terjadi antara dirinya dengan si penelpon. Begitu ayah melihatku mendekat perlahan dengan cemilan di nampan, beliau langsung mengakhiri panggilan telpon itu lalu duduk membelakangiku. "Apa ada masalah pekerjaan?" Ayah menghela napas, "Tidak juga." "Ayah..kecewa dengan pilihan yang Aisha buat?" tanyaku to the point. Cukup lama bagi ayah menjawab pertanyaanku. Ayah menatapku lekat-lekat lalu mengusap puncak khimarku seolah tengah mengusap rambutku. Dulu ayah sering melakukannya saat aku masih kecil. Rambut keriting ikal yang diturunkan nenek padaku, kata ayah sangat menggemaskan. Aku tahu itu hanya untuk menghiburku saja. Buktinya, aku masih menjadi bahan ejekan teman sekolah dasarku dulu. "Kerinting! Aisha si kerinting kotor, lah!" "Kerinting! Kerinting! Kerinting —" Dan aku baru ingat sesuatu. Bahwa yang memujiku berambut ikal itu manis bukan hanya ayah, tapi juga... Calvin. "Jangan dengar cakap dia orang. Awak tuuu..." "Apa?" tanyaku penasaran. Calvin malah bersemu, " — awak tuh comel." Ucapannya membuatku melupakan perundungan itu. Dan sejak kejadian itu pun, aku mulai belajar memakai kerudung. Ayah dan bunda sangat mendukungku waktu itu. Tapi aku tak bisa menebak bagaimana Calvin memandangku saat itu. "Hum. Tapi ayah harus hargai pilihan kamu itu." Mendengar ucapan itu, aku seperti mendapat teguran keras darinya. Kekecewaan terlihat jelas di raut wajahnya. Namun ayah berusaha keras menyembunyikannya. Aku langsung menghamburkan diri kepelukannya tanpa peduli bunda yang sejak tadi berdiri di depan pintu mengamati kami berdua. . . Liburan singkatku berakhir begitu saja. Aku kembali ke pesantren ke esokan harinya sedangkan ayah juga mendadak harus batalkan semua schedule liburannya karena harus kembali ke KL. Selama di perjalananan yang memakan waktu kurang lebih empat jam itu, kulalui dengan pikiran tentang mengabaikan impianku atau ikuti saran ayah untuk kuliah. Meski ayah mengijinkan secara tak langsung, namun perasaan ini terasa menggangguku. Tak seperti sebelumnya saat aku memutuskan untuk masuk pesantren. Pilihan nyaris sama yang membuat semua keluargaku tercengang. Termasuk nenek di Terengganu. "Pesantren?" "Iya, Ma. Aisha teringin sangat mendalami ilmu agamanya di Indonesia. Aisha —" "Awak tak sayang ke beasiswa boarding school dia tuh? Elok buat masa depan dia kelak." Nenek tampak marah. Beliau terus merajuk sampai kami benar-benar pindah ke Jakarta. Tapi ayah terus teguh untuk mendukung pilihanku itu. Hingga akhirnya aku sampai di tingkat akhir seperti sekarang. Lalu.. Kenapa perasaan ini berubah ketika aku ingin melanjutkan ke pelatihan? "Assalamualaikum —" Lesung pipi Hafsah merekah seperti mawar. Menyebarkan kerinduan dikala hati tengah gundah. Aku tak bisa untuk tak menceritakan semua kepada sahabat fillahku ini tentang apa yang membuat hatiku risau setelah kembali dari rumah. Tentang Mirza. Lalu tentang ayah. Hafsah tak mengatakan banyak nasihat ataupun kata setelah mendengarkan dengan sabar semua keluh kesahku. Gadis itu tersenyum tenang dengan memintaku untuk meminta petunjuk kepada Allah. "Iyyaaka na'budu wa iyyaaka nasta'iin. Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan." (QS. Al-Fatihah 1: Ayat 5) "Mohon pertolongan padaNya, Aisha. Kamu pasti akan mendapatkan petunjuk atas kegundahanmu itu." "Kamu benar, Hafsah. Seharusnya di saat seperti ini, aku harus meminta petunjuk dariNya. Tentang apa yang terbaik untukku." Hafsah menggeleng. Gadis itu menepuk pundakku lembut sambil berkata, "Bukan hanya untukmu. Tapi juga yang terbaik untuk keluarga kamu." Sampai di satu titik ini, aku lupa bagaimana belajar untuk bijak dan sabar. Sampai di satu titik ini, aku lupa bagaimana memperhatikan orang lain dengan menganggap diri sendiri telah lebih baik. Aku riya. Hingga merasa bangga dengan apa yang telah aku terima. Aku mulai sombong. Hingga aku tidak bisa menjaga lisanku untuk tidak menyakiti orang lain. Aku lupa. Dan aku lalai dalam tugasku untuk berbakti pada orang tua. Perasaan itu.. Kian meruntuhkan semua semangatku untuk menulis formulir pendaftaran diri sebagai calon pengajar terpilih. Aku masih menunggu jawaban, di mana pilihan ini akan tertaut. Aku membasuh diri dengan air wudhu untuk kembali ke mesjid melanjutkan tilawahku yang tertunda. Berharap Allah akan segera memberiku petunjuk lewat ayat-ayat suciNya yang indah. Beberapa santriwati juga tampak khusyuk dengan hapalannya. Karena ujian akhir kelulusan akan segera dimulai, maka tak jarang mereka dan bahkan aku sendiri mulai menyiapkan diri untuk mendapatkan nilai dan ilmu terbaik yang kami dapatkan di sini. Tapi hari ini, aku sedang tak ingin menghapal. Aku justru tengah mencari jawaban yang dapat mengurangi kegundahanku. Hingga sebuah nasihat yang dibalut untaian ayat menginterupsi fokusku untuk mencari. Suara lantunan doa yang entah sejak kapan jika dia yang mengucapkannya akan menjadi alarm keras dalam diriku untuk tak bisa mengabaikan kehadirannya. "Ya muqollibal qulub tsabbit qolbi ‘alaa diinik (Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu).” Ustad Adam beberapa kali mengulang doanya itu sebelum akhirnya beranjak dari mesjid. Aku merasa tenang setelahnya. Karena aku sudah tahu, bagaimana aku bisa memasrahkan diri atas segala sesuatu yang tengah kuresahkan. Yaitu, kembali pada Allah. . . "Kamu udah serahin berkasnya?" Pertanyaan Hafsah itu kini sudah terjawab lewat kertas yang baru saja selesai kuisi. Setelah menimbang dan menyakinkan diri, akhirnya aku mengisi formulir pendaftaran tersebut. Gadis itu juga ikut khawatir tentang pilihanku. Namun sekali lagi dia juga menekankan untuk berpikir masak-masak. Semua kesempatan itu adanya hanya sekali. Jika Yang Maha Kuasa mengadakan gambling untuk memberikan kesempatan kedua, itu sebenarnya adalah kesempatan lain dengan nasib yang berbeda pula. Kesempatan yang sama, tidak datang dua kali. Tapi peluang untuk mengubah nasib dari kesempatan yang gagal, selalu datang berkali-kali. "Aku ke kamar kecil dulu. Nanti kita kumpulkan sama-sama yah," pinta Hafsah yang langsung pergi tanpa menunggu jawabanku. Aku baru akan beranjak dari kursiku sampai sebuah salam menginterupsiku. Salam yang terdengar cukup jauh karena sosok pemberi salam itu jaraknya sekitar satu meter dari tempat dudukku. Salam yang begitu hangat namun tak pantas untuk aku pandang. Salam dari dia yang tak terduga. Ustad Adam. "Waalaikum salam warahma. Ustad panggil saya?" tanyaku sedikit grogi. Karena bagaimana pun, kami jarang berinteraksi dan bertemu — pun hanya saat membahas dewan perkumpulan santri dan santriwati. Hingga perasaan canggung ini tentu lah terasa sekali. Lalu, apa yang membuatnya lebih dulu mendekatiku? Tidak. Mungkin saja ia sekedar lewat di taman ini. Lalu bertemu denganku yang tengah duduk sendiri. "Kalau di luar majelis, bisa nggak panggil nama saya saja?" pintanya lembut. Aku dikejutkan dengan permintaannya itu. Suaranya begitu berbeda ketika dia sedang tak bertilawah. Subhanallah..bisa kah aku meredam diriku untuk tak memujinya? "Iya. A..da apa yah?" "Apa..kamu ikut program pelatihan itu?" tunjuknya pada kertas yang tengah aku genggam sejak tadi. Aku mengangguk sebagai jawaban dan kecanggungan pun terjadi lagi. Mungkin kesabaran lah yang membuat Adam bertahan di sana sambil bergumam jauh. Entah apa..tapi aku bisa mendengar sedikit bahwa dia baru saja mengucap hamdalah. "Alhamdulillah. Saya pikir kamu akan berubah pikiran." "Darimana kamu tahu kalau saya sempat ingin berubah pikiran?" Gantian, raut wajah Adam yang mendadak menjadi pucat pasih. Dia seperti ketahuan akan sesuatu setelah mencoba menyembunyikannya sejak tadi. "Kyai nanyak. Kenapa kamu belum isi formulir. Sebenarnya, tanpa mengisi pendaftaran itu pun, kamu memang sudah ditunjuk untuk dilatih mengajar." Aku senang sekali mendengar kabar ini. Meskipun asalnya dari kebocoran informasi, tapi ini sudah membuatku lega dan berekspentasi tinggi bahwa akan lulus dalam proses ini. Aku hanya tinggal fokus melanjutkan syarat lainnya. "Alhamdulillah. Tapi kenapa kamu bocorkan informasi ini ke saya?" Adam mencoba menyembunyikan senyumnya. Namun tetap tertangkap olehku hingga lagi-lagi membuatku salah tingkah. Apalagi dengan nada rendah ia menjawab pertanyaanku itu. Membuatku semakin berpikir yang tidak-tidak pada ikhwan tak halalku itu. "Karna saya lega, kamu berada di sisi saya —" . . bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD