AMIRUL MIRZA

1168 Words
Sampai di rumah, aku disambut oleh dua keponakan kembarku yang lucu-lucu. Zuna dan Zayn. Mereka tak berhenti berceloteh melihat aku pulang dengan beberapa oleh-oleh untuk mereka. Bunda pun ikut berdiri di sana sambil haru. Benar-benar melihatku seperti anak perantau yang sudah lama tak pulang. Ekspresi berbeda tertambat jelas di wajah Mirza. Remaja yang baru menginjak umur enam belas tahun itu, tampak acuh melihat kepulanganku. "Mirza.. Ini kakak baru pulang kok nggak di salim sih?" tanya Bunda yang ternyata juga memperhatikan gelagatnya. Mirza diam saja lalu menarik tanganku untuk salim. Tanpa kata, tanpa melirikku sedikit pun. Aku biarkan saja, sampai nanti akan kudekati dia untuk berbincang banyak hal dengannya. Sepertinya, ada yang harus kuperbaiki hubungan yang buruk ini sebelum nantinya akan semakin rumit. Seperti hubungan buruk yang juga aku torehkan pada Calvin tiga tahun silam. "Aneh banget sih Mirza." "Hari ini acara kelulusan dia ya, Bun?" tanyaku sambil membantu Bunda menyiapkan beberapa cemilan dan minuman. "Iya. Tapi dari pagi dia terlihat seperti itu," ucap Bunda khawatir. Apa yang aku perkirakan ternyata memang terjadi. Mirza pasti kesal karena Ayah memilij untuk menjemputku daripada menghadiri acara kelulusan Mirza. Ayah kemudian datang dengan tatapan bingung. Ia melihatiku yang telah memandangi Ayah dengan tatapan kekecewaan. "Ada apa?" tanya Ayah yang pura-pura tak tahu. "Ayah masih ingat dengan yang Aisha katakan tadi di mobil?" ucapku yang membuat Ayah garuk-garuk kepala sendiri. Ia lantas menoleh ke belakang sambil melihat Mirza yang mondar-mandir keluar masuk kamar. Ayah menepuk keningnya lalu membuat tanda ok di tangannya. Beliau terus mengejar Mirza sambil merangkul pemuda enam belas tahun itu untuk bicara. "Kamu bilang ke Ayah?" tanya Bunda penasaran. Aku mengendikkan bahu sambil mengangkat semua makanan dan minuman untuk di bawah ke ruang keluarga. . . Mengakhiri itu lebih mudah daripada mengawalinya. Begitu pula dengan merusak sesuatu. Lebih mudah daripada memperbaikinya. Aku tak yakin dengan apa yang kulakukan ini akan cukup membuat hubungan kami membaik atau tidak. Yang jelas, Mirza masih belum mengatakan apapun sejak aku pulang hingga kami berkumpul untuk makan malam tadi. Sehingga aku memutuskan untuk memberanikan diri menghampirinya untuk bicara, setelah Ayah mencoba semampunya untuk memenangkan hati Mirza. "Assalamualaikum, dek? Kakak boleh masuk?" tanyaku pada Mirza yang tampak asyik bermain game di kamarnya. Mirza menoleh dengan hati-hati. Terlihat sekali bahwa ia tak siap bertatap muka denganku. Aku melangkah perlahan menuju tepian ranjangnya yang bersih. Kamarnya juga ditata dengan rapi dan nyaman. Untuk ukuran anak laki-laki remaja, aku suka melihatnya masih mempertahankan ajaran bunda untuk selalu menjaga kebersihan. Juga sebagaimana bunda mengajarkan kami untuk mandiri dan disiplin. "Dek..boleh kakak tanya sesuatu?" Tiba-tiba aku merasa gugup. Mirza sama sekali tidak minat dengan kehadiranku di sini. Tapi meski begitu, paling tidak dia masih menanggapiku lewat isyarat ataupun ucapan lirihnya. "Hum —" "Kamu yang telpon kakak minggu lalu, kan?" Mirza tampak menegang. Ia menghentikan permainannya lalu bergerak memutar badan menghadapku. "Iya," jawabnya datar. "Ada apa?" "Aku kangen sama kakak —" jawabnya enteng. Memang terdengar begitu mengharukan. Apalagi ucapan itu keluar dari mulut saudara sendiri. Tapi.. Kenapa itu terdengar seperti keterpaksaan? Ada rasa dingin dari ucapannya itu. "— tapi aku baru sadar, kakak sudah berubah." Aku mengeryit bingung, "Berubah? Kakak nggak berubah, dek —" "Kakak tahu apa yang aku maksud," ujarnya tampak tak ingin dibantah. Aku mencoba memahami, apa yang dia maksudkan itu, "Mirza —" "Aku kangen kakak yang dulu," tukasnya yang hampir meninggalkan ambang pintu kamarnya. Namun, Mirza berbalik dan melanjutkan. Menatapku sendu lalu berubah lagi menjadi kesal. "Kalau kakak memang nggak berubah, kenapa kakak nggak ikuti permintaan Ayah?" (Beberapa jam yang lalu..) Mirza membahas perbincangan kami saat makan malam tadi. Ayah mulai membuka pembicaraan dengan menjelaskan bagaimana dirinya bisa menjalin kerja sama dengan Om Stewart untuk membentuk suatu perusahaan. Setelahnya, Ayah membahas tentang pendidikan lanjutan yang aku ambil setelah lulus dari pesantren nanti — "Aisha mau ikut program pengajar terpilih," tukasku. Memotong pembicaraan ayah yang membahas tentang universitas elit di Malaysia. Semuanya terdiam. Aku yang masih menggebu-gebu menjelaskan semua tentang impianku menjadi ustadzah itu pun tak menggubris langsung ekspresi mereka saat mendengarkanku bicara. "Aisha bakal ikut training setahun terus ambil kesempatan ke Kairo buat —" "Itu kedengarannya bagus sekali sayang, tapi Ayah ingin kamu lanjutkan kuliah dulu di majemen." Ayah terlihat serius saat mengatakannya. Tapi butuh waktu lama untukku mengerti maksud ayah tersebut. Hingga saat makan malam tadi, aku malah membantah ucapannya dengan tetap mempertahankan keinginanku itu. Dan ayah cuma terdiam sejenak sebelum akhirnya beringsut meninggalkan meja makan. Aku melirik ke bunda yang sejak tadi hanya diam saja menyimak perdebatan kecil ini. Sambil menepuk pundakku, bunda memintaku bereskan peralatan makan lalu bicara berdua dengannya di dapur. "Ayah marah?" tanyaku takut-takut. Bunda menarik napas dalam-dalam, lalu menyunggingkan senyumnya sedikit. "Nggak tahu. Tapi kamu memang udah mantap mau tambah satu tahun lagi di Ponpes?" Aku mengangguk cepat. Tanpa memikirkan pilihan yang ayah berikan padaku tadi. "Bunda dukung Aisha, kan?" Bunda berhenti sejenak dari aktivitasnya mencuci piring lalu menoleh padaku. Terlihat jelas raut wajah kebingungan dan keraguan di garis matanya. "Kalau itu kemauan kamu, bunda akan selalu dukung kamu." Tapi.. Ada tapi yang menggantung diucapan bunda hingga — *kilas balik selesai* "Kakak egois!" ucap Mirza membuyarkan lamunanku. Aku melihat punggungnya yang kali ini benar-benar akan meninggalkanku di kamarnya yang temaram. "Kakak udah buat ayah kecewa." "Menuntut ilmu agama kenapa disebut sebagai sebuah kekecewaan, dek? Dek..dek!" Mirza menutup pintu lalu pergi. Pergi meninggalkanku sendiri yang masih terpaku dengan pilihan yang amat sulit untuk kupilih. Apa aku benar-benar telah melewati batas? Aku hanya tak tertarik dengan dunia bisnis dan perusahaan. Aku hanya ingin menjadi penghapal al-Quran dan menjadi pengajar untuk murid-muridku nanti. Apa ini sebuah kesalahan? Di mana letak kesalahan itu? Aku keluar dari kamar untuk merenungi semuanya. Kulihat semua tampak asik sendiri-sendiri. Bunda tengah menyelesaikan sulamannya, Mirza bermain game bersama Zayn dan Zuna serta ayah yang tengah berbincang dengan adiknya -- om Teddy. Aku mendekati bunda yang masih tampak asik. Ada tante Inne juga yang tengah berbincang seru di sana. Saat aku datang menghampiri, tante Inne menyuruhku duduk di dekatnya agar kami bisa berbincang bertiga. "Kakak ingat Shanty? keponakan aku?" "Iya..bagaimana kabarnya? Sekarang dia ada di mana? Masih kuliah kan?" tanya Bunda antusias sambil melirikku. "Dia sehat. Sekarang ada di California lanjut S2 di sana," tukas tante Inne semangat. Bunda lalu melirikku lagi. Tapi kali ini riak kecewa tergambar jelas di sana. Apa bunda kecewa karena tak bisa membandingkan aku dengan si shanty? Apa ilmu yang kudapat tak membuatnya bangga? "Dulu Shanty itu juga ikut pesantren, tapi kemudian dia keluar. Kamu sehabis nyantri, kuliah ke mana?" tanya tante Inne tiba-tiba. Aku baru saja ingin menjawab pertanyaannya tapi bunda lebih dulu menginterupsi. "Hapalan Aisha sudah mulai banyak --" Bunda meletakkan tangannya di atas tanganku. Aku meliriknya bingung, "-- kaka sih berharap, Aisha bisa melampaui apa yang ingin di lampaui di pesantren itu." Bunda tersenyum setelah mengatakan apa yang ingin aku katakan tadi. Aku tersanjung dengan apa yang bunda terangkan pada tante Inne. Aku tak sangka, bunda bangga padaku. Aku telah nista karena meragukan tatapannya. Harusnya aku tahu, setiap orang tua akan selalu bangga dengan anak-anaknya. . . bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD