"Ifa buka pintunya, aku mohon bukaa…" aku berteriak memukul daun pintu, menangis ketakutan dan memohon kepada dia dalam keremangan gordeng kamar yang tertutup.
"Kamu nikmati saja Eiko, kamu pasti suka" dia duduk di tepi ranjang, menatapku dengan berang.
"Ifa aku mohon.."
"Diamlah Eiko, cepat kemari" pria itu menarik tanganku, dia mendorongku ke sudut kamar.
Aku menangis, entah kenapa hatiku terasa menyempit dan perih. Ifa menonton kesedihanku, dia menikmati rasa sakitku.
Pria itu menarik pakaianku..
Suara kelakson mobil membangunkan aku dari lamunan. Pipiku sudah basah entah sejak kapan. Dadaku terasa sesak bersamaan dengan air mata yang terjatuh lagi.
Ice Cream di tanganku meleleh membasahi kulit.
Aku berbalik merasakan seseorang menepuk bahuku. Seorang anak SMA berjaket hitam berdiri menjulang di hadapanku, dia tersenyum seperti playboy yang baru menetas.
Dia menelitiku dari atas sampai bawah, sampai akhirnya dia membuka suara. "Adek sendirian?"
Adek?, Adek?, bocah ini menghinaku.
Aku mengusap air mata di pipi, tersenyum palsu dan mengangguk kecil, "Iya."
"Kenapa menangis?, ada yang jahatin kamu?."
Aku menggeleng kesal, dia benar-benar memperlakukan aku seperti gadis kecil "Tidak ada."
Suara siulan orang dan tawa mereka mengalihkan aku, teman-teman dia berbicara memberikan kode dalam gerakan tangan. Aku tidak mengerti.
Dia mengulurkan tangannya dan tersenyum lebar, "Nama saya Reza, adek namanya siapa?" Nada suaranya menekan di setiap akhir kata, sama persis seperti orang yang berbicara dengan anak polos.
Aku hampir menyambut uluran tangannya dengan tanganku yang sudah lengket karena Ice Cream.
TAK
Tanganku terhempas dan berhenti dalam genggaman
"Ayo pulang, sudah kan beli Ice Creamnya?" Geraman suara Tony menekanku, dia menghalangi Reza dari pandanganku dengan tubuhnya, sampai-sampai wajahku menempel pada dadanya.
Aku mengangguk sedikit kaget dan bingung dengan kedatangan dia yang tiba-tiba.
"Om, maaf. Om menghalangi saya" Reza menepuk-nepuk bahu Tony agar minggir.
Aku hanya tertunduk tertawa kecil melihat reaksi Tony yang di panggil om.
Tony bergeser ke sampingku, dia menarik kerah baju yang sedikit terbuka memperlihatkan bahuku.
Reza melihat kumpulan temannya yang hanya menonton dan berbincang, dia menatapku lagi dengan hati-hati, "Ade tidak apa-apa?, om ini beneran omnya ade?" Tanya dia pelan.
Tawaku semakin semakin keras, sementara Tony merenggut kesal di sampingku.
"Iya kakak" jawabku tersenggal-senggal tertawa, aku mengulurkan tangan mengajak bersalaman. "Saya Eiko, salam kenal."
TAK
Tony menepis tangan Reza yang akan menyambut uluran tanganku.
"Santai dong om, jangan kasar-kasar. Saya kan enggak bersikap tidak sopan sama keponakannya" dengus Reza tampak kesal dengan sikap Tony. Meski kesal, namun pria muda itu pandai mengendalikan diri, tidak seperti yang aku fikirkan sebelumnya.
"Sebaiknya kamu pulang dan ganti pakaian dulu, baru berdebat masalah kesopanan dengan saya" jawab Tony dengan tatapan dingin.
Kening Reza mengerut, dia terlihat semakin kesal, "Galak banget sih, beda banget sama adek manis."
Aku menggigit bibirku, tidak kuasa menahan tawa yang hampir meledak di mulut. Tangan Tony terjatuh di pinggangku dengan posesif, dia menarikku cukup kuat, "Ayo pulang."
Aku mengangguk kecil, tersenyum pada Reza, "Saya permisssii"
Tubuhku tertarik di pinggang, Tony tidak bicara apapun lagi. Tapi, dia menutup mataku menghalangi pandanganku dari Reza dan menyeretku menjauh.
"Sampai jumpa!" Teriakan Reza di belakangku. Aku hanya balas melambaikan tangan, namun dengan cepat Tony menarik tanganku lagi dan menurunkannya.
"Tony lepas, gelap tahu! Kaki aku sakit" Aku pusing karena pandanganku terhalang oleh tangannya, sementara dia menyeretku untuk melangkah cepat dengan kaki yang terluka.
Tangan Tony turun dengan cepat dan membiarkan aku melihat. Dia berdiri di depanku dengan cemberutan kesal di bibirnya. Tony melepaskan jaketnya, "Pakai ini" dia melempar jaket ke mukaku dan berjalan lebih dulu.
"Aku tidak kedinginan."
Tony berbalik lagi, dia melangkah lebar dan merebut jaketnya lagi. "Harus berapa ratus kali lagi aku katakan sama kamu Eiko. Aku enggak suka kamu pakai, pakaian terbuka di depan umum!"
Ya tuhan, aku hanya memakai dress selutut dengan lengan pendek. Aku berpakaian sopan, apa yang salah?.
"Ini dress Tony" desisku pelan, diam-diam menengok anak sekolahan yang masih memperhatikan kami.
Wajahku di tarik dan mengahap Tony lagi, "Kamu lihat aku saja. Apakah itu tidak cukup Ei?."
Aku tertunduk dan membungkam, membiar kandia memakaikan jaketnya pada tubuhku. Aku menggenggam erat kantong Ice Cream agar tidak jatuh ke aspal karena lengan baju Tony yang terlalu panjang.
Tony membungkuk di depanku, "Naik."
Apa? Apa dia ingin menggendongku?
"Naik Eiko."
Aku menatap ke sekeliling takut ada yang memperhatikan, dengan ragu aku naik ke punggungnya dan memeluk leher Tony.
"Kamu terlalu ringan" dia mengomel lagi. "Jangan mentang-mentang bocah itu berpikir kamu keponakan aku, lantas kamu bisa kecentilan di depan mereka."
Dia mengajak untuk berdebat masalah sepele denganku.
"Aku enggak kecentilan!"
"Aku enggak suka ya kamu diam saja saat di goda. Aku enggak suka rambut kamu di kepang, kamu jadi kecentilan banget kalau di deketin brondong. Inget Eiko, wajah imut kamu itu penipu, kamu sudah dewasa, bawel, ngambekan, galak, suka mukulin aku contohnya."
Plak. Aku menampar mulut Tony.
"Sakit Ei" suaranya memelan seperti anak kecil yang ketakutan.
Pelukanku di lehernya semakin erat, merongoh Ice Cream di kantong dan membukanya sebelum meleleh. Kepalaku maju dan menjilat, menggigitnya.
"Kamu gak mau nawarin aku?."
Padahal barusan dia marah dan mengomel
Aku menyodorkan Ice Creamku, Tony menggigitnya cukup besar hingga menyisakan seperempatnya. Aku menggigit sisanya lagi sebelum Tony meminta lagi.
Aku baru sadar dengan keberadaan Tony sekarang, jika dia menyusulku. Bagaimana dengam mbak Siska?.
"Dimana mbak Siska?" Aku tidak suka menyebut namanya.
"Pulang."
"Benarkah?, bagaimana bisa?."
"Aku akan menuliskan semua rumus yang di butuhkan Zahra, nanti tinggal aku jelaskan. Jadi tidak menghabiskan banyak waktu" tuturnya membuatku bisa bernafas dengan lega.
Diam-diam aku tersenyum di belakang bahu Tony, aku senang jika dia menjauh dari tipe w*************a seperti mba Siska. Aku tidak bermaksud berfikiran negatif tentang dia, namun dari segi penampilan dan gesture tubuhnya hanya pria yang tidak normal yang tidak tergoda dengan dia.
Kepala Tony menengok ke sisi, tepat di depan wajahku, "Ei, kamu pakai bra yang kebesaran ya?."
Apa maksudnya?, kenapa bertanya demikian?
Memang iya aku memakai bra dengan cup yang lebih besar, biasanya selalu pakai sport bra. "Iya" jawabku malu.
"Pantas saja kurang empuk" gumam Tony.
Sialan, dia sangat m***m.
Plak. Aku menampar mulutnya lagi
"Sakit Ei!" Gerutunya memayunkan bibirnya seketika, dia memalingkan wajahnya seketika. Tony ngambek.
"Kamu mulutnya gak sopan."
"Kamu juga bisa grepe-grepe punya aku, aku gak bakalan bilang kalau kamu enggak sopan."
Dia benar-benar membuatku kesal sekaligus malu. Kepalaku terjatuh di bahunya, memejamkan mata untuk tidur sejenak selama perjalanan pulang ke rumah.
Cukup lama aku tertidur, sampai akhirnya mendengar suara pintu terbuka. Kantong di tanganku di ambil entah kemana.
Aku terbangun ketika sadar Tony sudah mendudukan aku di tepi ranjang, "Terimakasih."
Dia berdiri lagi dan pergi ke kamar mandi. Aku merangkak melewati ranjang dan duduk di kursi, membuka laptop di meja dan berselancar di Youtobe untuk mencari insfirasi.
"Kamu lihat apa?" Tony sudah berdiri di hadapanku, dia ikut duduk dan mendesak kursi yang aku duduki agar aku berbagi tempat.
Aku mengetik Zach King, melihat video sulapnya yang luar biasa kreatif dan menyegarkan.
"Kamu gak pulang?, ini sudah malam" Tanyaku hati-hati.
Tony menggeleng, dia mengerutkan hidungnya terlihat tidak suka dengan pertanyaanku, "Aku mau menginap disini."
Laptop tertutup, aku langsung berdiri di hadapan Tony. Menginap?, sudah hampir empat malam dia disini, dan selama itu pula aku tidak bisa begadang karena omelannya.
Tidak bisa di biarkan, malam ini dia harus pulang agar tidak mengganggu pekerjaanku.
"Sebaiknya kamu pulang Tony" suaraku masih lembut dan rendah.
Tony menggeleng lagi, dia bergeser dan sepenuhnya duduk di kursi, membuka laptop dan menonton.
"Anthony, aku bilang pulang. Kamu sudah terlalu lama disini."
"Kamu kenapa sih Ei!" Tony berubah ketus, tatapan dinginnya seperti kucingabu-abu milik tetangga. "Aku bilang gak mau, ya gak mau."
Aku menarik bahu Tony dengan keras, "Pulang Tony"
Dia berpegangan pada meja, "Enggak!, aku mau menginap disini."
Nafasku sedikit cepat, kesal karena dia sama kukuhnya denganku, "Kamu setiap dalam seminggu berapa hari disini?" Geramku kesal.
Dia berfikir, menggaruk pipinya sambil menghitung, "Senin di rumah sakit, sorenya aku di apartemen. Selasa di rumah sakit, rabu sampai jum'at tidur disini. Sabtu di rumah, malamnya sampai minggu disini."
"Kamu ngerti gak, kamu terlalu banyak disini?" Aku melotot, sudah bosan mengingatkan dalam masalah ini.
"Tapi aku suka, Eiko!"
"Tapi aku terganggu Anthony, kamu selalu ganggu pekerjaanku!" Dia harus tahu ini semua.
Keningnya mengerut tidak setuju, kedua tangannya langsung bersedekap di d**a. "Kamu yang terlalu sibuk dan mengabaikan aku"
Perdebatan kami memang tidak akan pernah berhenti jika tidak ada yang mau mengalah. Seharusnya Tony pulang, untuk apa dia memiliki apartemen dan rumah pribadi, jika kenyataannya jarang dia tinggali?.
Aku mengambil handpone di ranjang dan segera pergi, mungkin sebaiknya aku yang mengalah dan pergi ke taman kompleks untuk mendapatkan ide sekaligus membalas beberapa email mengenai proyek baru.
"Ei, kamu mau kemana lagi?" Teriakan Tony terdengar bersamaan dengan langkah terburu-burunya menyusul. Tangan Tony menangkap pinggangku, "Kamu gak boleh keluar."
Aku berbalik dan menarik lengannya yang berotot, membuka pintu lebar-lebar "Kalau begitu kamu yang pulang."
"Enggak mau Ei" tangan Tony berpegangan pada kusen pintu ketika aku menariknya dengan paksa. Tubuh dia merosot di lantai, dan semakin erat berpegangan.
"Enggak bisa Tony, kamu selalu ganggu aku."
Kedua mata Tony membulat sempurna menatapku, dia menggeleng sedih dan berhasil membuatku merasa sangat kejam padanya.
"Aku mohon Ei, aku janji gak bakal ganggu kamu. Besok aku bagun lebih pagi, aku yang ngepel dan masak, aku janji" suaranya gemetar dengan mata puppy eyes yang berhasil meluluhkan hatiku lagi.
"Pulang Tony."
"Aku akan menyetrika baju kamu."
"Anthony!"
"Aku gak bakal ganggu kamu sampai pagi. Gak bakal main piano, aku langsung tidur."
Peganganku pada lengannya terlepas, "Bangunlah, nanti di lihat tetangga." Aku kalah lagi dengan rayuan dia.
Seketika Tony nyengir lebar, dia langsung bangun dan berlari secepat kilat ke kamar seakan takut aku berubah fikiran lagi.
Pintu terkunci lagi dengan rapat, ketika aku masuk kamar Tony sudah terbaring di bawah selimut.
Dia seperti anak kecil yang penurut..
Aku mengambil karpet dan bantal, sebaiknya aku di bawah karena terlalu lama duduk di kursi lebih melelahkan dan mudah mengantuk. Aku juga harus waspada, jika kami satu ranjang aku takut Tony melakukan sesuatu lagi setelah terganggunya percumbuan kami tadi.
"Sayang, kenapa di bawah?" Dia menampakan setengah wajahnya di atas ranjang.
"Tidak apa-apa Tony, tidurlah. Aku disini"
Tony melompat ke bawah, memeluk bantal dengan rambut yang mulai berantakan, "Kamu di atas, aku yang tidur di lantai."
Apa dia bercanda?
"Tidak Tony."
"Berhenti berdebat Eiko, cepat naik. Atau aku ganggu kamu terus" suaranya penuh tekanan dan tegas. Aku hanya menarik nafas dengan pasrah naik ke atas, "Kamu gak apa-apa?"
Tony terbaring di karpet, dia meringkuk mencari kenyamanan "Aku sudah biasa kalau lelah melakukan operasi panjang, aku bisa langsung tidur di lantai"
Hatiku tersentuh..
"Selamat malam Ei" Tony bergumam pelan, pipiku memanas malu. Dia sangat gentle bersamaan dengan sikap manisnya.
Sesekali aku melirik Tony di bawah, meringkuk di bawah selimut, dia terlihat sudah tidur ketika aku membalas beberapa email masuk.
Ketika aku sudah menulis dan membalas email masuk. Waktu sudah menunjukan pukul satu malam, aku menyempatkan diri menelpon ibu menanyakan keadaan bapak lagi.
Setelah semuanya selesai aku mematikan lampu, dan terbaring miring membelakangi Tony. Menyalakan musik meditasi untuk membuang mimpi buruk dan trauma masalalu yang mengerikan.
Mataku terpejam...
Ada gerakan kecil di ranjang...
Hawa hangat nafas Tony menyeruak di tengkukku, dia memelukku dengan selimutnya.
"Tony.." pelukannya semakin erat membuatku mengurungkan niat untuk berbicara padanya.
Suara musik meditasi masih mengalun, nafasku semakin teratur dan mataku mulai memberat, perlahan terpejam
To be continue....