BAB 5 : Trauma

2516 Words
Suara tawa penonton terdengar keras di telingaku, aku meringkuk di sofa bergelung dengan selimut menonton acara televisi setelah tidur beberapa menit. Sebentar lagi malam, aku merasa kesepian. Mungkin sebaiknya aku pergi keluar dan berkeliling. Suara pintu mobil tertutup terdengar di telingaku, aku yakin itu pasti Tony. Dia sudah pergi dua jam. Belum sempat aku duduk, pintu terbuka, Tony tersenyum seperti biasa namun tubuhnya masih menyisakan berkeringat. "Senang?" Suaraku meninggi, lidahku terlalu gatal untuk tidak menahan kecemburuan. Kening Tony mengerut, dia menatapku bingung. "Senang di kejar-kejar janda?" Cemberutku kesal. "Maksudnya?" Tony menggaruk kepalanya, wajahnya semakin menunjukan kebingungan. "Semua ibu-ibu disini ngidolain kamu, kamu sih tebar pesona sama mereka, apalagi sama anak sekolahan. Pantas saja betah di gym, banyak yang naksir" omelanku tidak berhenti entah kenapa. "Oh.. ibu-ibu yang ada di kompleks, iya tadi mereka nyapa aku di gym. Mereka aktif sekali" Dia tidak peka.  Oke. "Mulai besok ganti saja jadwal fitnes kamu, aku gak suka mereka deketin kamu. Apalagi kamu suka tebar pesona sama cewek-cewek disini" Bibir Tony terangkat membentuk senyuman lebar, dia mengangguk cepat dan pergi ke kamar dengan siulan senang. Ada apa dengan dia?, apa dia tidak menggubris kemarahanku?. Aku duduk dan bersedekap melihat televisi lagi, cukup lama Tony tidak keluar kamar. Suara siulannya terdengar lagi, Tony bertelanjang d**a. Dia terlihat segar dan semakin tampan karena selesai mandi, tangannya menenteng pakaian kotor. Tony melewatiku, masih bersiul dengan senyuman anehnya, sesekali melirikku sebelum pergi ke belakang untuk mencuci pakaiannya sendiri. Kenapa dia sangat terlihat bahagia? Dia tidak menggunakan mesin cuci karena aku mendengar suara sikat. Ini semakin membuatku penasaran. Aku beranjak dan pergi ke belakang, ku lihat Tony tengah bersenandung sambil mengucek pakaiannya di baskom. Bahuku bersandar pada kusen pintu, "Kamu kenapa sih?." "Ei. Ada apa?" Tony tersenyum lebar melihatku. Ada apa dengan dia?, apakah di gym sangat begitu menyenangkan karena ada janda seksi dan beberapa wanita yang mengincarnya, sehingga kini Tony menjadi seperti pria sinting.. "Kamu yang ada apa, sejak tadi senyum seperti orang gila. Seneng di incar dan gym bareng mba Siska yang seksi dan cantik itu?." Tony tertawa, dia mengedikan bahunya dan memeras pakaiannya. Kakiku menghentak kesal, aku kembali ke ruang tamu dan bermain game online di handpone. Ada pergerakan di sofa, aku tidak menggubris nya dan sibuk bermain game. Tony mengambil segenggam rambutku di tangannya, dia menyisirrambutku, "Rambut kamu aku kepang ya?" "Terserah." Tanpa banyak kata,Tony pergi ke kamar mengambil sisir dan ikat rambut. Dia mengepang rambutku dan masih dengan senandung lagu yang tidak jelas. Aku mulai jengkel… "Apa sih yang membuat kamu sebahagia itu?" Aku meninggalkan game dan sedikit bergerak setelah Tony menggulung kepangan di sebelah kiriku seperti tanduk. Aktifitas tangangannya di kepangan sebelah kananku terhenti, dia tertunduk melihat jari telunjuknya saling beradu. "Aku gak boleh senang ya, kalau lihat kamu cemburu?" Apa maksudnya? Bola matanya membulat indah saat dia menggaruk pipinya, "Kalau kamu cemburu itu artinya kamu cinta aku." Pipiku memanas, jantungku berdegub lebih cepat. Apakah.sebesar itu pengaruhnya untuk Tony jika aku cemburu. "Selesaikan kepangannya" perintahku, mencoba menutupi perasaan geli sekaligus senang. Tony menangguk cepat, dia menyelesaikan sisa pekerjaannya di rambutku, "Ei, rambut kamu sudah beruban." Aku tertawa keras, "Wajar Tony, aku kan sudah mulai tua." "Wajah kamu imut" Kamu yang imut, seharusnya sudah menjadi om-om… Deringan telepon masuk di handponeku mengalihkan perhatian, Tony mengikat rambutku dengan cepat dan ikut melihat layar, "Ibu mertua." Aku melirik Tony, ragu untuk mengangkat saat dia ada di sampingku. Aku sedikit bergeser, lalu mengangkat Panggilan masuk ibu. "Hallo bu" suaraku memelan, karena Tony ikut bergeser dan menempelkan pipinya di belakang handpone, wajah kami saling menempel. "Kamu sudah pulang kerja nak?." Aku mendorong d**a Tony dan memelototinya untuk menjauh, tidak mendengarkan percakapan kami. "Iya bu, aku sudah pulang tadi." "Kamu punya uang gak nak?, bapak drop, sekarang harus di rawat, ibu takut uang ibu kurang." Mataku terpejam menahan diri untuk tidak terlihat sedih sedikit pun karena Tony memperhatikan, aku beranjak dari tempat duduk dan pergi memasuki kamar. "Kenapa dengan bapak?" Suaraku bergetar. "Paru-parunya, kamu tahu sendiri kan bapak kalau sakit seperti apa. Kemarin bapak memaksakan diri untuk bekerja." "Aku kirim biayanya sekarang, tolong bawa bapak ke rumah sakit." "Ibu tidak merepotkan kamu kan nak?." Air mataku lolos membasahi pipi, "Jangan berkata seperti itu sama aku. Kesembuhan bapak lebih dari apapun, sudah yah bu. Aku kirim biayanya sekarang, tolong kabari aku jika ibu butuh sesuatu." "Iya nak" Sambungan telepon terputus, aku mengusap air mata yang masih membasahi pipi. Akhir-akhir ini bapak memang selalu sering sakit, semenjak aku bekerja, aku menjadi tulang punggung keluarga di saat kedua kakakku sudah memiliki rumah tangga masing-masing. Karena itu, aku tidak mau terburu-buru menikah. Aku takut, aku tidak bekerja lagi. Lantas siapa yang akan menjaga orang tuaku?, mereka adalah tanggung jawabku. Hatiku berkecamuk mengkhawatirkan bapak. Sudah hampir satu tahun aku tidak pulang, aku tidak memiliki waktu banyak untuk libur. Aku merindukan mereka. Aku sudah berjanji dan bertekad, jika tabunganku sudah lebih dari cukup. Aku akan pulang, dan membuka usaha disana. "Ei" Aku terlonjak kaget, mengusap air mata dengan cepat dan membalikan badan untuk berhadapan dengan Tony. "Kamu nangis" Tony mengusap pipiku, di saat aku tertunduk dan membuka aplikasi m-banking. "Kamu bisa pakai punyaku." Aku menggeleng, "Tidak perlu Tony. Aku masih mampu" "Ayah mertua kenapa?" "Sakit" "Kamu pakai uangku Ei, aku serius" Aku tidak menggubris, namun handponeku di tarik olehnya. "Anthony, jangan main-main denganku" bentakku kesal. "Sudah aku bilang, pakai punyaku!" Dia balas membentak kesal. Air mataku kembali terjatuh tidak bisa berhenti menangis, aku tidak mau bertengkar dalam suasana buruk seperti ini. Aku masih mampu, cukup dengan dia ada di sampingku, semuanya sudah cukup. Akhirnya Tony mengembalikan handponeku, "Sayang, aku tidak bermaksud membentakmu" sesalnya ikut bersedih. Dia tidak perlu meminta maaf, aku mengerti maksud dia baik. "Setelah selesai, cepatlah masuk, disini sangat dingin" dia mengecup keningku sebelum pergi ke dalam memberikan aku ruang untuk sendiri. Tidak mau membuang waktu lagi, aku segera mentransfer uang sebanyak delapan juta ke rekening ibu dan memberi beliau kabar untuk segera mengambilnya. Masih dalam kesedihan yang melandaku, aku dapat melihat langit sudah menghitam. Sementara aku masih berdiri di belakang rumah, menunggu kabar apakah bapak sudah di tangani atau belum. Deringan pesan masuk di handpone langsung melegakan hatiku. Aku membukanya.. Tapi bukan dari ibu..   Trx Rex. 4408986600xxxxx Transfer FROM4408986600xxxxx TO44000010070×××× Rp. 20,000,000 25/08/19   Nafasku tercekat, cukup lama tidak berkedip dan membaca ulang pesan lalu melihat saldo di rekening. Anthony.. Apa yang sebenarnya dia fikirkan?, apa perkataanku yang tadi tidak cukup untuk menjelaskan kepadanya?. Aku harus mengembalikannya.. Ini terlalu banyak, sangat banyak buatku. "Jangan pernah berfikir untuk mengirim kembali uangnya" Tony berdiri di ambang pintu, menatapku dengan tajam penuh ketegasan yang membuatku takut dan tidak berani membantah. Aku mendekat, "Tapi Tony, ini terlalu banyak. Sudah aku katakan padamu, aku masih mampu." "Berhenti mengajakku bertengkar Eiko" dia menjauh dan aku mengejarnya mencoba untuk memberi pengertian. "Tony, aku tidak ingin merepotkanmu dengan semua ini. Aku __" "Aku suka di repotkan olehmu! Kamu puas!" Aku terdiam, tertunduk menatap lantai mendengarkan bentakan kemarahannya. Kepalaku terangkat oleh dorongan tangannya di daguku, dia menatapku begitu dalam dan berhasil membuatku menjatuhkan air mataku lagi, merasakan bibirnya di sudut bibirku. Dia mengkhawatirkanku.. dia menyentuh hatiku lagi.. "Aku selalu membiarkan kamu bekerja keras, melakukan semua pekerjaan yang kamu mampu. Tapi bukan berarti aku membiarkan kamu untuk kesusahan sendirian. Tolong, jangan menolak bantuanku dan menjadikan aku pria tidak berguna untuk kamu Ei. Aku suka menjaga dan di repotkan olehmu, jangan bertengkar lagi." Aku mengangguk, menyerah dengan keinginannya. Tony terlihat lebih santai dengan resfonku. Aku memeluknya membenamkan wajahku di dadanya. "Uangnya aku kirim lagi ke kamu setengahnya ya?" Tanyaku lembut. "Tidak Ei, itu tidak berarti bagiku. Apalagi kamu enggak suka aku belikan tas mahal, anggap saja aku sedang membelanjakan kamu" Dia bicara terlalu mudah dan enteng. Padahal itu uang yang sangat banyak. Aku benci memakai tas mahal dari kulit asli, aku benci menyadari jika barang itu terbuat dari kulit hewan yang di bunuh dengan tidak wajar hanya karena sebuah fashion dan ajang pamer. "Kamu sombong." Aku mencebik, mendongkakan kepalaku melihat senyumannya, "Tas kulit sama dengan membunuh dan merusak habitat hewan Tony. Kamu juga sering beli perhiasan buatku. Harusnya kamu berhemat, dan menghargai uang" Kedua mata Tony mengerjap polos, "Aku kan sudah punya celengan buat uang seribuan kembalian dari toko" Dia benar-benar tidak mengerti maksudku.. Tony menguraikan pelukannya. Tanganku di tuntun memasuki rumah lagi menuju ruangan tengah, dia duduk di sofa dan menarikku untuk untuk meringkuk di pangkuannya. Perasaan khawatirku menghilang, berganti menjadi perasaan aman dan nyaman dalam dekapan dan pelukannya. Aku mendongkak, melihat Tony yang merenung. Dia selalu bersikap dewasa, sesuai usianya ketika seperti ini. Tony membalas tatapanku, "Kamu ingusan." Dia merusak suasana romantis kita Sebelum aku beranjak mengambil tishu, Tony sudah bergeser menjangkau tishu di atas meja. Aku malu.. Tanpa rasa jijik dia mengusap hidungku, "Keluarkan Eiko" perintahnya datar. Aku tertawa malu, mengeluarkan ingusku dan membiarkan Tony membersihkannya. "Kamu gak jijik?" Aku duduk lebih tegak, memeluk lehernya. Dia menatapku aneh, terlihat ingin protes namun di tahan, "Itu hal yang normal bagi orang yang sudah menangis Eiko." Aku tertawa lagi, mengusap rahang Tony, kulit wajahnya sangat halus dan putih, terlebih dia sudah bercukur juga. Aku mengecup rahangnya, "Kamu tampan." Tony mengangkat kakiku, dan tubuhku terhempas ke belakang, dengan cepat tubuhnya menindihku. Tony tersenyum lebar, "Aku tegang" Tawaku terpecah dengan pengakuan jorok dia, cemberutan kecil menghiasi bibirnya karena aku menertawakannya. Tonymenggigit pipiku, membuat tawaku semakin kencang. Tawaku tersendat oleh ciuman lembutnya yang membuatku terbuai, mengusap wajah tampannya dan membalas ciuman Tony. Tangan Tony menelusup baju yang ku kenakan, dia meremas dadaku dan memainkan puncaknya dengan usapan. Nipleku mengeras.. "Permisi." Kami saling diam ketika mendengar suara perempuan di luar sembari mengetuk pintu. "Enggak usah, aku butuh pelepasan Ei" Tony kembali mencumbuiku dan tidak menggubris tamu di luar. Tok tok tok "Permisi." Suaranya muncul lagi, dengan lembut aku mendorong bahu Tony dan mencium kedua pipinya bergantian. Tony kembali duduk dengan cemberutan kesal di wajahnya. "Aku harus melihatnya dulu" aku segera beranjak, merapikan pakaianku dan pergi membuka pintu. Semeliwir aroma farpume langsung menyambutku karena keberadaan Mba Siska. Mba Siska memakai tank top hitam ketat yang membuat belahan dadanya terlihat, dia memadukannya dengan memakai rok selutut. Mba Siska berdandan sangat cantik dengan rambut di ikat memamerkan leher dan bahunya. Sementara di sebelahnya, Zahra tersenyum lebar dan polos, memeluk setumpuk buku. Mau apa mereka kemari?, perasaanku tidak enak. "Pak Anthonynya ada ga?, tadi saya sudah minta izin agar pak Anthony mengajari Zahra matematika. Karena itu kami datang" mba Siska tersenyum dengan bibir merah sensualnya. Aku tersenyum memaksakan, menahan gejolak kesal dengan penampilan dia yang seksi menonjolkan lekukan tubuhnya. "Mba Siska, Zahra" Tony menyapa, dia berdiri di belakangku, memeluk pinggangku di depan mereka, "Mereka boleh masuk gak?" Bisiknya. Brengsek, mau tidak mau dia memang akan tetap masuk. Aku mengangguk sepenuhnya terpaksa. Tubuhku bergeser menempel pada d**a Tony, memberi ruang untuk mereka masuk. "Silahkan masuk mba, Zahra" Mba Siska tersenyum anggun, pinggulnya ke kiri kanan setiap kali dia melangkah. Dia terlihat seperti seekor bebek dengan p****t besar dan d**a yang membusung, cara melangkah dia sangat seksi atau mungkin dia tengah menggoda secara seksual. "Kamu ngapain sih?, aku gak suka!" protesku dengan bisikan, takut mba Siska dan Zahra yang tengah duduk mendengar. Tony membulatkan matanya, dia menunjuk dirinya sendiri, "Kamu marah sama aku?" Nafasku tertahan, aku tersenyum tanpa menjawab dan pergi ke dapur dan membuka lemari pendingin, "Mba sama Zahra mau minum apa?" "Enggak usah repot-repot de, saya kesini kan cuma mau nganter Zahra buat belajar" jawabnya. Bulshit! "Jangan sungkan mba" aku berbasa-basi. Sejenak aku menyempatkan waktu untuk menelpon ibu dan menanyakan kabar bapak. Hatiku melega ketika mendengar bapak sudah di tangangani dokter. Mungkin, akhir bulan ini sebaiknya kau pulang dan bertemu mereka. Aku bisa membuka celengan untuk untuk pulang, jadi tidak mengganggu tabunganku yang lain. Kembali keluar kamar... Aku menulikan pendengaranku ketika Tony terlibat percakapan dengan Zahra. Aku menyibukan diri mrmbuat teh dan mengambil makanan ringan. Diam-diam aku melirik ke arah mereka. Kekesalanku bertambah, melihat mba Siska ikut menyimak penjelasan Tony saat mengajari Zahra. Entah disengaja atau tidak, dia membungkuk, membuat buah dadanya terlihat menggantung di depan Tony. Sesekali tersenyum dan menatap kagum Tony yang tengah menjelaskan kepada Zahra. Genggaman tanganku di gelas mengeras, andai yang aku pegang adalah botol minuman. Mungkin sudah gepeng. Jika perlu, aku lakban matanya agar berhenti menatap Tony seperti orang kelaparan. Aku melangkah cepat mendekati mereka, mba Siska kembali duduk tegak saat aku meletakan dua gelas teh dan makanan. Sementara Tony, dia serius menjawab setiap pertanyaan Zahra dan menuliskan rumus di bukunya. Aku bosan.. "Sayang" tanganku di cekal saat akan pergi, aku kembali duduk di sampingnya, "Kamu mau kemana?." "Tidur" jawabku singkat, cekalan tangan Tony terlepas, dia menatapku dengan aneh namun mengecup kedua pipiku di depan mba Siska dan Zahra. Aku tersenyum angkuh melihat mba Siska membuang mukanya terlihat malu. Biarkan saja Janda itu menggoda Tony, dia bukan levelku. Tubuhku terhempas ke ranjang, terbaring malas setelah mencuci muka dan gosok gigi. Tidak lupa memasang alarm. Dua jam setelah ini aku harus mengetik lagi.. Tony juga harus pulang, aku tidak bisa mengijinkan dia selalu tidur disini. Jika dia ada disini, aku tidak bisa begadang karena omelan dia. Maka pekerjaan sampinganku akan semakin menumpuk juga. Entah kenapa hatiku masih gelisah, mungkin karena masih mengkhawatirkan keadaan bapak disana. Aku kembali duduk dan semakin gundah tanpa alasan, bahuku bersandar pada kepala ranjang sambil memeluk bantal dan termenung cukup lama. Aku ingin pulang.. Tapi aku benci dan muak bila bertemu wanita sialan itu.. Aku butuh menenangkan diri... Dengan gontai aku kembali bangun dan keluar kamar, ku lihat mba Siska tertawa malu-malu mendengarkan perkataan Tony. Wanita tua itu tidak benar-benar berniat baik untuk anaknya. Aku bisa menilai itu semua dari bagaimana cara dia berbicara dengan Tony, ekspresi dan nada suaranya sangat berbeda jauh ketika berbicara denganku. Aku mengambil beberapa uang lembaran di laci. Aku ingin keluar, menikmati Ice Cream dan menghitung mobil lewat, mungkin perasaanku akan menjadi lebih baik. "Sayang" Tony tersenyum bingung, melihatku yang melewati mereka dengan acuh, dia berdiri dan mendekat "Kamu mau kemana?." "Mencari udara segar, kalian lanjutkan saja" ucapku menahan nada ketus yang takut melukai hati mba Siska. "Kamu mau kemana?" Nada suara Tony menekanku, dia ingin penjelasan lebih dengan cara yang sopan. "Hanya membeli Ice Cream, Tony" "Kamu tunggu di kamar, biar aku yang pergi." "Tidak usah" aku melengos pergi, membuka pintu mengabaikan Tony yang tengah berbicara dengan mba Siska juga Zahra. Entah apa yang mereka bicarakan, aku tidak peduli. Hembusan angin kecil menerpa wajahku, aku melangkah pincang menyusuri jalan besar yang lurus dan sepi. Kompleks tempat tinggalku mayoritas di huni orang kantoran,  kami hanya akan bertemu saat pagi ketika berangkat bekerja, saat malam seperti ini mereka beristirahat. Langkahku berbelok, tinggal sepuluh meter lagi aku sampai minimarket. Suara tawa dan orang berbincang langsung terdengar, sekumpulan anak SMAduduk nongkrong di depan minimarket seperti biasa. Mereka masih memakai baju seragam dan menggendong tasnya, anak-anak itu seperti tidak pernah pulang langsung ke rumah, nakal. Aku segera masuk, langsung pergi menuju tumpukan Ice Cream dalam kulkas. Akhir-akhir ini aku lebih suka Ice Cream spongebob. Aku mengambilnya dua, mungkin cukup untuk membuang waktu dan kesedihan yang tidak jelas di dalam hatiku. Setelah membayar aku keluar dan bersandar pada  tembok, menjilati Ice Creamku dan menatap lalu lalang mobil di depanku. Menghitung mereka di dalam hatiku..     To be continue...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD