BAB : 8

1129 Words
Cuaca hari ini semakin mendung namun tidak menunjukan tanda-tanda akan hujan, aku menggeser kursi dan melihat ke lantai bawah melalui jendela. Jam istirahat sebentar lagi, sementara pekerjaanku sudah selesai. Terlebih lagi, Sasha harus pergi ke Medan karena mendapatkan proyek bagus disana. Jadi, tidak ada pekerjaan yang berarti selain menyusun rancangan yang akan di presentasikan. Aku menarik kursi lagi dan mematikan komputer, merapikan kertas-kertas yang berserakan. "Eiko, hari ini kita makan dimana?" Danis berdiri di hadapanku. Sepertinya, Danis masih belum mendapatkan banyak teman dan membutuhkan lebih lama untuk beradaptasi. "Kebetulan aku membawa bekal" jawabku tidak enak hati. Danis mengusap tengkuknya dan meringis bingung. "Aku bisa mengantarmu pergi membeli makanan" tawarku untuk mengembalikan suasana. Danis tersenyum lebar dan menggeleng, "Aku mau ke kantin, sepertinya makan mie instan enak." Mie instan? Sial, aku juga mau. Tony selalu mengomel jika melihatku makan mie instan, dia hanya memperbolehkan aku makan mie instan minimal sekali dalam seminggu. "Kamu mau kopi dan pesan sesuatu?, nanti kita makan bersama disini" "Jika kamu tidak keberatan aku ingin kopi tanpa gula." Aku tidak memerlukan air mineral, karena sudah tersedia di setiap ruangan. Danis segera pergi dengan senyuman yang meyakinkan. Selama dia pergi aku mengeluarkan kotak makanan dan melihat handponeku sebentar. Tidak ada pesan atau panggilan masuk apapun dari Tony, sepertinya dia benar-benar sibuk sampai besok. Aku harap dia tidak datang ke kontrakan, aku butuh bekerja dan istirahat. Danis datang lebih cepat dari dugaanku, dia menenteng dua kantung kopi dan makan siangnya. Aroma mie instan langsung menyapa lambungku ketika dia mengeluarkannya dari plastik. "Aku melihat pengumuman di mading, ada kompetesi untuk bulan depan" Danis menarik kursinya dan duduk di depanku, "Katanya, kliennya seorang aktris. Dia ingin merenopasi sebuah club malam dan tempat karaoke." Benarkah itu?. Jika benar, aku ingin ikut. "Kapan pendaftarannya dibuka?." "Minggu depan. Kita bisa ikut berkompetisi, soalnya harus memiliki kelompok." Aku langsung mengangguk penuh semangat. Dengan kecerian dan harapan baru, aku membuka kotak makananku dan mengambil sendok. "Nasi goreng?" Danis melihat makananku, dia belum memakan mie instannya selain hanya meniup. Aku mendorong kotak makanan di depannya. "Kamu mau?" Tawarku tulus, sejujurnya aku juga ingin mie instan milik dia. "Kita bisa tukeran makanan." Seketika Danis tertawa, "Kamu tuluskan?." Aku langsung mengangguk, menelan ludah menahan gejolak ingin segera makan mie instan yang sudah hampir dua bulan tidak aku rasakan. Tawa kami terpecah, saling mendorong jatah makan siang dan menukar. Ku lihat Danis memakan nasi gorengnya dengan lahap, mungkin itu salah-satu makanan Indonesia yang cocok dengan lidahnya. Aku sendiri segera menyeruput kua mie dan memakannya, rasa familiar itu langsung di sambut lidahku yang sedikit kepanasan. "Kamu yang masak?." Aku mengambil salah satu ayam tepung dan mencelupkannya kedalam kuah, "Ya. Di tanggal tua seperti ini aku harus berhemat." "Aku bisa meneraktir kamu" ujarnya sambil mengunyah makanan, kerlingan nakal bercampur humor di matanya membuatku menahan tawa. "Aku sangat rakus." "Tidak apa-apa, aku suka wanita rakus." Pipiku memanas malu, sepertinya aku terlalu mengakrabkan diri dengan Danis. "Masakan kamu enak, Terimakasih" Danis membersihkan semua makanan dalam kotak. "Ya" jawabku ragu, ada perasaan tidak enak di dalam hatiku. Mengingat aku tidak memberikan masakanku pada Tony, padahal dia meminta. Dan sekarang aku memberikan makananku pada pria lain dengan sangat mudahnya. *** Suasana kontrakan terasa sepi dan tenang ketika aku pulang. Aku langsung menutup pintu dan menjatuhkan diri ke sofa, perasaan lega dan lelah bercampur menjadi satu. Aku sangat mengantuk, mungkin sebaiknya tidur dan setelah itu bisa optimal untuk olahraga. Tas dalam genggamanku terjatuh ke lantai, mataku memberat merasakan kantuk yang semakin mendera. Aku tertidur... "Permisi" Aku bermimpi "Permisi" Suara itu muncul lagi dalam pendengaranku. Aku terbangun dengan mata memberat, duduk dan mengumpulkan kesadaranku selama orang di luar mengetuk pintu. Dengan langkah gontai aku membuka pintu. Masih dalam rasa ngantuk yang berat aku bisa mencium aroma parfum yang sangat kuat dan menyengat, hatiku langsung berdecih jijik. Wanita penggoda itu lagi!. Mba siska memakai kaus ketat yang menampilkan lekuk tubuhnya, kali ini dia memakai celana training yang sangat seksi, kaus putih yang tipis menampakan dalaman dia yang menerewang. Celananya mencetak belahan p****t dan organ intimnya juga. Dia tersenyum melengkungkan alis buatannya. Sebagai wanita yang hidup monoton. Aku benar-benar benci alis buatan dan bulu mata, itu sangat membuat wanita akan menjadi lebih tua. "Mba Siska" aku tersenyum minder, dia pasti menertawakan aku yang kusut lusuh dengan rambut berantakan habis tidur. "Ada perlu apa ya?." "Pak Anthony nya ada?, Zahra sedang sakit, saya kira saya butuh bantuan beliau untuk memeriksa keadaanya." Nada suaranya terdengar khawatir, namun hatiku mengatakan ingin memakinya. "Tony sedang tugas. Mungkin besok dia baru pulang." Ada kekecewaan di raut wajahnya, "Kalau begitu saya ke rumah sakit saja. Terimakasih dek, permisi" dia berbalik, pinggul dan b****g yang bergerak ke kiri ke kanan saat melangkah. Aku benar-benar ingin memanah pantatnya, siapa tahu meledak. Wanita itu benar-benar tidak sopan, aku benar-benar mulai tidak menyukainya sejak hari ini. Tampaknya mba Siska semakin gencar mendekati Tony dengan berbagai macam alasan. Jika memang benar anaknya sakit, seharusnya dia langsung ke klinik. Meskipun Tony ada, dia tidak memiliki obat. *** Suara televisi cukup keras untuk menemani kesendirianku. Aku mematikan kompor setelah masakan matang, mengambil gelas kopi yang baru di buat. Tubuhku terhempas di sofa, duduk malas menonton televisi selagi merenggangkan otot tubuh yang kelelahan sehabis olahraga dan memasak. Aku mengambil handpone di atas meja. Mencoba untuk menelpon Tony, mungkin dia belum makan malam. Aku bisa mengantarkan dia makanan, sekaligus menebus rasa bersalahku. Cukup lama dia tidak mengangkat hingga panggilan tidak terjawab. Aku kembali menelponnya sekali lagi. "Ei" suara lelahnya menyambutku. Terdengar suara bising lainnya orang-orang yang tertawa dan berbincang di sekitarnya. "Hay. Kamu sudah makan malam?" "Sekarang aku di restorant sama teman-teman." Mungkin aku bisa memasak di lain waktu buat Tony, meski sayang sekali aku masak banyak hari ini. Yang penting Tony sudah makan. "Memangnya ada apa Ei?" Suara tawa dan bising orang perlahan menghilangkan. Mungkin dia keluar. "Tidak apa-apa, tadinya aku akan mengantar makanan buat kamu." Jawabku malu. "Kamu masak?." "Ya. Aku baru masak." "Ya sudah aku pulang kesana." Apa maksudnya?, dia tidak jadi makan di restorant dan datang kemari?. "Tidak Tony, tidak perlu." "Kamu sudah masak buat aku Eiko, lagi pula aku baru memesan. Aku pulang sekarang." Jawabnya kukuh keras kepala. Aku menyesal telah mengatakan sudah memasak. Dalam masalah berdebat seperti ini Tony selalu menang. Padahal cukup dengan mendengar dia tengah makan saja aku merasa sangat lega. "Aku yang kesana Tony, kamu tunggu saja. Jika kamu yang kesini, aku bersumpah akan memakan semuanya sebelum kamu datang." Ancamku dengan tegas. Tony tertawa, suaranya tawanya membuatku diam-diam tersenyum juga. "Iya iya Ei, hati-hati di jalan." "Ya." "Ei" Tony menghentikan jariku yang sempat akan menyentuh layar handpone, memutuskan sambungan telepon. "Ya?." "I love you" bisikan suaranya di handpone langsung membuat pipiku menanas dan tersipu. Sial, itu sangat manis. Aku langsung mematikan sambungan telepon dan tertunduk masih dalam suasana hati malu juga bahagia. To be continue...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD