BAB: 9

2833 Words
Suara sirine ambulan terasa berdenging keras dengan kecepatan mobil yang melesat di samping mobilku. Aku membelokan setir menuju perkiraan utama dan mengalihkan perhatianku dari para perawat yang berlari mendorong ranjang begitu pintu belakang ambulan terbuka. Cahaya lampu di sekitar parkiran sangat terang, cukup mengurangi perasaan takutku mengingat ruangan di bawah parkiran adalah kamar mayat. Aku mengambil tas makanan dan pakaian ganti, mungkin Tony membutuhkan baju bersih juga. Aku segera keluar dan berjalan cepat karena suasana sepi, meski area parkiran masih penuh sesak oleh kendaraan. Dari jarak yang jauh, aku melihat Tony berdiri dan bersandar pada tembok bangunan kecil tempat ATM. Aku melihat senyumannya di bawah cahaya lampu, dia menatapku lekat seiring dengan langkahku yang semakin mendekat. Jantungku berdebar.. Mungkin karena malu, gugup, atau karena otakku yang berhayal jika pria di depanku bukanlah Tony. Melainkan hantu rumah sakit yang sedang menyamar. Kedua tangannya merentang lebar, dia melangkah menyambut kedatanganku."Hay" tubuhku sudah tenggelam dalam pelukan Tony. Aku mendorong dadanya untuk menjauh saat Tony berniat menciumku, "Tony, jangan. Ini tempat umum." Tony mundur memberi jarak di antara kami, dia melirik tas yang aku jinjing, "Kamu enggak langsung pulang lagi kan?" "Aku pulang setelah kamu makan." Dia semakin tersenyum lebar, aku senang melihatnya. Terlebih, aku masih ingin menebus rasa bersalahku dengan membuat dia bahagia. *** "Kamu akan ada operasi?" Tanyaku masih sambil mengunyah, memperhatikan beberapa keluarga pasien yang tengah istirahat dan makan malam. Beberapa di antara mereka tampak lusuh dan bersedih. Tidak aneh.. Ini rumah sakit, tempat dimana hampir seluruh manusia tidak ingin datang kemari. Bahkan aku tidak tahu apa yang sebenarnya menjadi do'a seorang dokter yang sebenarnya. Aku tidak pernah bertanya kepada Tony karena takut mencedrai profesinya. Terkadang aku berfikir, apakah dokter sering berdoa agar ada banyak orang yang sakit?. Karena, jika semua manusia di bumi ini sehat. Maka tidak ada yang namanya dokter "Ei" Tony menyuapkan makanannya dengan banyak, aku langsung mengigit wortelku dan menatapnya dengan serius. "Ya?" Aku merasakan aura yang kurang bagus saat melihat Tony langsung menundukan kepalanya dan tersenyum malu. Apa yang dia fikirkan? "Tadi aku ke klinik temanku. Dia dokter hewan, disana aku melihat banyak hewan peliharaan yang lucu" Tony menelan makanannya, bibirnya sedikit mengerut dengan binar mata yang seperti telapak kaki kucing dengan bulat tiga. "Lalu?" Aku semakin waspada. "Bagaimana jika kita melihara kucing atau anjing?. Aku bisa pindah ke rumah kamu dan kita merawatnya bersama-sama" usulnya dengan penuh semangat yang memancarkan sinar harapan saat menunggu jawabanku. Tapi apa tujuannya itu?, dia bisa memelihara kucing sesuka hatinya di rumah pribadinya. Tidak perlu di rumahku. Tenggorokanku terasa gatal untuk segera mengeluarkan suara. Tapi aku harus memikirkan kata-kata yang tidak melukai Tony. Dia mudah merajuk setiap kali aku menolak permintaannya. "Kamu bisa memeliharanya jika kamu mau" suaraku gemetar, menahan tawa sekaligus kecanggungan melihat ekspresinya yang semakin ceria, wajah tampannya berseri-seri dengan cengiran lebar. "Tapi aku minta maaf, sepertinya aku tidak bisa menerima kucing maupun anjing di rumahku." Mulut Tony merapat seketika, dia menyuapkan makanannya lagi tanpa berkata. Namun, aura suram di wajahnya langsung memenuhi pandangaku. Aku mengusap tangannya, "Hey, kamu bisa memeliharanya di apartemenmu. Kamu tidak perlu meminta izin padaku Tony" Tony langsung menarik tangannya dari genggamanku, dia menyuapkan makanannya lagi dengan cepat. "Aku akan memikirkannya" jawabnya ketus. Mengapa dia tidak sadar, tanpa memelihara seekor kucing pun. Aku selalu menganggapnya seperti seekor kucing yang haus perhatian. Suara deringan telepon masuk di handponeku sedikit mengalihkan perhatian. Aku mengambilnya di saku celana, membaca siapa yang tengah menelpon. Danis Mau apa dia menelponku?, ini bukan waktu yang tepat meski hanya untuk membicarakan sebuah pekerjaan. "Siapa?" Tony melirik layar handponeku, mencoba untuk membaca nama si pemanggil. "Sasha" jawabku sekenanya, membiarkan suara nada mati. Namun, beberapa detik kemudian suara itu muncul lagi, Danis membuat panggilan kedua kalinya. Tony melihatku dengan curiga, "Jika panggilan dari Sasha, kenapa tidak kamu angkat?." Sial, aku kehilangan alasan. Aku segera mereject panggilan Danis dan mematikan handponeku. "Kita sedang bersama Tony, besok kita tidak akan bertemu. Aku tidak mau siapapun mengganggunya dan mengurangi waktu kebersamaan kita." Dustaku penuh dosa. Wajah Tony memerah sampai ke telinga, dia tersipu malu. Aku tertawa terbahak-bahak, menertawakan kebohonganku yang membuat suasana hatinya berubah lagi. Tony ikut tertawa pelan, menutupi wajahnya yang masih memerah, "Apaan sih Ei!, kamu alay." "Kamu yang alay, masa gitu saja malu." "Kamu jarang bicara manis sih" Ya ampun, dia sangat manis dan menggelikan. "Wah, Dokter Anthony kabur dari restorant ternyata berakhir disini rupanya" Dokter Teris berdecak pinggang dengan senyuman menggoda. Aku mengenalnya, dia dokter spesialis jantung. "Hay Eiko, lama tidak berjumpa" sapanya ramah. Aku mengangguk malu, "Selamat malam dokter." "Jadi berangkat malam ini?" Tanya Tony pada dokter Teris. Dia mengangguk dengan senyuman memaksakan, "Keadaannya semakin memburuk. Seharusnya Anda yang ke Singapur, beliau terlalu rewel." "Banyak Koas yang harus saya awasi agar lebih disiplin" suara Tony sangat dingin dan berwibawa, dia benar-benar membuang karakter yang lembut dan manja ketika sedang bekerja. Dokter Teris terkekeh geli, "Pantas saja semua Koas disini takut pada Anda. Ya sudah saya permisi dulu, sampai jumpa Eiko." Aku tersenyum dan mengangguk. "Tugas apa sampai ke Singapur?" Tanyaku setelah kepergian Dokter Teris. Tony menyuapkan makanan lagi dan diam cukup lama, dia terlihat ogah-ogahan untuk bercerita, namun pada akhirnya berkata. "Pemilik Rumah Sakit sedang sakit parah." Aku mengerti, dan aku tidak mau tahu lebih lanjut. "Besok aku tidak bisa ke rumah kamu Ei. Tapi hari minggu kita bisa jalan-jalan sebentar, tidak apa-apa kan?." "Tidak apa-apa." Kami lanjut makan lagi, sesekali menyelipkan pembicaraan mengenai akhir pekan besok. Aku tidak memiliki rencana apapun untuk mengisi hari besok, mungkin aku akan belajar untuk trading saham atau menonton. Sementara Tony harus bekerja setengah hari, lalu berkumpul bersama keluarganya. Keluarga Tony selalu memiliki rutinitas dimana akhir pekan semua orang harus berkumpul dengan keluarga. Tony menghabiskan makanannya sampai habis tanpa sisa, aku juga harus segera pulang sebelum kemalaman. Tony mengantarku sampai parkiran, "Ei ini sudah malam sekali, mau di antar supir?" "Tidak Tony, aku baik-baik saja." Genggaman Tony terlepas, dia menarik pinggangku dan memeluk, "Terimakasih makan malamnya Ei." Hatiku menghangat, aku senang melakukan ini semua untuk Tony, apalagi dia selalu memakan semua makananan yang aku masak. Membahagiakan dan membuat Tony tersenyum begitu mudah. Aku mendorong d**a Tony agar melepaskan pelukannya, namun Tony semakin erat memelukku sampai terasa sesak untuk bernafas. "Tony, aku harus pulang." "Hati-hati di jalan. Jangan lupa memberi kabar" *** Aku sampai ke rumah pada pukul sepuluh malam. Rasanya sangat melelahkan, harus kembali pada rutinitas yang membosankan. Aku harus kembali ke meja dan mengetik. Aku benar-benar mulai putus asa dengan tulisanku, sisa waktuku di habiskan untuk menulis dan menulis. Namun, tidak ada uang sepeser pun yang aku hasilkan. Bahkan dua penerbitan yang masih mengerjakan bukuku. Terkadang mereka membuatku bosan menunggu. Aku hanya masih memiliki sedikit semangat dan rasa bahagia ketika para pembaca memberikan tanggapan dengan berkomentar atau memberi dukungan. Terkecuali, para pembaca rahasia yang ogah-ogahan memberi komentar atau dukungan, namun mengikuti semua karyaku. Mereka benar-benar seperti sosok hantu yang tidak dapat aku lihat, namun ada. Mereka hanya akan muncul ketika aku belum update. Aku butuh banyak uang, banyak hal yang ingin aku tunjukan kepada orang tuaku. Aku ingin membangun sekolah seni, lalu melukis lagi dengan bebas dan menunjukan kepada mereka jika melukis membuatku bahagia. Tubuhku terhempas ke ranjang, merongoh saku celana untuk mengambil handpone dan melihat sesuatu. Aku perlu menelpon Danis kembali, siapa tahu penting. Dia mengangkat teleponku di deringan ke empat. "Hay Ei" dia menyapaku lebih dulu. Aku berguling ke sisi kanan, melihat gelapnya langit di balik jendela. "Hay, ma'af, tadi baterai handponeku habis. Kamu ada perlu apa menelpon?." "Ehm aku mau menanyakan, apa kamu punya waktu senggang, besok?" Suara Danis terdengar serak dan tegang. Dia gugup. Apa yang harus aku katakan?. "Aku tidak tahu" jawabku seadanya, sebenarnya besok waktuku sangat kosong. Jika saja Danis temanku seutuhnya, mungkin aku akan langsung setuju untuk pergi. "Aku mau mengajakmu menonton, kamu kan suka super hero. Aku dengar film Joker sudah rilis di Indonesia." Sial, itu film yang sangat aku tunggu. Aku benar-benar tergoda untuk menonton. Tapi, bagaimana dengan Tony?, apakah aku harus meminta izin dia terlebih dahulu?. "Dengan siapa saja?, bisakah kamu mengajak Sasha juga?, hari dia pulang." Memang sebaiknya begitu, jika kami pergi tidak hanya berdua saja aku pasti akan langsung setuju. Cukup lama Danis tidak menjawab, hingga akhirnya dia berkata, "Akan aku tanyakan Ei." "Aku tunggu." "Eiko" Perasaanku tidak enak saat dia memanggil namaku. Aku berdehem tidak nyaman, "Iya." "Apakah kamu sudah punya jawabannya?" Suara Danis memelan, namun jantungku berdegub kencang karena gugup harus berkata apa. "Maksud kamu?." "Mengenai perasaanku Eiko. Apa kamu masih mengingatnya?, aku masih menunggu jawaban dan kepastian dari kamu." Sial, haruskah aku jawab sekarang?. Rasanya pasti sangat canggung, mungkin sebaiknya besok saat kita bertemu. "Aku akan mengatakannya besok" jawabku susah payah. "Aku akan menunggunya. Sampai jumpa" Danis memutuskan sambungan teleponnya. Nafasku tercekat di tenggorokan, rasanya sangat menegangkan. Apalagi membayangkan jika Danis menunggu sampai besok, namun yang dia dapatkan hanya sebuah penolakan setelah begitu lama menunggu. Ini salahku, aku bertele-tele. Belum sempat aku bisa bernafas dengan lega, Danis mengirim pesan dan mengatakan jika Sasha juga akan ikut. Aku hendak membalasnya dan setuju jika aku ikut, panggilan Video call dari Tony menghalangiku. Aku mengangkatnya. "Kamu kemana saja sih?" Tony cemberut, ku lihat dia tengah berada di ruangannya dan sudah berganti pakaian dengan kaus yang aku bawa. "Aku baru sampai Tony." "Kamu sibuk waktu aku mau menelpon, aku harus menunggu sepuluh menit" gerutunya tampak kesal. "Maafkan aku." Tony menopang dagunya dan tersenyum lebar dalam diam. Aku tidak dapat menahan diri untuk ikut tersenyum geli tanpa alasan. "Tony" panggilku serak, Tony semakin menyunggingkan senyumannya tanpa menjawab, "Besok aku mau menonton dengan Sasha." Tony menjatuhkan kepalanya ke atas meja. "Film apa?." "Joker." Keningnya mengerut tampak tidak setuju, Tony menegakan punggunya lagi dan mengusap belakang kepalanya. Reaksi dia yang kebingungan dan waspada, cukup membuatku sedih. "Sebaiknya jangan Ei" suaranya memberat dan lembut melunak. Aku tahu apa yang dia maksudkan dari kata 'Sebaiknya' Tony mengkhwatirkan sesuatu. "Kenapa Tony?, karena kejiwaanku?" Hatiku gemetar, aku yakin dia takut aku terguncang di tengah-tengah ke tidak stabilan emosiku. Dia takut aku terpengaruh. Tony menggeleng cepat, namun dia tidak mengeluarkan sepatah katapun untuk menjelaskan kenapa melarangku pergi. "Dokter Anthony" seorang wanita memanggilnya dan mengalihkan perhatian Tony. "Keluarga pasien sudah setuju, tapi ingin berbicara dengan anda terlebih dahulu." "Siapkan ruang operasinya, beri saya waktu lima menit." Tony kembali mengalihkan perhatiannya padaku, dia menghela nafas cukup panjang, "Ini tidak ada hubungan apapun dengan kejiwaan kamu Eiko. Jika kamu ingin menonton, aku akan menemani kamu." Dia berbohong "Aku sudah besar Tony, aku tidak meminta izin padamu. Aku hanya memberitahu" suaraku melunak menahan kesedihan yang entah kenapa membuatku sangat sensitif. "Film itu berbahaya, kamu akan terguncang. Ngerti gak?, berhenti berdebat denganku!" Bentakannya keluar. "Tony, aku sudah besar." Tony mengacak-ngacak rambutnya tampak frustasi. "Bukan itu masalahnya Eiko!. Kamu bermimpi dan mengkonsumsi obat yang tidak aku ketahui, itu cukup membuatku frustasi dengan keadaan kamu sekarang." Hatiku terpelintir, terasa sakit yang menyengat di dadaku, "Aku baik-baik saja" suaraku gemetar menahan tangisan. Tony menarik nafasnya dalam-dalam, dia melotot kesal tampak menahan amarah. "Mata kamu berkata tidak, kamu terguncang, itu tidak cocok dengan keadaan kamu sekarang." "Ya, aku akan selalu terguncang Anthony!. Aku sudah tidak perawan sejak usia enam tahun. Meski aku sudah dewasa, seumur hidupku aku terguncang!" Teriakku memaki, aku mematikan sambungan telepon. Air mata membasahi pipiku, hatiku teremas menahan rasa sakit yang teramat hebat. Seharusnya aku tidak marah dan berkata demikian, namun sifat posesif Tony selalu membuatku merasa lemah. Aku ingin jiwaku bebas, dan keluar dari masalalu menjijikan yang terus menerus menghantuiku. Aku berusaha menghentikan tangisanku. Aku tidak marah pada Tony, tapi hatiku hanya terluka. Aku selalu berusaha mengatasinya sendirian agar aku bisa kuat. Masalah film adalah hal yang sangat sepele, namun pandangannya terhadapku membuatku berfikir jika Tony menganggapnya serius. Aku hanya ingin bersenang-senang di tengah perasaan hampaku tanpa seorang teman yang benar-benar dekat dengaku. Aku benci persahabatan, mereka adalah rancun. Awal kehancuranku adalah persahabatan. Aku meringkuk menangis dalam tangisan yang tidak dapat aku pahami. Mengapa aku harus menangis?, mengapa hatiku terasa sakit?. Bayangan sialan itu selalu membuatku meraung seperti orang gila, bayangan itu selalu menertawakan kehidupanku, rasa maluku, dan perasaan aku tidak layak berada di antara semua orang. Bayangan itu mengejekku seakan mengatakan betapa aku begitu rusak. Cukup lama aku berusaha menenangkan diri tanpa obat. Tony tidak menelpoku lagi, dia terlihat sibuk malam ini. Aku mengambil handponeku lagi, mencoba untuk menghubungi Danis dan mengajaknya bertemu. Aku perlu keluar dan mengakhiri penantian Danis agar dia tidak tersakiti. "Halo, hay Ei" suara Danis tampak riang, jauh berbeda denganku. "Hay, aku ingin memberikan jawabannya sekarang. Kita bisa bertemu?" Suaraku terasa serak karena menangis. "Kamu bisa datang ke apartemenku Eiko." Apartemen?, apakah itu ide yang bagus?. "Kita bicara di depan apartemen, disana ada taman." Usulku mencari aman, memang sebaiknya kita berada di tempat tebuka. "Baiklah." Aku segera bangkit dan mengambil make up, menyembunyikan mataku yang memerah habis menangis. *** Ketika aku sampai di taman, Danis sudah berdiri menungguku di pinggiran jalan. Aku segera keluar menghampirinya, "Hay" sapaku canggung. Aku bingung, apakah perlu mengajaknya duduk atau langsung pada intinya. "Hay, ini sudah sangat malam. Kamu Baik-baik saja kan?" Danis terlihat bingung dengan senyuman menawannya yang tampak bersemangat. "Aku tidak akan lama" suaraku mengecil, berfikir keras bagaimana cara memulainya. Danis mendekat satu langkah, dia menatapku lekat dan berhasil membuatku tertunduk malu. "Apakah kita akan tetap berteman apapun jawabanku nanti?." "Tentu saja Ei. Hey, lihat aku" Danis meraih tanganku, dia mendoronngku untuk segera berbicara, "Katakan saja." Aku menarik nafas dalam-dalam merasakan genggamannya semakin erat, "Maafkan aku Danis, aku tidak bisa. Aku sudah memiliki kekasih, dan aku sangat mencitai dia." Suaraku terlepas dengan tegas, enggan untuk mengulang. Senyuman Danis tidak luntur sedikitpun, namun raut wajah kecewanya membuatku tidak enak hati. "Tidak apa-apa Ei, terimakasih sudah berkata jujur" ucapnya dengan lembut. "Maafkan aku, jangan membenciku." Dia pria baik, dia tidak sepantasnya sedih oleh wanita sepertiku. Danis tertawa sumbang, dia semakin mendekat dan memelukku, aku tidak berusaha untuk menolak. "Tidak Eiko, tidak akan ada yang berubah, semoga kamu selalu bahagia." *** Wajahku tampak pucat saat di cermin, malam ini terasa dingin menusuk dan sangat sepi. Sekarang sudah jam dua malam, aku sedang menggosok gigi dan harus kembali mengetik setelah ini. Perasaan di hatiku terasa mengganjal setelah membentak Tony. Aku menyesal, seharusnya aku tidak seperti itu kepadanya. Aku sangat kekanak-kanakan. Remang cahaya lampu ruangan tengah terlihat suram, hanya ada televisi yang menyala yang mengisi kesunyianku. Aku duduk di sofa, meringkuk dan termenung menatap layar televisi seperti kertas kosong. Mengapa aku selalu cepat marah?, emosiku tidak dapat terkendali ketika kesepian. Tapi aku tidak pernah nyaman di tengah keramaian. Aku harus mengambil laptop untuk mengetik dan membuat otakku penat, jika aku lelah maka aku akan ketiduran. Namun, tubuhku tidak beranjak sedikitpun. Aku merasa lemah dalam kesedihan yang terdengar menggelikan.. Pandanganku memberat, mendengar suara televisi seperti suara kekacauan nada yang berusaha menidurkan aku. Pandanganku mengabur, aku terlelap lebih cepat. *** Kakiku terasa kebas karena menekuk, pandanganku masih gelap dan terlelap nyaman. Ada bau parfume yang sangat familiar.. Tapi aku tidak tahu, apakah ini dalam kesadaran atau mimpi. Tubuhku bergerak dengan lembut oleh sentuhan tangan seseorang. "Maafkan aku Ei, aku tidak bermaksud membentakdan membuatmu menangis. Aku menyesal" bisikan lembuat menyapu telingaku, samar-samar aku membuka mata dan melihat bayangan. Anthony.. "Hay" aku tersenyum samar, terlalu mengantuk dan terbuai dalam mimpi. "Tidurlah sayang" bisiknya lagi, dia mengecupi wajahku hingga aku tersenyum bahagia, meski dalam mimpi. Tubuhku bergerak terayun semakin nyaman dan yakin. Ini hanya mimpi. Kakiku melemas dan lurus, rasa empuk ranjang terasa sangat lebih nyaman. Mataku terbuka lagi, mengalungkan kedua tanganku di lehernya, memenjarakan Tony dalam mimpiku. Wajah tampannya terlihat sendu dan lelah. "Maaf membentakmu, aku mencintaimu Tony." Ucapku merapalakan kata-kata yang aku ucapkan sejak tadi dalam hati. Aku ingin mengucapkannya meski hanya dalam mimpi. Wajah tampannya menghilang dalam kegelapan mimpi, namun pelukan hangat dan bau parfumenya masih terasa nyata. "Aku lebih mencintaimu Eiko." Aku tersenyum, dia begitu manis meski hanya dalam mimpi. Aku terlalu mencintainya, sampai-sampai pelukannya masih terasa menemani tidurku dan membuatku tenang. Dia lebih dari obat. *** Aku terbangun, mendengar suara alarm handpone yang nyaring berteriak mengisi semua penjuru kamar. Beberapa puluh detik aku duduk mengumpulkan kesadaran. Tunggu, kamar?. Mengapa aku bisa pindah?. Tony?, tidak mungkin, dia sedang bertugas. Atau mungkin aku pindah sendiri dengan mimpi indahku semalam. Samar-samar aku masih mengingat mimpinya, namun hanya segelintir. Aku segera bangun, merapikan tempat tidur dan pergi keluar kamar untuk minum. Pandanganku mengedar, melihat televisi yang semalam menyala kini sudah mati. Aku mengambil gelas dan menuangkan air dari teko. Aku melihat keganjilan.. Meja makanku di penuhi makanan, beberapa perabotan yang sudah di cuci bertumpuk rapi di sisi wastafel. Kapan aku memasak? Aku mendekati meja makan dan memandangi makanan yang tersaji di sana, ada sebuah memo di atas piring kosong. Dan seikat bunga Mawar di antara bungan Bugenvil, tangkainya terikar tali rapia yang di selipi lembaran uang. Aku minta maaf Ei, aku menyesal telah membuat kamu menangis. Aku sudah memasak untuk kamu sarapan. Aku harus kembali ke rumah sakit secepatnya. Tadi subuh aku mencuri bunga pak RT, tolong di bayar aku takut dia marah. Aku mencintaimu ANTHONY Aku tertawa terbahak-bahak degan derai air mata kebahagiaan, dia menghangatkan hatiku dengan segala cinta, perhatian, dan kekonyolannya. To be continue...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD