‘Bagaimana, hem? Buktikan kalau kau benar-benar menginginkan aku menjadi istrimu. Hanya sebuah properti, kurasa itu bukan hal yang sulit dikabulkan. Benarkan Ibu, Ayah.’
‘Hem. Bahkan itu terlalu murah. Aku yakin para lelaki bahkan rela memberikan hidupnya untukmu.’
“Sial!”
Tanpa sadar Kim Seo Hyung mendesis ketika kelebat perkataan Park Ahn Lee dan Jeong Yoora menyambar ingatan Kim Seo Hyung.
“Hem ... penthouse memang yang terbaik.”
Mendengar ucapan itu membuat Kim Seo Hyung langsung mendongakkan wajahnya. Ia berusaha meredamkan emosi yang mulai mengacaukan akal sehatnya. Menarik sudut bibirnya ke atas dan memaksa senyum di wajah.
“Syukurlah kalau Anda menyukainya,” ujar Seo Hyung.
Tampak bibir Ahn Lee memberengut buram. Ia berjalan sambil melipat kedua tangan di depan da’da. Ia mengitari sofa persegi panjang berwarna putih tempat Kim Seo Hyung tengah mengistirahatkan tubuhnya.
“Ternyata seleramu tidak buruk.” Lagi kata Ahn Lee. Kim Seo Hyung tak ingin repot-repot menyahut, tetapi ia harus selalu mengulas senyum di wajahnya. Ia bahkan memaksa mulutnya untuk tertawa. Namun, kepalanya seakan menolak hingga memilih untuk tertunduk.
Terdengar gumaman di belakang tubuh Seo Hyung dan rungunya menangkap bunyi ketukan sepatu boots hak tinggi. Park Ahn Lee menjauh dari sana. Mendekati tasnya yang ia titipkan di atas meja barnya.
Gadis itu menoleh ke belakang sebelum tangannya terulur mengambil sesuatu dari dalam tasnya.
“Jadi ... bagaimana?” tanya Seo Hyung setelah memilih untuk berdiam selama beberapa menit. Lelaki itu lantas memutar wajah.
“Apanya?” tanya Ahn Lee dengan santai. Sesantai ia menuangkan anggur ke dalam gelas kristal yang sebelumnya telah ia sediakan.
Sambil tersenyum, Kim Seo Hyung kembali berucap, “Apakah kau sudah memaafkan aku?”
Park Ahn Lee mendesah lalu mendongak, menatap calon suaminya. “Untuk apa terburu-buru, hem? Malam masih panjang. Astaga!” Gadis itu menutup ucapnya dengan berdecak bibir sambil menggelengkan kepala. Ia membawa dua buah gelas anggur lengkap dengan isinya itu sembari berjalan mendekati Kim Seo Hyung.
Sekilas gadis itu tersenyum lalu membungkuk dan menaruh anggur ke atas meja. Satu untuknya dan satu untuk Kim Seo Hyung. Lelaki itu mengerutkan dahi ketika melihat burgundy klasik di depannya.
“Chevel Blanc 1997,” ucap Park Ahn Lee. Menyebutkan merek anggur yang ia sajikan. “Aku membelinya saat liburan musim panas di Berdeaux.”
Kim Seo Hyung mendongak. Memandang Park Ahn Lee yang duduk sambil memangku kaki. Satu tangannya berada di atas armrest sementara tangannya yang lain tampak sibuk memutar gelas wine dengan gerakan pelan.
Gadis itu mengedikkan keningnya, menunjuk anggur di depan Seo Hyung. “Cobalah,” ucap Ahn Lee.
Perlahan-lahan lelaki itu membawa tatapannya turun memandang wine mahal di depannya. Ada sesuatu yang terbesit di kepala Kim Seo Hyung dan membuat perasaannya tak enak.
Namun, ia kembali dikalahkan oleh suara ayahnya yang tiba-tiba saja menggema dalam kepala. Kim Seo Hyung kemudian mengulurkan tangan dan meraih gelas wine tersebut.
“Oh ya, bagaimana kehidupanmu?” tanya Ahn Lee. Gadis itu lanjut menyesap wine di tangannya.
Sementara Kim Seo Hyung punya kesempatan untuk menunda menyesap anggur merah mahal di dalam gelas yang kini berada di antara kedua tangannya.
“Ah ... tidak ada yang mengesankan. Mungkin lebih baik aku mendengarkan kisah hidupmu yang sudah pasti menarik,” ujar Seo Hyung dengan ramah namun dibalas dengan desahan kasar dari Park Ahn Lee.
“Well, kupikir pria Korea tahu caranya bersopan santun, ternyata tidak,” sinis gadis itu lengkap dengan bola matanya yang membola sinis. Ia memilih untuk menyesap kembali anggurnya.
Kim Seo Hyung terkekeh. Sebisa mungkin untuk tidak membuat suasana menjadi canggung. “Maafkan saya, Nona Park, tapi aku juga harus bingung bagaimana menceritakannya.”
“Tinggal cerita apa susahnya, sih!” Park Ahn Lee memutar bola mata. Pandangannya benar-benar terlihat sinis. Sangat sinis. Ia membuat Kim Seo Hyung terkekeh untuk sekian kalinya. Sekilas ia menunduk dan memohon supaya jangan otaknya membuat Kim Seo Hyung sampai harus memaki wanita di depannya.
Jujur saja, ini kali pertama ia duduk berduaan bersama seorang gadis. Selain tak punya pengalaman, Kim Seo Hyung juga tidak nyaman. Apalagi pada Park Ahn Lee yang jelas-jelas bermuka dua.
Ya. Gadis itu selalu tampak manis di depan ayah dan ibunya, tetapi mengerikan saat sedang bersama Kim Seo Hyung. Selain itu ia sangat pandai mengintimidasi dan memanfaatkan situasi. Sial. Kim Seo Hyung semakin tak rela menghabiskan seumur hidupnya dengan gadis berdarah Park tersebut.
“Eum ... akselerasi di Dwight School, lalu setelah lulus aku ke Amerika untuk berkuliah di Harvard,” ujar Seo Hyung.
Park Ahn Lee kembali memanyunkan bibir sambil mengangguk lambat-lambat. “Pacarmu?” tanya gadis itu tanpa basa-basi.
Untuk sekelebat Kim Seo Hyung terdiam lalu Ahn Lee kembali berucap, “Ah! Tidak usah merasa tak enak hati. Lagi pula kita sudah sepakat untuk tidak menaruh hati dalam hubungan ini, kan? Jadi, kau tidak perlu ragu. Katakan saja. Kalau perlu kenalkan aku pada kekasihmu. Aku bersumpah tak akan mengatakan padanya kalau aku calon istrimu,” ujar Ahn Lee.
Kim Seo Hyung tersenyum. “Aku sama sekali tidak punya pacar, Nona Park.”
Park Ahn Lee mendelik lalu menarik tubuh hingga punggungnya menjauh dari sandaran sofa. “Oh ya?!” tanya gadis itu.
Kim Seo Hyung bergumam, “Hem.” Lelaki itu menganggukkan kepala dan kini memberanikan diri untuk menatap Park Ahn Lee. “Aku sama sekali tidak memiliki pacar. Tujuanku ke sana untuk belajar,” ujar Seo Hyung singkat.
“Have you ever had s*x?”
Pemuda Kim itu mendelik kaget dengan pertanyaan frontal dari wanita di depannya. “No!” tandas Seo Hyung. Namun, Park Ahn Lee kurang puas sehingga ia pun mengerutkan keningnya.
“You’re a hetorexual or a homosexual?”
“Ap-“ Ucapan Seo Hyung terhenti dan secara alamiah ia menoleh ke sekeliling. “Yak!” Kim Seo Hyung melotot hingga membuat Park Ahn Lee terkikik geli. Gadis itu kembali membawa punggungnya bersandar ke sofa.
“Aku hanya bercanda ... no offense,” ucap gadis itu dengan santai. Ia mengedikkan alis menunjuk anggur yang sejak tadi diabaikan oleh Kim Seo Hyung.
“Cobalah anggurnya. Mungkin dengan itu kita bisa berbicara lebih santai.” Lanjut Ahn Lee.
Sempat mendengkus, tapi akhirnya Kim Seo Hyung pun membawa anggur itu ke dalam mulut. Pertanyaan Park Ahn Lee benar-benar membuat Kim Seo Hyung gusar seketika, hingga tanpa sadar ia bukan lagi menyesap anggur tersebut melainkan menenggak isinya hingga tandas di dalam gelas.
“Ahh ....” Kim Seo Hyung meletakan gelas yang sudah tandas isinya itu ke atas meja.
“Wow!” Ahn Lee bergumam, tapi selanjutnya ia menyeringai. “lihat ... siapa sangka ternyata kau sangat menikmati anggurnya. Apa di Amerika kau sering ke bar?”
“Tidak!” jawab Seo Hyung dengan cepat.
“Kelab?”
“Tidak pernah!” jawabnya lagi.
Park Ahn Lee kembali memerengut bibir. Ia menyesap anggurnya perlahan lalu mendesah singkat. Gadis itu terdiam selain bola matanya yang bergerak ke sudut memandang Kim Seo Hyung.
Dilihat gadis itu kalau wajah Kim Seo Hyung mulai terlihat merah padam. Sempat mengira jika ini adalah efek samping dari anggur yang ia tegak sekaligus, tetapi ia cukup yakin jika wine mana pun tak memiliki alkohol lebih dari empat belas persen.
Apakah ini karena Seo Hyung tak pernah menegak alkohol sebelumnya? Namun, ia cukup sering minum anggur karena seringnya makan di restoran berbintang bersama para klien. Dan setahu Kim Seo Hyung, tak ada anggur yang langsung membukan bahkan ketika ia hanya minum seperempat dari gelas.
Memikirkan semua hal itu membuat Kim Seo Hyung mengantuk. Kepala dan kelopak matanya terasa berat, akan tetapi lelaki itu berusaha untuk menatap ke depan. Hal terakhir yang dilihat Seo Hyung adalah seringai di wajah Park Ahn Lee dan semua itu sudah cukup menjawab semua pertanyaan di benak Kim Seo Hyung.
‘Sial!’ Lelaki itu membatin sebelum tubuhnya ambruk di atas sofa.
__________
TBC~