35. Nilai Yang Terlalu Besar Untuk Balas budi

2593 Words
Suara ketukan yang menggema dari pintu menghentikan aktivitas Jessy dan beberapa orang yang termasuk di dalam timnya. Perempuan muda itu mengerutkan dahi memandang daun pintu. “Permisi ....” Suara yang cukup familier itu membuat Jessy mendengkus. Ia pun mengalihkan pandangannya pada lelaki muda yang berdiri di sampingnya. Lelaki itu malah mengalihkan pandangannya ke atas. Menatap jam dinding yang berada di ruangan tersebut. “Sepertinya sudah jam makan siang, Bu, apa tidak sebaiknya kita lanjutkan setelah jam makan siang?” Mendengar pertanyaan itu membuat Jessy bernapas berat. Ia selalu seperti itu. Mengabaikan jam makan siang di saat sudah sangat serius dengan pekerjaannya. Kerap kali ia harus diingatkan oleh Amanda. Sekalipun ia sudah pernah dirawat di rumah sakit karena penyakit asam lambung, tapi kebiasaan mengabaikan makan siang nyatanya masih melekat erat dengannya. Sambil melepaskan napas panjang, Jessy pun menegakkan tubuhnya. Gadis cantik itu lalu menganggukkan kepala, menyetujui usul dari sang asisten. “Baiklah. Kita break untuk makan siang dan berkumpul lagi satu jam dari sekarang.” “Baik, Bu,” sahut para bawahan Jessy. Tanpa menunggu lagi, Jessy langsung berjalan mengitari meja persegi panjang tempat di mana mereka tadinya melangsungkan rapat. Beberapa pegawai telah mendahului Jessy dan ketika pintu terbuka, pandangan Jessy langsung tertuju pada Amanda yang telah menunggunya sedari tadi. “Bu, Anda mau makan di mana?” tanya gadis itu. “Gimana tugasmu?” Jessy balas bertanya. Amanda pun mendesah. “Sudah aku usahakan, Bu. Di web resmi, tiketnya sudah habis terjual. Aku lagi berusaha menghubungi calo yang biasa menjual tiket.” “Terus udah dapet?” tanya Jessy sambil berjalan keluar studio. “Belum, Bu. Kan tadi kubilang lagi berusaha menghubungi. Oh ya, Bu, kalau di calo harganya bisa dua sampai lima kali lipat loh,” ujar Amanda. “Kisarannya berapa?” tanya Jessy. Dahinya mulai mengerut. Amanda tahu persis kalau bosnya yang satu ini cukup perhitungan. “Normalnya kan 2 juta setengah, kalau di calo tuh bisa lima sampai sepuluh juta, Bu.” “Apa?!” Amanda tersentak. Bukan hanya dia, tapi semua orang yang berada di dalam ruangan ini ikut dibuat terkejut oleh suara Jessy. “Kamu gila apa?!” Amanda tak langsung menjawab. Matanya mencuri pandangan ke sekeliling dan mendapatkan banyak pasang mata sedang memandangi mereka. Gadis muda itu mendesah hingga bahunya ikut merosot. “Aku gak bohong, Bu,” ucap Amanda kemudian memanyunkan bibir. Ia mengangkat telunjuk dan jari tengahnya. “sumpah ....” Jessy mendengkus. Ia memutar tubuh lalu mengusap rambutnya dengan kasar. “Yang benar saja. Ini cuman buat nonton konser, Manda. Harganya nyaingin cicilan mobil!” Gadis itu menutup ucapannya dengan menggelengkan kepala dan mendesah gusar. Penyakit pelit akut bosnya kambuh seketika. Membuat Amanda mendengkus. Ia memutar bibir sebelum memanyunkannya. Gadis itu memberikan pandangan sinis pada punggung bosnya. “Emang harganya segitu, kalau Ibu kurang percaya nanti Ibu saja yang beli tiketnya di calo. Entar aku kasih nomernya kalo udah dapet,” ujar Amanda dengan nada ketus di akhir kalimatnya. Firasat Amanda begitu peka. Tepat ketika Jessy hendak memutar wajahnya, Amanda langsung menundukkan kepala. Ia sungguh tak ingin memandang wajah menyeramkan itu. Suasana hening ini terasa mencekam. Jantung Amanda memberikan respon dengan entakkan kuat, membuatnya gugup seketika. ‘Sialan. Apa lagi yang ada di dalam otaknya. Dipikir gue ngambil untung kali,’ batin Amanda. Desahan napas yang baru saja berembus panjang dan kasar itu membuat Amanda semakin merasa terintimidasi. Sapuan dingin itu menerpa kulit Amanda hingga membuatnya bergidik. ‘Mampus gue!’ Ia terus membatin. “Ya sudah.” Sepasang mata milik Amanda lalu terbelalak. Wajahnya langsung mendongak. Mendengarkan perkataan yang diucapkan dengan nada rendah itu, membuat seluruh prasangka buruk tadi terbantahkan. “Apanya yang sudah, Bu?” tanya Amanda. Pandangan Jessy masih terlihat sinis. Dadanya mengembang ketika ia untuk sekian kalinya menarik napas panjang lalu mengembuskannya dengan cepat. “Kasih nomer telepon si calo. Enak aja! Dia mau jualan apa nipu orang.” Jeselyn kembali memalingkan wajah. ‘Sial. Gue pikir dia mau bilang, ya sudah pesenin aja. Dasar pelit!’ gerutu Amanda di dalam hatinya. Amanda kembali menarik sudut bibir atasnya. Namun, sedetik kemudian ia mengubah ekspresi di wajahnya dengan senyum manis. “Baik, Bu,” kata Amanda dengan nada lembut. Tanpa kata, Jessy langsung melangkah, tetapi saat ia sudah melangkah tiba-tiba gadis itu teringat sesuatu. Kemudian ia berbalik dan mendapati mulut Amanda bergerak-gerak. “Kamu lagi ngapain?” Dengan cepat Amanda kembali mengganti ekspresi di wajahnya. “Eh ... hehehe. Gak, Bu. Ini ada cabe di gigi saya,” kilah gadis itu. Seperti biasa. Jessy tak mau menanggapinya. “Pesenin aku sirloin di steak house kemaren,” titahnya. “kalau ada salad sayur, sama itu juga,” ujar Jessy. Amanda menarik sudut bibirnya dan mengulas senyum sumringah. “Siap, Bu,” ucap gadis itu. “Gak pake lama ya.” “Siap, Bu.” Dengan begitu, Jessy berlalu dan masuk ke ruangannya. Desahan napas panjang pun menggema ketika gadis itu membawa tubuhnya pada kursi kerjanya. Jeselyn membawa telunjuk dan ibu jari memijat dahinya. Mendadak kepala Jessy terasa pening. Kelebat kejadian buruk semalam, tiba-tiba menyerang memorinya. ‘Lepasin gue!’ ‘Hah? Lepasin lu? Tenang aja. Elu bakalan gue lepasin, tapi setelah gue dapet pelepasan. Hahaha!’ Terdengar desisan tajam yang keluar di antara gigi yang terkatup. Ingatan itu malah semakin membuat kepala Jeselyn terasa pening. Seketika ia membuka kedua matanya. Meraih air mineral di sudut meja lalu menenggaknya secepat mungkin. Dirasakan Jeselyn jantungnya berdetak cepat dan tubuhnya terasa dingin hingga dagingnya menggigil. Tahu persis apa yang membuatnya seperti ini membuat Jessy dengan cepat menarik laci di sebelah kanan. Ia mengeluarkan obat asam lambung yang memang selalu disimpannya di sana untuk mengatasi hal semacam ini. “Ahh ....” Desahan kembali dilepaskan Jessy. Ia pun membawa punggungnya ke sandaran dan membiarkan wajahnya terdongak. Tangan kanan Jessy bergerak mengelus-elus dadanya yang terasa nyeri. “Sial!” desis Jessy. Tak berselang lama, terdengar suara nada dering ponsel. Jessy bergeming. Matanya menatap tas yang ia letakkan di atas meja. Sambil menghela napas panjang, Jeselyn mencoba untuk menarik tubuhnya. Ia memanjangkan tangan untuk meraih tasnya. “Ck!” Jessy pun berdecak kesal ketika ia tak kunjung mendapatkan ponselnya. “Mana sih!” Mulailah Jessy menggerutu. Kepalanya kembali berkedut nyeri dan memacu emosi dalam dirinya. Setelah mendapatkan ponsel, Jessy langsung mengusap layar ponselnya. “Halo?” “Neng, ini saya, pak Ahmad.” Wajah Jessy makin terlihat kesal. “Iya, gue tahu. Ada apa?” tanya Jessy dengan nada sinis. “Ini, si ganteng mau ke tempat temennya kata dia.” Jessy mendesah dengan mata tertutup. Ia kembali membawa tangan kirinya memijat dahi. “Bilangin, gue lagi usaha nyari teman dia,” ucap Jessy. “Tadi sih dia nunjuk-nunjuk tempat gitu. Bapak kagak tahu di mana tempatnya, tapi si ganteng tadi udah nunjuk-nunjuk di tipi,” ujar pak Ahmad. Jessy kembali mendesah panjang. “Coba kasih ponselnya ke dia, Pak,” kata Jessy. “Oke, Neng.” Lantas Pak Ahmad menyerahkan ponselnya kepada Kim Soe Hyung. “Hi, sorry for bothering you,” kata Soe Hyung mendahului. “It’s okay. You have to calm down. I’m trying to figure out a way for you to meet with your friend,” ujar Jessy. “Ya, maaf. Aku tidak bermaksud merepotkanmu. Aku menonton Sejin di televisi dan kupikir pak Ahmad tahu di mana tempatnya. Mungkin saja dia bisa mengantarku ke sana. Aku juga tidak menyuruhnya menghubungimu,” ujar Soe Hyung. Sekali lagi Jeselyn mendesah panjang. “Tidak apa-apa. Lagi pula aku sedang istirahat dan sedang menunggu makan siangku. Oh ya, aku sudah menyuruh staf apartemen untuk membawakan makan siang untukmu. Apa dia sudah mengantarnya?” “Ya, sudah. Terima kasih. Sekali lagi aku minta maaf sudah banyak merepotkanmu,” ujar Seo Hyung. “Tak apa. Aku tulus melakukannya. Ya sudah, nanti kuhubungi. Akan kuusahakan supaya kau bisa bertemu dengan temanmu secepatnya,” ujar Jessy. “Aku hanya bisa berucap terima kasih, tapi aku janji, saat aku bertemu temanku, aku akan mengganti semua materi yang kau berikan padaku.” Ada sesuatu dalam ucapan Kim Soe Hyung yang membuat telinga Jessy tergelitik hingga ia pun tersenyum kilat. “It’s okay. No biggie,” ucap Jessy. “Hem, jika kau mau lanjut bekerja silakan. Aku akan menunggu.” “Oke.” Tanpa berucap lebih banyak lagi, Jessy langsung memutuskan sambungan telepon. Tepat ketika Jessy meletakan ponselnya, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu yang langsung membuat Jessy mendongakkan wajahnya. “Masuk!” seru gadis itu. Tak berselang lama, muncul seorang lelaki muda dari balik pintu. “Bu, Jes,” panggil lelaki itu. “Ya, ada apa, Tom?” Seperti biasa. Gadis muda itu selalu tak ingin ada basa-basi. “Bu, pak Darren meminta jadwal rapat hari ini. Beliau ingin meminta waktu untuk membahas lokasi pembangunan apartemen,” ujar pria muda itu. Jeselyn mengerutkan dahi. “Loh ... untuk apa? Tim kalian kan harus menunggu gambar selesai baru bekerja. Aku rasa itu gak perlu,” jawab Jessy. Wajahnya terlihat sinis kemudian. “Maaf, Bu, aku hanya menyampaikan pesan pak Darren.” “Ya sudah, kamu sampaikan pesan saya. Katakan kalau tim drafter sedang berupaya untuk segera mengerjakan gambar bangunan. Jika ada yang perlu kami konsultasikan, akan kami hubungi. Untuk saat ini, aku mau fokus dulu di drafting,” ujar Jessy. “Baik, Bu, kalau begitu aku permisi.” “Oke,” jawab Jessy begitu singkat. Mendengar jawaban Jessy membuat lelaki bernama Tomas itu lalu meninggalkan ruangan Jessy. “Hai, Tom,” sapa Amanda. “Hai,” jawaban Tomas begitu singkat dan terkesan dingin membuat Amanda mengerutkan dahinya. Sementara Tomas tak memedulikan gadis itu dan melanjutkan langkahnya. “Jutek amat lu!” gumam Amanda. Ia menggelengkan kepala, lantas melanjutkan langkahnya. “Permisi ...,” panggil Jessy setelah punggung jarinya mengetuk pintu. “Masuk.” Setelah terdengar suara Jeselyn, Amanda pun menekan gagang pintu. Tampak gadis itu mengulum bibir bawahnya. Masuk ke dalam ruangan sang bos membuat jantung Amanda berdetak meningkat. “Bu,” panggil Amanda sambil memandang Jeselyn dengan pandangan segan. “Hem.” Jessy menyahut seadanya. “Eum ... soal tiket konser.” Mendengar ucapan itu membuat Jessy langsung mendongakkan wajah. “Kamu dapet tiketnya?” Amanda menganggukkan kepala lalu meraih kursi dengan tangan kanannya. Ia pun duduk di sana sebelum berucap, “Aku sudah menghubungi calo, tapi tinggal satu tiket yang tersisa dan itu pun VIP,” ujar Amanda. “Berapa harga tiketnya?” tanya Jessy. “Sepuluh juta, Bu.” Seketika mata Jessy terbelalak. “Yang bener kamu!” Nada bicara gadis itu meninggi. “Iya, sumpah, Bu. Nih, aku liatin riwayat chatnya,” ujar Amanda lantas memberikan ponselnya kepada sang bos. Tampak alis Jeselyn menukik tajam ketika mulai membaca riwayat obrolan dari Amanda dan si calo. “Gila ya!” Jessy pun mendongak. “ini namanya penipuan!” protes gadis itu. Amanda mendesah panjang. “Bu, di dunia per-Kpop-an ini, semua bisa jadi halal, Bu. Mau dilaporin ke polisi juga, mereka gak bisa ditahan. Karena itu seperti dilegalkan. Ya, kan gak ada kebijakan juga penonton harus beli berapa tiket saat pre-order. Jadi oknum-oknum kayak mereka pasti langsung memanfaatkan keadaan,” ujar Amanda. Sekali lagi Jessy mendengkus. Ia kembali membaca riwayat chat milik Amanda. “Jika p********n tidak dilakukan dalam dua puluh menit, tiketnya kami oper ke orang lain,” baca Jessy. Ia kembali menatap Amanda. “Ini bener, gak? Jangan-jangan dia nipu lagi!” Amanda kembali mendengkus. “Insya Allah amanah, Bu. Lagian aku pernah beli tiket sama dia, waktu konser IU dan harganya lebih mahal dari itu.” “Berapaan?” “Tiga belas, Bu.” Kening Jessy mengerut tak percaya. “Beneran kamu?” Amanda mendelikkan matanya ke atas. “Demi Allah, Bu, masa saya bo’ong buat apa juga coba. Lagian itu termasuk murah, Bu. Apalagi konsernya besok, sudah pasti harga tiket di calo makin mahal. Sudah begitu berebut lagi,” ujar Amanda. Untuk sekelebat, Jeselyn terdiam. Matanya masih mematri tatapan pada gadis di depannya. Sedikit tidak percaya, tapi Jeselyn juga tahu persis kalau Amanda ini adalah salah satu penggila musik Korea Selatan. Ia juga pernah menghabiskan malam tahun baru di Seoul hanya untuk menonton show case dari artis-artis Negeri Ginseng tersebut. ‘Kalau tinggal satu, berarti hanya Seo Hyung yang bisa ke sana,’ batin Jessy. “Kamu sudah beli tiket, belum?” tanya Jessy. “Sudah, Bu, tapi aku belinya di web resmi, itu pun seminggu sebelum mereka konser. Lagian Ibu gak bilang sih kalau mau nonton konser XT, tau gitu kan aku bisa mesenin sekalian dua,” ujar Amanda. Jeselyn mendengkus untuk sekian kalinya. “Ya sudah, aku beli tiketmu saja,” kata gadis itu dengan enteng. “Ya, gak bisa gitu dong, Bu.” Manik cokelat Jessy melebar dengan tatapan nyalang. “Kenapa enggak?!” protesnya. Amanda menghela napas lalu mengembuskannya dengan desahan panjang. “Bu, tiketnya sudah di print out dan atas nama aku. Sesuai nama KTP. Kalau mau masuk ke sana, kita tunjukin tiket sama KTP,” dusta gadis itu. Dia sudah bodo amat apabila nanti bosnya akan tahu kalau dia berbohong. Baginya, memberikan tiket konser ke bos itu lebih menyeramkan daripada mendapat surat peringatan. “Masa sih?” Jessy menyadarinya, tapi dengan cepat Amanda mengangguk dengan dua jarinya yang terangkat. “I swear!” kata Amanda dengan begitu serius. Jessy terdiam dan membatin, ‘Sial. Masa iya gue harus ngeluarin sepuluh juta. Uang segitu banyak. Bisa buat cicilan mobil, tapi ... mau gimana lagi. Hanya ini satu-satunya cara yang bisa nolongin pria itu.’ Terlihat Jessy menarik napasnya dalam-dalam. Ia menutup mata dan mencoba untuk berpikir lebih jauh. Namun, ketika pun ia telah mencoba nyatanya tak satu pun cara bisa ditemukan Jeselyn. Ia akhirnya kembali menatap Amanda dan dengan pasrah berkata, “Oke.” Amanda tampak biasa-biasa saja. “Ya sudah, aku pesenin tiketnya, ya,” kata gadis itu. Sempat mendesah gusar, tapi akhirnya Jeselyn pun menganggukkan kepala. “Hem,” ucap gadis itu. “Oh ya, Manda, nanti kamu aja yang temenin temen aku nonton konsernya ya.” Seketika Amanda mengerutkan dahi. Ia kembali mendongakkan wajah. “Loh, bukannya Ibu yang bakalan nonton konser XT?” “Bukan,” jawab Jessy dengan singkat. “kamu gak perlu nanya-nanya. Pokoknya kamu harus bantuin temen aku. Gimana caranya supaya dia bisa bertemu Choi Sejin. Choi Sejin ini temen dia.” “Ommo!” Manik mata Amanda melebar. Ia pun membekap mulutnya dengan tangan kiri. “yang bener, Bu?” Jessy mengerutkan dahi menatap asistennya. “Kamu pikir saya bohong?!” “Bu- bukan gitu, aku bingung aja. Kok ada orang Indo yang temenan sama manajer artis Korea udah gitu terkenal lagi.” “Dia bukan orang Indo. Dia orang Korea.” “APA?!” pekik Amanda. Jessy melotot. “Apa-apaan sih!” ucapnya tak kalah lantang. Amanda langsung menundukkan kepalanya. “Ma- maaf, Bu,” gumamnya. “Udah deh. Gak usah ngedrama dan gak usah kepo juga kamu.” “Iya, Bu, maaf.” Amanda berucap dengan nada pelan. “Yang jelas besok kamu temenin dia.” Mendengar perkataan itu membuat otak Amanda berbunyi. Ia pun mendongak. “Jadi, besok aku bisa izin buat nonton konser juga, Bu?” tanya gadis itu menahan antusias. “Hem,” jawab Jessy. Seketika Amanda bangkit dari tempat duduknya. “Oh my God!” Gadis itu menutup mata. Menggoyangkan wajah sambil menepuk pipinya gemas. “mimpi apa aku ....” “Gak usah drama!” desis Jessy. Ekspresi di wajah Amanda tak berubah sedikit pun. Ia tersenyum dan tetap memasang wajah menggemaskan. “Bu Jessy memang yang terbaik,” katanya. “Dih. Jijik!” sinis Jessy. “Mana makananku?” Mata Amanda kembali terbelalak. “Oh my!” Amanda langsung menghentikan dramanya lalu membuka ponsel dan langsung menghubungi restoran tempat ia memesan makan siang bosnya.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD