34. Harapan Palsu

1521 Words
Manik mata Seo Hyung melebar. Mulutnya menganga, sementara merasakan jantungnya yang berhenti berdetak selama beberapa detik. Lelaki itu sungguh sangat terkejut dengan apa yang baru saja ia lihat. “Halo semua, perkenalkan nama saya Choi Sejin, manajer sekaligus penanggung jawab dari XT. Salam kenal.” Lelaki dalam balutan jas formal itu membungkukkan badannya. “Se- Sejin?” Mulut Seo Hyung pun bergumam. Seketika ia bangkit dari duduknya. “Wah ... Indonesia disapa oleh manajer dari XT ini. Tentu sebuah kehormatan bisa bertemu langsung dengan pak manajer. Nah, apa kesan bapak saat pertama kali melihat Indonesia.” “Se- Sejin-ah.” TING TONG~ Atensi Kim Soe Hyung teralihkan saat mendengar suara bel pintu yang kembali menggema. Tanpa berpikir dan tanpa menunggu lagi, Kim Soe Hyung langsung melesat ke sana. “Jessy!” Nama itu keluar begitu saja dari mulut Seo Hyung. Namun, saat ia melihat siapa yang berdiri di depan pintu, lelaki itu pun mendesah kecewa. “Bushyett ... ganas amat lu, Cakep. Baru ditinggal beberapa jam udah kangen aja lu sama si jutek,” ujar pak Ahmad. Kim Seo Hyung mendesah dan kedua bahunya ikut merosot. “Baik, jadi kata pak manajer, dia menyukai Indonesia dengan suhu yang –agak panas– hehehe. Tapi overall, Indonesia adalah negara yang punya orang-orang yang ramah dan sejauh ini beliau beserta ketujuh member XT sudah mencicipi makanan khas Indonesia yaitu nasi goreng, gado-gado sama nasi Padang. Katanya makanan Indonesia nikmat-nikmat[IS1] .” Kim Seo Hyung kembali memutar wajahnya saat mendengar suara dari televisi. “Ne, Indonesia-neun meotjyeoye,” ucap Sejin. Dengan cepat Seo Hyung memutar tubuh lalu menarik tangan Pak Ahmad dan menyeretnya ke dalam apartemen. “Eh buset!” Pak Ahmad cukup terkejut. Dengan mata terbelalak, Ia memandang punggung lelaki jangkung di depannya. “Do you know where that place is?” tanya Seo Hyung sambil menunjuk layar televisi. “Eh bushyet ... dia ngomong apa dah!” gumam lelaki itu. “perasaan gue cuma disuruh temenin die. Die ngomong apa gue kagak tahu. Mana pakai bahasa Inggris lagi, lah gue cuman tahu yes no, yes no aje.” “Did you figure it out?” “Lah Ilah. Apa kata ni bocah yak?” Pak Ahmad membawa telunjuknya menggaruk kepala. Satu ekspresi yang langsung membuat Seo Hyung tahu apabila lelaki di depannya sama sekali tak mengerti dengan apa yang diucapkan olehnya. Kim Soe Hyung mendengkus lalu dengan cepat memutar tubuh. Dia melesat ke meja untuk mengambil ponsel yang diberikan oleh Jessy. Bergegas Kim Seo Hyung mencari translate untuk menerjemahkan kata-kata yang baru saja dia ucapkan. Setelah mendapatkannya, Kim Seo Hyung langsung menengadahkan benda itu ke wajah pak Ahmad. “Apakah Anda tahu di mana tempat itu?” gumam pak Ahmad membaca tulisan di layar ponsel. Lelaki itu lalu mengerutkan dahi kemudian memutar wajahnya ke arah layar televisi. “Senang sekali bisa bincang-bincang dengan pak manajer. Kami tetap menunggu untuk bisa mewawancarai ketujuh member XT,” ucap si wartawan wanita yang sejak tadi mewawancarai Choi Sejin. Pak Ahmad semakin bingung. Ia tak menunjukkan petunjuk apa pun dengan tempat tersebut. Lalu pak Ahmad kembali menatap Kim Soe Hyung. Tak tahu harus berucap apa, ia pun menggelengkan kepala. Kim Soe Hyung kembali mendesah kecewa. “Ck!” Lelaki itu memalingkan wajahnya dan seketika ia menjadi sangat stres. Padahal ia sudah melihat Sejin. Andai saja Seo Hyung punya nomor telepon temannya itu, sudah pasti ia akan langsung menghubungi Sejin tanpa membuang lebih banyak waktu. Namun, kali ini takdir seolah benar-benar ingin mempermainkan Seo Hyung. Jalan yang hampir terbuka itu kini tertutup kembali. “Hah ....” Desahan napas panjang meluncur dari mulut ketika Seo Hyung melempar tubuhnya ke sofa. Ia menyandarkan tengkuk sambil mendongakkan wajahnya. Lelaki jangkung itu menelan saliva sambil meratapi nasib. Akhza Group 09.02 am Hidung Jeselyn kembang kempis. Tanpa sadar, tangannya telah mengepal pada kedua sisi tubuhnya. Ketukan sepatu hak tinggi miliknya menggema di sepanjang koridor lantai empat. Jantungnya telah bertalu dengan kencang sedari tadi. Ia sungguh tak sabar hendak bertemu atasannya. Tanpa mengetuk, Jeselyn langsung menekan gagang pintu lalu masuk ke dalam ruangan. Seorang lelaki pertengahan lima puluh tampak sibuk membaca dokumen di dalam file. Saat mendengar langkah kaki Jeselyn, ia pun melayangkan tatapannya ke depan. “Oh, Jes.” Terdengar desahan napas panjang ketika lelaki itu menutup file di tangannya. Ia meletakan benda itu ke atas meja sebelum membawa tubuhnya duduk di kursi kerjanya. “Gimana risetmu?” tanya lelaki itu dengan santai. ‘Riset palamu botak! Gue hampir diperkosa asal lu tahu.’ Jeselyn membatin. Ia memandang lelaki di depannya dengan pandangan penuh teror hingga membuat lelaki tersebut mengerutkan dahi. “Jessy?” panggilnya. “Are you okay?” Tampak rahang Jessy mengencang, sekencang kepalan tangannya. Embusan napas kasarnya terdengar jelas hingga ke telinga lelaki yang menjadi atasan Jeselyn itu. Namun, saat batinya bertanya apakah ia perlu mengatakan hal yang telah dialaminya kemarin, otak Jessy pun bertindak cepat dan tidak menyetujuinya. Jessy pun mendengkus lalu memalingkan wajahnya. “Oh my ....” Lelaki yang tengah duduk itu menyeringai sambil menggelengkan kepalanya. “Kamu marah karena aku menyuruhmu di hari libur?” Mendengar pertanyaan tersebut membuat Jessy kembali melayangkan tatapan penuh teror pada lelaki di depannya. “Apa saya pernah ngeluh disuruh-suruh saat weekend gitu?” balas Jessy bertanya. Lelaki di depan Jessy lalu memerengut bibir sambil mengedikkan kedua bahunya. “Ya ... kamu memang tidak pernah mengatakannya secara langsung, tapi hati orang siapa yang tahu,” ucap lelaki itu. Ucapannya kembali membuat Jessy mendengkus. “Lokasinya strategis, tapi sepertinya cukup sulit mendapatkan izin pemerintah sebab itu salah satu hutan kota milik negara,” ujar Jessy tanpa sekalipun melihat wajah bosnya. Bramatya Adiwijaya tertawa kecil mendengar ucapan salah satu staf kantor paling berharga di perusahaannya. “Astaga ... Jessy, Jessy. Kamu tidak seharusnya memikirkan sampai sejauh itu,” kata Bram dan membuat Jeselyn kembali memandangnya sinis. Lelaki itu bangkit dari tempat duduknya, lantas menghampiri Jeselyn yang berdiri tak jauh dari depan meja kerjanya. “Hah ... you know what, saya sangat suka cara kerjamu yang penuh pertimbangan. Sudah sering saya katakan bahwa Akhza Group sangat bangga memiliki drafter yang andal seperti dirimu. Tidak salah saya mengeluarkan ratusan juta untuk bisa mendapatkan seorang Jeselyn Kusuma dari kantor konsultan yang hanya menggajinya dengan sangat kecil,” kata Bram menutup ucapannya dengan seringaian. Alis Jessy menukik tajam. Salah satu yang membuatnya menyesali keputusan telah mengikat kontrak bersama Akhza Group adalah, ia mendapatkan atasan yang super menyebalkan seperti Bramatya Adiwijaya. “Well, no offense, Jes. Kamu benar-benar gadis cerdas yang punya sejuta pemikiran gemilang. Namun, kamu tidak perlu khawatir. Urusan tentang legal dan ilegal biar menjadi tanggung jawab saya. Yang jelas, kamu sudah harus menyelesaikan tugasmu sebelum awal tahun depan,” ujar lelaki itu. Sempat mendengkus, tapi akhirnya Jeselyn pun menganggukkan kepala. Sejujurnya ia juga tak begitu peduli dengan urusan tersebut. Jessy hanya perlu mengungkapkan apa yang menjadi kekhawatirannya. Namun, ia juga tahu persis jika CEO Akhza Group yang berdiri di depannya ini punya sejuta cara untuk bisa mengabulkan apa yang dia inginkan. “Oke, aku akan berusaha semaksimal mungkin,” kata Jessy masih dengan nada dingin. Bram menarik sudut bibirnya ke atas. Ia pun menganggukkan kepalanya. Lelak itu maju dan tanpa bisa diprediksi, ia langsung meletakan tangan kanannya di atas pundak Jessy. Dahi Jessy terlipat. Alisnya kembali melengkung ke tengah dan bola matanya sempat bergerak ke sudut. Memandang tangan Bram di atas pundaknya. “Jes, kamu juga gak perlu terburu-buru. Waktumu masih banyak, kan? Sesekali kamu juga perlu istirahat. Well, sebagai apresiasi untuk kamu, aku akan memberikan cuti selama seminggu, tapi kamu juga harus mau makan malam denganku.” Jessy mendongak. Memandang lelaki di depannya dengan pandangan sinis. “Pak Bramatya Adiwijaya, apa perlu saya tekankan lagi jika saya tidak suka terlibat masalah seperti ini? Bukankah kita sepakat untuk saling menghargai dan bersikap profesional? Apakah perlu saya mengadukan perbuatan Anda pada istri Anda?” Sudut bibir Bram naik membentuk seringai tajam. ‘Sial! Dasar wanita keras kepala. Bisa-bisanya dia mengancamku,’ batin Bram. Sambil memanyunkan bibir, Bramatya lalu menyingkirkan tangannya dari pundak Jessy. “Well, kamu benar-benar tidak bisa membedakan mana candaan dan mana hal yang serius,” ucap Bram. “Dan Anda sepertinya lupa jika saya bukan tipikal orang yang humoris,” ucap Jessy. Auranya langsung berubah ketika nada bicaranya semakin tak bernada. Bram terkekeh. Ia pun mendongakkan wajahnya. “Well, well, kupikir aku juga lupa dengan itu. My badass queen,” kata Bramatya memandang wanita muda di depannya dengan pandangan genit. Jeselyn yang masih tak memindahkan ekspresi di wajahnya masih mencoba untuk meredam amarah yang mulai mengacaukan akal sehatnya. “Apa Anda masih memerlukan saya lagi?” tanya Jessy yang langsung menghentikan gelak tawa Bramatya. Ekspresi di wajah Bramatya berubah ketika mendengar pertanyaan tersebut. Ia memandang Jeselyn dalam diam dengan pandangan yang memancarkan keheningan yang mencekam. Terdengar desahan napas yang berat. Lelaki itu tersenyum samar sebelum berucap, “Untuk saat ini sudah cukup.” Jessy pun menanggapinya dengan profesional. “Baiklah, kalau begitu saya mohon pamit.” Tanpa berlama-lama, wanita muda itu langsung memutar tubuhnya. Sementara Bram memandang punggung Jessy dengan penuh siasat. ‘Awas saja kamu. Suatu saat kamu sendiri yang dengan sukarela menyerahkan tubuhmu padaku,’ batin lelaki itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD