Jeselyn telah siap dengan pakaian formal yang modis. Seperti biasa, ia harus bangun pagi-pagi untuk berangkat ke kantor.
‘Hari ini gue harus bisa dapetin info dari Amanda. Dia pasti punya info soal boy group yang bakalan manggung di Jakarta,’ batin Jeselyn.
Sambil mengembuskan napas panjang, Jeselyn bangkit dari tempat duduk di depan meja rias. Mengambil tas kerja lalu melesat keluar dari kamar.
‘Eh?!’
Langkah Jeselyn terhenti saat melihat betapa rapi living roomnya. Sepasang manik cokelat itu bergerak mengitari ruangan dan seketika penciumannya diterpa aroma nikmat yang langsung membuat perutnya menggelegar.
Tampak dahi Jessy mengerut, kakinya bergerak dan membuat ketukan di lantai. Seseorang yang berdiri menghadap wastafel lantas memutar tubuhnya.
Wajahnya tampak bercahaya ketika ia menarik kedua sudut bibirnya dan membentuk senyum yang seolah ingin memamerkan kedua lesung pipinya yang sialan tampak mengaggumkan.
Jeselyn merasakan detak jantung yang tak biasa dan membuat pipinya terasa hangat, tetapi gadis itu berdusta dan sisi arogannya mencuat cepat. Wanita muda itu berhasil menutupi setitik rasa kagum itu dengan memasang ekspresi datar.
“Hai,” sapa Kim Soe Hyung.
Pandangan Jeselyn lalu berpindah ke bawah, pada apron berwarna hitam yang melilit pinggang pria itu. Sekejap Jeselyn berpikir, dari mana ia mendapatkan apron tersebut sebab Jessy tak pernah memakai benda itu sebelumnya.
“Maaf aku tidak izin lebih dulu. Kupikir tidak sopan mengetuk pintu kamarmu. Aku terbiasa bangun pagi dan maaf lagi, bukan maksudku, tapi aku memang suka bebersih jadi ....”
Mulut Soe Hyung berhenti berucap. Ia menunduk dan menarik kedua alisnya ke atas sambil mengangkat kedua bahunya. Sementara ekspresi Jeselyn tak berpindah. Wajahnya masih terlihat datar, walaupun hatinya tak bisa berhenti memuji betapa tampan lelaki di depannya.
Sejujurnya, terjadi pergulatan batin di mana sebagian diri Jessy memuji Kim Soe Hyung dan sebagian lagi bersikeras mengatakan jika pria itu sedang cari perhatian.
“Kubuatkan sarapan untukmu,” kata Seo Hyung. Mengakhiri ucapannya dengan senyum.
Kim Seo Hyung mematri tatapan pada wajah sinis di depannya. Bola mata Jessy bergerak ke bawah. Menatap pancake yang tersaji di atas meja. Senyum Seo Hyung memudar dan ia pun menurunkan tatapannya.
Sekilas menatap makanan yang telah ia buat dan lelaki itu merasakan entakkan berbeda di dadanya. Seperti memberitahu bahwa Kim Soe Hyung telah membuat kesalahan sehingga ia pun mendongak.
“Ma- maaf,” ucap Seo Hyung.
Terdengar embusan napas panjang sebelum Jeselyn kembali menatap Kim Soe Hyung. Tanpa kata, gadis itu langsung menduduki salah satu bar stoole.
Jeselyn masih tak berucap apa pun, tetapi tangannya memanjang meraih piring bulat berwarna putih di depan Soe Hyung lalu menarik benda itu hingga ke arahnya.
Suasana menjadi canggung, tetapi melihat Jeselyn mulai menggerakkan alat makan membuat Kim Soe Hyung mendesah lega. Gadis yang sedang duduk di depannya masih memasang ekspresi datar ketika memasukkan pancake ke dalam mulutnya.
‘Em!’
Mulut Jessy berhenti mengunyah dan matanya membulat. Kim Soe Hyung yang melihatnya menjadi bingung.
“Ke- kenapa? A- ada yang salah?” tanya Seo Hyung. Lelaki itu menunduk dan mengambil pancake miliknya lalu dengan cepat memasukkan makanan itu ke dalam mulutnya.
Kening Seo Hyung mengerut. ‘Ada apa? Rasanya biasa saja. Aku memanggangnya dengan benar. Tidak bantet juga,’ batin Soe Hyung.
Apa yang salah dengan pancake yang ia buat?
Kim Seo Hyung kembali menatap Jeselyn dan gadis itu dengan cepat menurunkan tatapannya. Tangannya bergerak cepat mengiris pancake dengan pisau lalu menusuknya dengan garpu sebelum memasukkannya lagi ke dalam mulut.
Sungguh, ini kali pertama bagi Jeselyn merasakan pancake senikmat ini. Dan untuk sekejap, gadis itu melupakan sarapan sehatnya. Overnight oat dengan granola yang telah menjadi menu andalannya sebelum memulai aktivitas.
Pancake biasanya digunakan Jessy untuk menemani coffee time-nya di teras apartemen sambil memandang hingar bingar kota Jakarta. Tetapi pagi ini, Jeselyn menikmati pancake di pagi hari. Selain melanggar prinsip hidup sehat, ia juga harus mengakui jika ini kali pertama ia menikmati pancake seenak ini.
Entah Jeselyn sadar atau tidak, ia menikmati makanan tersebut dengan lahap sehingga membuat Kim Soe Hyung bingung. Namun, di sisi lain dia juga senang apabila Jessy menyukai makanan yang ia buat.
Pemuda Kim itu tersenyum dan tak mau menegur Jeselyn. Ia membiarkan wanita di depannya menikmati sarapan yang ia buat.
Kim Soe Hyung bergeming. Ia lalu memutar tubuh dan mengambil jus yang ia buat dengan mesin peras. Lelaki itu meletakkan gelas kristal tersebut ke samping tangan kanan Jeselyn.
“Maaf,” kata Seo Hyung.
Ia berbohong dengan kalimat ‘bangun pagi’ sejujurnya Kim Soe Hyung tidak tidur semalaman. Ia merendam kakinya di dalam bak mandi yang telah ia isi dengan air hangat. Tidak ada yang memberitahu hal itu, Kim Soe Hyung juga tak pernah membacanya di internet. Hal itu hanya inisiatif dari otaknya. Dan ternyata berhasil.
Walaupun masih pegal, tapi kakinya sudah tak senyeri seperti tadi malam. Dan sebenarnya Kim Soe Hyung tak pernah bisa tidur di tempat asing, sehingga ia memilih untuk membersihkan apartemen Jeselyn.
Mulai dari menyapu living room, membersihkan bekas makanannya semalam, mengumpulnya di tempat sampah, menyuci piring lalu membuatkan sarapan untuk Jeselyn.
Tidak ada niat apa pun. Kim Soe Hyung hanya tidak ingin merepotkan Jeselyn. Anggap saja ini sebagai bentuk rasa terima kasih dari Kim Seo Hyung untuk Jeselyn yang sudah menolongnya.
“Not to bad,” kata Jeselyn. Ia menyudahi sarapannya dengan menenggak jus.
Kim Seo Hyung tidak berhenti sampai di situ. Ia bahkan telah menyediakan kain putih yang biasa digunakan untuk makan malam. Lelaki itu mendapatkannya dari dalam laci di kabinet bawah, tempat yang sama di mana ia mendapatkan apron.
“Thanks,” kata Jeselyn. Dengan santai ia menyeka mulutnya.
“Seharusnya aku yang bilang terima kasih. Terima kasih sudah mengizinkan aku menginap di rumahmu. Aku juga masih membutuhkan bantuanmu untuk bisa bertemu dengan temanku,” ujar Soe Hyung.
Tampak Jeselyn mengedikkan alisnya. Sungguh, gadis itu telah melupakan kejadian naas yang ia alami di Hutan Kota Srengseng. Pikirannya dipenuhi dengan mencari cara bagaimana mendapatkan informasi tentang teman Kim Soe Hyung.
“Tidak usah khawatir. Aku akan berusaha semampuku. Aku harus ke kantor, oh ya, ini untukmu,” kata Jeselyn. Ia menyerahkan sebuah smartphone untuk Kim Seo Hyung.
“Itu ponsel lamaku. Ada nomor teleponku dan juga pak Ahmad di sana,” ujar Jessy.
Kim Soe Hyung menatapnya dengan dahi yang terlipat. “Who is he?” tanya Seo Hyung.
“Security yang membantu memapah tubuhmu,” jawab Jeselyn.
Bibir Seo Hyung manyun ketika ia menarik kedua alisnya ke atas. Ia pun kembali menunduk, menatap ponsel tersebut.
“Jika butuh apa-apa telepon saja pak Ahmad. Jika itu terlalu mendesak baru kau boleh bisa meneleponku, tapi jika aku tidak mengangkatnya, itu artinya aku sangat sibuk. Aku mungkin akan kembali nanti malam tapi aku akan berusaha mencari informasi tentang temanmu itu. Namanya Sejin, kan?”
Kim Seo Hyung lalu mendongak. “Hem,” gumamnya. “namanya Choi Sejin.” Lanjut Seo Hyung.
“Oke, noted. Aku akan menanyakan salah satu orang di kantorku. Semoga dia bisa membantu kita,” ujar Jessy.
Kim Soe Hyung mengulum bibirnya dan membentuk senyum simpul. “Baik, terima kasih,” ucapnya.
Seperti biasa, Jeselyn tidak membalas ucapan itu. Ia langsung berdiri dan mengambil tas kerjanya di atas meja.
Tanpa kata, ia langsung keluar dari apartemen. Kim Soe Hyung pun tak ingin repot-repot menghentikannya. Jujur saja, ia masih bingung dan canggung dengan situasi seperti ini.
Pertama kali Kim Soe Hyung menggantungkan harapannya pada seseorang dan ia pun seorang gadis. Seorang gadis yang tak dikenal Seo Hyung.
Saat tiba di pintu, Jeselyn menunda tangannya menarik benda tersebut. Ia memutar wajah dan sekilas Kim Soe Hyung melihat senyum di wajah Jeselyn sebelum ia menghilang dari balik pintu.
Seo Hyung pun tersenyum. Ia menatap piring porselen putih yang sudah kosong isinya lalu Seo Hyung terkekeh kilat. Entah mengapa hatinya seperti lega melihat makanan buatannya habis dimakan Jessy.
Pemuda Kim itu menggelengkan kepala ketika secara mendadak otaknya mengingatkan Seo Hyung pada ekspresi Jessy. Benar-benar tak bisa ditebak. Satu hal yang diyakini Seo Hyung, bahwa Jessy bukan gadis munafik dan licik seperti Park Ahn Lee.
“Selamat pagi, Mbak Jessy.”
Mendengar sapaan itu membuat langkah Jeselyn terhenti. Ia pun berjalan mendekati meja resepsionis. Gadis yang tadi menyapa Jessy lalu membulatkan matanya.
‘Sial! Gue sudah salah ngomong,’ batinnya.
Jujur saja, melihat tingkah Jeselyn membuat wanita itu merutuki dirinya dan mengira dalam hati bahwa Jessy akan memarahinya.
“Eh, gue boleh minta tolong gak?”
Manik mata gadis muda itu makin terbuka. Ia pun mencondongkan tubuh. “Hem?” gumamnya.
Sekilas Jeselyn menoleh ke arah lift sebelum ia kembali menatap si gadis yang bertugas di front office. Tangan Jessy bergerak merogoh sesuatu dari dalam tasnya. Ia mengeluarkan dompet lalu memberikan empat lembar uang pecahan seratus ribu pada wanita di depannya.
“Gue tinggal di unit 2BR Suite di lantai 23, di sana lagi ada teman aku. Dia cuman bisa bahasa Inggris. Kamu bisa, kan?”
“Eh?” Wajah gadis itu terlihat sangat terkejut.
“Bisa gak?” tanya Jessy dengan nada sedikit memaksa. Pandangannya juga terlihat mengintimidasi, membuat gadis di depanya langsung menganggukkan kepala.
“Bi- bisa,” jawabnya.
“Oke, nanti tolong pesenin makanan buat dia ya. Ini buat beli makanannya,” kata Jessy sambil menyerahkan dua lembar merah itu pada gadis di depannya.
“Kamu tolong beliin dia makanan Korea ya, soalnya dia dari Korea.”
“Heh ...?”
“Aduh, gue gak ada waktu ngejelasinnya. Nanti aja ya. Kamu pesenin aja pake aplikasi delevery biar gak ribet. Ini buat kamu.” Jessy memberikan 200 ribu pada gadis itu. Cukup gak?”
Dengan cepat gadis itu mendongak. “Cu- cukup, eh cukup!” Gadis itu membawa satu tangannya menutup mulut yang latah itu.
“Ya udah. Tolong banget ya. Dia masih baru di sini jadi takut buat keluar gitu. Nanti kamu yang pesenin sarapan, makan siang, sama makan malem dia ya.”
“Ba- baik, mbak,” kata gadis itu.
“Uangnya cukup gak buat makanan dia?” Jessy kembali bertanya dan membuat gadis di depannya menunduk.
“Kayaknya cukup, mbak. Makanan Korea juga gak mahal-mahal amat kok,” ucapnya.
“Oke, jadi deal ya?”
Gadis di depan Jeselyn mendongak. Ia tersenyum kaku sebelum berucap, “Iya, mbak. Deal,” katanya.
“Oke, kalo begitu gue cabut dulu ya,” ucap Jessy.
“Iya, mbak Jessy. Makasih buat uangnya.”
Jessy hanya mengangguk dan tersenyum seklias. Sementara gadis di depannya termangu-mangu menatap punggung Jessy yang bergerak menjauh.
“Mbak Jessy kesambet apa ya? Tumben-tumbenan dia mau negur orang lain. Bisanya cuek aja,” gumamnya. Ia pun menatap lembaran uang di tangannya kemudian mengerutkan dahi.
“Eh, terus siapa temen mbak Jessy yang ada di apartemennya, ya? Jadi penasaran. Ah, ya udalah. Nanti juga gue ketemu ama dia. Ck! Mana harus bahasa Inggris lagi, ya ampun, dia bakalan ngerti gak ya?”
Gadis itu terus bermonolog. Namun, sejurus kemudian ia pun mengangguk. “Ah boleh lah. Kalau cuman nganter makanan doang. Tinggal dikasih gitu kan? Tahu ah!” Gadis itu menggoyangkan kepala dan lalu mengambil ponsel untuk mulai memesan makanan.