Jonas menuntun Amanda menuju sebuah mobil sedan berwarna biru metalik yang begitu menggoda mata. Mobil mewah dengan interior yang menakjubkan.
“Masuk!” Jonas membukakan pintu penumpang bagian depan dan memerintah Amanda masuk ke dalamnya.
“I—iya, Pak.”
“Jangan panggil aku dengan sebutan itu. Aku tidak suka, memangnya aku ini bapak kamu.” Jonas masih ketus, Amanda semakin ketakutan.
“I—iya, Bos.”
“Jangan juga dengan sebutan itu!” Jonas mulai mengenakan sabuk pengamannya.
“Terus aku harus memanggilmu dengan sebutan apa?”
“Terserah, asal jangan dua kata tadi. Kamu bisa memasang sabuk pengaman sendiri?” Jonas menoleh ke arah Amanda. Amanda menggeleng.
Huft ... dasar gadis kampungan, Jonas bergumam dalam hatinya.
Pria itu melepas kembali sabuk pengamannya dan mulai mendekatkan tubuhnya ke arah Amanda. Jarak keduanya sangat dekat, sehingga Amanda bisa mencium aroma tubuh Jonas dengan sangat jelas.
Tanpa berkomentar, Jonas mulai memasangkan sabuk pengaman untuk Amanda. Amanda hanya bisa diam dan berusaha mengatur irama jantungnya.
“Kita akan ke Bandara, sekarang.” Jonas kembali memasang sabuk pengamannya sendiri setelah memastikan semua baik-baik saja.
“Memangnya kita mau ke mana?”
“Kita akan ke Jakarta.”
“Jakarta?”
“Iya, kamu akan ikut denganku ke Jakarta.”
“Ta—tapi ... hanya tiga hari saja’kan?”
“Aku sudah membayarmu mahal. Jadi terserah aku mau membawa dirimu selama berapa hari. Bisa tiga hari, tujuh hari atau selamanya.” Jonas masih menjawab dengan ketus.
“Jangan bercanda, Pak. Mami bilang kau hanya membayarku untuk tiga hari saja.” Amanda mulai berani.
“Heh ... dasar sombong.”
“Pak, turunkan aku di sini! Aku tidak jadi ikut denganmu.”
“Aku sudah katakan, jangan panggil aku dengan sebutan itu. Lagi pula, kamu tidak akan bisa kemana-mana, aku sudah membayarmu penuh, Amanda!”
“Hanya untuk tiga hari, tidak lebih!”
“Okay ... tiga hari! sekarang tenanglah, kita bisa ketinggalan pesawat jika masih berdebat di sini.”
Amanda pun tenang. Ia tidak tahu, dari mana keberanian itu datang. Tiba-tiba ia kehilangan rasa takutnya terhadap Jonas.
Jonas mulai mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju Bandara Internasional Minangkabau. Mobil itu hening selama diperjalanan. Baik Jonas maupun Amanda tidak ada yang bersuara. Bahkan Jonas juga tidak menyetel musik di mobilnya.
Tiga puluh menit menghabiskan hari dengan keheningan, akhirnya mobil yang dikendarai Jonas sampai juga di halaman bandara. Pria itu melajukan mobilnya menuju parkiran menginap yang terdapat di area bandara.
Jonas memberikan sebuah cardigan berwana cokelat tua kepada Amanda, “Pakai cardigan ini. bajumu terlalu mini, nanti kamu bisa masuk angin.”
“Hanya ini? apa tidak ada celana panjang? aku tidak nyaman menggunakan rok se pendek ini.” Amanda mencebik.
“Tidak ada, atau apa kamu tidak membawa pakaian lainnya. Kalau ada cepat ganti, nanti kita bisa ketinggalan pesawat.”
Amanda berbinar, “ Ada, tapi di dalam koper saya. Koper saya ada di bagian belakang mobil anda.”
“Ya sudah, ambil cepat!”
“Pak, masa anda tega membiarkan saya keluar dengan pakaian seperti ini? Bisa tolong ambilkan?” Amanda nyengir kuda. Ia merasa bahwa pria yang ada di hadapannya tidak sejahat yang ia bayangkan.
Jonas melotot ke arah Amanda, “Ambil sendiri, saya sudah buka kunci pintunya.”
“Ma—maaf, Pak. Saya tidak mengerti bagaimana cara membuka pintunya.” Amanda menunduk.
“Sialan!” Jonas mendengus kesal seraya keluar dari mobilnya untuk mengambilkan koper milik Amanda.
“Itu, kopermu sudah saya letakkan di bangku belakang. Silahkan pindah dan ganti celanamu dengan cepat!”
“I—iya ....” Amanda segera keluar dari kursi penumpang bagian depan dan pindah ke kursi penumpang bagian belakang. Ia membuka kopernya dan mengambil celana model pensil yang memang ia selipkan secara diam-diam ke dalam kopernya.
“Pak, saya mau mengganti celana, apa anda akan tetap berada di sana?”
“Apa maksudmu?”
“Apa anda tidak malu melihat aurat wanita? Saya mau melepas rok saya, otomatis aurat saya juga akan terlihat.” Ocehan Amanda membuat wajah Jonas memerah.
“Cepat ganti sekarang! Atau kita akan tetap pergi dengan pakaian minimu itu.” Jonas berbicara dengan mimik wajah marah.
“I—iya, maaf ....”
Amanda dengan cepat melepas rok mininya dan dengan susah payah ia memakai celananya. Sesekali, Jonas melirik lewat kaca spion yang terdapat di bagian atas kepalanya. Diam-diam, Jonas tertawa geli melihat tingkah Amanda.
“Masih lama?”
“Sudah selesai, Pak.”
“Baiklah, segera turun. Saya akan memarkirkan mobil ini terlebih dahulu, lalu kita akan berjalan kaki menuju bandara.”
“I—iya.”
Amanda dengan cepat turun dari mobil Jonas dan membawa kopernya. Kini ia merasa lebih nyaman. rok mininya sudah ia ganti dengan celana jeans dan bagian atas sudah tertutup cardigan yang diberikan Jonas kepadanya.
Setelah membayar uang parkir, Jonas segera menyusul Amanda dan menggenggam tangan kanan Amanda tanpa berucap apa pun. Jonas menarik lengan Amanda dengan kasar, sebab langkah kaki Jonas memang besra-besar. Amanda sedikit kewalahan mengiringi cara berjalan pria itu.
“Pak, pelankan sedikit jalan anda. Saya bisa terjatuh kalau terus-terusan begini.” Amanda benar-benar kewalahan. Heels setinggi lima senti meter semakin membuatnya kepayahan.
“Jangan lamban macam siput, aku tidak suka wanita yang lamban.” Jonas tidak peduli, ia tetap menarik lengan Amanda dengan kasar.
“Siapa yang lamban, ha? Tidak lihat kalau aku pakai sepatu bertumit tinggi. Sebelumnya aku tidak pernah mengenakan sepatu seperti ini. Kakiku sakit, Pak.” Amanda berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Jonas.
Jonas berhenti, ia menyentak lengan Amanda dengan kasar. Jonas membalik tubuhnya dan menatap wajah Amanda. Amanda bisa melihat jelas gurat kemarahan di wajah pria yang sudah menyewa tubuhnya.
“Pak ... anda marah?”
Jonas berkacak pinggang, “Huft ... mengapa wanita sialan itu malah memberiku seorang gadis kampungan seperti ini.”
Amanda terdiam, ia tidak tahu harus menjawab apa. Gadis itu merasakan perih di bagian atas tumit kaki kanannya.
“Awh ....” Amanda merintih setelah menyentuh bagian yang terasa perih.
“Ada apa, ha?” Jonas masih bersikap ketus.
“Kakiku terluka. Sepatu ini sudah melukai kakiku. Aku sudah tidak kuat berjalan. Lebih baik anda pergi sendiri saja, tinggalkan saja saya di sini. ‘kan lumayan pak, anda bisa menghemat ongkos pesawat.” Amanda berkata dengan polosnya tanpa memperhatikan wajah Jonas yang kembali murka.
Jonas beranjak dari tempat itu untuk mengambil sesuatu. Hanya dalam hitungan detik, Jonas kembali dengan membawa troli barang.
Pria itu meletakkan koper Amanda di atas troli barang, kemudian tiba-tiba ia mengangkat tubuh Amanda dan mendudukkan gadis itu di atas troli tepat di atas koper milik Amanda.
“Pak, apa yang anda lakukan?”
“Kau pikir aku pria bodoh, ha? Aku sudah membayarmu sangat mahal, jadi tidak mungkin aku meninggalkanmu di sini.” Jonas mulai mendorong troli itu menuju gerbang keberangkatan penumpang.
“Pak, saya bisa jalan kaki. Saya mau turun.”
“Tenang! Jangan bergerak, atau aku akan melemparmu nanti ke dasar laut setelah kita berada di atas pesawat. Kamu mau mati sia-sia, ha?”
Amanda tiba-tiba terdiam. Nyalinya seketika menciut, ia takut. Seumur hidup, ia belum pernah naik pesawat terbang, jadi ia pikir seseorang bisa saja dilempar lewat jendela hingga jatuh ke dasar bumi dan mati sia-sia.
“Pak, saya mohon, jangan lempar saya dari pesawat. Saya masih belum mau mati. Saya masih mau mengejar cita-cita untuk menjadi arsitek hebat nantinya.” Amanda melembut.
Jonas tergelak, ia tidak menyangka jika gadis cantik yang tengah bersamanya begitu polos dan bodoh. Tapi Jonas tertarik dengan kata-kata terakhir Amanda.
Apa? Gadis ini ingin jadi arsitek hebat? Apa dia ini seorang mahasiswi? Jonas bertanya dalam hatinya. Ingin rasanya ia menanyakan langsung kepada Amanda, namun ia terlalu gengsi untuk itu.