Jonas sampai di depan gerbang keberangkatan penumpang, sementara Amanda dengan polosnya masih duduk di atas troli barang yang di dorong oleh Jonas.
“Maaf, Pak. Bisa lihat tiket anda?” Seorang petugas keamanan bandara meminta Jonas memperlihatkan tiketnya.
Jonas mengeluarkan gawaynya dan memperlihatkan dua buah e-tiket yang sudah ia download sebelumnya.
“Baiklah, Pak. Silahkan masuk.”
Jonas mengangguk dan kembali mendorong troli menuju ruang dalam bandara.
“Pak, STOP!!” Tiba-tiba Amanda berteriak.
Jonas berhenti, “Ada apa lagi, ha? Mau aku gendong masuk pesawat?”
“Tidak, tidak perlu. Aku bisa jalan sendiri.” Amanda turun dari troli dan melepas ke dua sepatunya.
“Apa kamu akan naik pesawat dengan kaki telanjang seperti, ha?” Jonas memperhatikan Amanda. Pria itu antara marah dan geli melihat tingkah konyol wanita yang sudah ia sewa.
“Lebih baik seperti ini dari pada anda meletakkanku di atas benda itu seperti tadi. Memangnya aku ini barang.” Amanda bersilang tangan ke d**a.
“Bukankah kamu memang barang yang sudah aku sewa untuk tiga hari? Jadi jangan sok suci.”
Deg ...
Jantung Amanda tiba-tiba berdetak sangat cepat. Perkataan terakhir Jonas sangat mengena di hatinya. Tanpa bisa dicegah, sepasang netra berwarna cokelat terang itu tiba-tiba mengelurkan lahar dingin. Amanda menangis, hatinya terluka.
“Cepat kita masuk, nanti ketinggalan pesawat.” Jonas berkata seraya berlalu meninggalkan Amanda yang tengah nelangsa.
Amanda segera mengenakan kembali sepatunya. Ia tidak peduli lagi dengan rasa sakit dan perih dari kakinya yang lecet oleh sepatu yang ia kenakan. Rasa sakit dalam hatinya jauh lebih besar dibandingkan dengan luka lecet yang terdapat di kaki gadis canti itu.
Dengan cepat, ia menyusul Jonas. Ia mendorong kopernya sendiri dan berkali-kali menyeka air matanya. Jonas sama sekali tidak melirik lagi ke arahnya. Pria itu tetap berjalan dan menatap lurus tujuannya.
Tidak lama, Jonas berhenti di salah satu bangku ruang tunggu. Amanda juga berhenti tepat di belakang pria itu. Baru saja Jonas hendak mendudukkan bokongnya di sana, terdengar panggilan dari pengeras suara bahwa penumpang dengan pesawat yang dimaksud harus segera naik ke atas pesawat.
Jonas mengalihkan pandangannya ke wajah Amanda. Amanda seketika menunduk ketika Jonas menatapnya. Ia tidak ingin Jonas melihatnya menangis.
Tanpa berbicara, Jonas segera meraih kembali tangan Amanda dan menarik gadis itu menuju ke pesawat yang akan membawa mereka terbang ke ibu kota Jakarta. Langkah kaki Amanda semakin terseok-seok, ia merasakan jika lecet di kakinya semakin parah.
Namun, Amanda tidak mau memperlihatkan rasa sakitnya kepada Jonas. Ia tidak ingin kembali terhina oleh pria itu. Pria yang sudah membuat hatinya terluka begitu dalam.
“Duduk! Bangkumu di bagian dalam. Biar aku yang duduk di tepi.” Sikap Jonas masih dingin. Ia memerintah Amanda dengan kasar.
Amanda hanya bisa menurut. Ia duduk di bagian dekat jendela pesawat. Bangku yang tengah diduduki oleh Amanda begitu nyaman, sebab Jonas memang memilih bangku kelas bisnis untuk perjalanannya.
Sejenak Amanda cukup tertegun. Ia teringat dengan ancaman Jonas yang akan melemparnya ke luar pesawat jika ia berani melawan. Akan tetapi Amanda baru tersadar, jika dirinya sebenanya sudah dibohongi. Amanda tidak melihat sama sekali ruang kosong yang cukup lebar yang bisa digunakan untuk melempar seseorang.
“Kenapa? Apa yang kamu pikirkan? Kamu takut mati ya?” Jonas tergelak sesaat, kemudian kembali terdiam.
Amanda hanya diam, ia tidak menjawab pertanyaan Jonas. Rasa perih di kakinya semakin terasa. Dengan cepat, Amanda melepas sepatunya.
Lega, perasaan itu yang ia rasakan tatkala sepatu laknat itu terlepas dari kakinya.
Amanda kemudian meraba luka lecet yang ada di kakinya. Lecetnya semakin melebar dan sudah mulai berdarah.
“Ma—maf, Pak. Apakah di sini tidak ada tisu? Kaki saya berdarah.” Amanda berkata lembut.
“Berdarah? Kenapa?”
“Tidak kenapa-napa, lupakan saja.” Amanda jengah.
Amanda menyeka tangannya yang kena darah pada bagian bawah celana jeansnya. Amanda segera membuang pandangan ke arah jendela. Ia tidak ingin berbicara banyak dengan Jonas. Takutnya Jonas kembali menghinanya.
Tidak lama, Amanda merasa pesawat yang ia tumpangi mulai bergetar. Pesawat itu lepas landas. Amanda semakin ketakutan. Ini pertama kalinya bagi gadis itu naik besi terbang.
Amanda seketika memegang tangan Jonas dan meremas tangan itu dengan kuat. Ia dengan sekuat tenaga menahan mulutnya untuk tidak berteriak. Amanda benar-benar ketakutan.
Setelah roda terakhir pesawat mulai lepas sempurna ke udara, Amanda merasa besi terbang itu menukik tajam ke bagian atas. Reflek, gadis itu membenamkan wajahnya di bahu Jonas untuk berlindung. Melihat tingkah Amanda, Jonas kembali tergelak pelan. Ia gemas sekaligus prihatin. Pada akhirnya Jonas membiarkan Amanda berlindung di bahunya.
Hampir dua jam Jonas dan Amanda terbang. Lambat laun, Amanda jadi menikmati perjalannya. Pemandangan malam dari atas langit, sungguh memesona.
Pesawat telah mendarat dengan selamat. Jonas dan Amanda sudah sampai di Bandara Soekarno Hatta, Jakarta. Namun, Amanda masih saja terlelap dengan nikmat di atas bangku pesawat. Gadis itu bahkan tidak sadar bahwa ia sudah sampai di kota Jakarta.
“Hei ... Bangun!” Jonas memukul bahu Amanda dengan sedikit kasar.
“Hhmm ... sudah sampai mana?”
“Sudah sampai Eropa!” Jonas kembali ketus.
“Ha? Bukannya anda bilang kita ke Jakarta? Kok malah ke Eropa?” Amanda terlihat bingung.
Jonas menarik napas panjang, “Turun sekarang, atau aku tinggalkan kau di sini sendirian.” Jonas segera bangkit dan benar-benar meninggalkan Amanda yang masih belum sepenuhnya sadar dari tidurnya.
“He—eh ... tunggu, Pak.” Amanda bergegas bangkit. Ia bahkan tidak mengenakan sepatunya karena kakinya sudah terlalu lecet. Sepatu setinggi lima senti meter itu hanya ia pegang dengan sebelah tangannya.
Setelah jaraknya semakin dekat dengan Jonas, Amanda segera menyambar telapak tangan pria itu. Amanda menggenggam erat tangan Jonas. Ia tidak mau tersesat di sini, sebab ia tidak punya siapa-siapa di kota besar ini.
Jonas membiarkan Amanda menggengam erat tangannya. Ia terus berjalan tanpa memedulikan puluhan pasang mata yang menatapa dirinya. Seorang pria tampan yang begitu berwibawa, tengah menggandeng seorang gadis cantik yang bertelanjang kaki.
“Pak, pelankan sedikit langkah kakimu. Aku tidak sanggup mengikutinya, kakiku sakit.” Amanda kembali mengeluh.
Jonas hanya diam, ia tidak memedulikan perkataan Amanda sama sekali. Ia tetap dengan langkahnya menuju tempat pengambilan barang untuk mengambil koper milik Amanda.
“Ini, bawa kopermu.” Jonas memberikan koper milik Amanda kepada gadis itu.
“Terima kasih, Pak.”
“Sudah berapa kali aku katakan, jangan panggil aku dengan sebutan itu. memangnya wajahku sudah tua, ha?” Jonas menatap Amanda, ia kembali murka.
“I—iya ... maaf, Mas.”
“Bagus, kita harus segera ke hotel. Mobil sudah menunggu di luar.”
“Iya, baiklah.”
Jonas kembali berjalan sendiri di depan Amanda seraya memasukkan ke dua tangannya ke dalam saku celana. Ia membiarkan Amanda yang dengan susah payah setengah berlari mengiringi cara berjalan pria itu. dengan kondisi kaki terluka, tangan kanan menyeret koper dan tangan kiri memegang sepatu, jelas sikap Amanda menarik perhatian banyak orang.
Di depan gerbang bandara, seorang pria dengan pakaian jas yang begitu rapi, sudah menunggu tuannya. Mobil toyota Aplhard berwarna biru metalik, sudah menunggu dengan gagahnya. Sepertinya Jonas memang penyuka warna itu, sebab mobil sedannya yang ia tinggal di kota Padang juga berwarna senada.
“Selamat datang, Tuan.” Sang pria berjas hitam, menyapa Jonas dengan ramah dan hormat. Ia dengan segera membuka pintu untuk Jonas.
Baru saja pintu itu hendak ditutup kembali, terdengar suara teriakan Amanda yang hanya berjarak beberapa meter saja dari mobil Jonas.
“Hei, TUNGGU! JANGAN TINGGALKAN AKU DI SINI SENDIRIAN!” Amanda semakin mempercepat langkahnya.
“Maaf Tuan, siapa gadis itu?”
“Dia gadis pesananku, biarkan dia masuk.”
“Owh ... baiklah, Tuan.”
Amanda terengah setelah sampai di depan pintu mobil Jonas. Keringat mulai mengalir di beberapa bagian tubuhnya. Rasa lelah begitu menghinggapinya.
“Cepat masuk! Atau aku akan meninggalkanmu di sini,” perintah Jonas tanpa menatap ke arah Amanda.
“Tapi koperku mau aku letakkan di mana?”
“Buang saja ke tempat sampah!”
“Anda jangan sembarangan! Kalau anda memperlakukan saya seperti binatang, mengapa tidak anda tinggalkan saja saya di BIM.” Amanda mulai ketus.
“Pak Roni, tolong simpan tas wanita itu di belakang. Dari pada nanti aku benar-benar akan membuangnya ke tempat sampah!” Jonas memerintah sopirnya.
“Baik, Pak.”
Sopir Jonas yang bernama Roni, mengambil koper dari tangan Amanda dan meletakkan koper itu dengan baik di bagian belakang mobil mewah milik Jonas.