Vira berdiri di depan sebuah gedung pencakar langit. Keberanian yang dia tunjukkan tadi pagi ketika menelpon pria itu, mendadak menciut. Dia mengerem langkah.
Pikiran Vira kembali menerawang antara benar dan salah. Dalam hati terus mencoba menafsirkan pekerjaan apa yang bisa memberinya bayaran begitu besar. Beruntung hari itu cuaca sedang hangat sehingga dia di sana tak membeku kedinginan.
Setelah cukup lama membiarkan hati dan pikirannya berdebat, akhirnya dia memutuskan untuk melangkah maju. Demi ibunya, apa pun akan dia lakukan.
Sepertinya kedatangan Vira di tempat itu sudah ditunggu-tunggu. Seorang resepsionist langsung menyambutnya dan membawanya ke ruang direktur. Vira kembali meragu. Namun, mendengar pintu ruang direktur sudah terbuka, dia berpikir sepertinya sudah tak bisa mundur lagi.
Pria itu sedang menelepon sembari menghadap keluar jendela. Vira duduk setelah sekertaris pribadi sang bos mempersilakannya untuk duduk.
Vira menelisik ruang kantor yang bahkan lebih besar dari kamar tidurnya. Sebuah miniatur kawasan apartement mewah ada di sudut ruangan. Sementara di atasnya, menempel pada dinding ada sertifikat-sertifikat yang dibingkai kaca dengan ukiran kayu yang indah tampak mencolok dan sangat menarik perhatian.
"Maaf kalau kau lama menunggu," kata seorang pria membuat Vira menoleh.
Gadis itu refleks berdiri dan mencakupkan tangan di d**a guna memberi salam. Sementara, pria itu mengulurkan tangan. Merasa tangannya hanya menggantung di udara, dia pun hanya tertawa, lalu turut mencakupkan tangan di d**a dan mempersilakan Vira untuk duduk kembali.
"Jadi, Mr. Haryo, pekerjaan apa yang Anda tawarkan kemarin?" Vira langsung bertanya ke intinya, dia tak ingin berlama-lama bertarung dengan rasa penasarannya.
Orang yang dipanggil Haryo itu tertawa. "Sabar, Nona. Sepertinya ku sangat tidak sabaran."
"Aku hanya harus cepat, karena aku harus kembali ke restaurant. Lagipula Anda pasti juga sedang sangat sibuk."
"Baiklah, aku mengerti." Pria itu pun mulai menerangkan pekerjaan yang harus dilakukan Vira.
***
Laju lalu-lalang kendaraan tak mampu menyadarkan Vira dari lamunannya. Entah kegilaan apa yang telah dia lakukan sehingga tanpa pikir panjang dia menyanggupi jenis pekerjaan itu.
Gadis itu menatap layar ponsel, melihat notifikasi dari pihak bank yang menyatakan uang sebesar dua ratus juta sudah masuk ke rekeningnya. Haryo tak menunggu apakah Vira berhasil melakukan pekerjaannya atau tidak, dia langsung mengirim uangnya begitu saja.
Vira menarik napas dalam-dalam, lalu tangannya mulai mencari nomor telepon tetangga yang mengurusi ibunya selama ini.
"Siang, Bi Warsi," kata gadis itu.
Bi Warsi di seberang sana pun membalas ucapannya. Wanita itu menanyakan bagaimana kabar Vira di Belanda.
Setelah lama bercakap-cakap, Vira pun menyampaikan bahwa dia akan segera mengirim uang untuk operasi ibunya.
"Dari mana kamu dapat uangnya, Nduk? Kamu tidak melakukan hal yang aneh-aneh, kan?"
Mendengar pertanyaan Bi Warsi, Vira menitikkan air mata. "Vira menjual harga diri Vira, Bi," ucap gadis itu dalam hatinya. Namun, terhadap Bi Warsi, dia bicara hal yang berbeda.
"Tidak, Bi. Boss-ku orang yang sangat dermawan. Dia memberikan aku pinjaman uang dan cicilannya akan dipotongkan dari gajiku."
"Oh, syukurlah, Nduk. Orang baik memang selalu ada. Di mana pun kita berada, asal kita baik pada orang, maka orang itu pun akan menolong kita. Jangan berhenti untuk berbuat baik, ya. Karena Tuhan akan selalu menyertai orang-orang baik."
"Iya, Bi. Terima kasih, Vira tutup dulu teleponnya, ya. Vira mau lanjut bekerja."
"Baik, Nduk. Selamat berkerja, ya, ibumu di sini biar bibi yang jaga."
Setelah menutup telepon, tubuh gadis itu seakan-akan kehilangan seluruh tenaganya. Dia berjongkok di trotoar sambil menyusupkan kaki di antara kedua lutut, lalu menangis. Tak dihiraukannya meski beberapa orang melihat bagaimana tubuhnya bergetar karena terisak.
Sesak melanda dadanya, tapi itu pilihannya. Tak ada yang harus dipersalahkan. Tidak juga Tuhan. Dia-lah yang memilih jalan yang paling instan.
Entah berapa lama dia berjongkok di sana. Sampai sisa-sisa air matanya mengering, barulah dia kembali bangkit karena teringat dia harus bekerja. Vira menoleh jam tangannya. Shift kerjanya di mulai sore hari hingga malam dan restaurant tutup. Biasanya dia akan mengambil waktu pagi, lalu lembur hingga malam agar mendapatkan uang tambahan. Namun, karena tadi dia harus menemui pria itu, jadi dia mengambil waktu sore.
Mengetahui waktunya dia untuk sampai di restaurant begitu mepet, Vira pun bergegas berangkat menuju tempatnya bekerja. Dia menghentikan taksi. Tak berapa lama, taksi sudah membawanya ke tempat tujuan. Vira berlari menuju loker.
"Tumben telat." Liana yang sedang mengenakan epron bicara kepadanya ketika Vira sedang membuka loker.
"Benarkah? Belum ah, masih ada waktu lima menit," ucap Vira.
"Ya, aku anggap itu telat karena biasanya kau sangat rajin."
"Tadi aku ketiduran. Jadi lupa kalau sore ini aku harus bekerja."
Liana pun tertawa. "Tapi, wajar, sih. Kan, biasanya kau kerja pagi sampai malam. Mungkin itu tanda tubuhmu perlu istirahat." Liana mematut diri di depan cermin guna memastikan dirinya sudah rapi. "Sudah, ya, aku duluan. Cepat ganti bajumu dan berdandanlah agar terlihat cantik. Malam ini ada bookingan tamu istimewa."
"Bookingan istimewa?"
"Hu'um. Tadi boss memberitahuku. Orang-orang dari agensi akan mengadakan diner bersama di tempat kita. Kau sungguh luar biasa."
"Aku?"
"Iya, penawaranmu waktu itu sungguh memberi dampak yang besar. Mereka menyukai masakan kita. Karena itulah, malam ini mereka akan datang." Liana tersenyum. "Kau tahu itu artinya apa, kan?"
Lalu, mereka berdua saling berpegangan tangan dan saling tatap dengan mata yang berbinar.
"Artinya ... bonus kita makin besar!" ucap mereka bersamaan, lalu tertawa. Mereka sangat bahagia membayangkan pundi-pundi uang masuk ke rekening.
Vira pun melepaskan genggaman tangannya. "Kalau begitu, aku mau dandan yang cantik. Kalisaja ada yang kepincut sama aku dan mau jadi atm berjalan untukku."
"Huuh, dasar matre!" Liana mencibir, lalu meninggalkan Vira yang sedang berganti pakaian.
Sesaat perempuan itu pun mematut diri di depan cermin. "Orang-orang agensi, ya .... Apa Adrian juga akan ikut?" Vira bertanya kepada diri sendiri. "Adrian ... apa aku bisa melakukannya, ya? Apa Adrian akan ...."
Tiba-tiba pintu ruang ganti terbuka membuat Vira tersentak dari pikirannya yang kacau.
"Vira, cepatlah. Boss sudah ngamok, hari ini tamunya ramai sekali," kata Liana, lalu pergi lagi.
Vira pun melupakan sejenak seluruh isi pikirannya. Dia bergegas meninggalkan ruangan itu. Benar saja, karena pengunjung sangat ramai, waiters sampai kewalahan. Mereka harus bergerak cepat dan tetap teliti dan cekatan.
Sampai waktu menjelang malam pengunjung masih memadati tempat itu. Ketika jam makan malam tiba, mereka punya kesempatan istirahat sejenak secara bergiliran. Habis makan malam, biasanya mereka akan menggunakan waktu untuk memperbaiki riasan dan merapikan kembali dandanannya.
Vira telah kembali dari makan malamnya. Wajahnya tampak segar kembali. Dia berdiri di depan untuk menunggu tamu lain yang datang berkunjung.
Rombongan orang kembali datang, enam mobil parkir hampir berbarengan di parkiran hotel. Vira bersiap-siap menyambut mereka. Orang-orang agensi telah tiba.
Vira pun menyambut mereka dengan senyum hangat. Sesekali matanya jelalatan mencari sosok Adrian, tapi rupanya pria itu tak ada dalam rombongan. Setelah semua duduk dan memastikan tak ada lagi rombongan itu yang tidak dia sambut, Vira pun kembali ke meja dekat kasir untuk mengambil menu.
Saat dia hendak melangkah menjauhi pintu, seseorang menepuk pundaknya. Dia menoleh dan terkejut.
"Kenapa hanya aku yang tak kau sambut? Aku mau komplain ke boss-mu," kata pria itu. Sementara Vira hanya bisa membeku.
"A-Ad-drian ...," ucapnya terbata, tapi pria itu tak mendengarnya. Pria itu sudah duduk, bergabung dengan teman-temannya yang lain.