Cinta?
Satu kata, sejuta kekuatan.
Wanita tangguh dan penyabar sekalipun mampu ia lemahkan.
****
Lebih pagi dari hari kemarin, Adam sudah berangkat entah ke mana. Ketika Zafina menanyakannya, pria itu tidak menjawab--mengabaikan pertanyaan Zafina. Dan langsung berangkat begitu saja tanpa sarapan bersamanya lagi dan lagi.
Kenapa susah sekali jika Zafina meminta pria itu untuk makan bersama dengan dirinya? Apa begitu berat mengiyakannya?
Ketika batuk, Zafina langsung tersadar dari lamunan panjangnya. Subuh tadi, batuk tiba-tiba saja menyerangnya, setelah tadi malam hidungnya terasa padat--sampai susah sekali bernapas. Hujan tadi malam benar-benar membuat kepalanya pening hingga merasa kurang enak badan.
Apakah Adam peduli dengan keadaannya sekarang? Tidak. Jangankan untuk menanyakan keadaan Zafina, menatap atau menyapanya saja tidak.
Usai memakan buburnya beberapa sendok--tidak mampu menghabiskan karena liurnya terasa pahit, Zafina segera berangkat untuk menyelesaikan pekerjaannya hari ini.
"Ibu Zaza sakit? Wajah ibu pucat sekali," ujar salah satu pelayan wanita yang bekerja pada rumah makan yang letaknya tak jauh dari perumahan Zafina. Di Jakarta Selatan ini sendiri terdapat dua rumah makan milik Zafina. Biasanya senin sampai rabu, Zafina berada di rumah makan A, kamis sampai sabtu berada di rumah makan B, dan khusus di hari minggu dia akan mengunjungi rumah makan yang berada di luar kota.
Zafina tersenyum, kemudian mengangguk kecil. "Hanya sedikit pusing." Wanita itu berusaha menunjukkan dirinya baik-baik saja. "Apa menu baru yang kita bicarakan kemarin sudah bisa disajikan hari ini?" pelayan itu mengangguk.
"Sudah, Bu, hari ini dan besok sesuai yang direncanakan akan diadakan potongan harga. Setelah hari besok, harga kembali normal."
Zafina mengangguk. "Terimakasih. Silakan kembali bekerja, semangat ya buat kalian. Saya permisi ke dalam dulu," kata Zafina kemudian masuk ke dalam ruangan pribadinya. Hari ini dia akan membuat menu baru lagi untuk cabang rumah makan di Bandung dan Surabaya. Dan satu lagi, mungkin akan ada perubahan jam kerja dan penambahan beberapa tenaga kerja pula. Seperti kabar yang Zafina dapat kemarin, omset rumah makan di Bandung dan Surabaya benar-benar naik pesat. Sebab itu, mereka berencana untuk meningkatkan menu yang ada dan menambah dengan menu yang baru.
Sungguh, wanita itu benar-benar hebat. Dia tetap berusaha menyelesaikan pekerjaannya padahal dia tahu kondisinya sedang tidak memungkinkan.
Pria bodoh mana yang tega menyakiti dan menyia-siakan dia?
****
Di tempat yang berbeda, Adam tengah berada di sebuah rumah, dan sarapan bersama dengan seseorang yang sedang mengobrol bersamanya itu. Kedua orang itu sesekali bercanda satu sama lain. Lebih tepatnya, Adam yang senang sekali menggoda wanita yang berada di hadapannya itu.
Di bawah meja makan, kaki Adam terlihat sedang mengait kaki wanitanya. Sesekali menendang kecil agar sang wanita merasa kesal padanya.
"Adam, cukup!" ujar wanita itu akhirnya angkat bicara. "Jauhkan kaki kamu sekarang juga, atau aku akan merajuk dan mogok bicara sama kamu?!" ancamnya kemudian dengan pipi yang sudah memerah karena sebal.
Adam terkekeh geli. "Suka aja liat kamu mengomel pagi-pagi seperti ini. Baik-baik, akan saya jauhkan. Jangan melotot gitu dong, saya tambah gemas!" balas Adam sambil mengulum senyum.
Wanita itu adalah kekasih Adam, bernama Relin, seorang desainer baju pengantin. Memiliki postur tubuh sempurna dengan wajah yang begitu cantik.
"Sudah, bukan waktunya untuk berdebat. Habiskan saja dulu sarapan kamu, kita sudah terlambat."
"Oke, Sayang."
Relin menyunggingkan senyumnya. Adam benar-benar pria nakal, memiliki hobi aneh yaitu senang menggoda dirinya.
"Gimana reaksi Zafina liat kamu pergi pagi-pagi buta kayak tadi?" tanya Relin kemudian. Dia sudah menghabiskan makanannya.
Adam mengangkat bahu, tanda tidak tahu dan tidak peduli. "Saya bahkan tidak menoleh padanya. Biasanya dia akan bersedih, kelihatan dari cara dia menatap saya."
"Kok kamu jahat banget, sih?" desis Relin terdengar tidak suka. "Perlakukan dia sebaik mungkin, sesuai dengan rencana kita, sampai waktu itu tiba. Kamu gak lupa kan?"
"Saya ingat." Adam mengangguk. Membicarakan Zafina, seketika Adam teringat senyum manis wanita itu tadi malam. Kelihatan begitu tulus padanya. "Saya sudah selesai. Ayo kita berangkat, saya tidak ingin kamu terlambat dan ketinggalan pesawat."
Relin mengangguk, kemudian meninggalkan meja makan.
Selama di perjalanan, Adam tak henti mengusap dan mengecup punggung tangan wanita yang amat dia cintai tersebut.
"Kamu hati-hati di sana. Jaga mata, jaga hati. Saya benar-benar akan merindukan kamu."
Relin menoleh, lantas tersenyum. "Aku juga bakalan rindu kamu. Siapa lagi yang akan menggoda aku selain kamu?" kekeh Relin berniat menghibur suasana hati Adam.
Sebelum turun dari mobil, Adam menyempatkan diri untuk mengecupi permukaan wajah Relin, dan terakhir bibinya mendarat pada bibir Relin sebagai salam perpisahan di antara mereka selama dua minggu. Relin berangkat ke Singapura untuk acara pernikahan kakaknya dan menyelesaikan beberapa pekerjaan.
"Saya tidak bisa mengantar ke dalam, tiga puluh menit lagi ada rapat. Maafin saya."
Relin tersenyum, kemudian balas mengecup pipi bagian kiri Adam. "Aku gak pa-pa sendirian. Makasih kamu sudah menyempatkan waktu buat sarapan dan nganterin aku ke sini." Tangannya terangkat untuk memperbaiki tatanan rambut Adam. "Kamu gak lupa ucapanku tadi kan?"
"Hem ... iya." Adam meringis mengingat pembicaraan mereka sebelum berangkat tadi. Entah kenapa dia ragu untuk melanjutkan rencana mereka. Semakin ke sini, dia nampak tak tega dengan tatapan sedih Zafina.
"Jangan males gitu dong jawabnya."
"Saya akan merindukan kamu."
"Iya, iya tau, Sayang. Aku juga."
"Kamu jangan lupa kabari saya kalau sudah sampai. Makan yang teratur, jaga kesehatan di sana."
Relin mencubit gemas ujung hidung Adam. "Iya, bawel. Kamu juga, ya, jaga hati. Aku akan segera pulang. Kalau bisa sebelum dua minggu."
Adam tersenyum lebar. "Lebih dari dua minggu, saya akan jemput kamu ke sana."
"Ya ampun segitunya gak mau jauh dari aku. Iya, ih. Aku bakal balik cepat. Kamu jaga kesehatan juga. Jangan terlalu cuek sama Zafina. Tapi ... jangan sampai sayang juga, ya, nanti aku cemburu!" candanya di akhir kalimat.
"Di hati saya hanya ada kamu."
Relin mengangguk mengiyakan. Dia tahu itu. Dari dulu, pria itu selalu mencintainya ... dan akan seperti itu sampai nanti.
****
Ketika jam makan siang tiba, Zafina memilih mengakhiri pekerjaannya dan berniat pulang. Kepalanya sudah tidak bisa diajak berteman, pusing sekali. Tubuhnya juga terasa panas dan dingin secara bersamaan. Sepertinya dia sedang demam sekarang.
Zafina benci sakit.
Baru akan melangkah keluar dari ruang pribadinya, Zafina lebih dulu tumbang. Badannya merosot ke lantai begitu saja tanpa ada yang bisa mencegah. Beberapa pelayan yang melihatnya begitu terkejut dan langsung membawa kembali Zafina ke dalam ruangannya--membaringkan Zafina pada sofa panjang sembari menunggu pelayan pria yang menyiapkan mobil untuk membawa Zafina ke puskesmas terdekat.
Tidak selang beberapa menit, Ilyash datang. Pria itu awalnya berniat mengajak Zafina makan siang bersama di salah satu tempat makan kesukaan mereka dulu. Sekaligus mencari barang yang Ilyash perlukan.
"Dia kenapa?" tanya Ilyash pada pelayan wanita yang sedang menemani Zafina sambil memberikan minyak angin pada daerah pelipis dan hidungnya.
"Sepertinya ibu sedang sakit. Tadi pagi saya sudah menegur karena wajahnya yang kelihatan pucat banget. Kata ibu, hanya sedikit pusing."
Ilyash mendesah, lantas menggendong Zafina membawa wanita itu ke dalam mobilnya. "Biar saya saja yang membawanya ke puskesmas. Kalian bisa lanjut bekerja." Kemudian melajukan mobilnya meninggalkan rumah makan menuju puskesmas yang jaraknya tidak terlalu jauh dari sana.
Setelah melakukan pemeriksaan. Ternyata benar, Zafina sedang demam tinggi dan daya tahan tubuhnya menurun karena kurang makan beberapa hari ini. Wanita itu harus istirahat beberapa hari di rumah untuk memulihkan keadaan.
Ilyash mengambil posisi di samping Zafina. Mengusap punggung tangan wanita itu. "Kamu masih sama, masih saja suka mengabaikan jadwal makan. Kenapa masih ngeyel padahal kamu tahu, kamu gak sekuat yang kamu kira?"
Tidak ada sahutan. Karena memang Zafina belum sadar dari pingsannya. Ilyash tertawa pelan, ternyata gadis kecilnya tidak banyak berubah. Hanya saja yang paling terlihat mengalami perubahan ialah Zafina lebih sabar dan kuat. Ilyash bangga pada gadis yang sudah dia anggap adiknya tersebut.
Zafina tersadar dari pingsannya, matanya mengerjap, dan perlahan kelopak mata itu terbuka sembari menyesuaikan cahaya.
"Bang Ayash?"
Ilyash menunjukkan ekspresi datarnya.
"Aku di mana?"
Dengan tega, Ilyash menyetek kening Zafina. "Habis ini masih mau ngeyel hujan-hujanan dan mengabaikan jadwal makanmu?"
Zafina memajukan bibirnya. "Ana kehujanan, Bang, bukan main hujan-hujanan," protesnya.
"Masih aja ngeles! Kenapa masih memaksa kerja padahal sudah tahu gak enak badan?" Ilyash memicingkan matanya.
"Laper ...!" keluhnya untuk mengalihkan pembicaraan di antara mereka. Ilyash menghela napasnya.
"Ya sudah, kamu mau makan apa, Abang belikan di luar sebentar?"
"Soto ayam!"
Ilyash mengangguk, segera beranjak meninggalkan ruangan.
Zafina tersenyum melihat Ilyash yang langsung mengiyakan keinginannya. Punggung tegap pria itu yang sudah menghilang dari penglihatannya. Dialah sosok pria yang selalu mengerti dan menjadi kebanggaan Zafina.
Sembari menunggu Ilyash kembali, Zafina meraih tas dan mengambil ponselnya. Dia melihat aplikasi hijaunya, tidak ada satupun pesan yang berasal dari Adam. Zafina menatap sedih karena pesannya tadi pagi hanya di baca--tidak mendapat balasan apapun.
Zafina: Rapatnya penting banget, ya, sampai berangkatnya pagi banget dan gak sempat sarapan juga. Mas Adam jangan sampai lupa sarapan, ya, nanti.
Bulir bening mengalir melalui sudut matanya. Hey ... kenapa Zafina menangis? Bukankah dia sudah terbiasa diabaikan oleh orang-orang sejak kecil? Tidak apa, Zafina!
Segera dia menghapus jejak air mata itu. Tidak boleh bersedih. Sejak kapan dia menjadi lemah seperti ini? Tidak boleh.
****
TERIMAKASIH SUDAH MEMBACA CERITA ADAM DAN ZAFINA:)