Chapter 20

1428 Words
Pagi - pagi sekali Aini berjalan mendekat ke arah tenda milik Johni – sang penerjemah. Begitu Johni keluar dari tenda untuk mencuci wajahnya, dia terperangah ketika melihat Aini berdiri tegak tepat di depan pintu tenda. "Nona Aini," sapa Johni dengan bahasa Indonesia. (*Semua percakapan antara Aini dan Johni dianggap dalam bahasa Indonesia.) Aini tersenyum ramah. "Selamat pagi, Koko John," balas Aini menyapa Johni. Johni buru - buru memperbaiki sikapnya berdiri, dia membalas senyuman Aini. "Um, ada apa, Nona Aini di sini?" tanya Johni. Johni terperangah ketika namanya di sapa dengan sapaan 'Koko Johni' oleh Aini. Seakan mereka sudah dekat atau akrab. "Panggil saja aku Aini, Ko," ujar Aini. Johni tersenyum, Nona Aini yang manis dan cantik ini tidak sombong dan neko - neko. Sebulan lebih dia berada di tenda pengungsian dan memantau gerak - gerik Aini, namun tak dia temukan sesuatu yang dapat menjatuhkan harga diri dan karakter dari Aini ini. Orangnya sangat baik, berhati lembut, perhatian, pengertian, punya kepedulian yang tinggi, tidak sombong atau arogan, kadang juga terlihat garang. Ya, garang. Tapi itu untuk sang bos – Shen Mujin – bos besar Shen Group. "Baik em … Aini. Em, ada apa? Pagi - pagi begini sudah menemui ku? Apakah ada yang kamu perlukan?" tanya Johni ramah. Dia ramah pada orang yang ramah pula. Seperti Aini. Orang yang ramah baik hati dan tidak sombong. Panggilan Aini belum terbiasa di mulut Johni, dia agak kaku untuk memanggil nama 'Aini'. "Ko John, apakah Aini boleh minta bantu sesuatu dari Ko John?" tanya Aini penuh harap. Johni mengangguk kuat, "Ya, tentu saja boleh, apa itu?"  "Aini tidak bisa menghubungi Tuan Shen sudah satu bulan ini, dan juga sudah satu bulan Tuan Shen tidak datang lagi ke sini. Sejujurnya ada hal penting yang ingin Aini bicarakan dengan Tuan Shen, mengingat bahwa kami akan segera berakhir masa relawan kami, termasuk Aini yang beberapa hari lagi akan kembali ke Indonesia, apakah Aini boleh meminta bantuan dari Ko John untuk menelepon Asisten Lu?" permintaan sopan dari Aini. Johni manggut - manggut, ternyata ada hal penting yang ingin dibicarakan oleh Nona Aini dengan bos nya. Ya, dia tidak heran sebab Nona Aini mewakili Shen Group untuk mengkampanyekan aksi relawan untuk kota Zhaotong yang mengalami gempa. "Baik, tentu saja saya dapat membantu, Adik Aini," sahut Johni, dia memutuskan untuk memanggil Aini dengan sebutan Adik Aini saja, sebab dilihat dari umur Aini yang baru dua puluh tahun, memang Aini pantas disebut Adik, atau … er keponakan. Ya, keponakan. Mengingat umur Johni yang sekarang berusia 37 tahun. Johni pantas disebut paman oleh Aini. Namun, Johni menolak dipanggil Om. Menolak karena dia masih terlihat muda seperti pemuda lain dan menolak dipanggil Om karena dia belum menikah. Aini tersenyum syukur, "Terima kasih, Ko. Maaf Aini menyusahkan." "Oh, tidak masalah." Johni menggeleng, "Tunggu sebentar, Ko John ambil hp dulu." Johni masuk kembali ke tenda untuk mengambil ponselnya. Tak berapa lama, Johni keluar tenda dan terlihat menelepon nomor Lu Yang yang dia beri nama 'Asisten Bos'. Panggilan pertama masuk. Namun sayang sang empunya ponsel tidak mengangkat panggilan antar provinsi itu. Johni terlihat bersabar, dia memanggil ulang nomor telepon milik Lu Yang. Di tempat tidur empuk, wajah Lu Yang terlihat menutup mata, bantal yang dipakai untuk menopang kepalanya berada di atas kepala, mulut itu terbuka sambil menarik napas. Bunyi ponsel berdering berkali - kali namun sepertinya Lu Yang yang merupakan asisten bos besar Shen itu tidak berniat bangun atau membuka sebelah saja matanya untuk melirik ke arah ponselnya yang sedang disko. Di tenda pengungsian. Wajah Johni terlihat tidak enak ketika melihat ke arah Aini. "Adik Aini, sepertinya Asisten Lu ada keperluan atau sesuatu," ujar Johni. Aini mengangguk mengerti, tiba - tiba dia sadar bahwa ini masih pagi, pasti Asisten Lu masih tidur. Ah, dia jadi tidak enak hati mengganggu Asisten Lu. "Baiklah, Ko. Tidak apa - apa, mungkin siang nanti baru bisa menghubungi Asisten Lu lagi. Terima kasih, Ko John," ujar Aini tersenyum. "Sama - sama, Adik Aini," balas Johni. "Em, kalau begitu Aini pergi dulu ke sana, Ko John silakan lanjutkan pekerjaan. Ah, jangan lupa sarapan." "Baik," sahut Johni. "Untuk Adik Aini juga, jangan lupa sarapan," lanjut Johni. Aini mengangguk sebelum berbalik pergi ke tenda teman - teman sesama relawan. Makan pagi untuk mengisi tenaga. Dia dan teman - teman sesama relawan akan pulang ke negara masing - masing. Namun, sepertinya dia akan sedikit mengalami penundaan, mengingat ada hal penting miliknya yang berada di tangan seseorang. °°° "Amir, jangan buang bubur nya ke lantai," ujar Popy ke arah cucunya – Amir Aji Basri.  Di sekitar mulut bocah laki - laki dua tahun itu penuh dengan bubur. Amir tak menghiraukan ucapan dari neneknya, tangan mungil berisi bocah dua tahun itu menyendok bubur ayam, ketika Amir mengangkat sendok, satu sendok bubur itu terciprat ke arah wajah tua blasteran Benjamin. Wajah Ben terlihat dongkol, matanya tajam menatap ke arah cucu tengil anak milik bocah bau Naufal – anak yang selalu membuatnya darah tinggi alias naik darah. Popy cepat - cepat hendak meraih sendok besar bubur yang berada di tangan Amir, namun …. Ketok! "Aduh!" Popy mengaduh kesakitan. "Amir, kenapa ketuk tangan Nenek Poko dengan sendok bubur?"  Ben ingin meraih sendok yang dipegang oleh Amir. Dan …. Plak! "Hih!" Ben melotot, tangannya bukan diketuk, tapi dipukul oleh cucunya yang berumur dua tahun itu. Amir membuat matanya melebar selebar mungkin ke arah sang kakek, niatnya untuk menakuti kakeknya itu. Lalu dia kembali menyendokan bubur ayam. Ben ingin mengucap sesuatu namun didahului dengan nada manis sang cucu. "Eyang Ran, Amir sendokan bubur ayam spesial ini untuk Eyang Ran, dimakan yah, biar Eyang Ran kenyang dan sehat." Diikuti senyum manis. Namun sayang, suara dengan nada manis itu tidak ditunjukan pada Ben, namun pada ayah mertua Ben. Ben yang dongkol sebelumnya, "...." no comment. Anak Naufal ini tahu saja merayu Ayah. Batin Ben dongkol. Randra melihat ke arah cicitnya, dia tersenyum. Randra sangat sayang cicit ini, sebab sifat dari cicitnya ini mirip sekali dengan cucu kesayangannya – Naufal Mochtar Basri. "Boleh, Eyang Ran makan," sahut Randra, dia mendekatkan mangkuk bubur agar dekat dengan sendok bubur ayam yang berada di tangan Amir. Setelah dua sendok bubur ayam itu masuk ke dalam mangkuknya, Randra tersenyum lembut ke arah  Amir, "terima kasih, Amir." Amir tersenyum manis, dia mengangguk, "Sama - sama Eyang Ran. Ini bukan masalah besar kalau untuk Eyang Ran." Suara cadel terdengar. "Pintar sekali cicit Eyang Ran ini." Puji Randra ke arah Amir. Amir tersenyum bahagia, "Tentu saja cicit Eyang Ran yang ini pintar, sebab cicit ini anak dari cucu tersayang Eyang Ran." "Hahaha!" Randra tertawa geli. Sedangkan Ben dongkol.  Cucu tersayang pantatnya ayahmu yang bau! Batin Ben. "Eyang Ran." Suara Adam terdengar. "Hum?" Randra menoleh ke arah cucunya yang lain.   Bocah empat tahun itu menuangkan air hangat lalu diberikan ke arah kakek buyutnya. "Adam juga pintar, kan?" ujar Adam. Randra tertawa geli. Lalu dia mengangguk. "Ya, Adam juga pintar." Adam tersenyum senang ketika mendengar pujian dari kakek buyutnya.  "Pintar dari mana? Pegang ekor cicak saja kakak sudah menangis, heum!" dengkus Amir. Suara cadelnya terdengar, namun kalimatnya tetap dapat dimengerti. Piw! Wajah Adam pucat pasi ketika mendengar kata 'ekor cicak'. Nah, ekor cicak ini adalah ekor cicak yang merupakan hasil tangkapan cicak dari sang adik. Bagaimana dia tidak takut dan menangis histeris. Ekor cicak itu putus dari cicak dan masih melompat - lompat bagai ular. "Nenek Poko!" Adam langsung bersembunyi di ketiak sang nenek. Randra menahan tawa, dia tak ingin menertawakan ketakutan dari cucunya, namun dia tak bisa mengabaikan kelucuan dari dua cucunya ini. Hari - hari menghabiskan masa tua yang indah. Setidaknya rasa bahagianya dapat menggantikan rasa sedih karena tak ada nya sang istri. °°° "Masuk." Shen Mujin yang sedang berbicara dengan Wu Jia Li itu berhenti bicara, dia memberi ijin Lu Yang untuk masuk ke ruang kerja Wu Jia Li. Lu Yang berjalan mendekat ke arah Shen Mujin. Dia menunduk memberi hormat pada Shen Mujin, Wu Jia Li dan Feng Yin. "Bos, ini ada hal penting yang ingin dibicarakan oleh Nona Aini kepada Anda." Lu Yang memberikan ponselnya kepada Shen Mujin. Wajah Shen Mujin yang senang karena masalah tendernya telah diselesaikan itu, kini bertambah senang karena Aini ingin berbicara dengannya. Apakah karena sudah satu bulan dia tidak bertemu denganku? Batin Shen Mujin. Shen Mujin berusaha menahan senyum lebar, dia harus terlihat berwibawa di depan bawahannya, meskipun ada sang sepupu dan tunangan sepupunya. Shen Mujin menerima ponsel Lu Yang. "Nona Aini, apakah ada hal penting yang ingin Nona Aini bicarakan dengan saya?" "Tuan Shen, selamat siang. Maaf saya menganggu waktu Anda. Ada yang ingin saya bicarakan. Kapan Anda datang ke Zhaotong?" suara sapa Aini diikuti dengan tujuan utamanya. Ketika mendengar pertanyaan Aini yang penuh dengan harapan, Shen Mujin tersenyum. Wu Jia Li dan Feng Yin saling melirik. "Ya, selamat pagi Nona Aini," sapa Shen Mujin balik, "ada apa?" Shen Mujin berusaha agar tak tersenyum lebar. "Barang - barang penting saya masih ditangan Anda, Tuan Shen. Kapan Anda berencana mengembalikanya?" tanya Aini to the point. "Apakah Nona Aini sangat membutuhkan barang - barang itu sekarang?" "Ya. Saya membutuhkan nya sekarang," jawab Aini. "Untuk apa?" "Saya akan pulang ke Indonesia." °°°
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD