Chapter 19

1224 Words
Aini bangun pagi. Hari ini dia seperti merasakan bahwa dia telah melupakan sesuatu. Namun, sesuatu itu lama sekali baru dia ingat. Dia duduk di luar tenda menghirup udara segar pagi yang berterbangan di seluruh pelosok tenda pengungsian. Aini berusaha untuk mengingat apa itu. Dia duduk termenung hingga beberapa menit, tak kunjung dia ingat ingatan apa yang Aini lupa. Aini memutuskan untuk berdiri dari duduk, dia ingin cuci wajah dan sikat gigi. Ketika Aini berdiri dan hendak kembali masuk tenda untuk mengambil peralatan mandi berupa pencuci wajah dan sikat gigi, langkah kaki Aini berhenti. Dia melirik ke arah tenda Shen Mujin yang kosong. "Hari ini hari minggu. Setiap hari sabtu Shen Mujin selalu datang ke sini. Tapi kenapa aku tidak melihatnya kemarin?" Kening Aini berkerut, dia hendak pergi mendekat ke tenda milik Shen Mujin. Langkah kaki Aini diayunkan. Aini berhenti di depan tenda Shen Mujin. Gadis dua puluh tahun itu memerhatikan baik - baik tenda Shen Mujin. Hasilnya, tak ada tanda - tanda kehidupan.  "Tak ada orang?" kening Aini berkerut. Jam seperti ini biasanya Shen Mujin sudah keluar tenda, sudah mencuci wajah tampannya yang menyebalkan bagi Aini, namun Aini tak melihat batang hidung Shen Mujin dari kemarin. Jika Shen Mujin tidak datang maka …. "Barang - barangku, Shen Mujin menyebalkan!" kesal Aini. Ini yang dia tunggu - tunggu, kedatangan dan kemunculan kembali barang - barangnya, tapi Shen Mujin tak datang. Shen Mujin tak datang berarti barang juga tak datang. Istilah singkat, ada Shen Mujin, ada barang. Layaknya ada uang, ada barang. Aini menendang kesal tenda Shen Mujin. "Barang - barang ku tidak dia bawa balik, dia ambil sesuka hati. Ini sudah lebih dari satu bulan! Satu bulan dia bawa barang - barangku!" Kesal Aini disaksikan oleh Johni – sang penerjemah yang ditanam oleh Shen Mujin di tenda pengungsian memantau gerak - gerik dari Aini. "Huh! Lebih baik aku pergi cuci wajah dari pada marah dan kesal pada laki - laki itu." Aini angkat kaki dari tenda Shen Mujin. Di waktu yang sama tempat berbeda. Haciu! "Kau flu?" Wu Jia Li mengerutkan keningnya ke arah sang sepupu. Shen Mujin menggelengkan kepalanya, "Tidak." "Tapi kamu bersin." Wu Jia Li meminum air dari botol. Shen Mujin duduk di kursi, keringat bercucuran dari dahi turun melewati pelipis dan lehernya. Pakaian sport kelas atas terlihat pas dan elegan pada badan proposionalnya. Shen Mujin menaikan sebelah alisnya. "Hari minggu hari ini." Wu Jia Li mengangguk, "Ya, hari ini memang hari minggu," sahut Wu Jia Li membenarkan, dia menoleh ke arah Shen Mujin setelah menutup tutup botol air, "ada apa?" Shen Mujin tersenyum tipis, "Aku tidak ke Zhaotong." "Bukannya kamu sudah berniat di Shanghai selama dua minggu atau lebih?" tanya Wu Jia Li. Shen Mujin mengangguk, "Ya, tapi aku pikir hanya butuh satu minggu untuk membereskan urusan ini, ternyata butuh waktu lebih." "Tak apa, di sini dulu, sekalian berlibur sedikit. Kau harus menghibur dirimu sendiri," ujar Wu Jia Li. Shen Mujin tak menanggapi, dia hanya menarik dan mengembuskan napas. Entah mengapa kali ini dia merasa tidak senang untuk tidak pergi ke Zhaotong. Mungkin karena dia sudah terbiasa selama satu bulan bolak - balik Beijing - Zhaotong, jadi dia merasa janggal saja tidak ke Zhaotong minggu ini. Atau ada sesuatu …. °°° Aini makan siang, dia istirahat dari pekerjaannya untuk beberapa saat. Anming datang duduk di samping Aini. "Aini, apa kamu lihat, perumahan untuk para korban gempa telah selesai?" tanya Anming. Aini mengangguk, "Ya. Cepat sekali pembangunan kota ini," sahut Aini. "Sudah dua bulan kita berada di kota Zhaotong, tak terasa suka - duka telah kita lalui bersama. Para korban gempa akan tinggal di rumah yang telah disediakan oleh pemerintah dan bantuan dari para donatur." Aini melihat ke arah wajah - wajah bahagia dari para korban gempa dua bulan lalu. "Itu artinya tugas kita akan selesai satu atau dua hari," lanjut Aini. Ada nada berasa sedih di kalimatnya. Sedih karena harus berpisah dengan para korban gempa yang sudah dua bulan ini mengisi hari - harinya. "Ya." Anming mengangguk membenarkan ucapan Aini. "Itu berarti kita akan kembali pulang," lanjut Anming. Aini mengangguk. Anming menata Aini, "Aini." "Ya?" "Kamu akan pulang ke Indonesia?" tanya Anming ingin tahu. Aini diam untuk sesaat. Tadi malam, jam sembilan malam waktu Zhaotong. "Sudah dua bulan kamu di sana, Papa dengar dari orang - orang Basri yang ada di Zhaotong bahwa pembangunan kota Zhaotong sudah pulih sembilan puluh persen, korban gempa akan segera memasuki rumah yang dibangun oleh pemerintah. Papa ingin kamu pulang ke Jakarta, Papa Ben rindu kamu," ujar Ben dari seberang telepon. Suara tua dari Ben membuat hati Aini melembut. Sang ayah sudah tua, sudah lebih dari tujuh puluh tahun, dia beruntung bisa diberi kesempatan untuk hidup bersama. Hidup menyaksikan hari tua sang ibu dan sang ayah. "Kakek Ran juga merindukanmu," lanjut Ben. Hati Aini seketika meleleh ketika mendengar sang ayah menyebutkan nama kakeknya. Kakek tersayang. Aini tersenyum manis, meskipun sang ayah tak melihat, namun Ben tahu, sang putri pasti sedang tersenyum setelah dia menyebutkan nama dari ayah mertuanya. "Papa." Panggil Aini lembut. "Ya, sayang?" "Bagaimana kabar kakek Ran?" Urat vena Ben timbul di dahi. Ben berpikir bahwa sang putri akan menanyakan bagaimana kabarnya, kabar dia – ayah Aini, Namun yang dia dengar malah bagaimana kabar kakek Ran, sang ayah mertua. "Baik, kakek Ran-mu baik," jawab Ben. "Aini ingin mendengar suara kakek Ran, Aini rindu kakek Ran," ujar Aini meminta. Ben menghela napas tanpa daya. "Baik." Pria 73 tahun itu berjalan ke kamar milik ayah mertuanya. Ben mengetuk pintu. "Ayah, apakah Ayah sudah tidur?" Tak lama kemudian terdengar suara balasan. "Masuk." Ben membuka pintu kamar Randra. Pria 73 tahun itu melihat ke arah meja rias milik mendiang ibu mertuanya – Moti. Randra sedang duduk di sebuah kursi empuk di depan meja rias milik mendiang istrinya. Ada foto seorang gadis berambut merah bata tersenyum manis. Di atas meja rias, Randra terlihat menulis sesuatu. Agak cukup tebal Randra menulis di buku itu. Di samping buku itu ada sebuah buku bertuliskan 'Catatan Momok'. Catatan kenangan dari sang istri ketika Moti muda. "Ayah, Aini ingin mendengar suara Ayah, Aini rindu Ayah, kakek Ran - nya," ujar Ben. Randra berhenti menulis. Dia menutup pena lalu menutup buku yang dia tulis tadi. Tangan Randra terulur ke arah Ben.  Ben maju memberikan telepon rumah tanpa kabel pada ayah mertuanya. "Aini," ujar Randra ketika telepon sudah berada di telinga Randra. "Kakek Ran! Aini rindu kakek Ran! Aini rindu!" pekik Aini senang luar biasa ketika mendengar namanya dipanggil oleh sang kakek. Randra tertawa geli. "Masih ingat punya kakek?" "Iiihh! Tentu saja Aini ingat! Aini selalu ingat bahwa Aini punya kakek hebat bernama Ran! Aini juga ingat kalau Aini punya nenek luar biasa bernama nenek Momok!" suara senang Aini menggebu - gebu. Hati Randra hangat ketika dia mendengar suara senang sang cucu bungsu menyebutkan nama dari wanita nomor satu dalam hidupnya – Moti Akila Baqi.  "Ya, Aini punya nenek luar biasa bernama Momok," balas Randra dengan nada sayang. "Jika Aini ingat bahwa Aini punya kakek dan nenek, ayo pulang ke sini lalu Aini dan Kakek Ran akan pergi menjenguk makam nenek Momok," ujar Randra lembut. Mata Aini berair, hidungnya memerah ketika mendengar suara sang kakek. Dia belum sempat pergi ke Bandung untuk melihat makam sang nenek ketika dia pulang beberapa bulan lalu. Nenek Momok, wanita kuat luar biasa dari Basri. Mampu bertahan hidup selama 71 tahun meskipun dengan keterbatasan fisik. Cacat seumur hidup, ring jantung, stroke dan sakit lainnya. Aini memang tak pernah bertemu dengan nenek Momok itu, namun dapat Aini rasakan kehadiran sang nenek di dalam lubuk hatinya. Peninggalan berharga yang diberikan oleh sang nenek adalah namanya – Aini Anggita Basri. Setetes air mata Aini tumpah, dengan suara serak nan penuh kerinduan, Aini mengangguk berulang - ulang, "Aini pulang, Aini dan Kakek Ran akan menjenguk makam Nenek Momok." °°°
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD