Chapter 15

1227 Words
Aini berjalan keluar dari tenda milik Shen Mujin. Wajahnya kali ini tidak seperti raut wajah sebelumnya yang dia keluar dari tenda Shen Mujin. Kali ini tidak ada raut wajah kesal atau dongkol, namun yang ada hanyalah wajah serius. Lu Yang terlihat menunduk. Dia sekarang agak takut dengan wajah nona Aini, sebab dari aura wajahnya, aura wibawa seorang nona Muda terpancar.  Sebelum Aini berjalan ke tendanya, dia melirik ke arah Lu Yang. Lu yang mengigil, "Nona … Aini," sapa Lu Yang. Aini melihat serius ke arah Lu Yang, "Dapatkah saya berbicara dengan Anda, Tuan Lu?" tanya Aini sopan. Lu Yang agak terpana dengan kalimat yang diutarakan oleh Aini, tidak ada nada kesal dan tidak ada nada marah dalam kalimat itu. Lu yang mengangguk cepat. "Tentu saja bisa, Nona," jawab Lu Yang. Aini melihat ke arah agak jauh dari tenda pengungsian. "Mari ikut saya," ujar Aini sambil berjalan menjauh dari tenda Shen Mujin. Di belakang Aini, Lu Yang mengikuti ke mana Aini pergi. Shen Mujin yang berada di dalam tenda hanya duduk tenang.  Setelah merasa cukup jauh dari keramaian, Aini tersenyum ke arah Lu Yang. "Tuan Lu, maafkan atas sikap dan kata - kata saya bisa selama ini saya kasar pada Anda. Itu bukan maksud saya," ujar Aini. "Tidak apa - apa Nona. Anda bahkan tidak menyinggung saya, justru sebaliknya saya yang harus minta maaf pada Anda, sebab mungkin ada tindakan dan kata saya yang menyinggung Anda," balas Lu Yang cepat sambil menggelengkan kepala. Aini tersenyum tipis, "Saya tahu, Tuan Lu sudah tahu mengenai siapa saya sebenarnya kan?" Lu Yang mengangguk pelan. "Apakah saya boleh meminta sesuatu permintaan?" tanya Aini. Lu Yang mengangguk. "Tentu saja boleh, Nona." Wajah Aini berubah serius, "Saya hanya ingin Anda merahasiakan siapa sebenarnya saya. Saya tidak ingin identitas saya sebagai Nona Muda Basri terpublikasi." Lu Yang terlihat berpikir. Dia tak perlu menanyakan apa alasan nona Aini ingin merahasiakan identitasnya di depan publik. Mungkin itu karena privasi atau memang kemauan dari nona Aini sendiri. "Ya, tentu saja boleh. Saya akan menyimpan identitas Anda. Tak ada yang akan tahu selain …," ujar Lu Yang melihat ke arah tenda milik Shen Mujin. "Tuan Shen," sambung Aini. Lu Yang mengangguk. Aini tersenyum, "Terima kasih atas pengertian Anda, Tuan Lu." "Nona, panggil saja saya Lu Yang, Tuan Lu terlalu formal bagi saya," ujar Lu Yang. Aini menggeleng, "Tidak sopan, Anda berjarak umur sangar jauh dari saya." Aini keberatan. "Jika memang tidak bisa, Nona Aini dapat memanggil saya dengan sebutan Asisten Lu saja," usul Lu Yang. Panggilan yang masuk akal, pikir Aini. Gadis 20 tahun itu mengangguk, "Baik Asisten Lu." °°° Shen Mujin duduk di tenda. Dia belum juga tidur. Malam ini dia sepertinya tak bisa tidur setelah membahas hal penting dengan Aini. Dua jam lalu. "Baik, saya akan pulangkan barang - barang kamu." Aini mengangguk. "Ke diskusi kami, Tuan Shen." Aini mengingatkan Shen Mujin mengenai awal tujuan mereka duduk bersama di tenda. Wajah Shen Mujin terlihat serius, wibawa bos bawaannya terpancar dari cara dia duduk dan menatap lawan bicaranya. Jika itu orang lain mungkin mereka akan menggigil ketakutan, namun sayang sekali lawan bicara Shen Mujin kali ini adalah Aini Anggita Basri – Nona Muda Basri dari Basri Group. "Dua bulan Anda menandatangani kontrak menjadi relawan dibawah Shen Group tanpa meminta imbalan apapun, sebagai rasa terima kasih Shen Group, fasilitas Anda akan dijamin oleh Shen," ujar Shen Mujin memulai diskusi mereka. Aini mengangguk, dia mendengar tanpa niat menyela. "Saya ingin tahu, setelah dua bulan ini, Anda akan tetap menjadi relawan untuk korban gempa di Zhaotong atau ingin berpindah daerah lagi menjadi relawan di tempat lain?" Aini terlihat berpikir. Setengah menit, namun Shen Mujin membiarkan Aini berpikir. "Dari yang saya lihat, perkembangan di daerah Zhaotong sudah sangat bagus, jalan sudah diperbaiki, infrastruktur publik sudah mulai berjalan, layanan jasa sudah ada satu atau dua yang beroperasi, untuk rencana saya selanjutnya, saya masih akan memantau. Jika masih merasa di tenda ini membutuhkan relawan, saya siap turun tangan untuk membantu." Shen mengangguk mengerti. "Lalu mengenai apakah saya akan menjadi relawan di daerah lainnya, saya fikir saya akan menyelesaikan pekerjaan saya dulu di sini baru memikirkan langkah selanjutnya, apakah saya menjadi relawan di daerah lain ataukah pulang ke negara asal saya, mengingat keluarga saya juga sangat mencemaskan saya yang sebagai seorang anak perempuan jauh dari rumah," lanjut Aini. Shen Mujin melihat serius ke wajah Aini, lalu dia mengangguk mengerti. "Apakah ini yang ingin Tuan Shen bicarakan dengan saya?" tanya Aini. "Jika nona Aini ingin berada lebih lama di China daratan, Shen dapat membantu akomodasi untuk tempat tinggal anda, mengingat Anda tidak dibayar dalam perwakilan relawan Shen," ucap Shen Mujin. "Baik, akan saya pikirkan mengenai berapa lama saya akan berada di China daratan," balas Aini sambil mengangguk. "Saya rasa tidak ada lagi yang ingin didiskusikan oleh Tuan Shen, bukan?" Shen Mujin mengangguk. Aini hendak berdiri, namun mengingat sesuatu, "Tuan Shen, bisakah saya minta waktu Anda sebentar?" Shen Mujin yang masih duduk di kursi mengangguk tak keberatan. Aini duduk kembali di kursi lipat. "Saya mempunyai sebuah permintaan," ujar Aini. "Silakan, Nona Aini." Shen Mujin mempersilahkan. "Mengenai identitas asli saya, dapatkan Anda-" "Merahasiakannya?" potong Shen Mujin. Aini mengangguk. "Ya. Saya ingin Anda rahasiakan identitas saya." Shen Mujin mengangguk mengerti. "Itu adalah hak Anda untuk merahasiakan identitas Anda, Nona Aini."  Aini mengangguk lega. Dia melihat serius ke arah Shen Mujin, "Itu …," ujar Aini ragu sesaat. Shen Mujin menantikan ucapan dari Aini. "Katakan saja," "Mengenai sikap saya pada Anda yang, maaf agak terlihat kurang ajar pada Anda sudah hampir satu bulan ini, saya mohon maaf. Sejujurnya saya tidak bermaksud kurang ajar pada Anda. Ketika saya menerima tawaran dari perusahaan Anda yang bertujuan mulia yaitu dengan menjadi donatur untuk korban gempa, saya sangat bersyukur," ujar Aini menatap ke arah Shen Mujin. Shen Mujin terlihat diam, dia tak menyangka bahwa sifat Nona Aini ini memang menarik. Tidak sombong sebenarnya. "Hanya saja mungkin karena situasi waktu pertama kita bertemu kurang menyenangkan, mengingat waktu itu saya lelah dalam perjalanan, ini membuat saya menanamkan kesan yang agak merugikan Anda di pikiran saya," ujar Aini jujur. Shen Mujin tersenyum tipis, ternyata karena waktu pertemuan mereka yang kurang tepat, makanya sampai sekarang Aini merasa dongkol padanya. Masa pertama itu sangat membekas. Sama seperti cinta pertama. Shen Mujin mengangguk mengerti, "Saya mungkin hari itu agak terlalu, jika hal itu membekas di ingatan Nona Aini, saya mohon maaf." Aini mengangguk mengerti. "Tidak apa - apa, sudah berlalu," sahut Aini. "Saya rasa malam ini tidak lagi ada yang didiskusikan," ujar Aini. Aini berdiri dari kursi lipat dan terdengar bunyi. Kryuuk kryuuk "...." Suara jangkrik terdengar jelas di pendengaran Aini dan Shen Mujin. Kedua mata mereka saling beradu dan. "Hehehe," Aini terkekeh pelan tak enak hati. Perutnya berbunyi. Lupa nya dia lupa makan malam. "Aku juga belum makan malam, maukah Anda makan malam bersamaku?"  Aini melihat di sekelilingnya. "Aku sudah tahu, tak ada yang haram," ujar Shen Mujin. Aini mengangguk. Makan malam singkat dilakukan oleh dua orang yang baru saja saling berbaikan minta maaf.  Tak lama waktunya, sebab Aini merasa lelah dan mengantuk, dia hanya makan mie daging satu mangkuk dan minum satu gelas air mineral. Menu makan malam Shen Mujin mengikuti apa yang dimakan oleh Aini. Lima belas menit kemudian meja lipat di tenda Shen Mujin bersih. Aini berdiri dari kursi lipat. "Terima kasih makan malamnya, Tuan Shen." "Shen Mujin saja," ujar Shen Mujin ke arah Aini. "Panggil saja namaku, Nona Aini." Aini terlihat berpikir, "Anda lebih tua dari saya, um … mungkin terpaut jauh." Shen Mujin tersenyum kecil. "Tak apa, Shen Mujin saja." "Akan saya pikirkan," balas Aini. Shen Mujin mengangguk. Aini keluar dari tenda Shen Mujin memasang tampang aura Nona muda Basri. Matanya melirik ke arah Lu Yang. Shen Mujin mengingat percakapannya dengan Aini. Hari ini setelah percakapannya itu, Shen Mujin merasa suasa hatinya baik. Pria itu tidur di tempat tidurnya. Di dalam tenda lain. Aini sudah tertidur pulas. Dia sangat lelah hari ini. Memanjakan diri di atas tempat tidur adalah hal yang baik untuknya. °°°
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD