BAB 6

2035 Words
Keeseokan harinya, Asha bangun pagi-pagi sekali sekitar pukul lima. Ia berniat untuk jogging selama satu jam di sekitar hotel. Asha sudah siap dengan pakaian dan sepatunya, kemudian ia keluar dari kamar menuju lift. Dilihatnya ia di kaca lift, lingkaran hitam di bawah matanya semakin terlihat karena semalaman ia tidak bisa tidur. Tiba di lantai satu, Asha berjalan melewati lobi lalu keluar dari hotel. Ia mulai berlari pelan. Lampu-lampu masih menyala menerangi jalan yang akan dilalui oleh Asha. Napasnya memburu seiring ia semakin lama berlari. Kadang-kadang Asha berhenti sebentar agar bisa menghirup udara segar lalu kembali berlari. Sudah setengah jam Asha berlari, ia memtuskan untuk beristirahat sembari melihat matahari yang akan terbit sebentar lagi. Lengannya mengelap keringat yang mengucur deras di kening dan lehernya. Ia lupa membawa handuk kecil. Matahari mulai muncul perlahan, sinar kuningnya yang memancar ke segala arah membuat warna yang ada menjadi berbaur dengan warna matahari. Asha melihat sunrise itu disini untuk kedua kalinya. Setelah napasnya mulai stabil, Asha berdiri lalu pergi dari tempat itu menuju hotel. Sekarang ia ingin cepat-cepat membersihkan badannya. Asha sampai di kamarnya dan segera pergi ke kamar mandi. Sedangkan, disebuah kamar yang terletak di depan kamar Asha, Rendra masih terbaring di ranjangnya dengan selimut yang menutupi sebagian tubuh telanjangnya. Sinar matahari sudah masuk ke dalam kamarnya melalui jendela kaca yang tidak ia tutup dengan gorden. Rendra menggeliat meregangkan seluruh tubuhnya sampai selimut yang menutupinya tersingkap memperlihatkan perutnya yang sixpack. Setelah meregangkan semua ototnya, Rendra perlahan duduk laluu membuka matanya dan mengucek-nguceknya. Ia mengambil ponselnya yang berada di atas nakas untuk melihat jam berapa sekarang. Jam menunjukkan pukul tujuh. Rendra turun dari ranjang lalu keluar menuju balkon. Digesernya jendela kaca itu agar ia bisa menuju balkon untuk menghirup udara segar. Matanya menatap ke sekeliling melihat pemandangan pagi yang tersaji. Angin menerpa tubuhnya yang telanjang tidak membuat Rendra kedinginan. Lama ia berdiam diri di balkon, akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke dalam kemudian pergi ke kamar mandi. Lima belas menit kemudian, Rendra sudah terlihat segar. Rambutnya yang basah ia keringkan dengan handuk agar air yang menetes dari rambutnya tidak menetes kemana-mana. Ia mengambil ponselnya yang berada di atas ranjang lalu duduk di sofa. Ia membuka akun media sosialnya dan melihat seseorang mem-follow akunnya. Rendra melihat profil akun tersebut lalu segera mem-follow balik. Rendra melihat feeds-nya akun tersebut yang menampilkan berbagai macam lukisan dan foto pemiliknya. Dilihatnya Asha yang berada di foto tersebut sedang melukis sembari tersenyum bahagia. Puas melihat feeds-nya, Rendra menyimpan kembali ponselnya lalu segera bersiap-siap. Pukul sembilan peserta tour sudah berangkat menuju kawasan Seminyak. Di jadwal hari ini mereka hanya akan menghabiskan waktu mereka di Seminyak selama seharian penuh. Mereka bebas mau kemana saja asal pada saat waktu yang telah ditentukan mereka sudah berkumpul. Makan siang dan malam yang biasanya selalu bersama, hari ini tidak ada jadwal tersebut karena tim ingin memberikan kebebasan untuk peserta tour memilih kuliner yang ia inginkan. Empat puluh menit kemudian mereka sudah sampai di Seminyak. Setelah turun dari bus, Asha memutuskan untuk berjalan-jalan di Kayu Ayu Seminyak. Jalan Kayu Aya adalah nama jalan pusat di Seminyak. Jalan ini dikenal oleh wisatawan sebagai pusat kuliner mewah dan pusat belanja barang mewah. Di sepanjang jalan, Asha melihat ada berbagai restoran serta butik. Setelah berjalan-jalan cukup lama, Asha memutuskan untuk mengunjungi shopping mall yang sangat terkenal di Seminyak, yaitu Seminyak Village Shopping Mall. Ia melihat-lihat ada apa saja di mall itu. beberapa kali ia keluar masuk sebuah toko, akhirnya ia hanya membeli ice cream saja. Sambil menyantap ice cream-nya Asha keluar dari mall tersebut dan melanjutkan perjalanannya. Dilihatnya coffee shop yang berjejer membuat Asha masuk ke dalam coffee shop itu. Ia melihat Rendra yang sedang carrot cake dan cappucino. Asha pun menghampiri meja Rendra. “Gue boleh duduk disini gak?” tanya Asha meminta izin. “Boleh, duduk aja,” jawab Rendra. “Lo udah lama disini?” “Nggak, mungkin sekitar sepuluh menitan.” Asha mengangguk lalu ia pun memesan makanan kepada pelayan. Butuh waktu beberpa menit Asha menunggu, akhirnya pesanannya datang ke mejanya. Setelah pelayan menaruh semua pesanannya, Asha mulai menyantapnya perlahan. “By the way, gue udah follback akun lo,” ucap Rendra memberi tahu. “Thank’s, Ren, padahal kemarin gue cuma bercanda.” “Gak apa-apa. Gue lihat-lihat juga foto lo kayaknya kebanyakan lukisan.” “Oh itu buat fortfolio gue.” “Oh gitu.” Rendra menyuapkan sepotong cake-nya. “Lo pelukis ya?” “Bisa dibilang begitu,” jawab Asha enggan. “Wah, hebat. Gue juga biasanya suka ke pameran atau museum gitu, tapi sekarang kerjaan banyak banget jadi gak sempat.” Asha terkekeh. “Biasa aja. Kalau gitu lo jadwalin aja kegiatan lo itu. Katanya, kalau kita pergi ke suatu pameran atau museum dan lihat-lihat lukisannya itu termasuk healing juga.” “Iyakah?” “Iya, biasanya di suatu lukisan menyimpan berbagai makna yang ingin disampaikan oleh pelukis.” “Tapi kadang dengan adanya berbagai makna itu ngebuat orang yang melihatnya menginterpretasikan hal yang berlainan dengan pelukis.” “Nah, itu balik lagi ke pengamat untuk bisa cermat dalam mengartikan sebuah makna.” “Ah, i see.” “Dengan lo yang suka travelling juga sebenernya lo healing ‘kan?” “Hm, biasanya gue bakalan pergi kemanapun itu buat ngeredain beban pikiran gue yang numpuk.” “Well, semua orang punya caranya masing-masing buat healing.” Asha meminum minumannya. “Terus kapan lo mau cerita tentang semut ke gue?” “Oh?” Rendra tertawa mengingat janji yang diucapkannya kepada Asha. “Lo maunya kapan?” “Hari terakhir sekalian lo ajarin gue berenang, gimana?” “Oke.” “Habisnya lo bikin penasaran tentang semut, kan lo mau cerita tentang sains nya.” “Iya iya, nanti lo ingetin gue aja ya kalau gue lupa.” “Mm-hmm.” “Habis dari sini lo mau kemana?” tanya Rendra penasaran. “Gue mau nyobain spa di sini. Menurut lo dimana ya yang enak?” tanya Asha meminta rekomendasi. “Kalau menurut gue di Zanti The Retreat SPA.” “Oke, nanti gue kesana. Lo mau ikut?” “Ayo, deh.” Mereka berdua bangkit dari kursinya masing-masing lalu pergi meninggalkan coffee shop tersebut menuju ke tempat spa yang direkomendasikan oleh Rendra tadi. Mereka berjalan berdampingan seraya mengobrol. Di sepanjang jalan banyak pedagang-pedagang yang menjajakan barangnya. Tak sampai lima belas menit, akhirnya mereka sampai di tempat spa tersebut. Asha dan Rendra masuk ke dalam lalu berbicara sebentar kepada resepsionis. Selesai berbicara dengan resepsiois, mereka dibawa ke ruangan yang berbeda. Asha mengganti pakaiannya dengan mengenakan kain yang sudah disediakan. Masing-masing dari mereka menikmati waktunya selama di spa. Beberapa jam kemudian mereka sudah selesai, Rendra yang lebih dulu keluar menunggu Asha di lobi spa. Ia duduk di sofa seraya memainkan ponselnya. “Yuk, Ren,” ajak Asha yang baru saja tiba menghampiri Rendra. Rendra berdiri lalu mengikuti Asha keluar dari tempat spa. “Kita mau kemana lagi?” “Gue, sih, pengennya ke club pantai nunggu sunset,” jawab Asha. “Ya udah, ayo.” Mereka pun pergi berjalan menuju salah satu club pantai yang berada di sepanjang pinggiran pantai. Mereka memilih tempat duduk yang menghadap langsung ke arah sunset. Asha memesan nasi Bali, juice, dan mocktail, sedangkan Rendra ia memesan spageti serta cocktail yang kadar alkoholnya tidak terlalu tinggi. Di club pantai yang dimasuki Asha dan Rendra ini memiliki konsep semi terbuka. Sofa dan meja ditata rapi berjajar. Kursi-kursi yang berada di area juga ditata denga rapi serta diberikan payung berwarna merah untuk menghalangi sinar matahari. Pesanan mereka datang ketika matahari mulai terbenam. Mereka berdua menikmati makanannya seraya melihat sunset yang ada di depannya. Alunan musik yang tenang dan angin yang berhembus pelan menambah kesan hangat. “Lo minum alkohol?” tanya Asha. “Tenang, toleransi gue sama alkohol tinggi, jadi gue gak akan mabuk kok. Lagian gue pesannya yang persen alkoholnya sedikit aja” jelas Rendra. “Oh gitu. Gue milih mocktail yang gak ada alkoholnya karena tingkat toleransi gue rendah.” Asha tertawa. “Minum beberapa gelas aja, gue udah muntah-muntah.” “Lo kalau mau minum-minum harus ada teman dong ya buat jagain lo,” ucap Rendra yang ikut tertawa. “Iya, dulu juga pernah kejadian gue muntah di sepatu orang lain.” “Kok bisa, sih.” “Gue juga gak tahu, saat itu tiba-tiba aja gue muntah terus langsung diseret sama teman gue.” Rendra tertawa mendengar cerita Asha yang menurutnya sangat lucu itu. Matahari sudah tenggelam dan lampu-lampu mulai dinyalakan menyinari seluruh area bersantai ini. Live music mulai berganti dengan alunan yang semakin kencang dan beat yang semakin keras. “Tadi gue liat pasir pantai di sekitar sini warnanya hitam ya?” tanya Asha setelah selesai meminum mocktail-nya. “Iya, warna hitam.” “Kesana, yuk,” ajak Asha bersemengat. Rendra menghabiskan cocktail-nya lalu menjawab. “Bentar lagi udah waktunya pulang.” “Yah.” Asha terlihat sangat lesu ketika mendengar itu. “Kapan-kapan, deh, kita main kesana,” janji Rendra. “Bener ya?” Mata Asha langsung berbinar-binar ketika mendengar janji Rendra. “Iya.” “Nanti gue tagih janji lo.” Setelah makanan mereka habis, mereka memutuskan untuk pergi dari tempat ini karena sebentar lagi bus akan tiba menjemput mereka. Mereka pergi ke tempat pertama kali mereka datang waktu pagi tadi. “Dingin ya?” tanya Rendra yang melihat Asha mendekap tubuhnya. “Iya.” “Mau pakai jaket gue?” “Nggak, deh, gue bawa cardigan tapi ditinggal di bus. Lagian sebentar lagi kita sampai kok.” Asha menunjuk bus yang tak jauh di depannya. “Tuh, lihat, udah deket.” “Ya udah, deh.” Mereka akhirnya tiba di depan bus. Asha segera masuk ke dalam lalu memakai cardigannya, sedangkan Rendra berdiam diri di luar menunggu peserta tour yang lain. Beberapa menit kemudian, peserta tour sudah semua masuk ke dalam bus. Bus pun melaju meninggalkan tempat parkir di kawasan Seminyak ini menuju hotel. Semua peserta tour tertidur beberapa menit setelah bus melaju mungkin karena kecapekan seharian tadi. Tak terasa mereka sudah sampai di hotel lagi. Asha turun dari bus paling akhir bersamaan dengan Rendra. Mereka berdua masuk ke dalam lift yang hampir penuh. Satu-persatu orang yang ada di lift mulai keluar di lantainya masing-masing. Kini, hanya tersisa Asha dan Rendra di dalam lift. Tak ada yang bersuara diantara mereka menjadikan suasana sunyi dan sepi. Pintu lift terbuka di lantai enam, mereka berdua keluar menuju kamar masing-masing. “Gue masuk ya,” kata Asha yang sudah membuka pintunya. “Iya.” Asha masuk ke dalam setelah berpamitan dengan Rendra. ia melepas sepatunya lalu berjalan menuju sofa kemudian duduk di atasnya. Punggungnya ia sandarkan ke sofa dan kakinya ia selonjorkan di atas meja. Setelah cukup dirinya duduk, Asha berdiri lalu melepas cardigannya dan segera masuk ke kamar mandi. Suara air yang mengalir terdengar ketika Asha sedang mandi. Dua puluh menit kemudian Asha keluar dari kamar mandi mengenakan baju handuk yang pernah dipakainya serta handuk kecil untuk mengeringkan rambutnya. Asha keluar menuju balkon, disana ia melihat ada bath tub di pinggir balkon. Setelah melihat itu Asha berniat besok ia akan mencoba berendam di bath tub itu. asha menikmati semilir angin laut yang berada tak jauh dari hotelnya. Malam semakin larut, Asha kembali masuk kembali ke kamar ia naik ke atas ranjang bersiap tidur lalu mematikan lampunya. Tubuh Asha bergerak-gerak gelisah ketika tidur, ia juga sesenggukan seakan-akan ia menangis di dalam mimpinya. Keringat mengucur deras dari keningnya. Asha membuka matanya dalam sekejap lalu mendudukkan tubuhnya. Napasnya memburu, Asha mengelap keringat dengan lengannya. Asha mencari-cari dimana ponselnya berada. Setelah menemukan ponselnya, ia segera menelepon Kavi, tapi hanya suara deringan yang terdengar. Tubuh Asha bergetar ketika ia menunggu Kavi mengangkat teleponnya. Beberapa kali ia menelepon, tapi tetap tidak diangkat oleh Kavi membuat Asha semakin kesal. Ia segera mencari kontak yang bisa ia hubungi saat ini. Jarinya berhenti di kontak bernama Narendra, tanpa pikir panjang ia segera menelepon nomor itu dan pada deringan ketiga Rendra mengangkat teleponnya. “Iya, Sha, kenapa?” tanya Rendra di seberang sana. Suaranya rendah dan serak seperti habis bangun tidur. “Ren, lo bisa ke kamar gue bentar?” tanya Asha. Suaranya bergetar sama dengan tubuhnya. “Lo kenapa? Gue kesana ya.” “Iya, Ren.” Asha memutus sambungan teleponnya dengan Rendra. Ia menekuk kedua kakinya lalu mendekap lututnya. Kepalanya menunduk semakin dalam. Suara bel terdengar, Asha segera turun dari ranjangnya, ia membuka pintu dan langsung menghambur ke pelukan Rendra yang berdiri di depan pintu. “Lo kenapa, Sha?” tanya Rendra. Asha menarik Rendra untuk masuk ke dalam kamarnya. “Gue....” Mata Asha tidak fokus ketika menjawab pertanyaan Rendra. “Lo temenin gue tidur bisa gak?” “Lo gak mau cerita ya?” tanya Rendra sekali lagi. Mereka berdua sudah duduk di sofa dengan Asha yang masih memeluk Rendra. Asha menggeleng lalu mengeratkan pelukannya. “Gue tanya lo tadi, lo bisa temenin gue?” Rendra berpikir sejenak lalu menjawab, “Oke, gue temenin lo.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD