BAB 5

3045 Words
Asha bersandar di balik pintu. Jantungnya berdebar sangat kencang dan napasnya memburu. Ia memejamkan matanya agar bisa berpikir dengan jernih. Kejadian tadi benar-benar di luar dugaannya. Ia kira, Rendra tidak akan membalasnya seperti tadi, tapi pria itu sangat sulit sekali ditebak. Kini detak jantungnya mulai kembali normal dan napasnya tidak lagi memburu. Ia berjalan menuju ranjang lalu menyimpan tasnya. Asha melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Tiga puluh menit kemudian Asha keluar dari kamar mandi hanya mengenakan baju handuk yang disediakan oleh hotel dan rambutnya yang basah sehabis dikeramas. Tangannya sibuk mengeringkan rambutnya dengan handuk. Seraya menunggu rambutnya kering, Asha berjalan ke arah jendela kaca lalu membukanya. Ia keluar menuju balkon dan duduk di kursi yang berada di pinggir tembok. Angin malam menerpa dirinya yang hanya berbalut handuk itu. Asha melihat pemandangan langit malam yang penuh ditaburi oleh bintang dan bulan yang terang. Suara debur ombak yang terdengar membuatnya menjadi sebuah instrumen yang menenangkan jiwa. Asha memejamkan matanya mencoba meresapi alunan instrumen itu. Sekarang, pikirannya perlahan mulai jernih kembali ketika beberapa menit ia memejamkan matanya. Setelah jiwa dan pikirannya kembali, Asha memutuskan untuk masuk kembali ke dalam kamar. Ia juga menutup jendela dan gordennya. Dibaringkannya tubuhnya ketika ia duduk di atas ranjang. Tak lupa, ia juga mematikan lampunya dan mulai memejamkan matanya berharap ia tidak mendapatkan mimpi buruk. *** Beberapa kali suara alarm terdengat dari kamar Asha, tetapi pemiliknya seperti batu yang hanya diam tidak bergerak ketika alarm itu berbunyi. Tangan Asha mulai meraba-raba mencari ponselnya yang diletakkan di atas nakas. Ia menyipitkan matanya ketika ia melihat layar jam yang ada di ponselnya. “Gosh!” Mata Asha terbelalak melihat jam yang menunjukkan pukul setengah sembilan pagi. Ia langsung berdiri lalu berjalan terburu-buru ke kamar mandi. Biasanya Asha butuh waktu lama untuk mandi, tetapi sekarang karena ia sudah terlambat maka ia membersihkan dirinya dengan cepat. “Kenapa gue bisa kesiangan kayak gini, sih,” gerutu Asha ketika ia baru saja keluar dari kamar mandi. Ia hanya memakai sedikit sunscreen dan bedak ke wajahnya dan lip tint ke bibirnya. Saat ini, ia sedang terburu-buru dan tidak ada waktu untuk merias wajahnya. Setelah selesai semuanya, Asha segera keluar dari kamar dan berpapasan dengan Rendra. Asha mendekati Rendra lalu menyapanya, “Pagi, Rendra.” “Pagi,” balas Rendra. “tumben baru keluar jam segini?” tanya Rendra. Keduanya mulai berjalan menuju lift. “Iya, tadi kesiangan, untung aja masih jam sembilan kurang, kalau gue bangun jam sembilan aja, udah, deh, gue ditinggal sama kalian.” Pintu lift terbuka dan mereka berdua pun masuk ke dalam lift. “Tidur malem, ya?” “Nggak, malahan gue tidur awal, mungkin gue capek banget ya kemaren.” “Hmm, bisa jadi, sih, terus kemarin juga lo sedikit kehujanan ‘kan.” “Nah, iya, mungkin gara-gara itu juga.” “Tapi, biasanya kalau orang-orang habis kehujanan tuh sakit atau flu gitu kok lo beda ya?” tanya Rendra heran. “Gue juga gak tahu bisa gitu. Mungkin juga karena biasanya gue susah banget buat tidur terus pas disini ngerasa tenang banget, jadi tidur gue nyenyak banget,” jelas Asha yang memikirkan kemungkinan lain. “Bisa, sih, gue juga kalau disini tidur jadi nyenyak banget.” “Tuh, kan, Bali itu memang cocok jadi tempat istirahat,” seru Asha bersemangat. Mereka sudah sampai di lantai satu lalu jalan menuju lobi. Disana tim Wedanta Tour sudah bersiap bersama para peserta. Asha bergabung ke dalam rombongan, sedangkan Rendra, ia memberikan pengarahan kepada peserta tour. Hari ini mereka akan pergi ke destinasi selanjutnya, yaitu Kintamani. Sekarang, mereka semua sedang berada di jalan. Kali ini Asha duduk bersama dengan Tasya. “Teman kamu kemana, Tas?” tanya Asha yang biasanya melihat Tasya selalu bersama temannya, kini ia malah duduk bersama Asha. “Itu di belakang. Kayaknya dia cinta lokasi, deh, sama cowok itu.” Tasya melirik pria yang berada di samping temannya. Asha yang penasaran ikutan melirik ke arah pria itu lalu. “Oh, gitu.” “Iya, sebel banget, deh, aku jadi dikacangin kalau ada cowok itu,” omel Tasya. Tangannya ia sedekapkan. “Yang lagi kasmaran memang suka kayak gitu, serasa dunia milik berdua aja.” “Yang lain ngontrak ya, Mbak.” Tasya dan Asha tertawa mendengar ucapan Tasya yang merupakan lanjutan dari ucapan Asha. “Iya, bener banget,” kata Asha. Ia berusahan untuk menghentikan tawanya. Mereka berdua lanjut mengobrol sampai tidak terasa bus mereka sudah sampai di Kintamani. Asha dan Tasya turun bergantian, mereka mulai menjelajah tempat-tempat yang ada di kawasan Kintamani ini. Asha dan Tasya melangkah ke arah Desa Penelokan agar bisa melihat dengan jelas Gunung Batur dan Danau Baturnya. Asha memilih tempat ini karena merupakan salah satu tempat yang sering dikunjungi oleh wisatawan, udaranya yang sejuk, serta terdapat banyak restoran buffet dengan akses langsung untuk melihat pemandangan Gunung Batur dan Danau Batur dari ketinggian. Setelah cukup puas berada di Desa Penelokan, mereka berdua melanjutkan perjalanannya menuju Danau Batur. Danau ini terletak di lereng Gunung Batur. Danau ini juga berbentuk bulan sabit ketika dilihat dari ketinggian, selain itu, Danau Batur juga disebut sebagai kaldera terindah di dunia oleh sebagian besar para wisatawan. Seperti biasa jika ada sesuatu yang menarik matanya, ia akan memotret pemandangan itu dengan kamera ponselnya. “Mbak, mau nyewa perahu gak?” tanya Tasya. Ia melihat perahu yang ditumpangi oleh wisatawan. “Gak, deh, kemarin udah.” “Oh, oke, deh, Mbak.” Asha tersenyum menanggapi. Mereka berdua pergi dari tempat tersebut dan selanjutnya berjalan menuju Gunung Batur. Gunung Batur ini merupakan salah satu gunung aktif dan tertinggi kedua dari Gunung Agung. Hamparan bebatuan hitam bekas Gunung Batur meletus menjadikan tempat ini sangat menarik. Sering juga lokasi ini dijadikan sebagai tempat pemotretan pre wedding. Asha berjalan sedikit ke depan agar mendapatkan foto yang maksimal. Ia mencoba berbagai angle untuk bisa melihat dari berbagai perspektif. Saat Asha sibuk dengan urusan memotretnya, Rendra datang menghampiri mereka berdua. “Kalian lagi ngapain?” tanya Rendra kepada Tasya yang sedang melihat aktifitas Asha di depannya. “Lagi lihat-lihat pemandangan disini, Mas,” jawab Tasya. “kenapa, Mas?” “Oh, nggak, cuma nanya aja.” Tasya mengangguk-anggukan kepalanya mendengar jawaban Rendra. “Eh? Kok Mas Rendra ada disini?” tanya Asha. Ia berbalik ketika mendengar Tasya sedang berbicara dengan seseorang. “Iya, nih, tadi kebetulan lewat sini terus lihat kalian berdua.” “Oh... gitu.” Asha mengangguk. “Mas mau bareng jalan sama kita?” “Nggak, deh, takut ganggu juga.” “Loh, nggak kok, ya kan, Tas?” Asha menatap Tasya. “Iya, Mas, gabung aja,” ajak Tasya meyakinkan. Rendra tersenyum lalu menjawab, “Makasih ya udah nawarin, tapi tadi dipanggil sama tim buat ngurusin suatu hal.” “Oh, gitu, ya udah, gak apa-apa.” Asha tersenyum maklum. “Kalau gitu saya duluan ya,” pamit Rendra kepada Asha dan Tasya. Kini hanya ada mereka berdua. “Jadi, kita mau kemana lagi?” tanya Asha semangat. “Kemana ya.” Tasya berpikir sejenak. “Mbak, bawa baju ganti gak?” “Gak bawa.” “Yah, padahal saya mau ngajak ke pemandian.” “Disini ada pemandian?” tanya Asha. Ia tidak tahu bahwa ada pemandian di Kintamani. “Iya, pemandian air panas ada di Desa Toya Bungkah.” “Sayang banget.” “Atau mau ke Pura Ulun Danu Batur? Tapi dari sini jauh banget.” “Mau istirahat di danau aja gak?” tanya Asha. “Boleh, deh.” Akhirnya mereka berjalan menuju Danau Batur kembali Sebelum sampai di danau, mereka berdua mendapatkan info di grup tour bahwa lima belas menit lagi mereka akan beralih menuju destinasi berikutnya. Asha dan Tasya segera mengganti arah menuju tempat titik kumpul tadi. Di depan sana Rendra dan yang lain sudah berkumpul. Asha dan Tasya segera bergabung bersama mereka. Tim Wedanta yang sudah me-list semua peserta dan sudah berkumpul semuanya memberitahu Rendra hal tersebut. Bus datang tepat di hadapan mereka. Semua peserta tour mulai naik ke dalam bus. Setelah semuanya masuk dan bus mulia melaju, Rendra mengambil mic dan berdiri di depan. “Teman-teman, setelah dari sini kita akan menuju Tampak Siring Bali. Saya mau bertanya, apa kalian bawa pakaian ganti? Karena di sana ada sebuah mata air yang biasa digunakan sebagai pemandian dan ritual melukat.” “Sudah, Mas,” jawab peserta tour kecuali Asha. Ia hanya melongo karena lupa tidak membawa pakaian ganti, padahal semalam ia sudah menyiapkannya. Pantas saja tadi Tasya nanya pakaian ganti, pikir Asha. “Baik, kalau begitu selamat menikmati perjalanan,” tutup Rendra. Ia meletakkan kembali mic ke tempatnya lalu duduk di kursi belakang supir. Perjalanan memakan waktu kurang lebih empat puluh menit untuk bisa sampai di Tampak Siring Bali. Di dalam bus, peserta tour mulai lebih akrab satu sama lain. Mereka mengobrol dan bahkan bernyanyi bersama untuk memecah keheningan. Lagu yang diputar mengiringi mereka bernyanyi. Tak terasa mereka akhirnya sampai di Tampak Siring Bali. Bus berhenti dan peserta tour turun dari bus. Mereka menuju Pura Tirta Empul Tampak Siring Bali, banyak juga wisatawan yang datang kesini, tetapi tidak sebanyak saat weekend. Pura Tirta Empul ini dibagi menjadi tiga bagian, yakni Jaba Pura, Jaba Tengah, dan yang terakhir Jeroan. Di bagian Jaba tengah terdapat sebuah kolam yang mempunyai pancuran sebanyak tiga puluh tiga pancuran. Di sinilah para wisatawan biasanya melakukan aktifitas penyucian oleh masyarakat atau yang sering disebut Melukat. Tasya dan yang lainnya segera mengganti baju mereka dengan kain kamen. Untuk mengikuti ritual tersebut para wisatawan harus mengikuti aturan yang ada, yaitu dengan memakai kain kamen ketika ritual tersebut berlangsung. Asha yang tidak membawa pakaian ganti hanya berdiri melihat mereka di pinggir kolam. Matanya menyiratkan ia ingin sekali mengikuti ritual tersebut. Rendra yang baru datang melihat Asha berdiri sendirian segera menghampirinya. “Lo gak ikut ritualnya?” tanya Rendra yang baru saja sampai dan berdiri di samping Asha. “Gue gak bawa pakaian ganti,” jawab Asha murung. “Kok gak bawa?” “Gue lupa bawa, padahal udah gue siapin semalam.” “Oh,” jawab Rendra berhenti sebentar memandangi orang-orang yang sedang berendam. “Kalau lo mau gue ada kaus satu lagi, lo bisa pakai baju gue.” Asha segera menoleh ke arah Rendra. “Beneran?” “Iya.” “Oke!” Mata Asha berbinar. “Gue ganti pakai kain kamen dulu ya. Btw, lo juga ikut ritual itukan?” “Gak tahu, lihat nanti aja.” “Kok gitu, sih, kalau lo gak ikut karena gak ada baju ganti lagi, gue juga gak jadi ikut.” “Gue ada kok baju.” “Kalau gitu ikut dong.” “Males, ah.” “Ih, ayo ganti, Ren,” paksa Asha menarik lengan Rendra. “Iya iya. Ini lo mau ganti baju bareng apa gimana?” Rendra menatap tangan Asha yang menarik lengannya. “Enak aja. Sendiri-sendiri, lah.” “Gue kira bareng.” Rendra tertawa terbahak-bahak. “Udah, ah, buruan. Gue duluan ya.” Asha pergi ke kamar ganti. Rendra juga masuk ke kamar gati khusus untuk laki-laki. Beberapa menit kemudian Asha dan Rendra keluar dari kamar ganti mengenakan kain kamen yang terlilit ditubuh mereka. Mereka berdua perlahan-lahan masuk ke dalam kolam lalu berjalan menuju pancuran. Pancuran yang ada di kolam ini memiliki nama masing-masing antara lain adalah empat belas pancuran disebut dengan Pancuran Tirtha Pembersihan, dua Pancuran Tirta Pelebur Kutukan dan Sumpah serta enam pancuran Tirtha Penyakit Berat dan Tirtha Upakara. Sesuai dengan namanya, masing-masing pancuran meiliki fungsi dan manfaatnya masing-masinng. Asha dan Rendra mendapat gilirannya. Mereka berdua berdiri bersampingan di depan pancurannya masing-masing. Dalam melakukan aktivitas ini wisatawan harus mengikuti tata cara yang berlaku. Asha dan Rendra meletakkan canang di atas pancuran lalu menangkupkan kedua tangan sebagai proses ritual dan mulai meminta permohonan atau menyampaikan doa. Mereka juga memejamkan kedua matanya. Selesai berdoa, mereka berdua bergeser ke tempat yang lain agar wisatawan lain bisa melakukan ritual tersebut. Asha dan Rendra berjalan ke tepi kolam. “Mbak, Mas mau saya fotoin gak?” tanya Tasya yang berdiri di tepi kolam dan sudah mengganti pakaiannya. “Boleh, Tas.” “Pose yang bagus ya.” Tasya mengarahkan kameranya kepada Asha dan Rendra. “Jangan jauh-jauhan dong, jadi gak masuk frame,” kata Tasya. Mereka berdua saling mendekat, Asha maju ke depan sedikit dan bahunya menempel di d**a Rendra yang telanjang. “Nah gitu dong, jadi masuk frame kan,” ucap Tasya sambil cekikikan. “Udah belum, Tas?” tanya Asha tak sabar. “Belum. Coba saling tatap, deh, kayaknya bakalan bagus,” ujar Tasya yang berniat usil kepada mereka berdua. Rendra dan Asha mengikuti dengan patuh perkataan Tasya agar cepet selesai. Asha menatap mata Rendra yang berwarna coklat muda itu. Matanya yang jernih membuat Asha ingin menyelam lebih dalam ke dalam mata itu. “Coba hadap-hadapan terus tangan Mas Rendra pegang lengannya Mbak Asha,” titah Tasya seolah dirinya fotografer profesional. Asha dan Rendra kini saling berhadapan dan tangan Rendra berada di atas lengannya sesuai dengan perintah Tasya. Tasya segera memotret mereka berdua beberapa kali sampai ia puas dengan hasilnya. “Udah, bagus banget ini,” ucap Tasya. Asha naik terlebih dulu dibantu Rendra di belakangnya setelah Asha naik dilanjut dengan Rendra yang juga naik. “Nanti kirim ke Mbak ya, Tas,” ucap Asha. “Siap.” Tasya memberi hormat kepada Asha. “Kita ganti baju dulu ya,” ucap Rendra kepada Tasya dan dijawab olehnya dengan anggukan. Rendra berjalan mengambil tasnya lalu memberikan kaus berwarna putih kepada Asha. “Thank’s, Ren.” Asha mengambil baju yang dikasih oleh Rendra. Ia segera masuk ke kamar ganti begitu juga dengan Rendra. Selesai berganti pakaian, Asha dan Rendra kembali berjalan-jalan di sekitar pura. Beberapa kali mereka berhenti hanya untuk sekadar mengambil foto. Asha yang mengenakan kaus Rendra yang kebesaran di tubuhnya terlihat sangat nyaman. Ia bisa merasakan aroma Rendra di setiap detiknya. “Bentar, Ren,” ucap Asha kepada Rendra yang sudah berjalan di depannya. “Kenapa?” Rendra berhenti dan menoleh ke arah Asha. “Fotoin gue disini ya,” pinta Asha. “Oke.” Rendra menghampiri Asha lalu mengambil kamera yang ada di tangan Asha. Asha mulai berpose di depan sebuah pura. Ia terlihat bahagia ketika Rendra memotret dirinya. Selesai Rendra memotret, Asha menghampiri Rendra untuk melihat hasil fotonya. Mereka berdua berjalan kembali. Asha melihat ke sekelilingnya penuh minat. Ia banyak bertanya tentang ini dan itu kepada Rendra dan Rendra dengan senang hati menjawab semua pertanyaan yang diajukan oleh Asha. Rendra mengeluarkan ponsel dari sakunya ketika ponselnya berbunyi. Ia melihat isi pesan itu, timnya memberitahu bahwa bus sudah datang, timnya juga sudah mengirim pemberitahuan kepada peserta tour. Saat itu juga Asha mendapatkan pesan tersebut. Mereka kemudian berjalan menuju titik kumpul mereka tadi. Satu-persatu peserta yang baru saja datang ke titik kumpul itu segera naik ke dalam bus, begitu juga dengan Asha yang setibanya di sana segera naik ke dalam bus. “Eh, Mbak, bukannya tadi bilang gak bawa baju ya?” tanya Tasya ketika Asha baru saja duduk di kursinya. “Iya.” Asha tersenyum canggung. Tak mau bertanya lebih dalam, Tasya hanya menganggukan kepalanya saja. Bus mulai melaju menuju destinasi wisata selanjutnya, yaitu Pantai Jimbaran. Sekitar satu jam setengah mereka akan sampai di Pantai Jimbaran. Di perjalanan hanya terdengar suara musik yang diputar oleh sang supir, sedangkan para peserta tertidur lelap selama di jalan. Asha yang tidak tertidur hanya memandang jalanan yang dilalui oleh bus. Tak terasa bus mereka sudah sampai di tempat parkir Pantai Jimbaran. Peserta tour turun dari bus dan berkumpul sebentar mendengarkan penjelasan Rendra. beberapa menit kemudian mereka semua sudah berpencar. Asha mulai berjalan-jalan di pinggir pantai. Pantai Jimbaran memiliki pasir yang putiih kekuning-kuningan dan tekstur yang halus. Di sekitar pantai juga sangat bersih karena selalu dibersihkan oleh para petugas kebersihan. Di sepanjang pinggir pantai juga Asha mellihat banyak restoran, hotel, dan spa. Sebentar lagi matahari akan terbenam, Asha duduk di atas pasir untuk menikmati momen matahari tenggelam itu. Ia memandang jauh ke depan memikirkan segala hal. Saat itu ponselnya berbunyi menandakan ada sebuah pesan yang masuk. Asha membuka pesan itu dan membacanya. Isinya, peserta tour akan melaksanakan makan malam seraya menikmati sunset. Setelah mendapat pesan tersebut, Asha segera berdiri lalu menepuk-nepuk, membersihkan celananya dari pasir yang menempel. Cukup lama Asha mencari restoran tersebut, akhirnya ia menemukannya. Lagi-lagi, Asha menjadi orang terakhir yang datang dari semua peserta tour. Dilihatnya semua sudah sudah duduk. Kali ini peserta duduk dengan keluarga atau temannya masing-masing. Asha kebingungan ia akan duduk dengan siapa. Dilihatnya Tasya yang sudah duduk dengan teman dan gebetan temannya itu. “Sha!” Seseorang memanggil namanya Asha. Asha mengarahkan pandangannya mengikuti sumber suara dan dilihatnya Rendra yang sedang melambai-lambaikan tangannya ke arah Asha. Asha tersenyum lalu segera berjalan menghampiri Rendra. “Duduk, Sha,” kata Rendra. Asha duduk di depan Rendra. Melihat mereka hanya berdua dalam satu meja Asha bertanya, “Kok cuma kita berdua?” “Iya, tadinya gue mau sama tim, tapi di mejanya udah penuh jadi gue sendiri, deh, terus tadi lihat lo gue panggil aja.” “Oh gitu.” Asha mengangguk. “Lo darimana, deh?” tanya Rendra. “Gue tadi jalan-jalan di tepi pantai,” jawab Asha sambil meminum minumannya. Pelayan datang menghampiri mereka seraya membawa hidangan. Mata Asha berbinar ketika melihat masakan yang dihidangkan oleh pelayan tersebut. Masakan yang dihidangkan merupakan seafood bakar yang menjadi ciri khas di pantai ini. Hidangan laut ini disajikan dengan nasi, sayur plecing, sambal, dan es kelapa muda. Matahari mulai terbenam, suasana sunset sambil menyantap hidangan seafood bakar, desiran lembut ombak di pantai dengan pasir putihnya membuat kesan romantis bagi orang-orang yang melihatnya. Asha menyantap makanannya antusias begitu juga dengan Rendra. mereka melihat sunset itu bersama-sama seperti sepasang kekasih jika orang lain yang melihatnya. “Makanannya enak banget,” ucap Asha. “Lo suka seafood ya?” “Suka banget.” “Lihat, deh, sunsetnya. Mau gue fotoin gak?” tanya Rendra sambil memakan makanannya. “Yah, tapi ponsel sama kamera gue lowbat,” jawab Asha penuh sesal. “Kalau gitu pakai kamera ponsel gue aja.” Rendra mengeluarkan ponsel di saku celananya. Asha berpose seolah-olah sedang makan seraya menikmati sunset di depannya, angin yang menerpa rambutnya menambah kesan natural ketika Rendra memotonya. Asha merubah gayanya menjadi ia menatap sunset itu seraya tersenyum. “Mau lihat gak?” tanya Rendra setelah selesai memotret Asha. “Mau,” jawab Asha. Rendra memberikan ponselnya kepada Asha agar bisa melihat-lihat hasil fotonya tadi. “Nanti kirim ke gue ya fotonya,” ucap Asha. “Oke.” “Gue lihat-lihat selama di sini kok lo jarang foto ya?” tanya Asha. “Gue jarang banget foto yang ada muka gue nya, palingan gue foto pemandangannya aja,” jawab Rendra. “Oh, gitu. Eh, lo punya **?” tanya Asha pura-pura tidak tahu. “Punya, kenapa?” Rendra balik nanya. “Nggak, katanya lo suka foto pemandangan ‘kan gue pengen lihat aja hasil foto lo.” “Mau lo kasih kritik dan saran?” tanya Rendra seraya tertawa kecil. “Ya nggak lah, gue bukan pengapresiasi seni.” “Siapa tahu aja kan.” “Kalau lo gak ngasih tahu juga gak apa-apa kok, Ren.” “Narendrayaw,” ucap Rendra. “Apaan itu?” “Itu username akun gue, Sha.” “Oh.” Asha tertawa kecil. “Nanti gue follow, deh.” “Gue gak mau follow balik ya.” “Loh?” “Gue kalau mau follow balik orang tergangtung mood gue,” jelas Rendra sambil tertawa. “Jadi lo orangnya moodian ya. I see,” ucap Asha sambil tersenyum dan mengangguk-anggukan kepalanya. “Nggak lah, itu bohongan. Lo kok percaya aja?” “Gue orangnya gak gampang percaya, Ren. Gue cuma ngikutin orang-orang yang mau bermain-main sama gue,” ujar Asha sambil meminum minumannya dengan anggun.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD