Bagian 2

1053 Words
"Terus lo mau diem, Bar?" "Ya enggak lah! Gue manggil lo kesini kan buat minta bantuan." Pano hanya cengengesan tak jelas. "Gue kira, lo cuma curhat, Bar," "Terus, kalo suatu saat lo pisah, lo nggak mikirin gimana Reno?” Mendengar pertanyaan Pano, Bara mendengus lalu terkekeh sinis. "Ngeri gue lama-lama sama lo, Bar!" "Gue udah mikirin ini matang-matang, No. Lagi pula, anak gue malah nganggep adik bini gue emak nya," Mata Pano membulat. "Heh! Gimana bisa gitu?" Bara menceritakan semua nya pada Pano, termasuk sikap istri nya yang tadi sore di ungkapkan Reno pada nya. Pano mengangguk mengerti. "Oke, jadi kedepannya, kita enggak bakal beresiko sama mental anak lo kan? Oh iya Bar... Selama kita jalan in rencana, usaha in Reno jauh dari jangkauan istri lo, siapa yang tahu kan, nanti Reno dijadiin senjata buat jatuh in lo." "Oke, gue usaha in." "Btw, jadi gimana rencana nya?" Tanya Bara. Pano menjentikkan jari nya. "Itu hal mudah, Bar, sini!" Panggil Pano, agar Bara mendekat padanya. Pano lalu membisikkan rencana yang kedepannya akan dilakukan. Bara bertepuk tangan kecil, otak licik Pano memang sangat berguna di waktu tertentu. "Lo emang orang yang benar-benar bisa gue andelin, No." Pano mengangguk, kemudian tangannya terjulur ke arah Bara. "Apa?" Tanya Bara. "Fortuner satu, ya?" Balasnya cengengesan. "Please, gue mau pacaran nih ntar malam. Biasalah, Malming Bar, Malming.. ya ya?" Bara mengangguk sekali, lelaki itu lalu berdiri mendekati brangkas di kantornya. Kelima jari nya ia tempelkan di sensor. "Asik! Mobil baru!" Pano memandang berbinar pada lebih dari 10 kunci yang di gantung dengan rapi. "Yang item ya?" "Hm." "Oke! Thanks, Bar. Gue pergi dulu." Pano berjalan meninggalkan Bara yang masih termenung di dalam ruang kerja nya. Lelaki itu jadi menyesali keputusannya 7 tahun yang lalu. Awalnya, dia kira pilihan sang Mama pasti yang terbaik. Seharusnya, Bara mengikuti kata hati nya untuk terus menunggu peri kecil itu. Ah, dia jadi merasa bodoh sekali. Melepaskan berliannya demi sebiji cabai. Tapi, ya sudahlah. Nasi sudah menjadi bubur. Toh, tinggal menunggu sebentar lagi, semuanya akan selesai. Dan Bara, akan kembali mengejar peri kecilnya. "Bisa-bisa nya 7 tahun gue di bohong in, Anjir!" Umpat Bara. *** "Dek, Mbak titip Reno ya? Ada meeting jam 7 nanti. Kalo gak sempat jemput, Reno tidur sini aja ya?" Ria menyerahkan Reno pada Dira. Wanita itu akan pergi bersama kekasihnya dengan alibi pekerjaan. Dira mengangguk. "Iya Mbak, hati-hati. Gak usah ngebut Mbak!" Setelah melihat mobil yang di kendarai Ria menjauh. Dira mengangkat Reno dalam dekapannya. Detik itu juga, sifat manja Reno keluar. Bocah laki-laki itu segera menyusupkan kepala nya di leher kiri Dira. Menghirup dalam-dalam aroma coklat kesukaan nya. Memang, sejak sering tinggal bersama Tante nya. Reno yang tadi nya tidak menyukai Coklat jadi sangat suka. Begitu pun, Papa Reno.. "Mama bohong nte. Mama pergi sama Om Romi." Ucapnya kecil, tapi masih bisa di dengar jelas oleh Dira. Deg Romi siapa? Tanya Dira dalam hati. Dira segera menepis pikiran negatifnya itu, mungkin rekan kerja Mbak Ria. "Ayo, nte buatin s**u dulu ya? Nanti kita main di kamar aja. Oke?" "OKE! Let's go!" Reno tertawa senang saat dirinya dibawa berlari oleh Dira. "Lagi nte, ngebut! Ayo nte ngebut!" Ucapnya kencang. Wina, Ibu Dira sekaligus Oma Reno menggeleng melihat tingkah anak bungsu nya. "Ra! Jangan lari-lari. Nanti jatuh lho!" Mendengar suara sang Ibu. Dira berhenti berlari kemudian berjalan seperti biasa. "Ah Oma gak seru!" Protes Reno. "Kamu nih lho, Oma bilang in kok ngeyel." Ucap Wina sembari mengelus sayang pucuk kepala Reno. "Ria ke mana, Ra?" "Ada meeting, Bu. Kata nya, nanti kalo gak dijemput, Reno suruh menginap sini." Balas Dira. Dira menurunkan Reno di salah satu kursi makan dekat dapur. Kemudian kaki nya melangkah ke arah meja kompor, lalu memasak air hangat untuk membuat s**u Reno. "Nte! s**u Coklat!" Kata Reno, bocah itu memang kadang ingin s**u Coklat kadang ingin s**u Vanila. Labil ya, kaya kamu wkwk.. Usai menuangkan air hangat ke dalam dot Reno. Dira mencicip sedikit untuk memastikan tingkat kehangatan s**u. Kan bahaya kalo masih panas terus dikasih ke Reno. "Ayo, ke kamar nte." "Dira ke kamar, Bu." Wina mengangguk. "Iya!" Belum sampai di kasur, handphone milik Dira berdering menandakan ada panggilan masuk. Lho, Mas Bara? Batin Dira. Gadis itu segera menerima telepon. "Hallo, Mas? Kenapa?" "Reno sama kamu, dek? Kok dirumah gak ada orang?" "Iya, Reno sama aku Mas dirumah. Mbak Ria ada kerjaan kata nya. Jadi, Reno di titipin ke sini." "Oh, sebentar lagi kerjaan Mas selesai, sekitar 30 menit lagi Mas nyusul ke sana." Setelah nya, Bara memutus sambungan telfon. "Papa ya?" Tanya Reno. Dira mengangguk sembari tersenyum tipis. "Iya, bentar lagi Papa kesini." *** "Dek? Mas masuk ya?" Bara mengetuk 2 kali pintu kamar Dira yang tertutup. "Iya Mas, masuk aja. Gak di kunci!" Sahut Dira. Bara masuk dengan wajah lelahnya. Kemeja yang ia gulung hingga ke siku serta dasi yang sudah tak terpasang rapi lagi. Namun, sayangnya itu malah membuat Dira semakin jatuh pada pesona sang kakak ipar. "Reno, gak kangen Papa?" Tanya Bara sembari merentangkan kedua tangannya. Reno yang asik bermain lego, segera menyambut sang Papa. Kedua anak dan ayah itu saling berpelukan mesra. Dira jadi terharu. Mereka sangat akrab, beda dengan diri nya yang bahkan seperti orang asing dengan ayah nya. "Udah minum s**u?" Bara membawa Reno duduk di pangkuan nya. Lelaki itu duduk tepat di sebelah Dira yang masih terpaku. "Udah Papa, Reno minum s**u Coklat, iyakan nte?" "Nte! Kok nte melamun sih?" "Eh, a-apa? Duh maaf Reno. Tadi bilang apa?" Tanya Dira. "Reno minum s**u Coklat kan nte?" "Iya, Reno anak pintar minum s**u Coklat." Sahut Dira. "Papa harus coba s**u Coklat, Pa!" Sambung Reno semangat. Dira melirik pada Bara. "Reno, Papa gak suka s**u Coklat, sayang.." "Siapa bilang? Mas suka kok s**u Coklat." Jawab Bara cepat. "Hah? Sejak kapan, Mas? Bukannya Mas gak suka banget ya?" "Sejak dulu," setelah ketemu kamu. Sambung Bara dalam hati. Gak mungkin kan dia ngomong se-frontal itu di depan Dira. Nanti, dikira yang enggak-enggak lagi. Dira mengangguk, gadis itu kemudian melirik ke arah jam dinding. "Udah jam 9, ayo tidur dulu." Titah Dira pada Reno. "Tapi, mau bobo sama Papa sama Nte ya? Boleh ya?" "Maaf ya sayang, gak bisa.." Dira mencoba memberi pengertian pada Reno. Bocah lelaki itu cemberut. "Kenapa? Boleh kan pa?" Tanya nya. "Boleh." Kata singkat itu mampu membuat Dira diam membeku, hingga sebuah tangan kecil menggapainya barulah ia sadar.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD