Menikah untuk Disakiti

3140 Words
Tanpa disadari, pernikahan Fiona dan Rafael sudah 1 tahun. Seperti yang dikatakan oleh pria itu setahun yang lalu. Dia tidak akan tinggal bersamanya karena mereka menikah bukan karena cinta. Meskipun demikian, Fiona tidak mempermasalahkan hal itu asalkan ibu mertuanya masih mau membayar uang untuk tagihan rumah sakit Pamannya. Rafael telah berjanji padanya bahwa dia akan pulang malam ini, tetapi waktu sudah menunjukkan pukul 12, dan dia masih belum terlihat. Apakah dia tidak mengingkari janjinya lagi? Wanita itu mengencangkan cengkeramannya pada payung sedangkan matanya menujukan sebuah bayangan ketidakberdayaan. Tiba-tiba cahaya terang melintas di kejauhan. Sebuah mobil mewah muncul. Rafael! Itu mobilnya. Fiona bergegas dengan penuh semangat. Cit! Pakaian Fiona basah karena percikan air ketika mobil itu berhenti. Meskipun demikian, perempuan itu tidak menyadarinya ketika dia dengan riangnya berkata, “Rafael, kamu…” Sebelum dia menyelesaikan kata-katanya, pria itu turun dari mobil dengan marah. Wajah yang tampan dan sempurna itu terlihat dipenuhi dengan kebencian yang tak terlukiskan di antara kedua alisnya. Matanya yang pekat menatap gadis itu dengan kilatan yang kejam. “Apa kamu tidak tahu cara bersembunyi?” “Aku…” Fiona merasa gugup ketika berhadapan dengan pria itu. Dia adalah suaminya dan Tuan yang mengendalikan nasibnya. Melihat Fiona yang gemetaran, Rafael pun menahan amarahnya dan menekan nada suaranya saat dia bertanya, “Kenapa kamu masih berdiri di sini? Kamu ingin mempermalukan aku?” Setelah mengatakan itu, dia pun masuk ke dalam rumah. “Baiklah,” Fiona menjawab dengan panik. “Aku… Aku akan membawakan payung untukmu.” “Kamu tidak perlu melakukannya. Uruslah dirimu sendiri!” Suara Rafael menyiratkan sarkasme. Dia menggantungkan blazernya yang basah kuyup karena hujan, lalu dia melepaskan dasinya dan membuka kancing kemejanya. Setelah itu, dia melototi wanita itu dengan rasa malas. “Katakan! Kenapa kamu meminta aku untuk datang ke rumah?” Fiona mentapnya ketika dia menjawab dengan lembut. “Kamu sudah 1 bulan tidak pulang ke rumah. Kita adalah pasangan suami istri, lebih baik jika kamu pulang.” Tatapan Rafael meredup dan dia memandang Fiona dengan penuh harapan di hatinya. “Kamu tidak mungkin merindukan aku, iyakan?” “Tidak, bukan itu.” Fiona meremas tangannya. Pernikahan antara dia dan Rafael telah menjadi transaksi belaka sejak awal. Sudah menjadi takdirnya menikah untuk disakiti. Bantahan cepat Fiona membuat Rafael geram. “Lalu, kenapa kamu ingin aku pulang?” Suaranya menjadi sangat dingin. Fiona pun menjadi kaku saat mencengkeram ujung bajunya dengan erat. “Aku… Aku…” “Jika tidak ada apa-apa, aku pergi.” Rafael tampak sedikit kesal. “Aku tidak ingin menyia-nyiakan malamku untukmu. Kau, ganti bajumu dan pergilah tidur!” Dia tetap saja tidak berganti pakaian meski semua pakaian yang dikenakannya basah. Bahkan, kesehatan wanita ini sudah lemah. Sungguh bodoh! Tanpa ragu-ragu, Rafael berbalik untuk pergi. Tepat ketika dia berjalan ke pintu masuk, terdengar sebuah suara gemetar dari belakang. “Rafael, t-tunggu.” “Apa yang kamu inginkan sekarang?” Rafael berbalik dengan gelisah. Kemudian, bola matanya tiba-tiba menyusut. Tangan Fiona gemetar saat dia membuka kancing pakaiannya. “Tahukah kau apa yang harus kau lakukan?” Fiona berkata dengan gemetar, “Aku tahu. Kita… Kita berdua adalah suami istri. kita sudah menikah, jadi kita harus…” Rafael berhenti mendengarkan. Dia berjalan mendekat, dan membopongnya ke kamar tidur. Di dalam pelukkan lengannya, Fiona menghela napas lega. Dengan cara ini, dia dapat menyelesaikan apa yang diinginkan oleh mertuanya, dan dia akan pergi setelah anak itu lahir. Buk! Fiona terlempar ke atas tempat tidur, merasa siap akan apa yang terjadi. Tapi, kenapa hatinya masih terasa perih? Dia tidak tahu mengapa dia merasa begitu sedih. Air mata menggenang di matanya dan menetes tanpa disadarinya. Dia membuka matanya dan melihat Rafael melototinya dengan amarah yang bergejolak. "Mengapa kamu menangis? Apa itu karena Adit lagi?" Rafael mencengkeram kerah Fiona. “Aku…” Nama pria itu masih tersemat di hati Fiona dan Rafael mengetahuinya sekarang. Dia menjadi gugup, “Aku… Aku… Hanya…” “Hanya apa?” bentak Rafael. “Jangan lupa. Adit yang kamu pikirkan selama ini sudah memiliki tunangan dan mereka kan menikah!” “Aku tahu! Fiona gemetar. “Hubungan antara aku dan dia hanyalah masa lalu dan aku tidak melakukan apa-apa.” “Ya, kamu memang tidak melakukan apa-apa. Kamu hanya memikirkan orang lain sepanjang hari sementara kamu menjadi Mrs Rafael.” Fiona menatapnya dengan rasa takut di matanya. Gelombang pikiran negative yang tak dapat dijelaskan oleh kata, melanda hati Rafael saat dia memandangi istrinya seperti kucing kecil yang ketakutan. Dia berbalik dan mendengus. “Lupakan saja. Aku masih ada urusan.” “Rafael.” Fiona memeluknya dari belakang dengan gugup. “Bisakah kau tinggal di sini malam ini?” Rafael mengurai pelukannya dan menatapnya dengan dingin. “Maaf, aku ada kencan malam ini.” “Bisahkah kamu meminta orang itu untuk datang ke sini saja?” Fiona semakin gugup. Dia menyipitkan matanya. “Permainan apa yang mainkan?” Fiona tersentak karena terkejut, lalu berkata dengan lembut, “Ibumu sudah tahu kau tidak pulang. Dia… Dia mengkhawatirkan kesehatanmu dan menginginkanku untuk memikirkan cara membuatmu tetap tinggal. Jika tidak, dia akan berhenti membayar pengobatan Pamanku.” Fiona menundukkan kepalanya dan tidak berani menatap Rafael. Setelah beberapa saat, terdengar tawa kecil di kamar. “Jadi, karena itulah kamu mencoba menggodaku? Jika bukan karena ayahmu, kau tidak akan melakukan itu.” Perkataan Rafael mengandung isyarat menghina yang tak bisa dijelaskan. Fiona menggigit bibir bawahnya. “Lalu, bisakah kamu…” “Oke. Terserah padamu. Aku akan pulang nanti, tapi aku merindukan para kekasihku.” “Tidak masalah. Kamu bisa membawa mereka ke rumah. Tapi, berhati-hatilah, jangan sampai Pamanmu mengetahuinya,” jawabnya segera. Tidak ada cinta di dalam hubungan mereka. Selama Fiona bisa mengamankan biaya pengobatan Pamannya, dia idak terganggu dengan tindakan Rafael. Rafael mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang. Setelah itu, Rafael memandang Fiona dengan cibiran. “Apakah kamu puas sekarang?” Fiona mengangguk. “Terima kasih.” “Terima kasih?” Rafael berjalan ke arah Fiona dan memegang dagunya dengan kasar. “Aku harap kamu tidak menyesali kata-kata itu.” Satu jam berlalu, bel pintu berbunyi dan Fiona dengan cepat membuka pintu. Seorang wanita cantik dengan riasan yang tebal berdiri di dekat pintu. Fiona mengenalinya. “Bukankah kamu Celine? Mata Fiona terbelalak keika melihat sosok yang dikenalinya. Celine melirik Fiona dengan samar, dan kemudian berkata dengan arogan, “Apakah kamu seorang pelayan di sini? Di mana Rafael?” Pelayan… Ada kilatan rasa malu di mata Fiona, tetapi dia ingin sekali memberikan penjelasan tentang dirinya tetapi dia ingat bahwa mereka membuat perjanjian bahwa pernikahan itu dirahasiakan. Oleh karena itu, dia tidak ingin Celine mengetahui tentang itu. Semenjak Fiona mengetahui perilaku suaminya yang tidak kunjung jatuh cinta padanya. Dia mulai berhenti untuk berharap bahwa pria itu akan mencintainya. Jadi, dia tidak peduli apa pun yang dilakukan pria itu. “Miss Celine, selamat datang.” Fiona menekan emosinya dengan mengabaikannya. Wanita yang bernama Celine itu melenggang dengan gerakan sugestif dan matanya dipenuhi gairah ketika dia melihat Rafael duduk di sofa. “Rafael, kenapa kamu tiba-tiba memanggilku? Aku bahkan tidak punya waktu untuk berdandan sebum datang ke sini.” Celine merosot ke pelukan pria itu. Rafael meletakkan satu tangan di pundaknya sedangkan tangan yang lain mengangkat dagunya. “Jadi, kamu merasa terganggu?” Celine cemberut. “Aku hanya takut kamu tidak menyukaiku tanpa berdandan.” Berdandan? Fiona diam-diam memandangi riasan tebal Celine dan membuang muka. Rafael menyerigai dan menatap nakal. “Aku tetap menyukaimu.” “Kamu pria nakal!” Celine memukul dadanya dengan ringan. Bibir Rafael melengkung ketika dia membungkuk untuk mengangkat tubuhnya. Fiona meringkuk dengan diam. Ekpresinya membuat Rafael tidak senang. Dia mencibir. “Aku ada urusan dengan Celine. Kamu tetap berjaga di luar pintu kamar dan jangan pergi dari sana!” “Hah?” Fiona tercegang. Rafael menyipitkan matanya. “Apa kamu tidak mendengarkanku?” “Iya, aku mendengarkanmu,” Fiona dengan cepat menjawab. Begitu pintu kamar tidur ditutup, Fiona menghela napasnya dan berdiri di depan pintu. Tidak perduli betapa kejamnya Rafael, selama dia ada di rumah dan selama biaya pengobatan Pamannya terjamin. Dia tidak keberatan. Ketika mereka masuk ke kamar tidur, senyum Rafael menghilang. Ekpresinya juga datar ketika dia meleparkan wanita itu ke tempat tidur. Gerakan pria itu kasar dan Celine merasa kesakitan. Alisnya berkerut saat dia mengeluh lembut, “Rafael, sakit.” Rafael memerintahkan dengan lembut. “Berdiri!” “Hah?” Celine tercengang. “Kubilang berdiri! Jangan berbaring di tempat tidur!” Kata Rafael. Itu adalah gagasan yang konyol ketika dia memikirkan tentang bagaimana aroma Fiona akan digantikan oleh wanita di depannya dan dia merasa kesal. Rafael meraih tangannya dan mendorongnya ke sofa. “Duduk.” Tatapan Celine beralih ketika dia mengikuti perintahnya. “Oke, terserah kamu saja.” “Mendesahlah,” dia lalu memerintahkan dengan tenang saat dirinya jatuh ke sofa. Mata Celine langsung berubah menjadi penuh gairah. Rafael sebenarnya memiliki masalah dengan itu. Tampa ragu, gadis itu memberikan segalanya. Meskipun erangan wanita itu memikat, Rafael tidak memberikan tanggapan sama sekali. Dengan cara ini, Rafael ingin melihat seberapa jauh batas toleransinya. Dia yakin istrinya yang baik hati itu tidak mungkin tidak perduli dengan ini. Istrinya, Fiona tidak mungkin tidak perduli ini. Di luar pintu, Fiona mendengar erangan wanita itu. Wajahnya berubah merah karena gusar sedangkan tangannya mencekeramkan bajunya dengan tidak nyaman. Apakah Rafael dengan sengaja membuatnya berdiri di depan pintu untuk mendengarkannya? Fiona tidak menyangka bahwa seorang putri terpandang seperti Celine bisa berbuat seperti itu. Setelah beberapa ketika dia menjadi mati rasa mendengarkan mereka, pintu tiba-tiba terbuka. Rafael menggenakan baju mandi yang longgar dan tampak menyeringai pada Fiona. “Rafael, pelayanmu ini sungguh penurut. Dia benar-benar berdiri di sana tanpa bantahan.” Celine bersandar pada Rafael seolah-olah dia lemah. Pria itu memegangi pinggang Celine tetapi matanya melirik Rafael. Rafael merasakan putus asa menyelimutinya. Wanita yang menjadi istrinya itu sama sekali tidak memperdulikannya. Karena itu, tidak akan ada masalah entah berapa banyak pacar yang dia miliki dan siapa yang dia bawa pulang. Jika bukan karena Pamannya, tidak masalah jika dia tidak pulang ke rumah sekalipun! Semua ini membuatnya dingin. Semenjak keguguran anak pertama mereka, sikap hangat Fiona bahkan sudah tiada lagi untuknya. Bahkan, dia terbiasa dengan sikap playboy suaminya. Lagi pula, perkataan Rafael mengusik pikirannya untuk tidak berharap Rafael akan mencintainya. Dia kembali dipertemukan dengan dokter Adit. Hubungan mereka dulunya dekat tetapi sejak kecelakaan, dia bahkan tidak mengingat Fiona lagi. Pria itu hilang ingatan. Tiba-tiba dia mencengkeramkan pinggang Celine dengan kencang. Wanita itu merasa tidak nyaman tetapi dia tidak berani membantah. Yang dia lakukan hanyalah menatap Rafael dengan bingung. Rafael menatapnya dalam-dalam dan melengkungkan bibirnya dengan manis. Sayang, aku mungkin terlalu keras denganmu barusan. "Pelayanku ini memiliki teknik pijat yang cukup bagus. Kenapa kau tidak meminta dia untuk mencoba membantumu menjadi rileks?” Celine tersenyum manis. “Baiklah, kalau begitu aku ingin mencobanya.” Fiona mendongkak kepalanya dan menatapnya dengan dingin. “Aku…” ‘Rafael, aku ini istrimu bukan pelayanmu! Mengapa kamu begitu kejam?’ Dia bisa saja baik pada semua orang tapi dia tidak ingin merendahkan dirinya untuk melayani kekasih Rafael. “Apakah kamu tidak mau melakukannya?” Rafael melototinya dengan amarah yang membara di bawah tatapannya. Fiona menggepalkan kedua tangannya dengan erat kemudian melepaskan kepalan tangannya dengan perlahan. Dia tersenyum ringan. “Tentu saja, aku akan melayaninya.” "Bagus.” Rafael mencibir. Celine pun berbaring tengkurap di sofa, memperlihatkan punggungnya yang halus dan lembut ketika Fiona mulai memijatnya. “Pijatanmu terlalu lemah. Aku tidak bisa merasakan apa-apa,” gumam Celine dengan malas. Kemudian Fiona memijat lebih keras sebagai jawaban dari Celine yang protes. “Apakah kamu berencana untuk menyakitiku dengan kekuatan seperti itu?” Celine berteriak “Ma-maaf.” Fiona mengurangi tekanannya. Celine menatapnya dengan tidak puas dan berkata pada Rafael dengan manja. “Rafael, teknik pijatan pelayanmu ini tidak menyenangkan. Aku bisa merekomendasikan beberapa ahli pijat yang bagus padamu.” Rafael melototinya ketika dia menatap Fiona. “Kamu dengar itu? Miss Celine berkata teknik memijatmu tidak bagus. Lanjutkan pemijatan sampai dia merasa puas.” “Iya.” Fiona menggertakan giginya dan memelankan gerakan saat memijat. Celine terkekeh. “Rafael, apakah ini terlalu menyusahkan pelayanmu?” “Tidak apa-apa, selama itu membuatmu nyaman, anggap saja itu adalah hasil dari pelayanannya.” Rafael mengedipkan matanya dan menyeringai dengan puas. Celine menatapnya dengan rasa terima kasih. “Kamu sudah sangat baik padaku.” Sebelumnya, Rafael tidak pernah menyentuh Celine dan hal itu membuatnya bertanya-tanya apakah Rafael tampaknya masih memanjakan Celine. “Tentu saja, kamu adalah kekasihku.” Kata Rafael sambil tersenyum. “Dasar pria nakal!” Pertukaran kata-kata di antara mereka sangat inten. Fiona menundukan kepalanya tanpa melontarkan komentar ketika tangannya terus memijat tubuh gadis itu. 40 menit berlalu dan akhirnya satu jam sudah. Fiona merasa tangannya menjadi mati rasa karena dia memijat tanpa henti tetapi dia tidak berani berhenti, selama Celine tidak menghentikannya. Meskipun jari-jarinya mati rasa sampai tidak bisa bergerak lagi, dia menggertakan giginya dan melanjutkannya dengan perlahan. Walaupun Rafael berbicara dengan Celine, dia tetap memperhatikan Fiona sepanjang waktu. Ketika pria itu melihat betapa beraninya Fiona tetap menantangnya, hal itu memicu amarah dalam dirinya. Mengapa wanita ini begitu keras kepala? Tidak bisakah dia meminta keringanan? Rafael merasakan sedikit penyesalan ketika melihat tetesan keringat di kening Fiona. Dia hanya memberikan Fiona sebuah pelajaran kecil tetapi melihat gadis itu lelah dia merasa tersakiti. Meski demikain, Rafael tidak bisa menarik kembali perkataannya. ‘Mengapa Celine tidak mengentikan Fiona? Tidak bisakah Fiona meminta untuk berhenti? Mengapa dia sangat patuh? Dasar gadis bodoh!’ Jari-jari Fiona telah kehilangan semua sensasi sentuhan ketika dia terus bergerak. Tangannya lalu mendadak bergetar dan kukunya menggores punggung Celine. “Aarh!” Celine berteriak. “Ma-maaf,” Fiona memohon maafnya. Plak! Wajah Fiona terayun ke samping. Celine baru saja menampar Fiona tanpa ragu-ragu. Rafael tercengang. Dia meraih tangan Celine sambil menatapnya dengan tajam. "Apa yang kamu lakukan?" Pria itu reflek bergerak kasar dan menyakiti Celine, tetapi dia tidak berani bersuara. Dia belum pernah melihat Rafael begitu menakutkan sebelumnya. Tatapan Rafael seperti serigala yang ingin menerkamnya. Mengapa dia begitu marah? Celine termenung. Mungkinkah karena dia menampar wanita itu? Bukankah dia hanya seorang pelayan? Celine menenangkan dirinya dan mengeluh dengan manja. “Rafael.. Kukunya mencakar punggungku. Kamu tahu bahwa aku harus menunjukan punggungku untuk iklan besok. Jika ada bekas luka, aku… Aku tidak bisa melakukan syuting! Aku hanya merasa panik barusan…” “Kamu bilang kamu panik?” Rafael menoleh untuk melihat Fiona yang berada di posisinya. Pria itu merasakan gelombang emosinya yang melonjak dalam dirinya. Dia menatap Celine dengan dingin, “Jika itu masalahnya, maka kamu tidak perlu pergi syuting besok dan kamu tidak perlu cemas.” “Apa?” Celine mengangkat kepalanya dengan bayang terkejut di matanya. Dia telah menghabiskan begitu banyak waktu untuk mendapatkan iklan ini. Bagaimana dia bisa berkata seperti itu? “Rafael, aku… Aku akui itu kesalahanku, tapi iklan ini…” “Kamu bisa pergi sekarang.” Rafael menolak untuk mendengarkan penjelasannya. Dengan perasaan enggan, dia tidak memahami kesalahan yang membuatnya berada dalam situasi yang menegangkan. “Aku…” Mata Rafael berbinar dengan tajam. “Kamu ingin aku mengulangi perkataanku?” Celine hanya menggertakan giginya dan tidak berani mengatakan apa-apa sambil mengambil tasnya dan pergi. Rafael menatap Fiona dengan perasaan bersalah. “Apakah kamu kesakitan?” Fiona menggelengkan kepalanya dan menatap Rafael dengan tatapan kosong. “Kamu… kenapa…?” Dia tidak bisa memahami mengapa pria itu mengamuk. Apakah Rafael mengamuk karena dirinya? Namun, Fiona tidak bisa mempercayainya. Melihat keraguan Fiona, pria itu mencibir, “Apa? Apakah kamu pikir aku marah karena dirimu?” “Kurasa tidak.” Fiona menjawab dengan santai. Rafael merasakan hatinya sakit dengan respon Fiona. Dia berkata dengan dingin, “Tepat sekali. Aku hanya menjaga citra diriku. Kau itu istriku, Nyonya dari keluarga Leonard. Siapa dia? Berani sekali memarahimu dan menamparmu! Oleh karena itu, aku melindungi martabat keluarga Leonard. Ini bukan tentangmu. Apa kamu paham?” Rafael tidak bisa diprediksi dan karena itu dia tidak ingin tahu alasan yang membuat Rafael mengamuk. Tanggapan Fiona yang patuh membuat Rafael semakin marah dengannya. Dia menarik napas dalam-dalam beberapa kali. Keputusannya untuk tidak pulang ke rumah ternyata benar. Kalau tidak, itu akan mempersingkat hidupnya beberapa tahun. Rafael mendengus. “Sudah larut malam dan tidak ada yang aku bicarakan lagi. Waktunya untuk tidur!” “Baiklah. Rafael, kamu bisa menggunakan kamar utama dan aku bisa tidur di kamar tamu.” Rafael mencibir, “Kamar tamu? Kita adalah suami istri. Apakah perlu tidur di kamar yang terpisah? Bukankah kau telah mengambil keputusan bahwa kita akan tetap bersama. Apakah kamu lupa?” “Aku… Aku mengerti.” Fiona menggertakan giginya dan menundukkan kepalanya. Rafael sudah menduga dengan sikap pemalunya, kini Rafael menyesali keputusannya. Wanita itu meringgkuk di sudut seperti anak kucing. Di bawah sinar bulan, wajahnya terlihat sangat cantik. Fiona menjadi gugup dan jantungnya berpacu dengan cepat seakan napasnya menjadi pendek. Rafael sudah lama mengagumi wanita itu. Jika dia menginkan wanita itu, dia tidak akan menolaknya. Namun, membayangkan wajah pucat Fiona saat dia berbaring di bawahnya, dia kehilangan semua rasa antusiasnya. Rafael sudah lama merindukannya sehingga dia merasa sulit untuk mempercayainya. Namun, selama dia berpikir ternyata wanita itu memiliki pria lain di hatinya, ego Rafael melarangnya untuk melakukan tindakan apapun. Dia sudah lama merindukan wanita ini, dan dia merasa agak sulit dipercaya untuk waktu yang lama. Meskipun Fiona merasa gugup, tetapi dia tetap tertidur karena kelelahan. Rafael berpaling untuk melihatnya dengan tatapan rumit. Kemudian dia hendak mengulurkan lengannya dan hendak menyentuh wajah Fiona. Tiba-tiba Fiona mengerang dan Rafael langsung menarik lengannya. Pria itu gengsi untuk mengutarakan perasaannya. Dia juga tidak ingin berada di posisi yang kalah. Saat Rafael mencintainya, dia malah mencintai pria yang lain. Dalam ini, Rafael akan merahasiakan cintanya pada Fiona. ‘Fiona, kamu tidak mencintaiku, tetapi aku tidak bisa membiarkanmu pergi. Lebih baik kita berdua saling menyakiti.’ Keesokan harinya di Leonard contruction. Tepat ketika Fiona hendak duduk di kantor, sebuah karangan bunga besar muncul di depannya secara mendadak. "Wow." Tiba-tiba terjadi keributan di kantor. Sebelum Fiona sempat bereaksi, wajah tampan muncul di balik karangan bunga. Itu adalah rekannya, Mathew. “Fiona, aku menyukaimu. Maukah kamu menjadi pacarku?” Mathew menatapnya dengan penuh harapan. Apakah ini sebuah pengakuan? Dia tercegang. Ini pertama kalinya seseorang menyatakan cinta padanya. Bahkan saat dia berhubungan dengan Adit, dialah yang mempunyai inisiatif lebih dulu untuk mengungkapkannya. Sedangkan Rafael sangat kejam padanya. Fiona sangat tersentuh dengan pengakuan tersebut. Namun, sayang sekali dia harus menolaknya. Dia tersenyum dan berkata, “Maaf, aku sudah memberitahumu sebelumnya bahwa aku sudah menikah.” “Fiona, apa menurutmu aku akan percaya denganmu? Fiona jika kamu benar-benar sudah menikah, mengapa kamu tidak pernah memakai cincin?” Mathew berkata dengan serius. “Karena saya tidak terbiasa memakainya.” “Oke. Aku akan memaklumi hal itu. Kamu sudah bekeja selama 1 tahun di sini. Mengapa suamimu tidak muncul? Bahkan ketika perusahaan menyelenggarakan beberapa acara. Dia tidak pernah datang.” “Dia… Dia seorang introvert dan tidak suka dengan keramaian.” Fiona hanya memberinya suatu alasan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD