"Halo Bibi, sambutan yang meriah ya, Bi?!" Dengan tangan yang masih memegang vas bunga, aku mendekati Bibi yang kini mendelik murka ke arahku yang semakin mendekat ke arah beliau. Tepat saat aku sampai di antara Ayah dan Gundik yang kini menjadi ratu di rumah ini, aku meletakkan kembali vas bunga ini ke tempatnya semula. "Nyaris saja vas bunganya kena Ayah. Lain kali hati-hati, Bi. Nggak baik main hancurkan barang kayak gini. Nggak patut di contoh sama bawahan Ayah." Tidak ada nada tinggi, tidak ada umpatan kasar seperti yang Bibi dan Kalina teriakkan, tapi kalimatku yang halus sukses membuat wajah Bibi sudah semerah tomat busuk. "Kamu!!!!" Tunjuknya lantang ke arahku, mata dengan bulu mata cetar membahana bagai selebritis ibu kota tersebut melotot ke arahku, kesan sosialita yang anggu