Bersiap Pergi

1059 Words
Busyeeet, 78 Juta, Al? Nggak salah kau mau pinjam 78 juta ke aku?" Andrea, putra pemilik pabrik baja ringan di Semarang ini bahkan melepas kacamatanya saat melihat potret surat perjanjian yang kemarin aku foto dari Bu Melly, reaksinya saat terkejut sekarang ini persis sama sepertiku kemarin. "Serius, Ndre. Setelah sertifikatnya di tanganku lagi aku bakal nyerahin ke kamu, kamu pegang sertifikat itu sementara aku akan nyari uang buat lunasin." Ada keraguan yang terlihat di wajah Chindo satu ini, tapi dengan cepat aku meraih tangannya untuk meyakinkannya, temanku memang banyak tapi yang bisa meminjamkan uang dengan nominal fantastis ini hanyalah Andrea. Dia satu-satunya harapan yang aku miliki untuk keluar dari lubang jarum. "Please, Ndre. Bantuin aku yah." "Tapi gimana kau balikin duit sebanyak ini, Al? Banyak loh ini! Kalau kamu minta satu atau dua juta bakal aku kasih, nggak usah di balikin. Tapi ini nominalnya seharga mobil yang di kasih Papi buat kuliah." "Soal gimana caranya nanti aku balikin itu urusanku, Ndre. Yang penting kamu terima beres duit balik." Andrea memicing curiga mendengar jawabanku yang sangat ambigu di telinganya ini, "kau nggak ada niatan buat jual diri atau mikirin karier buat jadi ani-ani anggota dewan kan kau ini, Al?" "Sialan kau, Ndre!" Pungkasku kesal sembari melemparkan vas bunga kecil yang ada di meja kami ke arahnya yang membuatnya seketika tergelak gembira dalam tawanya. "Becanda, Al. Tapi daripada ambil jalan sesat mending kau nikahlah sama aku sekalian, simbiosis mutualisme gitu, kau jadi istri Anak Pemilik Pabrik Baja Ringan yang hidupnya sejahtera tujuh turunan delapan tikungan sembilan tanjakan, sementara nasib keturunanku terselamatkan karena gen pintar Ibunya." Berbeda dengan di awal pembicaraan kami yang begitu tegang, semakin kesini si somplak Andrea justru semakin melantur menertawakan leluconnya sendiri. Di saat orang lain akan malu dengan kebodohannya maka teman satu angkatanku di Kampus ini justru jumawa dengan kekurangannya ini. Apa yang dia ucapkan barusan memang bukan sekedar candaan. Jika bukan karena aku yang mengerjakan segala tugasnya dengan imbal balik rupiah yang tidak sedikit mungkin Andrea akan menjadi mahasiswa Abadi. Selentingan tentang Andrea yang menyukaiku pun sering aku dengar, tapi selama ini aku terlalu sibuk mengumpulkan rupiah hingga tidak mau ambil pusing masalah percintaan, jadi apa yang di katakan barusan oleh Andrea bagai angin lalu sebuah candaan yang tidak ingin aku tanggapi lebih lanjut. "Iya, aku bakalan nikah sama kamu nanti kalau kamu fix jadi pewaris perusahaan Papimu!" Ujarku asal, membuat Andrea langsung merengut tidak suka. "Nggak asyik kau ini, Al. Tapi i like kejujuranmu, matre kau ini realistis sekali." "Jadi gimana, mau nggak pinjemin aku, Ndre?" Andrea tampak berpikir sejenak, tapi tak pelak akhirnya dia mengangguk setuju, "oke, sini mana nomor rekeningmu, Al. Tapi ada syaratnya...." Kuhela nafas panjang, bernegosiasi dengan Chindo yang ulet perkara uang memang hal yang butuh kesabaran. "Soal bunga?" Tanyaku yang langsung balasnya dengan gelengan. "Kasih tahu dulu bagaimana cara kamu ngembaliinnya, Al. Perlu kamu tahu jika aku tidak menerima uang hasil perbuatan haram!" Astaga, demi Tuhan. Andrea, getol sekali dia dengan rasa penasarannya, jika sudah seperti ini apalagi uang bisa aku lakukan selain menjawab dengan jujur walau aku tahu aku pasti akan di tertawakan olehnya. "Aku bakal minta uang dari Ayahku, hitung-hitung kompensasi 18 tahun dia nggak ngurusin aku, puas?" Alis Andrea terangkat tinggi, bisa aku tebak pernyataan selanjutnya akan aku dapatkan. "Memangnya siapa Ayah kandungmu, Al? Aku kira kamu yatim sejak lahir, makanya kau getol ngejar beasiswa sama ngerjain tugas dari kita-kita ini biar punya duit. Ternyata kau masih punya Bapak toh." "Kalau aku bilang Bapakku itu Irjen Dhanuwijaya Hakim yang mukanya seringkali nongol di kelas hukum kau percaya nggak, Ndre?!" "Hahahaha, kalau kau anaknya Irjen Dhanuwijaya, udah pasti aku ini adiknya Kaesang, Al. Halumu itu loh, butuh duit sampai otak kau kena. Sinilah aku transferin, daripada jadi gila beneran kau." Sama seperti Kinara kemarin, tawa pun meledak dari Andrea menertawakan apa yang baru saja aku katakan. Tawa yang membuatku hanya bisa meringis getir dan masam. Memang, antara aku dan Ayahku, kami berpijak di bumi yang sama namun di tempat yang berbeda. Dia berada di singgasana sedangkan aku berada di kerak neraka. Kedua tanganku terkepal erat di bawah meja, tekadku untuk datang menemui mereka yang sudah membuatku menderita seperti ini semakin bulat. Sungguh, aku tidak sabar membayangkan bagaimana reaksi mereka saat aku kembali hadir di dalam kehidupan mereka, layaknya sebuah goresan yang tidak perlu, aku akan merusak mahakarya indah yang bernama keluarga Dhanuwijaya Hakim. ........ "Kamu serius mau ke Jakarta, Al?" Seluruh barangku sudah selesai aku packing, tidak banyak yang aku bawa, hanya sekoper kecil pakaian, dan juga ransel yang berisi laptop dan berkas-berkas yang aku perlukan untuk menampar wajah terhormat seorang Irjen Polisi Dhanuwijaya nanti saat bertemu, di saat Bunda masuk ke dalam kamarku. Semua urusan di sini sudah selesai, sertifikat sudah aku tebus dan aku serahkan pada Andrea, aku pun sudah berpesan pada Rian agar dia mengantarkan serta Bunda ke kantor Polisi untuk pelaporan penipuan yang di lakukan oleh Hanifah sialan itu, sekarang sudah tiba saatnya aku untuk mendatangi orangtuaku yang selama ini lepas tanggungjawab atas diriku. "Serius, Bun. Alle mau nemuin Ayah, mungkin Ayah sudah melupakan Bunda, tapi setidaknya dia harus bertanggungjawab atas hidup Alle, bukan? Bukankah anak perempuan sebelum menikah adalah milik Ayahnya?" "Bagaimana jika Ayahmu mangkir, Al. 18 tahun bukan waktu yang lama, Amelia itu ular dan bodohnya Ayahmu akan menurut padanya." Aku mendekat pada Bunda, memeluk orangtuaku satu-satunya tersebut untuk menenangkan kekhawatiran beliau. "Selama ini Alle benci wajah Alle yang terlalu mirip dengan Ayah, tapi sekarang kemiripan ini yang akan membungkam mereka semua, Bun." Percayalah, tanpa tes DNA semua orang juga bisa melihat kemiripan antara aku dan Jendral Dhanuwijaya yang terhormat tersebut, untuk menjaga nama baiknya mustahil Dhanuwijaya akan mengusirku. Sungguh, aku benar-benar sudah muak dengan semua ketidakadilan yang takdir berikan kepadaku dan Bunda, mereka orang-orang yang menyakiti kami hidup bahagia seakan tanpa dosa sudah melukai kami. Karma yang seringkali di bicarakan orang akan membalas mereka yang jahat nyatanya tidak berlaku untukku, itu sebabnya aku akan belajar mandiri. Jika Takdir tidak memberikan karma pada mereka, maka aku sendiri yang akan menjemput karma itu dan melemparkannya tepat ke wajah mereka. Bunda melepaskan pelukannya, sosok tua yang masih memperlihatkan sisa-sisa kecantikannya di masa muda ini tersenyum memberikan kekuatan. "Apapun tujuanmu, Bunda hanya bisa berdoa semua kamu mendapatkan apa yang kamu inginkan, Alleyah." Ya, aku hanya perlu doa, karena aku menyadari saat aku membawa kakiku melangkah meninggalkan rumah ini, pertarungan yang sebenarnya baru saja di mulai.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD