Membulatkan Tekad

1113 Words
"Uang 60 juta itu banyak loh, Bun. Nggak sedikit sama sekali. Bunda hutang duit segitu banyaknya buat apa, Bun? Ya Tuhan!!!!" Segala unek-unek langsung aku keluarkan pada Bunda saat akhirnya kami masuk ke dalam rumah, sama sepertiku yang pusing tujuh keliling, Bunda pun sama pusingnya. Tidak hanya pusing, tapi rasa malu juga komplit melingkupi kami setelah kami menjadi bahan gosip atas penagihan hutang yang sangat dramatis dan fenomenal. "Nggak apa-apa Bun kalau Bunda mau pinjem uang asal jelas tujuannya dan Bunda udah mikirin bagaimana caranya buat bayar. Tapi ini, udahlah nggak tahu duitnya kemana, nominalnya gedenya nggak tanggung-tanggung mana pake bunga yang nggak masuk akal lagi. Demi Tuhan, bisa-bisanya Bunda tandatangan kesepakatan hutang segede itu dengan perjanjian dua bulan kembali, walaupun kita ngepet 60 juta juga nggak mungkin balik, Bun!" Untuk pertama kalinya seumur hidupku aku marah pada Bundaku, selama ini Bunda memang pribadi yang keras terhadap orang lain, status janda yang di sandang Bunda membuatnya seringkali di pandang sebelah mata dan mengundang para pria mata keranjang menggoda beliau, tapi jika terhadapku beliau adalah wanita yang lembut nyaris tidak pernah marah. Tapi sekarang ini aku benar-benar kesal pada beliau. Apalagi setelah Bunda terus menerus diam sama sekali tidak menanggapiku, beliau termenung seakan pikiran beliau entah pergi kemana. "Sekarang Bunda lebih baik jujur ke Alle deh, kemana uang 60 juta yang Bunda pinjam itu? Kita masih punya tabungan emas dari hasil jualan kita kan, Bun? Sekitar tahun lalu kalau nggak salah ada 15 gram, kan? Biar kurangnya nanti Alle minta tolong ke teman-teman Alle." Berturut-turut aku melontarkan pertanyaan pada Bunda, sungguh aku masih di dera rasa penasaran kemana menghilangnya uang dalam jumlah fantastis tersebut. Jika sedari tadi Bunda hanya diam saja, maka sekarang beliau menoleh ke arahku, keputusasaan begitu tergambar di wajahnya yang mulai senja dan itu membuatku merasa bersalah karena sudah mencecar beliau tanpa ampun. Tapi mau bagaimana lagi, aku benar-benar kalut. Rumah ini taruhannya. Satu-satunya harta berharga yang di miliki Bunda dari menjual perhiasan yang beliau miliki sebagai DP saat aku kecil dulu hingga sang pemilik tanah berbaik hati memberikan Ibu keringanan untuk bisa mencicil semampunya sampai lunas. Belum lama rumah ini berpindah nama menjadi milik Bunda, tapi sekarang rumah ini di jaminkan untuk sebuah hutang dengan nominal yang tidak masuk akal. "Uangnya di pinjam sama si Hanifah, Al." Haaah, Hanifah? Calo tanah yang seringkali membeli tanah di sekitar tempat tinggalku kemudian di jual kembali itu yang menerima uang panas tersebut? Tapi tunggu? Sudah berbulan-bulan ini Sosialita yang seringkali nangkring di rumahku setiap pagi untuk membeli kue basah dan sarapan sudah tidak terlihat lagi, entah menghilang kemana manusia satu itu, dari sini perasaanku semakin tidak enak. "Kenapa uangnya di kasih ke Mbak Hanifah, Bun? Ini gimana sih sebenarnya, Alle nggak paham, uangnya Mbak Hanifah saja banyak loh Bun seringkali jual beli tanah cepat." Bunda menggeleng pelan melihatku semakin kebingungan dengan apa yang beliau katakan. "Itulah Al, si Hanifah 5 bulan yang lalu ngajakin Bunda buat join beli tanah milik anaknya Pak Mansyur yang dekat pasar itu, kata Hanifah uangnya kurang 60 juta, jadi dia ajakin Bunda, nanti kalau tanahnya laku Bunda dapat keuntungannya. Tapi setelah Bunda kasih uangnya ternyata si Hanifah minggat, Bunda tanya Pak Mansyur katanya dia sama sekali nggak ada jual tanahnya. Bunda kena tipu, Al." Tangis akhirnya pecah di ruang tamu sederhana kami ini, Bunda yang tidak pernah meneteskan air matanya menghadapi kerasnya kehidupan kini menangis sesenggukan karena di tipu habis-habisan oleh Hanifah, aku ingin sekali mengumpat, tapi saat memposisikan diri di tempat Bunda aku hanya bisa menelan kekesalanku sendirian. Siapa sih yang akan menyangka jika orang sekaya Hanifah bisa menipu? Suaminya pegawai bea cukai pelabuhan Tanjung Mas Semarang, kerjaan mereka calo/makelar jual beli tanah sudah begitu tersohor, sudah pasti Bunda percaya uangnya akan kembali lengkap dengan keuntungan yang di dapatkan. Tidak hanya berhenti hanya sampai di sana kesialan yang terjadi, di sela tangis Bunda yang begitu tergugu, Bunda kembali mengutarakan hal yang membuat duniaku serasa kiamat untuk kesekian kalinya. "Soal emas yang baru saja kamu tanyakan, emas itu sudah habis buat bayar bunganya selama dua bulan, Al. Tiga bulan ini Bunda nggak bisa bayar lagi sekedar bunganya, itu sebabnya Bu Melly datang." Lemas sudah tubuhku, aku benar-benar kehilangan tenaga sampai aku merosot di sofa yang ada di ruang tamu. Untuk sekejap bahkan aku berharap jika semua hal buruk ini sekedar mimpi belaka yang akan menghilang saat nanti aku terbangun. Sudah di tipu, kehilangan tabungan selama bertahun-tahun untuk membayar bunga hutang yang tingginya tidak masuk akal serta nyaris kehilangan tempat tinggal. Ya Tuhan, dosa apa yang sudah kami berdua lakukan di masalalu sampai cobaan datang sebegitu beratnya. "Maafin Bunda, Al. Maafin Bunda yang nggak berpikiran panjang. Bunda mikirnya kita bakalan dapat uang laba kalau Hanifah berhasil jual tanah, nggak taunya malah dia kabur bawa uang Bunda." Mau marah pun percuma, semuanya sudah terlanjur terjadi, aku pun tahu jika tidak ada sedikitpun niat buruk Bunda, terbiasa hidup miskin membuat kami terkadang tergiur untuk mendapatkan uang secara cepat untuk merubah hidup, selama ini kami sukses memilih dan memilah pengeluaran dalam hidup tapi ternyata penipu lebih pandai, bukan tidak mungkin selain Ibu ada korban lainnya. Di tengah suasana sunyi yang melanda kami di ruang tamu, mendadak saja Televisi menampilkan laporan ekslusif satu jam sekali, di antara banyaknya waktu yang berjalan di hidupku, aku benar-benar mengutuk wajah Jendral Dhanuwijaya Hakim yang muncul memenuhi layar, terlebih saat wajah yang nyaris serupa denganku tersebut tengah tersenyum lebar usai mendapatkan penghargaan atas pencapainnya dalam memberantas oknum-oknum tidak bertanggungjawab di kepolisian. Tangis Bunda seakan berhenti saat melihat senyuman Ayah kandungku tersebut, senyuman tersebut serasa sebuah ejekan di balik pilunya kisahku dan Bunda yang tersingkirkan. Aku dan Bunda menangis ketakutan karena di tipu dan nyaris kehilangan rumah, sementara Ayahku berdiri di atas singgasananya yang penuh kehormatan. Kata orang karma akan datang pada mereka yang berbuat jahatnya, tapi kenyataannya Bundaku yang di jahati semakin terpuruk sementara mereka yang memberi luka semakin bersinar. Tidak ingin Bundaku semakin bersedih aku segera mematikan TV, melenyapkan sosok Dhanuwijaya Hakim dari hadapanku, dan mendekat pada Bunda. "Bunda tenang saja, Alle akan beresin masalah Bu Melly. Bersyukur anak Bunda ini punya banyak temen baik." Aku berusaha berbicara setenang mungkin seolah hadirnya Dhanuwijaya beberapa saat lalu tidak berarti apapun untuk kami. "Maafin Bunda ya, Al. Tapi gimana caranya kamu bayar semua hutang itu? Nggak mungkin temanmu ngasih cuma-cuma." Senyuman muncul di bibirku mendengar pertanyaan Bunda, sembari meraih tangan beliau aku berucap. "Tenang saja Bun, seorang yang pernah berhutang kebahagiaan kepada kita di masalalu akan membayarnya nanti." ".............." "Yang penting Bunda harus selalu doain Alle agar Alle bisa menagih semuanya. Karma terlalu lama datang pada mereka yang telah melukai kita, jadi lebih baik Alle belajar mandiri untuk memberikan karma itu secara langsung pada mereka yang telah menyakiti."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD