Halaman 3
.
.
.
Sakit, itu yang Teresa rasakan saat dia berulang kali terjatuh. Berusaha membiasakan diri dengan kaki palsunya. Tentu saja di usia yang masih belia, terbiasa dengan kaki ini cukup mustahil. Beruntung mental Teresa cukup kuat, gadis itu hanya sesekali menangis dan mengeluh kesakitan saat dia terjatuh.
“Aduh!” seperti saat ini, kembali dari dari rumah sakit seminggu kemudian. Perlahan mulai terbiasa dengan kaki palsu yang Ia miliki. Tubuh mungil itu tentu saja perlu beradaptasi lebih lama, terjatuh di atas rerumputan hijau yang cukup tebal. Merasakan perih di bagian kaki palsunya, meskipun tidak sesakit saat dirinya berada di rumah sakit dulu, tapi setidaknya sekali saja.
Kedua manik hazel itu melirik ke arah ayah dan ibu yang kini berdiri tak jauh dari posisinya. Mereka berdua ada di sana, Teresa melihat dengan jelas. Ayahnya memang sengaja membuat taman khusus, tidak begitu luas tapi bisa menjadi sarana mereka berkumpul di saat lenggang.
Sore hari adalah waktu mereka untuk berkumpul di sini. Teresa yang masih berusaha terbiasa menggunakan kaki palsunya. Dia ingin ayah dan ibu bangga. Bahkan memujinya, tanpa mengetahui fakta bahwa dalang di balik kesakitannya selama ini adalah karena perbuatan mereka berdua.
“Kaki Tele takit...Ibu...Ayah,” ujarnya dengan terbata-
Suaranya seolah dianggap angin lalu, tidak terdengar sama sekali. Sang ibu sibuk dengan minuman miliknya, duduk santai di sebuah kursi khusus, lengkap dengan payung yang menutupnya dari sinar matahari.
Cemilan dan minuman sudah tersedia di meja, wanita itu sesekali terkekeh melihat tingkah laku putri bungsunya. Menyesap teh beraroma chamommile dengan anggun.
“Kyahaha!! Kejal Laci!” Tak jauh dari posisinya, sosok mungil Rasi berlari kecil, tertawa bahagia saat melihat sang ayah yang mengejarnya di belakang. Menggunakan dress berwarna pastel yang baru saja dibelikan oleh laki-laki itu sebagai hadiah ulang tahun Rasi.
Rambut yang terikat manis lengkap dengan aksesorisnya, bahkan sepatu berwarna pink. Rasi menggunakan semua hadiah yang Ia terima. Sementara Teresa sama sekali tidak menerima apapun, di hari ulang tahun yang pertama, dia justru mendapatkan rasa sakit dari kaki palsunya.
Apa mungkin kaki ini adalah hadiah dari ayah dan ibunya?
“Jangan kabur ya, putri Ayah!” Menikmati permainan mereka. Laki-laki paruh baya itu dengan sengaja memelankan langkahnya agar tidak bisa menggapai Rasi.
“Kyayaha!! Kejal—kejal!” Sosok manis itu tertawa riang.
Sofia terkekeh geli, “Jangan berlari terlalu cepat, sayang. Kau bisa terjatuh!” Sesekali mengingatkan. “Mark, awasi Rasi!”
Tepat saat keseimbangan Rasi mulai hilang, barulah Mark mempercepat langkahnya, dengan sigap menangkap tubuh mungil itu agar tidak terjatuh.
“Tertangkap, putri Ayah!” teriak bangga, menggendong Rasi tinggi-tinggi. Membiarkan sosok itu tertawa ceria.
“Ayah!” Masih mempertahankan posisinya yang terjatuh, menengadahkan wajah memanggil sang ayah berulang kali. “Ayah!! Tele—jatuh!” Teresa kembali berteriak.
“Putri Ayah sudah pintar lari sekarang, hampir saja ayah tidak bisa menangkapmu.” Laki-laki itu justru mencium lembut kedua pipi gembil Rasi. Memeluk erat tubuh putrinya.
“Ayah, Ibu!!” Teresa masih berteriak, menahan tangisannya. Bibir itu merengut tak suka saat mereka berdua hanya fokus pada Rasi. Sementara di sini, dia terjatuh-
“Kan sudah ibu bilang, jangan lari-lari secepat itu, sayang.” Sang Ibu bangkit dari tempat duduknya, bukan menghampiri Teresa melainkan mendekati ayah dan Rasi. Mencium pipi putri bungsunya sekilas, menepuk lembut kepala dan akhirnya tertawa bersama.
“Ayah!! Ibu!! Tele, jatuh!” Teresa mulai tidak bisa menahan bendungan air matanya, membiarkan terjatuh, membasahi pipi. Terisak, dan berteriak berulang kali. Tapi tetap saja.
Kedua orang itu seolah menganggapnya tidak ada.
Perasaan apa ini, kenapa Teresa mulai merasa aneh dengan semua tingkah laku kedua orangtuanya. Bahkan sikap Rasi pada Teresa pun perlahan berubah. Sosok mungil yang selalu dekat dengan Teresa pelan-pelan menjauh.
Selama ini Teresa hanya hidup dari barang-barang dan makanan yang dibeli dari hasil uang milik Ayahnya. Tanpa sekalipun pernah merasakan yang namanya kasih sayang.
Kenapa semuanya terasa aneh?
.
.
.
Meski dalam keadaan sakit sekalipun, tidak pernah sedetik saja perhatian Ibunya teralih dari Rasi. Mereka berdua yang notabene kembar, tentu saja sering merasakan sesuatu yang sama. Sakit atau menangis, bak telepati yang menghubungkan keduanya.
Saat Rasi terkena demam, Teresa pun ikut merasakan. Alhasil, keduanya sakit bersamaan, Rasi terkena demam karena sempat bermain di taman saat hujan, walaupun tetap menggunakan jas hujan mini, tubuhnya yang masih belum kebal dengan segala penyakit, membuat Rasi demam di hari berikutnya.
Teresa yang saat itu hanya bisa memperhatikan sosok adiknya berlari taman yang penuh dengan rintik hujan, Terpaksa menetap di ruang tamu, memilih fokus membaca daripada terjatuh nantinya.
Siapa sangka bahwa dia bisa ikut kena demam juga. Aneh? Tentu saja. Dia saja tidak mengerti. Pagi-pagi, semalaman tidur bersama Rasi. Saat bangun, tubuh Teresa terasa dingin, pusing dan mual. Dia menggigil kedinginan, begitu juga Rasi.
Adiknya lebih parah lagi, dia menangis kencang tepat saat kedua maniknya terbuka. Merengek dan memanggil kedua orangtua mereka.
Teresa tetap diam, berusaha untuk tetap tidur dan menahan tangisannya.
“Ayah!! Ibu!! Hueee!!” Tangisan Rasi menggema, gadis itu mengeluarkan tantrum, kedua kaki bergerak cepat menyibak selimut yang menutupi tubuh mereka berdua.
“Laci, jangan nangis-”
Tidak perlu waktu lama, beberapa menit setelah tangisan Rasi menggelegar. Pintu kamar mereka terbuka cepat. Menampilkan sosok sang ibu yang menatap khawatir, begitu juga ayah dan Bibi Amari-
“A—yah? I---bu?” Berusaha untuk bicara, Teresa masih berharap kedua orangtua-ah setidaknya ayah atau ibunya membagi posisi mereka berdua.
“Putriku! Astaga!”
.
.
.
Dia hanya sekedar berharap, karena yang sebenarnya datang menghampirinya adalah sosok Bibi Amari. Wanita paruh baya itu langsung mengecek suhu tubuhnya menggunakan thermometer.
“Apa yang kau lakukan, Bibi?!” Suara teriakan sang Tuan reflek mengagetkan Bibi itu. Dia hanya tinggal menunggu hasil suhu Teresa beberapa menit lagi.
“Sa-saya sedang mengecek suhu badan, Non Teresa, Tuan.” Jawab Bibi takut, sosok tegap Mark berdiri kembali. Kali ini berjalan menuju posisi putri sulungnya tanpa mengatakan apapun.
Teresa menangis, salah satu tangannya yang lemah perlahan terangkat hendak menggapai sosok tegap itu. “Merepotkan sekali,” Tangannya ditarik paksa,
“Tu-Tuan mau apa?! Astaga,” Bibi menatap panik, memeluk tubuh Teresa yang dipaksa untuk bangun dari posisi tidurnya.
“Rasi demam pasti karena dia, anak ini tidak pernah sekali pun membuat kami senang!” Menaikkan nada suaranya, dengan kasar mengambil thermometer yang tadinya ditempatkan Bibi Amari di sekitar ketiak Teresa.
Melepaskan genggamannya dengan cepat, bahkan tidak peduli saat tubuh mungil Teresa kembali jatuh membentur kasur yang empuk. Gadis kecil itu mengaduh sakit, kepalanya terasa pening.
“Sejak kemarin Non Teresa sama sekali tidak ada bermain di taman. Apalagi kemarin kan hujan, Tuan. Justru Non Rasi yang-” Sebelum sempat menyelesaikan kalimatnya. Sofia sudah lebih dulu mendelik.
Menatap wanita paruh baya itu dengan tajam, “Oh, jadi sekarang Bibi sudah berani menyalahkan putri bungsuku?!” ujarnya dengan nada sarkas. Tubuh Bibi Amari menegang. Mengatupkan bibir cepat.
“Anak itu benar-benar memberikan pengaruh buruk bagi keluarga kita! Lihat sekarang?! Bibi yang selama ini bekerja selama hampir 30 tahun sama sekali tidak pernah membantah kami! Hari ini kau membantahku begitu saja, Bibi!” Membentak tanpa memandang umur mereka yang berbeda jauh.
“Maaf, Nyonya. Saya hanya-”
“Diam! Jangan berbicara lagi, aku sedang tidak ingin berdebat dengan, Bibi!”
Memberikan thermometer pada istrinya, Mark menepuk pundak wanita itu pelan, “Jangan berteriak, nanti Rasi menangis.” Ujar Mark menatap putrinya yang perlahan terlelap kembali.
Sofia berusaha keras mengatur emosinya, kembali fokus pada putri bungsunya. “Hhh, maaf.” Mengecek berapa suhu tubuhnya. Melirik sekilas ke arah bibi Amari.
“Bibi segera hubungi dokter,” pesannya cepat,
“Ta-tapi Nyonya, Non Teresa-”
“Cepat!”
Tidak bisa membantah, menatap khawatir Nona kecilnya. “Bibi akan kembali sebentar, Non.” Mengelus singkat rambut Teresa, sebelum akhirnya beranjak pergi dari sana.
.
.
.
Saat Rasi perlahan mulai terlelap kembali, merasakan sapuan lembut di kepala dan alunan lagu Ibunya. Bahkan sesekali sang Ayah memberikan kecupan pada pipi dan keningnya. Di sebelah mereka, Teresa masih membuka kedua maniknya-
Meskipun nampak samar, dan buram. Dia masih bisa melihat bagaimana perlakuan kedua orangtuanya sangat berbeda jauh. Teresa sangat menginginkan sapuan lembut itu, kecupan dan ucapan yang menenangkannya.
Bibirnya merengut. Pusing dan menggigil, “A—yah, i—bu,” Salah satu tangan mungil gadis itu perlahan terangkat, berniat menggapai kedua orangtuanya. Bahkan menggunakan seluruh kekuatan untuk bergerak, setidaknya agar sedikit mendekat sehingga dia bisa mendengar alunan lagu yang Ibunya nyanyikan.
“Kau tetap di sana!” Satu bentakan tipis terdengar jelas di telinganya, delikan kedua manik orangtuanya menatap kompak. Setengah menyipit, tanpa senyuman sama sekali. Tidak memikirkan bagaimana kondisinya-
“Gara-gara kau, adikmu jatuh sakit seperti ini,” Sofia masih membendung amarahnya.
Teresa menggeleng tipis, “Bu—kan, Tele cama cekali-” Berusaha membela diri sendiri.
“Jangan bicara lagi! Ini peringatan terakhir Ibu untukmu.” Sang ayah sama sekali tidak menghentikan perkataan istrinya. Satu tangan wanita itu terangkat dan menunjukknya sarkas.
“Sekali lagi kau menyakiti adikmu seperti ini, jangan harap kau bisa memanggil kami ayah dan ibumu!”
Di usianya yang masih belia, tentu saja Teresa masih sulit menangkap semua perkataan Ibunya. Tapi sedikitnya dia paham, melihat raut wajah ibunya yang nampak kesal, semua kalimat menekan, dan ancaman,
Teresa tanpa sadar menangis, menggelengkan kepalanya berulang kali, “Ja-jangan, Ayah---Ibu, Tele hanya-”
Tangisan Rasi merembak, gadis kecil itu mulai terganggu dengan suara berisik di kamarnya. Merengek dan memanggil ayah, ibunya berulang kali. Mengabaikan ucapan Teresa sebelumnya, perhatian Sofia terfokus kembali pada sang bungsu.
“Ssh, jangan menangis, sayang. Ibu dan Ayah di sini,” Mengelus rambut hitam Rasi, bahkan tanpa aba-aba Sofia beranjak naik ke tempat tidur. Kasur dengan type queen size, mengingat saat bayi dulu Rasi tidak bisa tidur tanpa kakaknya.
Tanpa mempedulikan Teresa, Sofia tidur di tengah-tengah mereka, menelusup dan sengaja memiringkan tubuh ke arah Rasi. Memunggungi tubuh putri sulungnya.
“Ibu, di sini,” ujar Sofia lembut-
Manik Teresa kini hanya bisa melihat punggung lebar ibunya, mencium aroma parfum milik wanita itu dengan seksama. Entah kenapa, dia sangat merindukan aroma ibunya. Sudah berapa lama dia tidak memeluk wanita itu?
Tersenyum tipis, tidak apa-apa. Meskipun hanya punggung, Teresa sudah bersyukur. Gadis kecil itu kembali meringsek, dan mendekati tubuh ibunya. Salah satu tangan mungilnya dengan pelan memeluk pinggang sang ibu.
Menenggelamkan wajah tepat di punggung ibunya, mencium aroma yang sangat Ia rindukan.
“Ibu,” Berujar tipis-
Di sisi lain, Sofia terkejut saat mendapati sebuah tangan mungil memeluk pinggangnya, meskipun lemas. Mendengar namanya dipanggil dengan suara tipis.
“Ck, baiklah, untuk kali ini kau cukup memeluk ibu lewat punggung saja,” Dia hanya mendecak kesal. Masih memeluk tubuh Rasi dan menenangkan putri bungsunya. Sofia membiarkan tubuh Teresa memeluknya meskipun hanya sesaat.
Karena selanjutnya, Teresa langsung jatuh tertidur dengan lelap. Hanya ditemani punggung dan aroma ibunya sudah cukup membuatnya nyaman.
.
.
.
Bagaimana rasanya dicium ayah dan ibu kalian? Pasti menyenangkan, merasakan hangatnya bibir lembut mereka berdua menyentuh kedua pipi secara bergantian. Bahkan jika saat dia sakit seluruh perhatian kedua ayah dan ibu akan tertuju padanya. Teresa tidak masalah, meskipun harus sakit selama seminggu pun.
Tapi sayang, laki-laki yang Ia sebut ayah bahkan tidak pernah sekalipun menggendong atau bahkan memeluknya. Mencium pipi dan kening, atau tertawa bersamanya. Salahkah kalau Teresa mulai merasakan ketidakadilan di usianya yang mau beranjak kelima tahun.
Wanita yang Ia sebut sebagai ibu tidak pernah merawatnya saat sakit, mengabaika, bahkan cenderung bersikap kasar padanya. Merutuki dan mencemoh ketidaksempurnaan yang Teresa miliki. Tanpa menyadari putri mereka seperti itu karena ulahnya sendiri. Sosok wanita yang justru stress dan malah mabuk-mabukan saat hampir menjelang masa-masa melahirkannya.
Hal buruk yang justru menimpa Teresa, Tuhan melahirkannya sebagai gadis tidak sempurna. Bagaikan cermin retak yang berdiri bersinggungan dengan sang adik. Kenapa hanya dia saja yang mengalami ini semua?
Ayah, ibu-
.
.
.
Berkeliling rumah saat dirinya mulai terbiasa dengan kaki palsu itu, manik Teresa berbinar menatap banyaknya dekorasi pesta di dalam rumah mereka. Dekorasi berwarna merah muda, biru, dan banyak sekali hadiah-hadiah, para pelayan mereka bahkan nampak sibuk menyiapkan makanan. Aroma masakan itu tercium, semanis gulali, dan permen apel kesukaan Teresa.
“Wah,” Pandangan gadis kecil itu menengadah, bibirnya terbuka lebar. Masih terpukau dengan dekorasi yang memenuhi dalam rumah mereka. Hari ini kan ulang tahun dirinya dan Rasi. Sebuah pesta yang menakjubkan, itu sudah ada dalam bayangan Teresa.
Tidak seperti satu tahun lalu, dimana dia harus menghabiskan hari ulang tahun di rumah sakit. Kali ini Teresa bisa merayakan ulang tahunnya bersama sang adik, ibu, dan ayahnya juga. Bibir mungil itu tersenyum senang, saat melihat Bibi Amari nampak sibuk membawa beberapa keranjang makanan.
“Bibi!” Berlari kecil menghampiri wanita paruh baya di sana, sementara Bibi Amari mengerjapkan manik kaget. “Astaga, hati-hati, Non Teresa!” ujarnya khawatir kalau-kalau nanti Teresa terjatuh.
Mengayunkan kaki palsunya, Teresa sudah mulai terbiasa menggunakan benda itu dan berusaha berdamai. Meskipun setiap malamnya, Teresa selalu merasakan sakit karena beberapa otot kakinya tak sengaja tertarikdan kejang, bahkan sesekali saking tidak bisa menahan sakit. Teresa pingsan, tidak ada yang sadar tentu saja, kedua orangtuanya malah menganggap Teresa malas karena selalu bangun siang hari.
Bibirnya mulai bisa mengucapkan semua kalimat dengan benar, salah satu tangan mungil itu terjulur ke arah Bibi Amari, “Tere, mau permen, boleh Bibi?” Mengerjapkan manik polos. Tentu saja Bi Amari tergoda, mengangguk kecil, hendak memberikan beberapa permen coklat pada Teresa.
Tapi, bungkus-bungkus permen itu langsung hilang dari tangan sang Bibi, diambil dengan cepat oleh beberapa anak-anak yang tengah bermain di sekitar Teresa tadinya.
“Yeii! Enak saja, Kak Tere tidak boleh makan permen Rasi dong!” Beberapa anak kecil menjulurkan lidahnya pada Teresa, mengejek gadis itu beberapa kali. Sebelum akhirnya Rasi datang menyusul mereka.
“Kenapa?” Manik bulat gadis manis itu mengerjap, pemuda kecil yang tadi merebut permen di tangan Bibi Amari memberikannya pada Rasi. “Ini permen untukmu, masa mau diambil sama Kak Tere!” ujarnya setengah tertawa.
Sementara Teresa, hanya bisa bungkam, meneguk ludahnya saat melihat bulatan permen manis itu dimakan tepat di hadapannya.
“I-Ini kan ulang tahun Tere juga,” Memberanikan diri, mengucapkan kalimat terakhirnya. Beberapa anak kecil menatap Teresa tak percaya, bahkan salah satu dari mereka mendekati gadis itu. Dengan pandangan menusuk, seolah menjadi anak buah Rasi dengan usianya yang lebih tua satu tahun dibandingkan mereka.
“Jangan bercanda! Mana mungkin Rasi punya saudara kakinya jelek sepertimu!” Mendorong tubuh Teresa, mengira bahwa gadis kecil itu pasti terjatuh dan menangis.
Mereka salah, Teresa hanya memundurkan tubuhnya saja, menghindari tangan yang hendak mendorong tubuhnya tadi. Membiarkan sang empunya sendiri yang jatuh tersungkur. Mencium lantai, semua orang di sana menatap kaget.
Teresa sama sekali tidak tahu, kalau hanya gara-gara menyelamatkan dirinya sendiri. Teresa justru mendapatkan hukuman. Apa dia salah? Bermimpi menggunakan dress manis yang sama dengan Rasi. Hanya itu saja yang Teresa inginkan di hari ulang tahunnya.
“Kau, kenapa menghindar, kaki jelek!!”
Pertengkaran mereka pun tak terelakkan, beberapa pemuda kecil mengerumuni Teresa. Berniat memberi gadis itu pelajaran, dan membuatnya menangis. Tapi siapa yang berdiri paling terakhir? Sosok Teresa mengusap sudut bibirnya yang berdarah akibat melawan pukulan pemuda-pemuda kecil itu.
Menatap dengan tekukan wajah tak suka, bagaimana kerumunan anak kecil di depannya nampak menangis karena Teresa tak sengaja membalas pukulan mereka untuk melindungi dirinya.
Dia tidak meminta yang muluk-muluk, merayakan hari kelahirannya bersama ayah, ibu dan Rasi. Merasakan kembali kalau di sini, mereka masih menganggapnya keluarga. Ayah dan ibu yang berpikir sekali saja bahwa kelahirannya ke dunia ini adalah suatu keberuntungan.
Apa dia salah?