Halaman 4
.
.
.
Mengusap tetesan darah di sudut bibir, d**a gadis itu terasa sesak. Menggunakan semua kemampuan terbaiknya tadi hanya untuk melawan pemuda-pemuda yang memiliki tubuh lebih besar Teresa.
Walaupun dia menggunakan kaki palsu, mereka tentu saja tidak tahu seberapa sakit yang sering Teresa rasakan. Bagaimana Teresa berusaha terbiasa dengan benda yang menusuk salah satu kaki. Tidak main-main, di usia yang menginjak lima tahun. Teresa bukannya terpuruk atau mengasihani nasibnya sendiri.
Gadis kecil itu perlahan tumbuh menjadi gadis yang mandiri, entah darimana dia mendapatkan kegigihan untuk terbiasa menggunakan benda itu. Menguatkan olah tubuh agar tidak kaku, setiap hari Teresa berlari di taman rumahnya yang cukup luas, meniru gerakan bela diri yang sering Ia tonton saat malam secara sembunyi-sembunyi.
Berlatih karena dia tidak mau siapapun mengejek keadaannya. Seperti saat ini, kedua tangan mungil itu mengepal. Teresa tersenyum tipis, ‘Aku berhasil mengalahkan mereka!’ batinnya senang. Setelah beberapa kali anak-anak lain sering mengejek dan memukuli Teresa dimana-mana.
Hari ini dia berhasil melawan mereka! Menengadahkan wajah, menatap Bibi Amari. Wanita itu pasti bangga, “Bibi, lihat aku tadi-” Sebelum sempat melanjutkan kalimatnya, Bibi Amari langsung menundukkan tubuh, raut khawatir tercetak di sana.
Menghapus darah di sudut bibir Teresa, kenapa wajah Bibi Amari seperti ingin menangis? Teresa tidak mengerti, memiringkan wajah bingung. Telinganya bahkan mendengar jelas suara tipis wanita itu, “Kenapa anak-anak itu harus mengganggu, Non Teresa. Kalau begini jadinya,”
“Bibi?” Tangan mungil Teresa baru saja hendak menyentuh pipi Bibi Amari, sebelum suara tangisan anak-anak yang berhasil Ia kalahkan terdengar makin kencang. Ditambah dengan suara teriakan sang ibu.
“TERESA!” Menggelegar, Teresa merasakan bagaimana Bibi Amari menarik tubuh mungilnya ke dalam pelukan. Ketakutan gadis kecil itu kembali datang,
“I-Ibu,” bisik Teresa takut, tubuhnya gemetar, kedua tangan mungilnya reflek memeluk tubuh Bibi Amari.
“Nyonya, i-ini semua bukan salah Non Teresa!” Suara Bibinya berusaha melindungi Teresa, memeluk erat gadis kecil itu. Saat melihat sosok wanita dengan balutan dress berwarna merah berdiri di hadapannya, wajah Sofia nampak murka.
Teresa takut, meremas baju Bibi Amari, tubuh wanita paruh baya itu ditarik paksa, menjauh dari sang Bibi. “MINGGIR!!” Teriakan Sofia makin terdengar. Kali ini baru-lah Teresa menangis, melihat sosok sang ibu penuh dengan tekukan wajah tanpa senyum. Tubuh Bibinya terdorong paksa, bahkan sampai jatuh.
“Bibi!!” teriak Teresa, diiringi tangisannya. Berniat mendekati sang Bibi, tapi tangan ibunya bergerak lebih cepat. Mencengkram lengan Teresa dengan kencang.
“Kau berani membuat masalah lagi hari ini?! Dasar anak nakal!!” Tanpa ampun menjewer telinga Teresa, sangat keras bahkan sampai membuat telinga gadis itu merah. Pukulan tangan sang ibu juga tak lupa, memukul bagian belakang tubuh Teresa, di depan semua orang yang kini tertawa melihatnya.
“Sakit, Ibu! Sakit,” teriak Teresa diiringi isak tangis.
Rasi masih berdiri di dekat Teresa, menatap bagaimana sosok ibu yang selama ini bagaikan malaikat di depannya, berubah drastis. Ketakutan gadis itu, tanpa sengaja menjatuhkan permen yang Ia genggam. Melihat saudara kembarnya disakiti, tubuh Rasi reflek gemetar. Seolah ikut merasakan sakit.
Bibirnya merengut, tanpa sadar berlari ke arah sang ibu, reflek memeluk lengan wanita itu. Menjauhkan tangan ibunya agar tidak memukul Teresa lebih lama lagi.
“Ibu, jangan pukul, Kak Tere!!” teriak Rasi terus menerus. Mengira bahwa ibunya pasti menghentikan pukulan itu. Tapi tidak seperti perkiraan Rasi, wanita itu reflek menggerakkan lengannya kuat. Dikuasai oleh emosi,
“Diamlah!!” Sofia membentak Rasi keras, menegangkan tubuh putri bungsunya. “I-Ibu,” Rasi tak percaya, kedua tangan itu gemetar, perlahan menjauhkan tubuh dari sang ibu.
“Anak ini harus diberi pelajaran!!” Sofia masih tidak sadar, pukulan demi pukulan Teresa rasakan. Lelah menangis, bahkan meminta maaf berkali-kali.
“Maaf, Ibu. Maafin, Tere!”
Bibi Amari tidak kuat melihatnya. “Sudah, Nyonya!!” jerit wanita itu, bangkit dari posisi terjatuhnya dan memeluk tubuh Teresa, saat pukulan Sofia berganti arah memukulnya.
“Menjauh, Bibi!! Anak itu selalu membuatku malu!!” teriak wanita itu, masih berusaha menarik baju Bibi Amari, tapi kedua lengan rapuh sang Bibi masih bersikeras melindungi Teresa. Sementara tangisan gadis kecil itu masih terdengar,
“Teresa!! Kenapa kau selalu mempermalukanku!! Anak tidak tahu terimakasih!!”
“Bibi, aku salah apa?” Dalam tangisannya, menengadah menatap sang Bibi. Wanita itu masih tersenyum teduh, menggeleng kecil, saat tangan majikannya memukul bagian kepala dan punggung berkali-kali.
“Non Teresa, sama sekali tidak salah,” Hanya itu jawaban yang Teresa dengar, karena setelahnya, hanya amukan sang ibu yang menggema.
Dia hanya sekedar membela diri, apa salah? Membiarkan anak-anak itu memukulnya berkali-kali, mengejek Teresa pincang. Sementara selama ini Teresa selalu berusaha agar bisa terlihat seperti anak-anak lain, walaupun menggunakan kaki palsu, setidaknya Teresa ingin semua orang berhenti mengejek atau merendahkan kedua orangtuanya.
.
.
.
Malam itu, duduk di area balkon kamarnya dan Rasi. Teresa sengaja tidak duduk di kursi. Ia justru duduk di lantai yang dingin, menelusupkan kedua kaki diantara teralis besi balkon. Mengayunkan kedua kaki itu, dengan kedua manik yang tanpa henti menatap semua gerak-gerik Rasi.
“Wah, cantik sekali,” Berbinar dengan senyuman, walaupun tangannya masih terasa sakit karena ditarik paksa oleh sang ibu tadi. Pikiran Teresa kembali teralih, melihat bagaimana hiasan warna-warni memenuhi taman mereka. Bagaimana beberapa anak-anak yang tadi sempat mengajaknya berkelahi sekarang nampak tertawa bersama.
Kata ibu, dia harus diam di sini, nanti kalau ada yang mengetuk pintu, itu artinya Teresa boleh turun dan menikmati suasana di bawah sana. Merayakan ulang tahunnya juga.
“Ibu, lama,” gumam gadis kecil itu setengah merengut, apalagi saat melihat Rasi berjalan dengan ayah dan ibu di sampingnya, keluar dari rumah, tangan mungil adiknya digandeng kompak. Mereka tertawa, bahkan sesekali melayangkan tubuh Rasi singkat. Apa setelah ini gilirannya? Pikir Teresa polos.
Dress manis dengan sayap malaikat di belakangnya, ikat rambut berludru yang halus. Teresa reflek menatap pakaian yang Ia gunakan sekarang. Baju kaos warna abu-abu dan celana panjang yang menyembunyikan kaki palsunya.
Sangat berbeda, “Kenapa ibu tidak membelikanku juga?” Bertanya entah pada siapa, bahkan dari jauh Teresa bisa melihat sebuah kue bertingkat warna merah muda, penuh hiasan kupu-kupu dan permen warna-warni. Tidak lupa sebuah miniature Rasi yang berdiri dengan senyuman lebar.
Tidak ada Teresa di sana, apa ibu dan ayahnya membeli kue yang berbeda? Padahal bagi Teresa, bisa meniup lilin bersama Rasi saja dia sudah senang. Ibu dan ayah berlebihan, haha.
“Kapan Ibu menjemputku,” Kembali bergumam, manik polos itu menatap ke arah pintu kamarnya. Belum ada yang datang,
Menyandungkan beberapa lagu yang Ia suka, tepat saat lagu ulang tahun berdengung keras dari bawah, antusias Teresa kembali naik. “Wah! Sudah mau tiup lilin!!” teriaknya senang, meringsek dan berusaha bangkit, Teresa berlari menuju pintu masuk kamarnya.
Wajah manis itu menengadah, menatap kenop pintu, menunggu siapapun datang untuk mengajaknya turun. Meniup lilin bersama Rasi, lalu potong kue, dan mendapatkan pelukan serta ciuman dari ayah dan ibunya.
Tidak sabar menunggu, tangan Teresa perlahan mengetuk pintu di hadapannya, “Ibu, ayah! Kapan datang? Tere mau tiup lilin juga!” ucapnya polos.
Tidak mendapat jawaban di balik sana, menundukkan wajahnya Teresa masih berdiri di ambang pintu, memainkan jemari dan mengayunkan kaki. Tidak ada ketukan, sedangkan lagu tiup lilin sudah bergema di telinganya.
Teresa tidak sabar lagi, tanpa ijin ibunya, kedua tangan mungil itu membuka pintu hati-hati. Masih dengan senyuman di wajahnya, ‘Mungkin ibu lupa,’ batin Teresa sembari terkekeh kecil. Berjalan menuruni tangga, berniat menyembulkan wajahnya dan keluar dari rumah.
Sinar lampu terang langsung menyambut Teresa, kerlap kerlip hiasan, dan nyanyian ulang tahun yang berdengung. Tepat saat dia hendak menghampiri ibu, ayah dan Rasi di sana, mereka berdiri menjadi pusat perhatian.
“Ibu, ayah, Rasi-” Bibir Teresa berhenti bergerak, saat sang ayah menggendong tubuh Rasi. Alunan lagu ulang tahun dan tepuk tangan semua tamu. Kedua orangtuanya tersenyum senang, tepat saat Rasi meniup lilin di depannya dengan semangat.
“Selamat ulangtahun, Rasi!” Semua orang mengucapkan kalimat itu kompak, hanya nama Rasi. Tanpa embel-embel nama Teresa sama sekali. Tawa mereka, alunan lagu, dan lilin yang kini sudah padam.
Tubuh Teresa membeku. Berharap hal selanjutnya, sang ibu berjalan ke dalam rumah, memanggil nama Teresa, dan meniup lilin bergantian. Lama menunggu, ayah dan ibunya justru bermain dengan Rasi dan para badut lucu. Menikmati kue rasa strawberry, semua orang melupakan keberadaan Teresa.
Gadis mungil itu merengut, menundukkan wajah, menatap kaki palsunya yang ditutupi celana panjang. Sangat tidak manis.
Berbalik, melangkahkan kaki naik kembali ke kamar. Teresa mengusap air matanya.
Mungkin saja ibu lupa.
.
.
.
Sofia menggendong tubuh Rasi yang nampak kelelahan setelah menjalani pesta ulang tahunnya. Lelah bermain bersama para badut tadi, “Bibi, hari ini Rasi tidur di kamar kita berdua. Jadi kunci saja kamar, Teresa. Biarkan dia tidur sendiri.” ucap wanita itu singkat.
Bibi Amari mengerjapkan maniknya, “Nyo-Nyonya, bagaimana dengan ulang tahun Non Teresa? A-apa Nyonya dan Tuan tidak ingin merayakannya juga?” tanya Bibi cepat, menghentikan langkah Sofia. Mark yang baru saja datang dari taman, setelah menyelesaikan beberapa peralatan di luar, berjalan mendekati istrinya.
“Ada apa?” tanya laki-laki itu tegas. Bibi Amari berjengit takut, menundukkan tubuhnya.
Sofia hanya mengendikkan bahu, menatap tajam wanita paruh baya di depan sana, “Tanyakan saja padanya. Aku lelah,” tukas Sofia ketus, tanpa memberikan jawaban yang pasti. Berjalan menggendong tubuh Rasi menuju kamarnya. Seolah melupakan pertanyaan Bibi-nya tadi.
Mark berdiri di hadapan Bibi Amari, melonggarkan dasi yang Ia gunakan tadi, mendesah malas. Kali ini berjalan menuju meja kecil, mengambil satu gelas air minum yang masih tersedia di sana. Meneguknya hingga habis.
“Bibi, tahu kan kalau Sofia tidak suka dengan, Teresa?” tegasnya lagi. Bibi Amari hanya diam, mengangguk kecil. “Tapi, Tuan…hari ini juga ulang tahun Non Teresa kan?” Berniat membela Teresa, tapi delikan tajam Mark, membuatnya diam.
“Setelah apa yang Teresa lakukan tadi, itu sudah cukup membuat kami malu, Bibi.” Merenggangkan ototnya. “Memukul anak-anak itu, Bibi tahu siapa mereka? Beberapa dari orang tua mereka adalah klienku yang sangat berharga, untung saja tadi tidak ada yang mempermasalahkan tingkah laku Teresa karena mereka masih kecil.” Jelas Mark sekali lagi.
“Mereka yang lebih dulu memulainya, Tuan. Saya melihatnya sendiri, itu bukan salah Non Teresa,”
“Bibi!” Satu bentakan Mark, kembali menegangkan tubuh Bibi Amari. Mark menghela napas sekilas, tubuh tegap itu berjalan mendekatinya, sengaja menundukkan tubuh. Berbisik tepat di telinga sang Bibi.
“Kau tahu kan kalau anak-anak itu lebih penting dibandingkan, Teresa?” Diiringi tepukan lembut pada pundak Bibi Amari, Mark menjauhkan tubuhnya. Setengah mendengus, dan tertawa sinis. Menaruh gelas yang Ia genggam di atas meja, berbalik hendak meninggalkan sang Bibi.
Wanita yang masih membeku, “Rasi dan anak-anak itu adalah investasi yang cukup meyakinkan untuk perusahaanku, jauh lebih baik dari Teresa.” ucapnya mengakhiri percakapan mereka.
Berjalan kembali menuju kamarnya. Meninggalkan Bibi Amari sendiri di sana, masih dengan tubuh membeku. Meresapi tiap kata yang diucapkan Tuannya tadi.
Singkat tapi sangat menyakitkan. Tanpa sadar menangis, wanita paruh baya itu menahan emosinya.
.
.
.
.
Meringkuk di sudut ruangan, setelah tadi masuk kembali ke kamarnya, menutup pintu, bahkan jendela yang memperlihatkan area ke luar balkon. Teresa takut gelap, tapi kali ini dia seolah tidak peduli.
Tanpa bergerak sama sekali dari sudut ruangan. Ayah, ibu dan Rasi sama sekali tidak kembali. Saat lagu-lagu dan suara tepuk tangan semua tamu menghilang sepenuhnya. Menyenderkan tubuh pada dinding, membiarkan cahaya bulan masuk melalui celah jendela.
Teresa lelah menangis, entah kenapa dia mulai merasa kebal dengan segala kejadian yang menimpanya sampai saat ini. Ia hanya menangis sebentar, karena setelah itu Teresa lebih memilih untuk diam, merenung. Memikirkan dimana letak kesalahannya.
Tidak ada kue, lilin, tiupan, lagu dan ucapan selamat ulangtahun lagi untuknya. Lima tahun sudah berlalu. Kali ini bahkan lebih buruk lagi, tidak ada siapapun di samping Teresa.
Menutup setengah wajahnya dengan kedua tangan.
Perlahan tubuh yang tadinya menyender pada dinding, terjatuh menyentuh lantai dingin. Teresa lelah.
Suara ketukan pintu beberapa kali sukses mengejutkan gadis itu, awalnya Teresa pikir hanya salah dengar. Mencoba mengabaikan, tapi ketukan pintu berkali-kali datang. Makin terdengar keras.
‘Siapa?’ batin Teresa bingung, perlahan bangkit dari posisi tidurnya. Dengan kondisi kamar yang gelap gulita, berjalan hati-hati menuju pintu. “Tunggu,” Suara manisnya bergema pelan, kedua tangan mungil Teresa membuka pintu. Mengira bahwa Ia salah dengar.
Tapi ternyata, maniknya reflek membulat, Bibi Amari berdiri di depan sana. Membawa sebuah kue kecil dengan beberapa batang lilin yang menyala, tidak lupa lilin berbentuk angka lima. Senyuman wanita itu nampak teduh, Teresa masih kaget.
Bibi Amari masuk ke dalam kamar, pandangannya menoleh ke segala arah, memastikan tidak ada yang melihat. Menutup pintu kamar Teresa dengan pelan, menatap sosok Teresa yang masih diam tak percaya.
“Ayo, sini, Non Teresa.” Suara lembut itu memintanya untuk berjalan menuju dua buah sofa kecil di dekat balkon. Bibi menaruh kue tersebut di atas meja, melihat Teresa masih bengong di dekat pintu.
“Non Teresa,” Mengamit tangan mungil sang empunya, dan mengajak Teresa berjalan ke sana.
“Sekarang, Non duduk di sini.” Mengarahkan Teresa agar duduk tepat di depan meja. Manik bulat itu menatap kue bertahtakan lilin-lilin kecil yang menyala. Tidak besar seperti milik Rasi, tapi sudah cukup membuat Teresa senang.
Menengadahkan wajahnya, “Bibi, ini kue untuk siapa?” tanya gadis itu polos.
Duduk di sebelah Teresa, Bibi terkekeh geli, “Tentu saja untuk, Non Teresa. Bibi sengaja membelikan ini hanya untuk Non saja,” Hanya untuk Teresa? Mendengar kalimat itu entah kenapa Teresa semakin senang.
“Kue-ku?” Pandangannya menatap kue itu lagi, saat alunan suara Bibi Amari terdengar lembut. Serta tepukan pelan, sosok di sebelahnya menyanyikan lagu ulangtahun untuk Teresa.
Napas Teresa terasa sesak, menatap kue di hadapannya, kedua tanganya meremas celana, menggigit bibir bawah reflek. Padahal dari tadi Teresa sudah berhasil menahan emosinya, tangisan atau rengutan, semua ekspresi sukses tertelan dalam kegelapan.
Saat lagu itu mengalun, menyebut namanya berulang kali sampai akhirnya, “Ayo, tiup lilinnya, Non.”
Bergerak ragu, mendekatkan wajahnya ke arah kue di depan sana, mengambil napas panjang sebelum akhirnya menghembuskan dengan pelan. Tiupan lilin yang Ia impikan selama ini, terlalu berlebihan kah? Kalau Teresa hanya ingin meniup lilin di hari ulang tahunnya?
Lilin itu padam, membiarkan sinar bulan menelusup masuk dari celah jendela. Menyinari tepat ke arah Teresa, sosok manis yang duduk, menggigit bibir bawahnya kuat. Menundukkan wajah, menahan tangisan.
Aroma parfum yang harum, ciri khas Bibinya tercium halus. Tubuh paruh baya itu mendekat, kali ini dengan sengaja mensejajarkan diri di hadapan Teresa. Tangan hangat Bibi Amari menyentuh kedua pipinya.
Tanpa bisa mengelak, manik Teresa menatap jelas wajah teduh sang Bibi. “Maaf jika Bibi tidak bisa memberikan kue yang besar untuk, Non.” Teresa menggelengkan kepalanya, menarik napas lebih cepat.
“Apapun yang terjadi, mulai hari ini Non Teresa harus lebih kuat lagi. Jangan pernah menyalahkan diri sendiri lagi, walau dunia membenci Nona. Ingatlah, kalau di sini ada Bibi yang akan selalu mendukung semua tindakan Non Nara. Karena Bibi tahu kalau Non Teresa adalah gadis yang baik, dan manis.”
Lelehan air mata perlahan turun dari pelupuk Teresa, tubuh gadis itu gemetar, seolah mengerti semua perkataan sang Bibi. Diiringi isakan yang makin kencang, sinar bulan tepat menyinari wajahnya. Rengutan dan manik polos yang berkaca, apa yang Teresa tahan sejak tadi.
“Bibi, yakin Non Teresa akan tumbuh menjadi gadis yang kuat dan cantik. Gadis paling sempurna yang pernah Bibi temui,” Saat tangan penuh keriput itu bergerak menyentuh dadanya, “Hati Non yang kuat, jangan pernah lupakan itu.”
“Tapi Bibi, Tere harus apa sekarang? Tere bingung,” racau Teresa, hatinya bimbang. Saat melihat kejadian tadi, dia bingung. Dimana letak kesalahannya? Apa yang harus Ia perbaiki? Kenapa orang-orang selalu menyalahkan keadaannya? Kakinya yang pincang. Semua
Saat kedua manik Bibi Amari memancarkan keyakinan, wanita itu kembali mengusap kedua pipinya, “Jangan pernah tunjukan air matamu,”
Air mata?
“Saat semua orang merendahkan atau mendorong Non Teresa jatuh, saat Tuhan memberikan banyak cobaan untuk Non Teresa nanti. Ingat bahwa Bibi akan selalu ada di sampingmu. Tersenyumlah sampai semua orang lelah menantikan tangisanmu. Tersenyumlah walau apa yang mereka harapkan adalah penderitaan Non Teresa saja, jangan perlihatkan tangisanmu di depan mereka.”
Bergerak mengecup kening Teresa lembut, mengucapkan kalimat terakhirnya, “Ingatlah, kalau wajah cantik Non Teresa tidak boleh dilukai hanya dengan tangisan semata.”
Teresa menggeleng kecil, “Tere, tidak bisa,” Sesenggukan, membiarkan tangan sang Bibi menghapus air matanya. Memeluk tubuh Teresa.
“Bibi tahu, ini pasti susah untuk, Non Teresa.” Isakan demi isakan Ia dengar, tangisan Teresa makin kencang. Bibi Amari mempererat pelukannya, ikut menangis. Mengusap lembut rambut halus gadis kecil itu.
“Karena itu menangislah sampai puas hari ini, Bibi akan memelukmu. Non, Teresa tidak perlu takut, ada Bibi di sini.”
Semakin kencang, “Huaaa,” Apa yang Teresa tahan selama ini membuncah begitu saja, kedua tangan mungil itu memeluk erat tubuh sang Bibi, membiarkan rasa sakit yang Ia tahan keluar begitu saja.
Dalam ruangan yang gelap, saat sinar bulan menyinari tubuh mereka berdua, suara tangisan Teresa menggema dengan keras. Tubuh mungil itu ringkih dan gemetar, meluapkan semua perasaannya.
“Selamat ulang tahun Nona kecil, Bibi.”