One Two There GO!!
Balapan liar tengah malam dimulai. Dimas dan rivalnya Gervhan sedang balapan. Terjadi susul menyusul di antara mereka. Sekarang Gervhan sedang ada diposisi depan. Namun Dimas tak mau kalah. Dimas menambah kecepatan. Dan langsung berada di posisi depan. Gervhan terus mencoba menyusul Dimas. Dimas terus mempertehankan kecepatan motornya. Ia tidak mau kalau sampai Gervhan menyusulnya. Tidak ada kata kalah dalam rumusnya. Ia selalu menang dalam balapan liar ini. Pada akhirnya Dimas duluan yang tiba di garis finish.
“Horeee! Dimas! Dimas!” Semua bersorak untuk Dimas. Dimas melirik sinis kearag Gervhan yang terlihat lesu. Dalam hatinya sangat bangga, untuk yang kesekian kalinya ia menang dari Gervhan.
Dimas menghampiri Gervhan yang sedang kesal karena kalah. “Masih belum kapok juga lo nantangin gue? Sebagus apapun dan secepet apapun motor lo! Lo ga akan pernah bisa ngalahin gue! Cuma keajaiban yang ngebuat lo bisa menang dari gue. Dan itu imposible, lo pahamkan?” sindir Dimas sambil tersenyum sinis.
“Suatu saat gue pasti bakalan ngalahin lo!” ancam Gervhan tanpa takut sindiran dari Dimas. Gervhan memang pantang menyerah, meski sudah berapa kali kalah dari Dimas. Kekalahnya bukan dengan kosong. Ia sering kehilangan motornya. Karena memang tahurannya adalah motor. Gervhan tidak perduli. Ayahnya seorang pengusaha yang cukup berhasil dalam bidang motor. Motor Gervhan sangat banyak, jadi ia tidak perduli jika harus kehilangan motornya sebagai tahurannya. Yang ia mau adalah mengalahkan Dimas sebagai rival terberatnya.
“Dengan senang hati gue nunggu lo!” Lagi-lagi untuk kesekian kalinya Dimas menang dalam balapan liar ini. Taruhannya tidak sebarangan. Yang kalah harus menyerahkan motor balapnya buat si pemenang. “Mario, Motornya buat lo aja. Lo mau pake, mau lo buang juga terserah,” ujar Dimas pada Mario. Mario kegirangan mendapatan motor hasil taruhan. Dengan pasrah Gervhan menyerahkan motornya pada Mario. Sebetulnya orang-orang di balapan liar itu sudah tahu jagonya Dimas dalam balapan. Tidak ada yang mau balapan kalau lawannya Dimas. Hanya Gervhanlah yang paling berani menantang Dimas.
Dimas kembali ke motor sport MV Agusta F4 CC. Motor ini Dimas dapatkan saat pertama kali masuk Vegasus harganya kisaran $ 120.000. Motor sport kedua termahal di dunia. Bagi ayah Dimas uang segitu tidak ada apa-apanya. Namun Dimas kadang merasa semua terasa mudah baginya. Yang sekarang Dimas butuhkan adalah kasih sayang.
“Gue balik dulu!” seru Dimas.
“Lo ga ikut makan-makan dulu?” ajak Jelita untuk merayakan kemenangan Dimas.
“Gue makan di rumah aja,” singkatnya.
“Ya udah take care ya!”
Saat Dimas akan pergi. Angela menghampiri Dimas. ”Lo mau kemana?”
“Gue bilang kan gue mau pulang,” Dimas benar-benar tidak sedang mood.
“Yahh ga asik kalo ga ada lo Dim. Ayo makan dulu,” bujuk Angela sedikit manja.
“Lo makan sama anak-anak aja. Oke? Bye!” Tanpa menghiraukan Angela. Dimas pergi dengan motor MV Agusta F4 CC. Si hitam melaju dengan kecepatan tinggi meninggalkan tempat balapan liar.
********
Angin berhembus kencang di malam ini. Menerpa dedaunan yang rindang. Membuat gesekan alam yang sangat khas. Kesejukan alam ini tidak ada yang bisa menandingi. Sudah patutnya kita syukuri keindahan alam ini. Pepohonan yang rimbun dengan daun lebat disekitarnya, membuat aksen kokoh jika memandangnya. Bukit hijau dengan di penuhi rumput indah. Seperti karpet hijau yang di gelar di tengah lapangan sepak bola. Namun ini benar-benar rumput alami ciptaan Tuhan. Bukitnyapun sangat indah, belum ditambah danau yang sangat luas. Airnya sejuk, bersih dan jernih. Tidak seperti rawa yang tidak terurus. Pemandangan alam di sini sangat menyejukan hati. Pas untuk orang yang sedang mencari ketenangan. Sangat sepi dan damai.
Dimas tertengun sendiri. “Tuhan semua ini terasa mudah bagiku. Apa tak ada yang lebih sulit? Semua harta dan keinginanku selalu terkabulkan. Namun kau lupa sesuatu, yaitu kasih sayang,” lirihnya. Dimas berbaring memejamkan mata di rumah pohon. Disini tempat aman Dimas. Tak ada seorangpun yang tahu tempat ini. Dimas selalu nyaman di sini, di bandingkan di rumahnya yang seperti istana. Alam lebih mengerti Dimas di bandingkan kemewahan rumahnya. Kadang Dimas merasa bosan menjalani hidup ini. Tidak ada tantangnya kata Dimas. Kepintaran, tahta, harta, wajah rupawan. Sudah Dimas dapatkan. Apa lagi coba? Dimas hanya menginginkan satu hal. Yaitu kasih sayang keluarga. Kasih sayang yang sudah lama ia tidak dapatkan sejak lama. Rindu rasanya, harta tidak menjaminnya untuk mendapatkan kasih sayang dan cinta. Bahagia? Tentu bahagia, tapi tidak sebahagia orang yang telah mendapatkan kasih sayang. Bahagia sesaat karena hanya menikmati harta saja.
Shasmitha Victoria Smith. Ibu Dimas yang sepuluh tahun yang lalu meninggal karena kecelakaan. Shasmitha meninggal gara-gara Dimas. Itu yang membuat Dimas benci pada dirinya sendiri. Pikirannya melayang ke sepuluh tahun yang lalu.
Sepuluh tahun yang lalu.
“Sebentar ya sayang. Mama pasti beliin kok,” ucap lembut Shasmita pada Dimas kecil. Kali ini dia mencoba konsentrasi dengan stirnya.
“Aku pengen ice cream Ma, Mau... mau.. Dimas kan udah menang lomba renang. Dimas may ice cream sebagai hadiahnya. Ayo ma.. ayo..” Dimas kecil terus merengek manja. Entah kenapa hari ini dia sangat terlihat manja dari sebelumnya.
“Iya sayang bentar ya,” tapi Dimas tidak berhenti merengek, sampai pada akhirnya Shasmitha hilang kendali dan mobilnya menabrak pembatas jalan. Dimas selamat namun Shasmitha meninggal seketika di tempat kejadian.
“Engggggaaaa!!” Dimas membuka matanya dengan dahi penuh keringat. Jika mengingat hal itu Dimas sangat menyesal. “Kenapa gue ga mati sekalian! Waktu itu!! b**o juga. Kepa gue manja banget saat itu. Bodoh! Bodoh! Dimas BODOH!” rutuk Dimas sambil menjambak-jambak rambutnya.
Semenjak itu Robertho ayah Dimas, bersikap berbeda padanya. Keluarga yang dulu harmonis. Hilang seiring perginya Shasmitha. Setelah kejadian itu, Dimas sangat membenci Ice Cream sampai sekarang. Memang pada saat itu Dimas masih kecil dan belum mengerti apapun. Tapi tetap Robertho bersikap aneh dan tak perduli lagi pada Dimas. Sampai-sampai Dimas menghabiskan berjuta-juta hartanya pun Robertho tak perduli. Padahal di hari itu Robertho sangat membangga-banggakan anaknya yang pintar.
Di hari itu Dimas memenangkan lomba renang nasional untuk anak-anak. Dimas berhasil menjadi juara satu. Robertho memeluk erat anak semata wayangnya. Mereka terlihat sangat bahagia. Robertho dan Sasmitha sangat bangga mempunyai anak yang sangat bertalenta. Anak sekecil itu sudah mempunyai perstasi di berbagai macam bidang. Sasmitha memang berjanji akan membelikan ice cream kesukaan Dimas, jika ia memenangkan lomba renang ini. Tadinya Robertho akan menemani Sasmitha dan Dimas untuk membeli ice cream. Sayanganya ada panggilan mendadak dari kantornya. Ia harus segera kembali kekantornya karena ada meeting dadakan bersama client pentingnya. Jadinya Dimas hanya pulang bersama Sasmitha. Sampai kecelakaan itu terjadi.
********
Michelle dan keluarga kecilnya mencari kontrakan sepulang sekolah. Rumah mewah beserta isinya sudah di sita bank. Kini tak ada lagi kemewahan. Tidak ada lagi mobil mewah, uang berlimpah dan harta benda lainnya yang menyilaukan mata. Semua itu harus mereka tinggalkan dalam sekejap. Michelle bersama kakak dan adik-adiknya sudah tiba di kontrakan kecil.
“Rumahnya memang tidak begitu bagus. Tapi cukup untuk kita. Rahmi, Shella sama Irma tidur bertiga ya. Kakak tidur sama kak Michelle,” ucap Rini saat masuk kedalam rumah mungil itu.
“Kenapa ga sewa rumah yang lebih besar sih kak? Masa kita harus tidur bertiga!” protes Shella.
“Ya kakak. Sempit kan kalo tidur bertiga,” tambah Rahmi.
“Ade adeku. Mohon ngerti ya. Sekarang mama udah ga ada. Hidup kita ga akan kaya dulu. Jadi sayang belajar perihatin ya,” Michelle mencoba menjelaskan kondisi yang terjadi saat ini. Sedih sebenarnya mendengarkan keluh kesah adik-adiknya. Mereka harus menerima kenyataan pahit secepat ini. Tapi bagaimana lagi. Sepahit apapun, hidup harus di hadapi dengan ikhlas dan bersabar.
Shella manyun “Aku benci sama papah. Kalo ga karena papah mama pasti ga akan meninggal,” rutuk Shella.
“Udah udah ya sayang. Kalian ga boleh seperti itu. Sejahat apapun papah kita. Tapi tetep itu adalah papah kita, kakak yakin semua ini ada hikmahnya kok. Kita harus bersyukur masih bisa tinggal di tempat yang lebih layak. Banyak orang di luaran sana yang engga punya tempat untuk bernaung. Kita syukuri saja. Tempat ini ga begitu jelek kok, semoga kalau ada rezekinya lagi kita bisa beli rumah. Meskipun kecil, jadi untuk sementara kita di sini dulu yah,” bijak Rini.
“Papah udah mati semenjak mama meninggal, Shella dah anggap papah MATI!!” pekik Shella.
“Kakak setuju,” dukung Michelle.
“Chell jangan gitu dong. Meskipun sekrang kita hidup sederhana. Ga boleh ada kebencian ya, papah mungkin khilaf,” bujuk Rini.
“Khilaf? Setelah korupsi dan ninggalin banyak hutang di sebut hilaf kak? Apalagi sampe buat mama meninggal. Dia engga ada tanggung jawabnya sama sekali. Setelah itu dia ninggalin kita, kabur gitu aja sama janda kaya. Itu yang namanya khilaf kak? Papah egois kak! Hanya mementingkan kesenanganya tanpa mikirin nasib kita kaya gimana!” Michelle menupahkan unek-uneknya pada Rini.
“Udah-udah yah. Engga enak di dengar sama adik-adik kamu. Apalagi sampai tentangga kita dengar,” Rini mencoba menenangkan Michelle.
“Kangen papah kangen mama,” Irma si bungsu memeluk Rini.
“Irma jangan cengeng! Bener kata kak Rini. Kita harus bisa belajar hidup sederhana,” kata Rahmi. Akhirnya mereka masuk kedalam kontrakan mungil itu.
Rini mulai bekerja sambil kuliah. Semenjak kejadian itu Rini menjadi tulang punggung keluarga. Kamar berukuran minmalis itu, yang akan mereka pakai untuk tempat beristirahat dimalam hari. Memeluk indahnya mimpi dan merileksasikan tubuh setelah lelahnya aktifitas seharian. Ternyata cape juga harus kuliah sambil kerja. Rini harus bisa membagi waktunya, antara kuliah dan kerjaannya. Kini Michelle dan Rini sedang berbincang.
“Kak mulai besok Michelle kerja part time aja ya. Buat mencukupi ke butuhan sehari-hari. Sekolah memang ga bayar, karena ada asuransi peninggalan mama. Tapi untuk ongkos dan makan sehari-hari. Kalo ngandelin dari kakak aja. Michelle ga tega kak,” Michelle memulai perbincangannya.
“Udah kamu ga perlu mikirin semua itu. Biar itu jadi tanggung jawab kakak,” Michelle menggeleng.
“Ga apa-apa kak, Michelle bisa ambil part time,” Michelle kukeh.
“Ya udah terserah kamu aja. Yang penting jangan sampe ganggu sekolah kamu ya,” akhirnya Rini menyerah. Memang kalau di pikir Rini sedikit kelabakan dengan kegiatan barunya. Untungnya Michelle gampang sekali membaca situasi. Sebetulnya Rini tidak tega harus membagi bebannya dengan Michelle. Tapi karena Michelle memaksa, ya sudah. Kita lihat saja bagaimana nanti kedepannya. Semoga akan lebih baik.
“Iya kak. Ya udah tidur yuk kak. Besok Michelle pulang telat. Pulang sekolah mau ngelamar kerjaan dulu, semoga cepet dapet kerja yah,” ajak Michelle.
“Iya sayang. Moga berhasil ya,” dukung Rini.
Michelle memastikan Rini sudah terlelap dalam tidurnya. Michelle bangun dan menuliskan sesuatu.
Dear Diary.
Cobaan ini begitu besar ya Allah. Semoga aku dan keluargaku bisa melewati ini semua. Aku yakin semua akan indah pada waktunya. Dengan cinta dan kasih sayang. Hidup kita masih akan harmonis. Meskipun tak berlimpah harta. Asalkan kumpul dengan keluarga tercinta, kita pasti akan bahagia. Mama.. Semoga mama di surga sana bahagia. Michelle dan kak Rini akan jaga ade-ade disini. Mama ga perlu khawatir ya.. :'(
-Michelle Octorina Andara-
********
Vegasus International High School.
Terdiam dalam tempurung.
Menyendiri menyelami arti hidup.
Ketika semuanya berubah.
Terasa tempurung itu semakin membelengguku.
Kehidupan terkadang kejam.
Terombang ambing dalam takdir kehidupan.
Merobek hati menyarat jantung.
Membuat enggan tuk hidup di dunia ini.
Ingin rasanya pergi menghilang dan lenyap.
Tapi aku yakin dan percaya.
Bahwa akan indah pada waktunya.
Hidup ini harus melalui proses
Tidak ada yang instan dalam berproses
Dengan peluh,darah dan air mata
Semua harus dilalui dengan ikhlas
Karena bahagia itu akan datang saat proses itu selelai terlampaui
Titik ini memang terasa berat..
Melalui titik terendah untuk menggapai kebahagiaan yang abadi
-Michellle Octorina Andara-
“Michelle!!” Michelle menengok ke arah suara.
“Fuji, Okta. Apa kabar kalian?” Fuji dan Okta adalah sepupunya Michelle. Mereka satu sekolah tapi beda kelas dengan Michelle.
“Baik Chell. Kamu pindah kemana? Kok ga bilang-bilang pindah?” protes Okta. Michelle tersenyum kecut.
“Aku pindah kontrakan Ta. Semua aset termasuk rumah di sita bank, buat nutupin semua hutang papah. Semuanya habis tanpa sisa,” sahut Michelle lirih.
“Ya ampun Chell. Aku ikut sedih,” Okta menyesal.
“Sekarang kamu tinggal di mana Chell?” tanya Fuji.
“Kami ngontrak. Ya lumayan buat tempat tinggal,”
“Maaf ya Chell. Kita sebagai sepupu ga bisa ngebatuin kamu,” sesal Fuji.
“Iya Chell maaf, andai aja nyokap bokap gue bisa bantu lo. Sayangnya gue takut juga sama nyokap bokap gue,” Okta ikut meyesal.
Michelle memegang bahu Okta dan Fuji, “Ga apa-apa kok. Kalian dah care sama aku aja aku dah seneng banget, makasih yah,”
“Aku sama Fuji masuk kelas dulu ya Chell,” pamit Okta.
“Oke,”
Okta dan Fuji berlalu, Michelle kembali sibuk ia memasukan buku dan pulpennya ke dalam tasnya. Kemudian Michelle mengeluarkan pensil dan buku gambar. Michelle mulai menggoreskan pensil itu ke buku gambar. Nampaknya sangat asik. Michelle tersenyum melihat lukisannya sendiri. “Kota impianku Paris. Mungkin ga ya aku jadi designer di sana. Impianku. Ke kota paling romantis dan pusat fashion terkenal di dunia,” Michelle berbicara sendiri.
Ternyata Michelle melukis meneara Eiffel yang sangat indah. Michelle memang bercita-cita jadi designer. Hobbynya yang suka melukis dan membuat pola-pola baju sudah ia temukan sejak usia sepuluh tahun. Sempat ayahnya berjanji akan menguliahkannya di Paris kota impiannya. Namun kandas karena kasus korupsinya.
Kini mimpi itu hanya angan-angan Michelle saja. Jangankan kuliah di Paris. Sekarang Michelle berpikir bagaimana caranya bisa membiayai ketiga adiknya. Michelle tidak mau kalau harus Rini saja yang bertanggung jawab atas keluarganya sekarang. Michelle harus semangat. Kadang ia harus merelakan impiannya demi kebahagiaan orang yang ia cintai. Semoga saja kedepanya lebih baik.
********
Vegasus International High School.
Vegasus 3 IPA 1
“Pengumuman. Hari ini si Mr. Bean ga masuk. Kelas Free..” teriak Dimas.
“Hooooooooorrayyyyyy!!” semua siswa dan siswi bersorak girang. Kelas free itu dambaan semua siswa siswi. Saat terbebas dari pelajaran bagi sebagian pelajar memang menyenangkan, di tengah mumetnya pelajaran yang terkadang bikin pusing tujuh keliling. Kelas langsung ricuh dan ramai.
“Mr. Bean siapa Put?” bisik Michelle.
“Pak Benny, guru Matematika. Kemaren Dimas kasih kartu merah ke dia, mungkin pak Benny sekarang keluar, mengundurkan diri. Secara di keroyok abis sama anak-anak Vegasus. Bayangin aja sampe babak belur Chell, mana kuat coba jadi guru di sini lagi,” Putri ikut berbisik pada Michelle.
“Kejem banget si tuh orang!” Michelle keki.
“Attention! Gue mau kasih bintang pink hari ini,” seru Dimas. Kelas yang tadinya ramai. Semua terdiam sejenak. Ada sebagian para kaum hawa kecentilan berharap dia yang di pilih. Namun ada sebagian lagi berdo'a agar tidak menjadi pacar sementara Dimas. “Orang beruntung itu adalah...” Suasana berubah menjadi tegang.
“Liana!!” Liana yang tadinya menunduk berubah menjadi tegang.
Dimas menatap sinis Liana, “Mau ga mau lo harus jadi pacar gue!! Nanti malam gue tunggu di caffe Stars jam tujuh tepat. Kalo ga, lo langsung gue end!” Setelah itu Dimas pergi dengan wajah tanpa dosanya.
“Ya ampun Li, lo mangsa Dimas berikutnya,” Ivha ikut cemas. “Ga kebayang lo tar malem di apain sama si Playboy itu,”
“Emang ga bisa di tolak ya?” tanya Michelle bodoh. Tentu tak bisa. Dimas berkuasa di Vegasus.
“Gila aja Chell. Kalo sampe si Liana nolak jadi pacar si Dimas. Bisa-bisa besoknya dia di kasih Bintang merah sama gank GHS,” sahut Chanes.
“Terus gimana dong? Sebenernya aku ga mau. Kenapa harus aku sih?” Liana lirih.
“Maaf ya Li kita ga bisa buat apa-apa,” sesal Chanes sambil mengelus-ngelus punggung Liana.
“Biar aku yang datengin deh,” Michelle geram tanpa rasa tahut.
“Chell Chell jangan. Lo jangan cari masalah. Dimas itu berkuasa di sini,” cegah Putri.
“Terus kita biarin aja gituh temen kita di kencanin sama tuh buaya?!” Michelle mulai kesal.
“Ga apa-apa deh Chell. Lagian dari cewek-cewek yang udah jadi pacarnya Dimas. Katanya Dimas ga pernah macem-macem. Cuma ngobrol dan makan malam aja. Paling lama pacaranya ada sampe lima hari. Paling bentar juga satu hari,” Liana pasrah. Meski sebenarnya Liana sedikit senang, karena Liana menyukai Dimas sejak pertama ia masuk Vegasus International High School.
“Gila tuh si Dimas,” omel Michelle.
“Sampe sekarang belum ada yang bisa pacaran sama Dimas sampe seminggu. Dimas tuh bosenan. Lagian saatnya lo manfaatin si Dimas aja Li,” saran Chanes tidak bermutu.
“Manfaatin gimana?” Liana sedikit bingung.
“Ya nikmatin kekayaan dia aja. Hhee lumayan jadi ratu sementara. Dimas kan berasa pangeran di Vegasus sekarang, lo bisa minta apa aja yang lo mau. Iya itu sih kalo elo berani, hehe,” Chanes malah cengengesan.
“Terserah deh gimana baiknya aja. Yang jelas kalo dia macem-macem sama kamu. Kamu tinggal bilang sama aku. Biar aku kasih pelajaran orang sombong macam dia. Ya udah, aku mau ke luar dulu ya. Dari pada ga ada guru, ga ada kerjaan. Bete kan? Mendingan aku ke Perpus dulu,” pamit Michelle.
“Gue ikut deh Chell,” Putri mengekor di belakang Michelle. Michelle berjalan menuju perpustakaan bareng Putri. Saat melewati lapang basket. Michelle melihat Dimas yang tengah asik main basket.
“Put, tuh si anak tengil biar aku samperin deh,” ternyata Michelle masih kesal dengan kejadian tadi.
”Ehh jangan Chell jangan,” cegah Putri.
“Sebentar Sebentar, tapi mukannya keliatan kucel banget dia,” Michelle menipitkan matanya. Memang Dimas yang ada didepan pandangannya sekarang bukan seperti Dimas yang ia lihat di kelas tadi. Dimas nampak murung tidak bersemangat. Padahal tadi pas dia ngasih bintang pink kepada Liana. Terlihat banget muka so tengil dan menyebalkan. Apa benar itu Dimas? Bisa juga anak sombong itu murung seperti itu.
“Konon katanya, Dimas tinggal sendiri di istananya, Chell. Yah ga sendiri juga sih, ada pelayan-pelayannya juga sih. Ibunya meninggal dalam kecelakaan sepuluh tahun yang lalu, papahnya siang malem kerja. Mungkin dia ngerasa kesepian. Mungkin juga alesan dia suka ngebully dan semena-mena itu, karena dia cari perhatian orang-orang. Kasian sang pangeran kesepian,” jelas Putri.
“Ya tapi engga gitu juga kali. Emangnya apa yang dia dapet dari hasil dari ngebully. Bukannya dapet temen. Malah dapet banyak musuh kan? Kayanya kamu tahu banyak soal Dimas deh,” Michelle mendelik curiga.
Putri cengengesan tidak jelas, “Hhee biasa gossip-gosip yang gue denger sih Chelle,”
“Hhuuu dasar tukang gosip! Gosip kan belum tentu bener engganya. Lagian kok bisa sih kamu percaya gitu aja sama gosip,” Putri hanya tersenyum malu. Mereka melanjutkan berjalan menuju perpus. Untungnya Putri berhasil mencegah Michelle buat melabrak Dimas. Kalau engga pasti udah jadi masalah besar. Sepertinya cuma Michelle yang berani pada gank GHS.
Vegasus Library
“Kamu tahu Chell. Sebenarnya Dimas itu nyari sosok ibunya dari diri cewek-cewek yang dia jadin pacarnya. Makannya dia sering gonta-ganti cewek. Selama belum menemukan sosok ibunya, kayanya dia terus-terusan kasih bintang pink. Liana itu cewek yang ke lima puluh tujuh,” Putri masih melanjutakan story about Dimas. Rasanya Michelle perlu tahu banyak tentang Dima,setidaknya Michelle sedikit berhati-hati pada Dimas, pikir Putri.
“Hah? Lima puluh tujuh? Ga kurang banyak?” Michelle terkejut.
“Katanya sih. Itu di Vegasus Chell. Ga tahu di luar Vegasus,”
“Lagi-lagi kamu percaya aja deh gosip. By the way, dia udah sekolah dari kelas satu kan di Vegasus? Kok aku ga pernah tau dia ya, ada cowok angkuh kaya dia di sekolah ini,” Michelle mulai tertarik dengan perbincangan Putri soal Dimas.
“Kamu taunya gank GHS aja kan? And ga mau pernah perduli. Kamu kan sibuk kejar impian kamu jadi designer,” sahut Putri.
“Oh iya hhe lupa. Oohh jadi yang konon katanya ada guru yang pacaran sama murid itu dia? Seenaknya banget yah ternyata mereka. Sampe guru aja di embat,” terka Michelle.
“Masih anggota gank GHS sih. Tapi bukan Dimas. Mario namanya, mereka masih satu gank. Kalo Mario udah hampir seratus cewek di sekolah ini jadi pacar sementaranya, termasuk guru,” cerita Putri.
“Gila tuh orang. Jangan sampe deh jadi korban berikutnya,” Michelle bergiding ngeri.
“Yakin? Kalo suatu saat kamu yang dapetin bintang pink dari Dimas. Gimana?” goda Putri.
“Ih amit-amit deh jangan sampe. Siapa juga yang mau jadi pacar cowok nyebelin kaya dia,” kilah Michelle.
Putri sepertinya belum puas menggoda Michelle, “Hati-hati loh Chelle, bisanya dari benci bisa jadi suka. Setahu gue sih gitu. Hat-hati kemakan omongan sendiri,”
“Engga! Ih kenapa sih kamu ngomong kaya gitu. Inget aku sama Dimas sekarang udah beda kasta. Bagai bumi dan langit. Engga akan bisa bersatu. Aku bumi dia langitnya,” tegasnya.
“Dududuh udah pake pribahsa juga. Harusnya bilang kamu bintang dia langitnya, haha” Putri tertawa puas. Kali ini Michelle tidak menjawab celotehan Putri. Makin di ladeni akan semakin jadi. Michelle meninggalkan Putri yang sedang duduk di perpustakaan. Ia kembali sibuk mencari buku di rak-rak buku di perpustakaan.