Clark terdiam memandangi wajah Azel yang sedang bercerita panjang lebar di hadapannya. Gadis itu terlihat sangat kesal dan frustasi karena tidak bisa melakukan sebuah penolakan atas perjodohan yang ditujukan kepadanya. Sebagai teman, tidak banyak yang bisa Clark lakukan. Walau ia ingin menghentikan perjodohan itu, Clark tetap tidak bisa melakukan apapun.
"Kok diem aja sih?!" Kesal Azel karena Clark tidak merespon setiap ucapannya.
Clark terkekeh pelan. "Gue harus apa?"
"Ya kasih kata-kata motivasi kek, atau apa gitu..."
"Lo gak butuh kata-kata motivasi. Gak bakalan ngerubah apapun juga," ucap Clark.
Azel mengangguk setuju. "Lo bener. Yang gue butuhin cuma meyakinkan diri untuk menikah diusia muda. Padahal lo tahu sendiri, gue pengen banget menunda pernikahan. Lah ini, malah dijodohin."
Clark menatap Azel dengan sendu.
"Cowok itu, dia punya segalanya."
Azel mengangguk. "Materi iya. Mukanya gue belum liat."
Clark tersenyum hambar.
"Lo harus bahagia. Lo harus janji sama gue, kalau lo akan bahagia dengan perjodohan ini. Okay?"
Azel mengangkat sebelah alisnya.
"Lo kenapa? Ish, gue gak tahu bakalan bahagia atau enggak. Saat mutusin nerima perjodohan ini, yang gue pikirin cuma Mamah sama Papah. Ini permintaan pertama mereka ke gue." Ucap Azel.
Clark mengangguk paham.
"Tapi mereka pasti mikirin kebahagiaan lo."
"Iya, pastinya."
Clark meraih tangan kanan Azel dan menggenggamnya. "Gue gak bisa ngelakuin banyak hal. Tapi, apapun yang terjadi, gue akan selalu ada buat lo."
"Thanks ya, lo emang sahabat gue."
Clark tersenyum miris seraya melepaskan genggaman tangannya dari Azel dengan perlahan.
Hatinya terasa patah. "Andai lo tahu, gue ngelakuin ini atas dasar cinta pria pada wanita, bukan seorang teman." Gumamnya dalam hati.
"Zel," panggil Clark.
"Hn?"
"Kalau misalkan gue suka sama lo, terus ngajak nikah, lo mau gak?"
Azel tertawa pelan. "Emh, gak mau."
"Kenapa?"
"Eh mau!" Ralat Azel. "Tapi dengan satu syarat."
Clark menegakkan posisi duduknya. "Apa syaratnya?"
"Lo harus balik ke keluarga lo, urus bisnis keluarga lo, belajar bisnis. Supaya lo juga bisa mengurus usaha bokap gue yang nantinya akan jatuh ke gue. Karena gue anak satu-satunya dan benci banget sama yang namanya itung-itungan." Ujar Azel menjelaskan.
Clark terkekeh pelan.
"Kayaknya itu juga jadi alasan orang tua lo ngejodohin lo sama Zavier-Zavier itu." Ucapnya.
Azel mengangguk pelan. "Ya, itu salah satu alasannya. Ya kalau bukan suami gue, sama siapa lagi? Sebelum punya anak kan harus punya suami dulu."
Clark tersenyum dalam perih. Tapi ia hanya bisa berdoa untuk kebahagiaan sahabat sekaligus orang yang dicintainya sejak lama. Sejak mereka melakukan shoot pertama untuk sebuah brand fashion.
Azel meneguk habis air minumnya. "Ayo, mumpung masih ada waktu, gaslah kita jalan-jalan dulu. Mumpung belum nikah,"
Clark mengangguk setuju. "Okay, ayo!" Sahutnya.
Azel langsung menggandeng tangan kiri Clark dan mereka berlalu dari cafe yang sering keduanya kunjungi.
"Kita mau ke mana?" Tanya Clark.
"Kemana aja, motor lo ada bensinnya kan?"
Clark memberikan helm pada Azel. "Ada lah, nih pake."
Azel langsung memakai helmnya. Begitupun dengan Clark.
"Kalau lo tinggal sama keluarga lo, lo gak perlu kesulitan kerja part time buat kuliah." Ujar Azel seraya naik ke atas motor.
Clark menarik tangan Azel agar berpegangan. "Iya tahu, tapi gue gak bakalan bahagia disisa hidup gue kalau ngelakuin hal yang gak gue mau."
"Bukan gak bisa?"
"Gue gak mau aja. Lebih enak kayak gini, lebih santai." Sahut Clark seraya melajukan motornya menembus jalanan Ibu kota.
Azel menepuk bahu Clark. "Gue yakin, someday lo bakalan mau kok. Beneran deh."
"Ya masa depan siapa yang tahu." Ucap Clark.
Azel kembali hening. Dia kembali memikirkan perjodohan. Apa dia akan jatuh cinta pada suaminya itu atau tidak? Apa dia akan bahagia? Apa suaminya akan menerimanya dengan lapang d**a?
"Kayaknya gue harus bikin perjanjian dulu deh sama tuh cowok." Ucap Azel dalam hati.
TIN!
TIN!
"Ya tuhaaan..." Kaget Azel ketika sebuah mobil menyalip motor mereka dengan kecepatan tinggi. Hampir saja motor yang Clark kendarai oleng.
"g****k banget tuh orang!!" Geram Azel.
Ia melihat mobil itu berhenti di sebuah mini market. Azel juga melihat pria yang mengendarainya keluar dari dalam mobil.
Azel menarik nafas dalam-dalam untuk meneriaki pemilik mobil itu.
"DASAR--" Kalimatnya terhenti. "Ganteng juga tuh orang." Gumamnya.
Akhirnya motor Clark semakin menjauh dan Azel tidak jadi meneriaki si pengendara yang sudah membuatnya kaget. Hanya karena teralihkan oleh paras tampannya saja.
"Nyonya yang bar-bar mulai tergetarkan oleh ketampanan ya Bund..." Sindir Clark.
Azel memukul bahu temannya itu pelan. "Gak ada yah! Tadi gak sengaja."
Clark tertawa mendengarnya.
Sedangkan disisi lain, seorang terlihat mengernyitkan dari heran karena ulah salah satu pengendara motor.
"Tiba-tiba teriak 'DASAR!' terus bengong. Ck. Orang-orang makin an--"
Zavier terdiam. Ia seperti pernah melihat wajah seorang gadis yang meneriakinya tadi.
"Kayak pernah liat. Tapi di mana?" Bingungnya.
Damn.
Zavier menjentikan jarinya. "Ya, foto itu. Tapi, apa iya dia perempuan yang dijodohin buat gue?"
"Gak! Gak mungkin. Cewek barbar kayak gitu? No. Gak bakalan tenang hidup gue." Ucapnya menenangkan diri.
"Tapi mukanya sama... Aish, kayaknya gue harus bikin perjanjian sama dia sebelum menikah." Gumamnya dalam hati.
Zavier pun masuk ke dalam mini market untuk membeli minuman. Hatinya benar-benar tidak tenang. Ia bahkan akan lebih tidak tenang lagi jika mengetahui bahwa gadis yang meneriakinya itu adalah benar calon istrinya.
*****
Hari sudah semakin sore, baik Zavier maupun Azel, mereka sama-sama diharuskan untuk menghentikan aktifitas dan pulang untuk bersiap-siap. Dikediaman keluarga Nicko, terlihat mempersiapkan bahan-bahan untuk makan malam dan menjamu calon besan keluarga mereka.
Dan Azel, dia tampak termenung menatap keluar jendela. Ia berharap malam tidak akan hadir untuk malam ini. Bahunya terasa sangat berat, mengingat tugas menjadi seorang istri bukanlah hal mudah. Tapi satu yang pasti, dia akan tetap menjadi dirinya sendiri.
Kemudian, dikediaman Abimanyu. Mereka sedang sibuk memilih cincin yang akan putra mereka sematkan pada jari calon menantu mereka nanti. Namun tidak dengan Zavier, dia hanya diam memainkan ponselnya.
"Za, ayo pilih dong cincinnya..." Ucap Nathalie.
"Bunda yang jodohin aku, jadi aku mau terima jadi aja. Aku gak mau repot." Sahutnya.
Nathalie hanya bisa menggelengkan kepala tak habis pikir. Jika dipaksa, ia takut Zavier akan berubah pikiran dan menolak perjodohan dengan cara pergi dari rumah.
"Za, nanti malam pakai-pakaian yang rapih." Ucap Abimanyu.
"Kapan sih aku gak rapih." Sahut Zavier asal.
"Anak ini, ish!" Ucap Abimanyu yang sudah kehabisan kata-kata.
Zavier berdiri dari duduknya. "Aku ke atas dulu, mau cek email masuk." Ia pun berlalu.
Abimanyu hanya bisa diam.
"Pecinta kerja. Kerja teruuus! Tipes baru tau rasa!" Ujar sang Ayah.
Zavier berbohong. Dia bukan ingin mengecek email pekerjaan, namun mengangkat panggilan Video Call dari sahabatnya sejak kecil. Yang berpisah karena keduanya sibuk dengan pendidikan dan pekerjaan masing-masing. Walau begitu, keduanya selalu menyempatkan untuk berkomunikasi.
Lebih tepatnya, sahabat perempuannya itu yang selalu menghubungi Zavier. Zavier terlalu malas untuk mengawali percakapan.