“No, Kakek…. Rama udah siapin supir buat dia. Tolong jangan ganggu waktu Rama lagi di pengadilan. Oke?” pria itu menghela napasnya dalam setelah sambungan terputus. Rama menelpon dulu Rebecca untuk menyuruhnya mengkonfirmasi. “Hallo?”
“Hallo, Assalamualaikum Imam-ku Sayang. Kenapa?”
Rama berdehem. “Waalaikumsalam. Bales pesan kakek, dia khawatir karena kamu bikin caption capek.”
“Ouhh itu caption capek soalnya abis makan banyak sisa arisan disini, Mas. Tadi aku abis tiduran di kamar lama kamu. Hehehehe. Nyaman banget.”
“Bales cepet, saya lagi di Pengadilan. Kakek ganggu saya terus.”
“Iyaa iyaa, Mas. Terus nanti aku mau bolos kuliah, Mas. Mau ke rumah Ummi dulu ada urusan.”
“Hmmm….” Rama mematikan panggilan, kepalanya terasa berdenyut karena ada yang mengganggu sidangnya.
Rebecca juga merasakan kekesalan itu, dia ingin menebusnya jika sudah di apartemen nanti. “Mah, Becca berangkat dulu ya. Udah ada mobil jemput.”
“Udah dibawa makanannya?”
“Makasih ya, Ma. Mereka pasti suka.”
“Hmm…” Rima masih memperlihatkan jelas rasa tidak Sukanya pada Rebecca, karena tidak sesuai dengan menantu idamannya.
Karena dipanggil oleh Ummi, Rebecca pergi ke pesantren. Saudaranya yang lain juga berkumpul, pasti akan ada pembicaraan serius sekarang. “Mana Abi?”
“Lagi keluar ngisi acara,” jawab Malihah. “Duduk dulu.”
“Becca tahu kok apa yang mau kalian omongin.”
“Kita butuh tanah itu secepatnya. Rama pasti bisa cepat ajukan tanah atas nama kita ‘kan?”
Mereka menuntut Rebecca untuk segera mengambil hak dalam kesepakatan yang jelas. “Udah? Itu aja?”
“Bantuin Haniyah ngajar anak-anak.”
“Becca ada kuliah.”
Begitu mendapatkan tatapan tajam dari Kakak pertamanya, Rebecca langsung diam. “Emang dimana Haniyah?”
Rebecca harus mencari keponakannya dulu. Dia yang dulunya dipilih dijodohkan dengan Rama. Usianya sama, tapi Haniyah sudah lulus kuliah di Turkey dan menjadi kebanggan keluarga besar. Tapi tidak menjadi jaminan mereka berfikiran terbuka. “Ngapain kesini, tante?”
“Diem, mau bantuin anak-anak tour. Butuh bantuan kan?”
Mereka tidak mengatakan hal buruk secara langsung, tapi mengasingkan Rebecca secara perlahan. Mungkin hanya Abi dan Ummi yang lebih baik. Anggota keluarga yang lain tetap memandang Rebecca sebagai orang asing.
“Hati-hati disamping ada kolam ikan. Jalannya jangan sambil bercanda.” Rebecca mengiringi anak-anak, tatapannya kosong mengingat Rama masih sulit dijangkau. Dulu dia bertahan selama hampir 3 tahun di pesantren demi menjadi sosok yang diinginkan Kakeknya Rama, tapi sekarang Rama sendiri tidak menyukainya.
Rebecca melamun sampai tidak sadar kakak keempatnya berjalan dari arah berlawanan buru-buru hingga menyenggol tubuhnya. “Aaaaaa!” BYUR! Rebecca jatuh ke kolam.
“Hih, gimana sih,” gumam kakaknya dan melanjutkan Langkah.
Anak-anak sedikit heboh, membuat Rebecca tetap tersenyum. “Ustadzah gak papa, kalian lanjut aja sama Ustadzah Haniyah ya.”
“Lain kali jalannya yang bener,” ucap keponakannya itu. “Ayok anak-anak.”
Lumpur masuk ke dalam pakaian, sampai membuat cadarnya kotor. Rebecca Kembali ke rumah.
“Duh, gak bisa ngerjain sesuatu banget?” sindir Kakak keduanya.
Air mata Rebecca berlinang, berlari ke kamarnya mengabaikan teriakan, “Kakimu kotor kenapa sembarangan masuk?!”
Padahal harusnya Rebecca sudah tahan dengan sikap kelima kakaknya. Tapi dia tetaplah merasa tidak punya rumah. Rebecca berusaha menghubungi sang Mama kandung begitu selesai mandi, menelponnya dan mengirimkan pesan di i********:. Tapi tidak ada jawaban.
Pelarian terakhir Rebecca adalah sholat, kemudian membujuk yang Maha Kuasa. “Ya allah, kalau aku gak bisa pulang ke rumah lama, tolong izinin aku punya rumah baru.” Sambil menatap foto Rama yang diam-diam dia ambil.
***
Rebecca belum pulang saat malam menjelang. Rama tidak mungkin mengabaikannya begitu saja, dia menelpon pada Ayah mertuanya karena Rebecca tidak menjawab pesan.
“Becca disini, dia agak demam jadi Abi minta buat tiduran aja dulu, eh malah ketiduran. Nak Rama mau kesini?”
Rama tidak bisa selamanya menahan tanah yang sudah menjadi kesepakatan Kakek dan Ayahnya Rebecca. Dia datang dengan membawa sertifikat yang sudah diganti nama menjadi nama sang pimpinan pondok pesantren. “Terima kasih banyak, Nak Rama.”
“Saya mau ke Becca dulu.”
Bersamaan dengan Malihah yang baru keluar dari kamar Rebecca. “Dia baru aja makan malam. Nak Rama udah?”
“Udah, Ummi,” bohongnya.
“Yaudah masuk istirahat ya. Tidur disini aja dulu.”
Wajah Rebecca pucat, duduk bersandar di kepala ranjang. Begitu melihat Rama, matanya langsung melotot. “Mas!” sambil merentangkan tangannya.
“Gak usah aneh-aneh, inget kesepakatan kita,” ucap Rama membuka dasi, perban di tangannya sudah dilepas hingga Rebecca sedih karena tidak bisa membantunya lagi. “Surat tanah udah saya kasih ke Abi kamu. Itu alasan kamu dipanggil kesini ‘kan?”
“Kok Mas bisa tahu? Apa itu ciri-ciri hati kita terhubung dan berjodoh?”
“Saya seorang pengacara,” ucapnya hendak melangkah ke kamar mandi. Sebelum masuk, Rama memperingati dulu. “Jangan ganggu, jaga jarak, jangan berisik juga. Saya mau istirahat.”
“Hmmm…” bahu Rebecca langsung lemas. “Padahal bisa aja istirahat sambil naikin tubuh aku.”
“Rebecca.”
“Hehehehe, bercanda-bercanda.”
Dari tampilan wajahnya saja, Rama sudah tahu kalau perempuan itu demam tinggi. Tapi Rebecca tetap menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri, menyiapkan baju ganti dan memasak sesuatu. “Mas Rama mungkin lapar tapi dia malu buat bilang, Abi.”
“Pinter…,” ucap Achmad mengelus rambut anaknya. “Nanti diminum obatnya.”
“Abi ngabarin Mama pas Becca mau nikah kan?”
“Ngabarin, tapi dia gak jawab.”
“Ouhh… yaudah gak papa.”
Begitu Rama keluar kamar mandi, dia melihat sang istri yang tidur di sofa dengan selimut menutupi tubuh. Dikatakan tidak mau berdekatan memang benar, tapi tidak sampai membuat yang sakit menderita. Ditambah Rama melihat makanan di nakas.
Rebecca belum tidur sepenuhnya saat Rama menggendongnya ke atas ranjang. “Eunghhh…” Rebecca memeluk Rama layaknya guling.
Tunggu, perempuan ini tidak memakai bra? karena Rama bisa merasakan dengan jelas kenyal menempel.
***
“Mau ngapain?” tanya Rama Ketika Rebecca bangun dari tidurnya.
“Sholat.”
“Belum juga subuh.”
“Tahajud,” ucapnya sambil menggosok mata. Rama ikut terbangun, tapi fokusnya teralihkan dengan memeriksa berkas di ipad. Sesekali matanya melihat Rebecca yang tengah sholat, dilanjutkan dengan mengaji di jam 3 pagi ini.
Rama Kembali mengantuk, matanya terasa berat. “Uhuk! Uhuk!” rasa dingin membuat tenggorokan Rama kering, air di nakas sudah habis.
Rebecca menyadari itu. “Bentar,” ucapnya terburu-buru bangun mengambilkan air hangat untuk sang suami.
“Saya bisa ngambil sendiri.”
“Kan itu gunanya istri, Mas. Lagian aku seneng kalau layanin Mas, kalau dingin bisa aku angetin.”
“Uhuk!” hanya menatap heran Rebecca sebelum Kembali berbaring. “Obat nyamuknya mati?”
“Kayaknya udah gak wangi, isi ulangnya abis, Mas. Jangan tidur aja lagi.”
“Saya ngantuk, semaleman pengab Cuma tidur sebentar.”
Rama membelakangi istrinya, dapat dia rasakan Rebecca membaca al-Quran dibelakangnya sambil sesekali mengibaskan tangan supaya nyamuk tidak menyentuh sang suami. Rama baru dibangunkan lagi Ketika adzan subuh berkumandang. “Mas bangun udah subuh, nanti malu loh sama Abi kalau gak ke masjid, Mas.”
Gemas dengan sang suami, Rebecca mencium pipi hingga membuat Rama langsung duduk. “Hehehehe. Akhirnya langsung bangun. Sana ke masjid, aku masih gak enak badan mau disini.”
Kali ini Rama tidak protes, dia pergi ke masjid yang ada di pinggir rumah. Dari jendela, Rebecca bisa melihat sang suami yang berjalan kesana. Dia melambaikan tangannya Ketika Rama berbalik. “Hehehehe…. Ganteng banget ya ampun.”
Perasaan Rebecca menjadi lebih baik Ketika Bersama dengan Rama. Terus berdoa pada sang pencipta untuk mendapatkan hati suaminya. Rebecca sadar akan banyak tantangan mendapatkan cinta sejati, termasuk gangguan dari orang dalam. Matanya melihat Rama yang berjalan Bersama Kakak tertuanya; Ishak, dan juga Haniah. Perempuan yang memakai mukena hitam itu tampak malu-malu di dekat Rama.
Apa keponakannya itu mengincar suaminya? Astagaaa! Rebecca tidak tahan! Belum juga Rama menjadi miliknya. Apalagi Ishak seolah sengaja meninggalkan mereka berdua. Langkah Rama dan Haniyah juga tampak lambat. Rebecca tidak suka! Ketika mata Rama menatap ke jendela kamar, Rebecca langsung mengangkat pakaiannya mempelihatkan pakaian dalam.
“Astaga!”
“Kenapa, Mas?” Haniyah menatap ke arah yang sama. Rebecca sedang berdiri disana.
“Gak papa, saya duluan.” Rama tahu apa yang ada di pikiran istrinya. “Kenapa kamu buka baju sembarangan?”
“Gerah, tadi ada angin lewat makannya dibuka,” jawab Rebecca santai.
“Gak boleh gitu, nanti kalau orang lain lihat gimana.”
“Abis sama Mas gak dilihat-lihat sih. Coba lihat yang jelas dong.”
“Becca.”
Rebecca menghentakan kakinya. “Dibilangin gerah ih, kan aku lagi demam.” Enggan mengakui kalau dirinya cemburu.
“Saya ke Jakarta siang, ada yang mau diobrolin sama Pak Ishak.”
“Bapaknya Haniah? Ngomongin apa?”
“Terkait tanah. Saya gak mungkin nolak. Gak sopan. Kalau kamu ada kuliah, duluan saja.”
“Enggak, aku nyantai kok. Mau disini dulu, berangkat nanti sama Mas. Bayangin kalau kita berangkat pisan nanti jadi obrol. Lagian aku gak ada kuliah,” bohongnya daripada keponakannya mencoba mendekati Rama. Dirinya saja belum dapat.
Seharian itu, Rebecca terus membuntuti sang suami. Mengambil kesempatan melingkar di lengan sang suami dan bermanja sampai membuat beberapa kakaknya berkata, “Wah, Alhamdulillah ya kalian udah deket ini meskipun dijodohkan.”
Apalagi kalau dihadapan Haniah, Rebecca berusaha untuk terlihat romantic.
“Dzuhur disini, Mas?”
“Iya.”
“Yaudah aku bukain sejadahnya ya.”
“Saya mau ke masjid.”
“Disini aja,” ucap Rebecca berusaha menahan Rama supaya tidak bertemu Haniah. “Ya?”
“Kamu kenapa?” tanya Rama heran dan masuk kamar mandi mengabaikan permintaan sang istri.
Rebecca ini orangnya nekad, dia mendekat saat Rama keluar dan pura-pura… “Aduh maaf, Mas. Aku pusing hampir jatuh.”
“Duduk,” ucap Rama Kembali mengambil wudhu.
“Mas tolong ambilin air itu.”
Ketika tangan mereka bersentuhan, Rama Kembali batal.
“Um, bantuin aku ke kamar mandi, Mas. Pusing.”
“Nanti saya batal lagi.”
“Yaudah saya jalan sendiri aja.”
Sampai Iqomah berkumandang, rencana Rebecca berhasil meminta sang suami sholat di kamar.